Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Epilog

Yapppp sudah sampai di epilog..hihi nggak kerasa yaa ini udah di akhir dunianya Fian Karel.

Langsung aja deh happy reading guys 😉 hope you like this epilog 😂

🍁🍁🍁

Fian tertawa dengan Rain di ballroom hotel. Malam ini mereka sedang berkumpul untuk merayakan acara ulang tahun pernikahan Fian dan Karel. Tentu itu bukan rencana mereka, ini semua rencana Caramel dan si kembar yang dibantu oleh Rain, Fatar, Putri dan Cakra.

"Gue bener-bener nggak nyangka," ucap Fian sembari mengusap air mata harunya. Dia benar-benar senang malam ini. Sore tadi dirinya dibuat kesal karena Karel melupakan hari spesial ini, padahal tadi rencananya dia hanya ingin makan malam berdua dengan suaminya ternyata semua diluar ekspektasi.

Tadi Caramel minta untuk ditemani pergi ke acara pertunangan kakak temannya. Jadi dia sama sekali tidak curiga.

"Selamat atas ulang tahun pernikahanmu," ucap suara berat yang tidak asing untuk Fian. Fian reflek menoleh, matanya berbinar senang.

"Gavyn!!!" teriaknya girang. Fian sudah lama tidak bertemu dengan pria yang telah banyak membantunya ini. Pria yang memang sudah dia anggap sebagai kakaknya sendiri. "Mana dua anakku? kapan kamu akan membawa mereka kembali?" tanya Fian.

Gavyn terkekeh geli dan mengacak rambut Fian. "Satu minggu lagi Lyza akan kembali, tolong bilang pada Raka untuk menjemputnya. Anak itu tidak merindukan adiknya?" tanya Gavyn.

Memperhatikan wajah senang Fian, Rain ikut tersenyum lebar. Kemarin dia sengaja membujuk kakaknya untuk kembali ke Indonesia untuk menghadiri acara ini.

"Lyza kembali?? dia masih ingat aku kan? Ken bagaimana?" tanya Fian lebih antusias lagi. Dia benar-benar merindukan dua anak itu.

Ekspresi wajah Gavyn berubah, dia tersenyum kecil. "Ada banyak yang belum ku ceritakan, Ken sudah lama kembali ke Indonesia," jawabnya.

Baru akan bertanya, suara Caramel memotong obrolan penting ini. "Bunda.. Kara mau pergi ke, aduh," keluh anak itu saat keningnya menabrak punggung Gavyn. Caramel meringis kecil, sembari mengusap keningnya. "Ehh maaf Om, nggak sengaja," ucapnya dengan wajah memerah.

"Aduh Bunda udah bilang, kalau jalan sangan sambil mainin hp!" ucap Fian.

"Itu menurun dari lo Fi," kekeh Rain.

Gavyn hanya tersenyum. "Caramel? si bungsu yang paling cantik?" tanya pria itu.

Caramel mengerutkan keningnya, dia memperhatikan pria itu dari atas sampai bawah. Sepertinya dia belum pernah bertemu sebelumnya. "Om siapa ya?" tanya anak itu polos.

Gavyn tertawa, dia mengusap kepala Caramel. "Kamu sudah lupa, dulu kamu masih bayi saat ada di gendonganku," jawabnya.

Fian menyubit lengan Caramel. "Salim dulu! anak ini, dia itu Daddy Gavyn," jelas Fian.

Mata Caramel yang sudah bulat semakin membulat, mulutnya sedikit terbuka. "Bunda pernah nikah sama Om ini?" tanya Caramel masih dengan wajah syok.

Rain merangkul bahu Caramel. "Jangan sembarangan! Ayahmu bisa cemburu nanti," kekehnya.

"Mana mungkin," ucap Karel yang baru saja datang dengan Fatar.

Fatar mencibir pelan