Bab 22 - Pain
22
Pain
"Seseorang yang memberikan rasa sakit harus mendapat rasa sakit sebanyak yang ia beri."
- Akbar Fahreza
▪◾▪◾▪
Hari itu Nayya di sekolah sampai sore, bersama anak-anak Rohis mempersiapkan project No Valentine Days lusa nanti. Setelah sebelumnya project World Hijab Days mendapat respon positif, dengan banyaknya siswa yang ikut berpartisipasi memposting foto dengan jilbab dan menyuarakan kepedulian mereka. Walau Nayya pun tahu, sebagian dari mereka terlibat karena hanya ingin terlihat eksis saja.
"Kita selesein sekarang ya, biar besok tinggal ngecek kalo aja ada yang kurang," ucap Nayya yang disambut koor sepakat dari adik-adik kelasnya.
"Saf, artikelnya udah di print semua?" Kini Nayya bertanya pada Safira yang sibuk menggambar di kertas HVS.
"Iya udah, mau ditambahin lagi?"
Nayya menggeleng. "Nggak perlu banyak-banyak, yang penting apa yang pengen kita sampein itu tersampaikan. Secara singkat dan menarik. Terutama sejarahnya, mereka harus tahu."
"Tapi sekarang, jarang orang tertarik membaca artikel," ucap Aretha ikut berargumen.
Nayya mengangguk setuju. "Kebanyakan mereka mungkin hanya lewat membaca judul atau membaca beberapa baris, lalu tak acuh. Makanya, kita harus buat sekreatif mungkin."
Aretha mengangguk paham, yang lain pun mendengarkan dengan baik. Nayya tersenyum. Senang karena ia merasa dihargai. Lalu pintu ruangan kelas terbuka. Semua orang di sana menoleh ke arah pintu.
"Kak Akbar?" tanya Nayya dengan kening terlipat.
Akbar tersenyum lebar. "Pantesan rame, banyak orang ternyata," tukasnya kemudian masuk menghampiri Nayya. "Lagi pada ngapain?" Akbar menelisik pekerjaan Nayya Lalau mengernyit. "No valentine days?"
"Yap!" sahut Nayya bersemangat. Menatap pria tampan di hadapannya yang tengah serius membaca artikel yang ia buat.
"Jadi, sebagai umat Islam, kita nggak boleh ikut merayakan hal-hal semacam ini?" tanya Akbar kemudian.
Nayya mengangguk sambil tersenyum manis. "Karena itu tradisi orang kafir. Barang siapa yang mengikuti suatu kaum, maka ia termasuk di dalamnya,[1]" ucapnya menyebutkan salah satu dalil yang menjadi landasan mereka melakukan project ini. "Sama halnya seperti perayaan ulang tahun, dan perayaan hari-hari yang tidak ada dalam Islam. Namun karena orang-orang kafir, umat Islam yang tidak mengerti mengikuti tradisi mereka."
Akbar mengangguk paham. Lalu tersenyum simpul setelah membaca salah satu baris kalimat di salah satu selembaran. "Dalam Islam, hari kasih sayang adalah setiap hari, bukan hanya tanggal empat belas Februari." Ia membacakan kalimat itu membuat Nayya agak tersipu malu, karena ia yang membuatnya.
"Bagus," puji Akbar. "Kalian memiliki jiwa kepedulian yang besar."
"Karena mereka teman saudara seiman, sudah sepatutnya kita saling mengingatkan," sahut Aretha. "Kami tidak bermaksud menjadi orang yang merasa paling benar. Tapi kami juga mengingatkan diri kami. Itulah prinsip dakwah kami."
Nayya tersenyum bangga, ia selalu mengagumi adik kelasnya itu. Cara ia berbicara dan segala pemikirannya tentang islam. Ia belajar banyak darinya. Ia tiba-tiba teringat pada Arkan, mengapa ia tidak menyukai gadis itu yang menurutnya jelas jauh lebih baik darinya.
"Malah bengong," ujar Akbar menyentuh pipi Nayya dengan telunjuknya, membuat Nayya sadar dan terkesiap. "Mikirin apa sih?" tanyanya setelah menurunkan jari telunjuknya dan menatap Nayya penasaran.
Nayya gelagapan dan dadanya tiba-tiba berdebar kurang ajar akibat tatapan langsung dari kakak kelasnya itu. "Nggak mikirin apa-apa." Cepat-cepat ia mengalihkan pandangan pada hal lain.
Akbar sedikit terkekeh. "Ada yang bisa aku bantu?"
"Nggak perlu Kak, ini udah mau selesai kok," tolak Nayya halus. Akbar megangguk. "Kak Akbar kok bisa di sini? Bukannya lagi pengayaan ya?"
"Oh. Iya, gurunya nggak masuk. Jadi malah pada keluar murid-muridnya. Pas lewat sini denger rame-rame eh ternyata ada kalian," jelas Akbar. Beberapa hari ini kelas dua belas memang sudah mulai hectic mempersiapkan ujian nasional. Setiap hari harus pulang sore karena ada tambahan jam pelajaran.
"Kak Nayya aku punya ide!" seru Mita yang Nayya tahu teman sekelas Aretha.
"Kenapa, Mit?"
"Gimana kalo kita pake foto Kak Akbar?" serunya nampak bersemangat. Sementara Nayya dan semua orang di sana mengernyit tak mengerti.
"Maksud kamu?"
"Iya, jadi kita jadiin Kak Akbar model. Buat menarik perhatian semua murid. Kan katanya mereka kurang tertarik buat baca, apalagi artikel. Nah, kita pasang foto Kak Akbar di salah satu artikel kita yang buat ditempel di mading. Aku yakin murid-murid bakal tertarik dan membaca mading. Gimana? Bagus kan ideku? Kalo Kak Akbar mau sih," cengirnya.
Nayya akui itu ide yang cukup bagus. Tapi mana mungkin.... "Ada-ada aja kamu, Mit. Masaㅡ"
"Kayaknya ide itu cukup bagus," ujar Akbar membuat Nayya kaget.
"Serius Kak? Kak Akbar mau?" seru Mita tampak begitu bersemangat.
Akbar mengangguk. "Aku senang kalau bisa membantu," ucapnya dengan senyum manis.
Nayya kebingungan harus bicara apa. Menatap Akbar yang kini ikut berdiskusi tentang konsep posternya nanti.
"Oke! Ayo kita lakukan pemotretan sekarang," ujar Akbar setengah bergurau.
"Kak, beneran gak papa?" tanya Nayya sangsi.
Akbar mengangguk sambil tersenyum. "Gak papa, aku cukup populer kok. Kan biar nanti orang-orang tertarik baca artikel kalian," guraunya.
"Makasih banyak ya Kak," ucap Nayya tulus. Tidak menyangka Akbar peduli pada hal seperti ini sekali pun.
Lalu terjadilah pemotretan dadakan menggunakan ponsel pintar seadanya, Akbar bersama beberapa anggota pria. Sementara bagian prempuan memberikan komentar dan gaya yang pas untuk konsep mereka. Nayya tersenyum melihat keantusiasan adik-adik kelasnya.
"Saf, nanti jangan lupa di print ya," ucap Nayya pada sahabatnya.
"Siap!"
"Kak Akbar foto sama aku juga dong Kak," ujar Mita yang langsung disambut koor dari anggota pria.
"Mita ... nggak boleh gitu," tegur Aretha.
Mita cemberut. "Na'am Ustadzah, na'am." Begitulah Mita jika sudah ditegur oleh teman sekelasnya.
Nayya hanya terkekeh melihat interaksi dua adik kelasnya itu. Lalu matanya tak sengaja menatap Akbar yang ternyata sedang memperhatikannya dengan senyum manis yang selalu saja membuatnya tak berdaya. Nayya pun gelagapan, dan jantungnya mulai berdebar tak beraturan. Lalu ia menginteruksikan pada anggotanya untuk beres-beres. Menutup kegiatan dengan do'a, mereka pun pergi setelah saling bersalaman. Bertepatan bel pengayaan Akbar berakhir, Akbar pun pamit ke kelasnya untuk mengambil tas.
Setelah semuanya bubar, Nayya merosot berjongkok. Menenangkan gemuruh dalam dada, ia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Safira yang masih ada di sana menghampiri Nayya. Ikut berjongkok di hadapannya.
"Kamu beneran suka sama Kak Akbar, ya?"
Nayya menghela napas. "Gak tahu, Saf. Gue ... ahh susah jelasinnya!" teriak Nayya frustrasi.
Safira tersenyum. "Gak usah dijelasin, yuk pulang," ajaknya lantas bangkit yang segera disusul Nayya. Sambil sedikit bercerita tentang apa yang ia rasakan.
"Gue harus gimana, Saf?" tanya Nayya nampak sedikit murung.
Safira menghela napas. "Aku juga nggak tahu. Tapi ... kalau saranku, jaga hati kamu sampai tiba di waktu yang tepat. Jangan sampai perasaanmu mengendalikan akal sehatmu."
Nayya mengingat kata-kata Safira dalam otaknya.
"Simpan saja," ucap Safira lagi. Lalu ia menoleh setelah mendengar suara deru motor berhenti di sampingnya. "Aku duluan ya, Kak Nizar udah jemput. Assalamu'alaikum...."
Nayya menjawab salam lirih, lalu menyaksikan sahabatnya yang menaiki motor bersama kakaknya. Nayya sebenarnya penasaran, karena Safira selalu membanggakan Kak Nizar. Tapi ia belum pernah melihat kakaknya itu. Saat bermain ke rumah Safira pun, Nayya tak pernah melihatnya. Safira bilang kakaknya sibuk di kampus. Sekarang saja, ia memakai helm full face. Nayya hanya melihat matanya yang menatap ke arahnya, hanya sekilas. Dan itu bukanlah mata ramah yang sedang tersenyum. Nayya meringis sendiri, sepertinya kakak laki-laki Safira itu tipe pria yang dingin pada perempuan. Seperti Arkan. Menyadari bahwa dirinya menyebut Arkan, ia menghela napas.
"Hati-hati, ya!" seru Nayya melambaikan tangan yang dibalas Safira hal serupa sebelum motornya melaju meninggalkan depan gerbang sekolah.
Setelah kepergian Safira, muncul Akbar dengan motornya lalu berhenti di sebelah Nayya. Dan seperti hari-hari sebelumnya, jika mereka kebetulan pulang di waktu yang sama, Akbar akan menemani Nayya menunggu supirnya menjemput.
"Boleh kan?" tanya Akbar begitu ia turun dari motornya.
Nayya tersenyum. "Kalau aku bilang nggak, emang Kakak mau langsung pulang?"
"Nggak sih," cengir Akbar. "Kan nggak tiap hari," ujarnya.
"Iya, tapi akunya yang nggak enak."
"Nggak papa, aku apalagi nggak enak kalo ngebiarin kamu nunggu sendirian gini."
Nyya diam. Biasanya, Arkan yang menemaninya. Lagi-lagi Arkan, batinnya.
"Oh, ya. Tumben Arkan nggak ikut kumpulan tadi?" tanya Akbar lagi mengemalikan fokus Nayya.
"Iya, tadi dia sama Sadiya ada kepentingan sama Pak Dewa."
Akbar mengangguk mengerti. Lalu seseorang menyerukan namanya. Dia pun menoleh dan mendapati Adel setengah berlari menghampirinya.
"Gue nyariin lo dari tadi, di sini ternyata," ucap Adel sedikit ngos-ngosan, lalu menyadari ada Nayya di sana, ia pun menyapanya sejenak sebelum kembali pada Akbar. "Anterin gue, cepet."
"Kenapa? Ada apa?" tanya Akbar heran. Adel tak menjawab, hanya menatap Akbar dengan sorot kecemasan yang Akbar bisa tahu tanpa harus menunggu jawaban dari teman masa kecilnya itu.
Akbar lalu menoleh pada Nayya. Seolah mengerti, Nayya tersenyum. "Nggak papa, Kak. Duluan aja, paling bentar lagi dateng," ucapnya sambil tersenyum.
"Tapi...."
"Tuh, udah dateng!" seru Nayya memenggal keraguan Akbar. Namun sejurus kemudian ia nampak terkejut saat kaca pintu mobil turun dan yang ia lihat bukan Pak Gigih, melainkan papanya.
"Nayya duluan ya Kak," pamit Nayya pada Akbar dan Adel. Lalu bergegas masuk ke dalam mobil, takut papanya berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Ia lalu melihat ke arah Akbar yang sudah menaiki motornya bersama Adel. Setelah mereka pergi, ia menunduk dan bibirnya bergumam semoga papanya tidak menyinggung soal Akbar.
"Kok tumben Papa yang jemput?" Nayya buru-buru memulai percakapan.
"Pak Gigih lagi nganterin Mama ke yayasan," jawab Alfi.
"Oh ... Emang Papa nggak sibuk? Kerjaan Papa gimana?"
Alfi tersenyum. "Papa tinggalin bentar kan nggak papa, demi putri tersayang."
Nayya berdecak lalu merenggut. "Kenapa nggak dari dulu kayak gitu?"
"Dulu kan ada Arkan yang bisa nemenin kamu," ucap Alfi refleks. Hal itu membuat Nayya diam dan Alfi sadar ia salah bicara. Ia tahu apa yang tengah terjadi di antara keduanya. Semenjak Arkan selalu menolak permintaannya untuk mengantar atau menjemput Nayya. Alfi mengajaknya bicara, dan ia bisa memahami alasan Arkan. Hal itu malah membuatnya semakin mengingkan Arkan menjadi menantunya.
"Sayang...."
"Nayya capek, Pa. Mau tidur, nanti bangunin kalo udah sampe," tukas Nayya memiringkan kepalanya ke sisi jendela sambil memejamkan mata, mencoba meredam rasa tak menyenangkan di dada.
Alfi hanya menatap anak gadisnya tanpa kata. Menghela napas dan membiarkannya dalam keheningan.
***
Akbar melajukan motornya dengan cepat menuju rumah Adel, ia tahu jika sudah begini sesuatu pasti terjadi pada ibunya. Tapi ia tidak tahu apa penyebabnya. Jadi, ia putuskan untuk bertanya. "Apa yang terjadi?" tanya Akbar di tengah bising kendaraan.
"Orang itu datang," ucap Adel. Akbar bisa merasakan pelukan tangan Adel di perutnya mengerat. Ia tak bicara lagi. Karena ia tahu siapa yang dimaksud orang itu. Ia pun semakin menambah laju motornya.
Begitu sampai, Adel langsung memasuki rumahnya dengan tergesa; menuju ruangan tempat ibunya berada. Sementara Akbar mengikuti dengan langkah lebih tenang. Ia bisa mendengar suara teriakan dan amukan yang berasal dari kamar ibu sahabatnya. Lalu berdiri di ambang pintu, menyaksikan drama keluarga temannya. Dan ia tak berniat ikut campur.
Bukannya tak peduli. Ia hanya merasa tak berhak. Dan ia tak kan bisa membantu apa-apa. Ibu Adel mengalami gangguan mental. Setelah suaminyaㅡorang yang kini berdiri di depan Adelㅡpergi meninggalkannya dan anak gadisnya dengan sejuta luka yang ia beri.
"Pergi!! Pergi kaliaaan!" seru ibunya mendorong Adel hingga terjengkang. Jika bertemu orang asing, maka ia akan mengamuk seperti saat ini. Adel menahan tangis. Ibunya sudah tak mengenali dirinya lagi. Tapi ia tak menyerah, ia kembali bangun menghampiri ibunya. Mencoba segala cara untuk menangkannya namun sia-sia.
"Adel, papa...." Kalimat itu terhenti begitu Adel menoleh dengan satu hentakan. Menatapnya penuh amarah. Adel bangkit dan mendorong pria paruh baya itu.
"Pergi!" teriaknya. "Mau apa lo ke sini, hah?"
"Papa cuma─"
"Gue nggak punya papa! Papa gue udah mati!" serunya penuh amarah.
Pria itu menatap anak gadisnya sendu. "Papa cuma mau minta maaf."
Mendengar itu Adel tertawa sarkas. Setelah semua yang dia lakukan selama ini. Begitu mudahnya ia berkata maaf. "Gue nggak butuh maaf lo! Setelah lo pergi ninggalin kita, dan semua perbuatan lo ke kita dulu, lo bukan lagi siapa-siapa buat gue. Urusin aja keluarga lo sendiri!"
Pria berjas itu terdiam. Tak mampu berkata. Ia memang sudah melakukan kesalahan besar tak termaafkan. Ia hanya ingin meminta maaf meski ia tak bisa mengulang semuanya kembali seperti semula.
"Adel,"
"Gue bilang pergi! Lo budeg, hah? Jangan pernah berani menginjakkan kaki lo di sini lagi. Rumah ini nggak nerima sampah kayak lo! Pergi!"
Pria itu tak membantah lagi. Sekeji apa pun hinaan untuknya, ia tak merasa sakit hati. Karena ia pantas mendapatkannya. Ia berbalik lalu pergi setelah mengucapkan kata maaf. Melewati Akbar yang hanya diam menyaksikan semuanya di ambang pintu. Ia tahu betul kesakitan seperti apa yang diterima oleh sahabatnya itu. Ia menatap Adel yang masih berusaha menenangkan ibunya yang mengamuk, lalu menyuruh perawat memberi ibunya obat penenang. Setelah itu, ia memarahi perawat yang selalu menjaga ibunya karena membiarkan orang itu masuk.
"Kalo lo biarin dia masuk lagi. Lo gue pecat!"
Akbar masuk, meraih bahu Adel untuk menenangkannya. Lalu mengajaknya keluar, membiarkan ibunya beristirahat dalam obat tidur.
Setelah keluar kamar, Adel merosot ke lantai, menekuk lutut dan terisak. Akbar tahu, kemarahan tadi hanya topeng agar ia terlihat kuat. Namun ia yang sebenarnya lebih rapuh dari cermin tipis.
Akbar memeluknya dari samping, mengusapnya perlahan untuk memberinya ketenangan dan membiarkannya menangis di bahunya. Tak ada kata yang terucap, karena ia tahu Adel tak membutuhkan kata-kata penghibur. Setelah beberapa saat berlalu, tangisnya reda. Adel menarik kepala dari bahu Akbar.
"Maaf ya, makasih...."
Akbar mengusap kepalanya. "Udah ya, nggak usah dipikirin lagi."
Adel tersenyum. Penuh syukur karena Akbar ada di sampingnya. Ia kembali menyandarkan kepalanya di bahu Akbar.
"Gue nggak tahu gimana ancurnya idup gue kalo lo nggak ada waktu itu, mungkin juga gue udah mati."
"Gak usah ungkit hal itu lagi," tukas Akbar datar. Lalu hening tercipta untuk beberapa saat.
"Bar...."
"Hm?"
"Gue nggak mau kehilangan lo," ucap Adel sungguh-sungguh.
Akbar nampaknya tahu ke mana arah pembicaraan temannya itu. Dan dia enggan membahasnya. "Gimana lo sama Arkan?" tanya Akbar mengalihkan pembicaraan.
Adel menggeleng. "Dia susah banget dideketin. Dingin banget kalo sama cewek," ujarnya. Jeda sejenak ia kembali berbicara. "Lo sendiri? Kayaknya makin deket sama Nayya."
Bibir Akbar tersungging kecil. Adel lalu menegakkan kepalanya menghadap Akbar. Mebawa kepala pria itu supaya menatapnya, lalu mendekap kedua sisi wajahnya. "Demi Tuhan, gue nggak mau kehilangan lo, Bar. Lo satu-satunya orang yang gue punya."
Akbar meraih tangan Adel dan menurunkannya. "Keputusan gue udah bulat. Gue nggak akan ngubah keputusan gue. Lo nyaksiin sendiri gimana hidup gue, Del. Gue nggak bisa ngebiarin mereka bahagia. Sementara ibu gue...." Akbar tak melanjutkan kalimatnya. Menggeram tertahan dan tangannya meremas kuat tanpa ia sadari, hingga ringisan Adel menyadarkannya.
"Maaf," ucapnya melepaskan genggaman. Lalu beralih menatap kosong ke depan. Menurutnya, seseorang yang memberikan rasa sakit harus mendapat rasa sakit sebanyak yang ia beri. "Gue akan pastiin mereka mendapat hal yang setimpal."
"Gue ngerti, Bar ... tapi apa dengan begini lo bisa tenang? Lo bisa bahagia? Gue yakin ibu lo juga nggak setuju sama keputusan lo. Lo nggak bakal dapetin apa-apa. Percaya sama gue. Itu cuma buat lo tersiksa."
"Gue nggak peduli."
"Meskipun itu artinya lo ngancurin hidup lo sendiri?" tanya Adel.
"Ya," jawab Akbar tanpa ragu. Tekadnya ini sudah ia bulatkan sejak dulu. Ia tak peduli lagi jika setelah itu, hidupnya akan hancur.
"Dan lo tega ngebiarin gue hidup sendiri?"
"Del...."
Adel bangkit, ia kesal dan marah. Tapi ia tahu ia tak berhak marah pada pria itu. Ia pun berlari menuju kamarnya. Mengabaikan Akbar yang memanggil namanya. Setelah mengunci pintu, ia menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Tidak tahu bagaimana lagi ia harus menghentikan niat teman laki-lakinya itu.
Sementara Akbar hanya mematung, menatap ke arah Adel berlalu dengan tatapan bersalah. Ia tahu, keputusannya akan membuat banyak orang tersakiti, termasuk kedua orang tuanya. Namun ia sudah tak peduli lagi. Yang ia pedulikan hanya satu, bagaimana ia bisa membalas semua rasa sakit dan luka yang diterima oleh ibunya dulu.
Ia mengetikkan sesuatu di ponselnya untuk Adel.
"Maaf. Gue harap lo nggak lukain diri lo lagi. Kalo sampe itu terjadi, gue nggak bakal nemuin lo lagi."
Setelah mengirimkan pesan itu, Akbar berjalan ke luar dari rumah Adel. Menatap langit dengan tatapan kosong, lalu memejamkan mata hingga semua bayangan masa kecil bersama ibunya tergambar. Ia pernah sangat bahagia. Sebelum ia mengetahui kenyataan yang membuatnya menyimpan kebencian begitu dalam.
"Ngancurin hidup? Sejak dulu pun, hidup gue udah ancur."
***
Tbc.
Assalamu'alaikum!
Hai hai alhamdulillah update 😅 eh nggak ada Arkan di bab ini, biar kalian kangen 😌
Oh ya belum sampai di persoalan Kei sama Arkan, sabar ya 😆 ini dikit-dikit ungkapin semua rahasia wkwk.
Semoga kalian diberi kesabaran selalu 😂
Salam sayang,
Tinny Najmi.
Subang,
01 Februari 2018.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro