Bab 2 - Murid Baru
2
~Murid Baru~
"Tak perlu menjadi orang lain untuk terlihat menawan, kamu istimewa dengan caramu sendiri."
***
Alfi berdiri di depan jendela ruang kerjanya. Nampak fokus mendengarkan seseorang yang sedang berbicara di ponselnya. Sesekali, keningnya mengernyit, atau tangan kirinya yang bebas memijit pelipis. Lalu berhenti ketika lawan bicaranya mengatakan sesuatu yang tak ia duga.
"Meninggal, kau bilang?" tanyanya, kentara sekali kalau ia begitu terkejut.
"Lalu, bagaimana dengan anaknya?" tanya Alfi lagi. Dan jawaban yang ia terima selanjutnya membuatnya mengusap wajah gusar.
"Ya Tuhan...," gumamnya pelan. Ia menghela napas panjang, kemudian berbalik, dan saat itu ia mendapati Afaninㅡistrinyaㅡtengah berdiri sambil membawa nampan berisi secangkir kopi untuknya. Lalu Afanin tersenyum ketika matanya bertemu pandang dengan sang suami.
Alfi balas tersenyum, berjalan, kemudian duduk di sofa. Afanin menaruh kopi di meja, lantas ikut duduk di samping Alfi.
"Baiklah, terima kasih infonya. Nanti kuhubungi lagi." Alfi pun memutuskan sambungan telepon.
"Bagaimana, Mas?" tanya Afanin penasaran.
Alfi menggeleng lemah. Tersenyum ketir. "Mereka sudah meninggal."
"Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun...." Afanin ikut bersedih. "Jadi, selama ini usaha kita sia-sia saja?"
Alfi meraih tangan Afanin. "Maaf ...," lirihnya. Pelan. Lalu menunduk dalam. "Semua ini salahku. Andai saja ... Aku ...."
"Mas...," potong Afanin cepat. "Kita sudah melakukan yang terbaik," ucapnya meraih wajah Alfi agar ia menatapnya. Alfi mendongak, lantas Afanin tersenyum dengan teduhnya, mendamaikan hati siapa pun yang melihat senyuman itu.
Alfi ikut tersenyum, merasakan ketenangan dan kenyamanan yang mengalir dari wanitanya, kemudian ia meraih Afanin ke dalam pelukan. Hanya sekedar untuk menangkan diri, dan mengingatkannya selalu bahwa ia tak pernah sendiri.
"Terima kasih, Sayang ...."
Brak!
"Maa! Paa!"
Alfi dan Afanin sukses terlonjak kaget dan melepas pelukan satu sama lain. Menatap ke arah pintu dan mendapati anak semata wayang mereka tengah berdiri dengan cengiran lebar tanpa dosa.
"Ups!" Nayya mengangkat satu tangan ke atas tanda permintaan damai.
"Biasakan ketuk pintu dulu sebelum masuk, Ainayya." Afanin menegurnya.
"He-he. Iya Ma, lupa. Buru-buru, sih, soalnya."
"Buru-buru mau ke mana? Udah malem, Nayya." Sekarang Alfi yang mengomelinya.
"Nggak ke mana-mana kok, mau ke rumah Arkan doang, ada urusan penting. Pamit ya! Assalamu'alaikum!" serunya lantas langsung berbalik dan mengambil langkah cepat.
"Nayya jangan lari-lari!" seru Afanin yang tak dihiraukan olehnya. Ia berlari dengan penuh semangat seperti biasa.
Beberapa saat yang lalu, ia menerima pesan dari Sadiyaㅡteman sekaligus ketua kelasㅡyang memintanya membujuk Arkan supaya dia mau dijadikan kandidat calon ketua OSIS. Karena besok ia harus menyerahkan semua daftar kandidat, jadi mau tidak mau Nayya harus berbicara dengan Arkan malam itu juga.
"Gue udah ngomong sama dia, udah bujuk dia, tapi dia tetep gak mau. Nah, lo kan butuh dia buat jadi ketos. Jadi, lo usaha ya, bujuk dia supaya mau. Ini demi lo juga, kan."
Nayya kembali teringat pesan terakhir dari Sadiya tadi, dan hal itu membuat perasaan kesalnya kembali memuncak.
"Dasar Arkan rese! Kenapa pake gak mau segala sih! Katanya mau bantuin gue!" Nayya menggerutu saat di perjalanan menuju rumah Arkan yang jaraknya tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu lima menit dengan berjalan kaki.
Saat sampai di rumah Arkan, ia hendak langsung membuka pintu. Namun teringat nasihat yang mamanya sampaikan tadi, ia pun urung dan mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Assalamu'alaikum!" serunya sambil mengetuk pintu beberapa kali. Sebenarnya ia sedang malas bertemu Arkan, mengingat perdebatannya ketika di sekolah tadi. Tapi apa daya, ia harus mengesampingkan gengsi, baginya hal ini lebih penting dari apa pun saat itu.
Tidak lama, terdengar sahutan salam dari dalam, "wa'alaikumussalam warahmatulloh." Lalu pintu terbuka menampilkan sosok wanita sepantaran ibunya. Nayya menampilkan senyum manisnya menyapa Adeeva.
"Eh, Nayya. Ada apa Nay?"
"Iya, hee. Arkannya ada, Tan? Boleh masuk?"
"Ada, yuk masuk." Adeeva membuka pintu lebih lebar dan membiarkan Nayya masuk. Lalu mereka berjalan beriringan.
"Dia lagi main sama Acha di ruang tengah," ucap Adeeva yang dijawab anggukan dari Nayya. "Mau minum apa?"
"Nggak usah Tan, kayak ke siapa aja. Hee. Nayya duluan ya, Tan," ucapnya yang langsung berlari kecil menuju ruang tengah, tempat di mana Arkan dan adiknya berada.
Nayya menemukan Arkan yang memang sedang menemani adik perempuannyaㅡyang baru menginjak usia dua tahun. Ashalena Zareen, akrab dipanggil Acha, terpaut umur yang cukup jauh dengan Arkan, si bungsu yang sangat dicintai keluarganya. Mereka bermain, terlihat akrab dan... menyenangkan. Nayya mematung sejenak, memerhatikan interaksi keduanya. Membawa ia pada ingatan ketika meminta adik pada orangtuanya dulu, hal yang juga membuat ia mengetahui fakta menyakitkan tentang ayahnya, orang yang paling ia sayangi. Ia tersenyum ketir.
Andai ... hanya jika, andai saja ....
"Kak Ayya!!"
Nayya tersentak, tersadarkan oleh panggilan si kecil Asha yang tengah menyadari kehadirannya. Dengan riang, gadis kecil itu berlari ke arah Nayya. Kakinya yang pendek menciptakan langkah-langkah kecil yang nampak menggemaskan di mata Nayya.
"Halloo Acha!" Nayya berjongkok, memeluk dan mencium pipinya yang gembil dengan riang. "Kok belum tidur, sih?"
"Iya, Acha agi aen ma Abang Akan." Gadis kecil itu kemudian menguap, mengucek-ngucek matanya.
"Kayaknya Acha udah ngantuk ya," ucap Arkan menghampiri keduanya. Lalu memangku sang adik. "Mainnya besok lagi, ya. Sekarang waktunya apa?"
"Bobooo," jawab Asha dengan khasnya yang menggemaskan.
Arkan mencium pipinya gemas. "Pinter, Abang anterin ke Umi, ya."
Asha mengangguk patuh, lalu menoleh ke arah Nayya. Melambaikan tangan, dan dibalas hal serupa oleh Nayya dengan senyuman lebar. "Tdur yang nenyak ya, Cha!" serunya masih melambaikan tangan hingga Arkan dan Asha menjauh dan bertemu dengan Adeeva.
Ia memerhatikan Arkan yang menyerahkan adiknya pada Adeeva, lalu Arhamㅡayah Arkanㅡyang baru muncul dari belakang, bergabung dan sedikit bercengkerama, keluarga yang begitu harmonis. Sebuah senyuman pun terukir di wajah cantiknya. Arkan nampak mengobrol sejenak dengan Arham sebelum ia melihat ke arah Nayya dan melempar senyuman untuk menyapanya. Nayya membalas sekedarnya. Saat Arkan berbalik, ia segera mengalihkan pandangan pada televisi di hadapannya. Lalu duduk di sofa.
"Ada apa?" tanya Arkan setelah duduk di sebelahnya.
Nah, hampir saja ia lupa dengan tujuannya. Nayya berdeham sejenak. "Pengen minum, dong, Kan."
Arkan memutar bola mata. "Ambil aja sendiri," ketusnya.
Nayya mendengus. "Gue tamu loh, gitu amat. Tamu itu raja dan harus dimuliakan."
Arkan berdecak sebelum akhirnya berdiri juga, berjalan ke arah dapur untuk mengambil minuman. Sementara Nayya sudah terkikik puas mengerjai Arkan.
Tidak butuh waktu lama, Arkan kembali membawa segelas jus jeruk. Menaruhnya di meja lalu menghempaskan tubuh di sofa. "Ada apa, sih?" tanyanya lagi karena Nayya tak kunjung bicara.
Nayya meminum jusnya sejenak. Lalu menghadap Arkan. "Gini... Jadi... Tujuan dan kedatangan gue ke sini, saat ini, adalah...."
"Lama. Gue tinggal," tukas Arkan.
"Iya iyaa! Gak sabaran amat." Nayya berdecak. "Lo mau ya, jadi calon ketua OSIS?"
Arkan mengerutkan kening. "Nggak," jawabnya tegas.
"Ayolaaah, kalo lo mau, si Sadiya juga mau, katanya dia mau jadi wakil lo. Cuman lo yang pantes di jabatan itu, Kan. Ya?" Nayya memasang wajah melas.
"Gue nggak mau, Ainayya." Arkan masih keukeuh. "Masih ada yang lain kan, tuh si Aldi, Miftah, Raihan juga boleh tuh."
Nayya memasang wajah sebal. "Aldi nggak kompeten. Terlalu pendiem dan nggak tegas. Miftah itu calon ketua Pramuka dan Raihan ... Ayolah! Lo tahu kan, kenapa gue minta lo jadi ketua OSIS?"
Arkan diam, menimang cukup lama. "Oke, tapi lo jadi sekretaris gue."
Nayya melempar bantal dengan kesal ke arahnya. "Kenapa, sih?" tanya Arkan heran.
"Kalo gue jadi sekretaris, nanti yang jadi ketua keputrian siapa? Perlu, gue ulangi lagi? Gue butuh bantuan lo buat adain ekskul ROHIS, dan gue butuh ijin dari pembina OSIS sebelum ke wakasek dan kepsek. Dengan lo jadi ketua OSIS, gue bisa lebih gampang dan leluasa. Jadi, gue mohon dengan sangat. Lo bantu gue, ya? Please...."
Arkan menghela napas. Menatap sahabatnya sejenak. Ia begitu keukeuh ingin mengadakan ekskul kerohanian yang menampung anak-anak ROHIS, dan membantu murid lain yang ingin lebih kenal dekat dengan Islam. Sejujurnya ia memang sangat ingin membantu, tapi menjadi Ketua OSIS, terlalu berat untuknya.
"Terus entar di OSIS, lo mau jadi apa? Masa jadi anggota sekbid lagi?"
Nayya terdiam sejenak. "Bener juga sih," ucapnya membatin. "Kalo ngerangkap gak papa kali, ya."
Arkan menahan tawa, kebiasaan Nayya yang satu itu memang tak pernah berubah. Kebiasaan mengutarakan isi pikirannya tanpa ia sadari. Namun ia tak pernah menegur Nayya, hanya menikmatinya saja.
"Ya udah, nanti kalo lo menang, gue jadi koordinator aja ya!"
"Kenapa gak mau banget, sih, jadi sekretaris?"
"Ah mumet gue! Nggak mau, biar si Safira aja. Dia juga kompeten kok, gue jamin!"
"Safira, ya? Hmm...." Arkan belagak mikir.
"Ayolah, Kaaan. Lagian cowok kan ada buat jadi pemimpin. Itung-itung belajar. Lo nggak mau bantuin gue?" Nayya memasang raut sedih, ia benar-benar serius kali ini.
Arkan yang tak tega pun kembali menghela napas. "Oke. Gue mau," ucapnya mengalah juga.
Mendengar itu Nayya tersenyum lebar, mata indahnya berbinar. "Serius? Haaa thank you! Neo chaegoya!" serunya mengacungkan jempol kanan ke depan.
Arkan berdecak sambil tersenyum miring. "Tapi nggak gratis," tukasnya membuat Nayya cemberut dan mengubah acungan jempolnya menjadi ke bawah.
"Lo sahabat terparah yang gue punya."
Arkan tertawa. "Tapi nggak sekarang, mungkin suatu saat nanti, gue minta sesuatu dan lo harus ngabulin keinginan gue."
"Emang gue sebangsa Jin toples yang mengabulkan keinginan tuannya apa!" sungut Nayya kesal.
"Ya udah kalo gak mau."
"Aish dasar ngeselin! Oke, tapi itu berlaku kalo gue bener-bener bisa buat ekskul itu. Gimana? Deal?"
"Oke. Deal." Arkan setuju.
Nayya kemudian bangkit. "Ya udah. Gue balik." Lantas berlalu dan berpapasan dengan Arham, ia pun sedikit bercengkerama dengannya sebelum pamit.
Arkan menatapnya, memperhatikan penampilan Nayya yang simpel. Ia hanya memakai celana training, kaos lengan panjang yang longgar, dan jilbab instan. Typical Nayya. Dia tak pernah mau repot-repot memikirkan pendapat orang tentangnya. Menurutnya, selama ia tidak salah, ia tak perlu malu, bukan? Dia, selalu menawan dengan caranya sendiri. Arkan tersenyum kecil, lalu merebahkan tubuh di sofa dan memejamkan mata. Menggumamkan sesuatu yang tak jelas.
***
"Nay!"
Sebuah seruan menghentikan langkah Nayya yang pagi itu baru saja menginjakkan kaki di kelasnya. Ia menoleh. Mendapati Sadiya berjalan ke arahnya.
"Gimana? Si Arkan mau nggak?" tanya Sadiya setelah berada di hadapan Nayya.
Nayya berlagak berpikir. Mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di dagu. "Emm ... Gimana yaa ... Gue udah bujuk dia sih, tapi ...."
"Tapi?" tanya Sadiya tak sabar.
Nayya menyunggingkan senyum tengil. "Dia mau doong, Nayya gitu lho! Sini, lo traktir gue sesuai perjanjian."
"Ah sialan emang, dasar orang kaya matre!"
Nayya terbahak. Sadiya memang sering mengatainya orang kaya matre, karena ia sering meminta traktiran dari teman-temannya.
"Lo kan udah janji!" Nayya memasang wajah cemberut.
"Iya iya entar di kantin gue traktir." Sadiya mengalah juga. Karena memang ia sudah terlanjur janji mentraktirnya kalau ia berhasil membujuk Arkan.
"Nah gitu dong! Jadi cowok tuh harus nepatin janji, traktirnya sama Safira juga, ya!" Nayya mengedipkan sebelah matanya usil.
Sadiya menahan senyum. "Lo emang pengertian, Nay," ucapnya dramatis menepuk bahu sebelah kanan Nayya.
"Pi!" Sadiya beralih memanggil Safira yang sedang duduk dengan anteng di bangkunyaㅡPi adalah panggilan yang hanya dipakai oleh Sadiya untuk Safira.
Safira mendongak. "Kenapa?"
"Dia mau nraktir katanya!" sambar Nayya mendahului Sadiya.
"Kampret, bukan itu!"
Nayya tertawa. Sementara Safira mengerutkan kening, heran melihat kelakuan kedua teman dekatnya.
"Lo, gue ajuin jadi sekretaris ya nanti," ucap Sadiya.
"Kok, aku, sih? Nggak mau ah. Tuh si Nayya aja."
Nayya mendelik ke arah Safira. "Ish, kan semalem gue udah jelasin Saf ...."
Safira menghela napas. "Tapi ...."
"Nggak ada tapi-tapian. Say yes aja!"
"Pemaksa!" tukas Safira sebal. "Iya iya, terserah kalian aja."
Nayya tertawa. "Nah gitu doong, kan makin cantik jadinya."
Safira hanya menghela napas dan mengabaikan celotehan Nayya. Kembali berkutat dengan buku.
"Oh ya, jangan lupa pulang sekolah, kita kumpul di ruang OSIS."
Nayya tersenyum, senang tiap kali ada pertemuan atau rapat OSIS, itu artinya dia akan bertemu dengannya.
"Ngapain lo senyum-senyum?" Sadiya meringis.
"Kagak. Sana minggir!" Nayya melewati Sadiya dan duduk di bangkunya tepat saat bel berbunyi. Pertanda pelajaran pertama akan segera dimulai.
"Woy Di! Bu Kiki masuk kagak?" Sandi, murid yang bisa dibilang paling nakal dan paling badung di kelas bertanya.
"Masuk, bentar lagi juga nyampe," jawab Sadiya santai.
"Ah sial banget, gue bolos aja kali, ya? Males gue sama Bu Kiki," tukas Sandi pada teman-teman se-geng nya.
Bu Kiki adalah wali kelas sekaligus guru bahasa Indonesia di IPS 1. Anak-anak menyukainya, kecuali Sandi dan teman-teman segengnya. Karena kenakalan mereka membuat mereka selalu jadi objek ceramah dan hukuman oleh Bu Kiki.
Nayya mendelik ke arahnya. "Lo bolos, berhadapan sama gue!" ancamnya.
Sandi memutar bola mata dan tertawa mencemooh. "Mentang-mentang mantan anggota karate, lo belagu banget, ya!" serunya berdiri menantang.
Nayya berdiri dengan geram. Belum sempat ia berbicara, Bu Kiki sudah masuk. Membuat keduanya kembali duduk dan saling mendelik.
"Ngeselin banget sih tuh orang," gerutu Nayya kesal. Melipat tangan di dada dan membuang napas kasar.
"Udah Nay, ngapain juga sih ngurusin itu anak. Dia emang gitu, kan, sejak awal."
"Ya, dan gara-gara dia dan gengnya, kelas kita sering tercemar. Dasar rese!" Nayya melotot ke arah Sandi yang dibalas hal serupa.
"Pagi, semuanya." Bu Kiki mulai menyapa yang segera dijawab serempak oleh semua murid. Lalu mulai mengabsen muridnya satu-satu.
Selesai mengabsen, matanya menyapu ke seluruh ruangan. Menatapa anak didiknya satu-satu dan berhenti pada Sandi, lalu mulai berbicara. "Hari ini, kita masih melanjutkan pelajaran kemarin yang belum tuntas, tentang bagaimana caranya meresensi buku," ucapnya tanpa basa-basi seperti biasa. Belum sempat melanjutkan kalimatnya, terdengar suara ketukan di pintu kelas. Membuat semua murid menoleh ke arah pintu.
Bu Rina tengah berdiri di sana yang segera dihampiri oleh Bu Kiki, mereka nampak mengobrol sebentar, lalu Bu Kiki kembali masuk diikuti seorang murid laki-laki.
Semua murid kelas IPS 1 mulai berbisik-bisik. Sepertinya mereka kedapatan teman baru. Nayya menyipitkan mata ketika melihatnya. Berpikir keras, karena ia merasa mengenalnya. Kemudian matanya membulat.
"Kei...?"
***
Tbc.
Assalamu'alaikum... Jumpa lagi dengan saya 😊
Sesuai janji, aku bakal update tiap akhir pekan ya! Entah itu pagi, siang atau malam 😆 kadang aku lupa, jadi ingetin aja. Wkwk
Semoga suka!
Vomment boleh dong? 😆
Subang,
13 Agustus 2017.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro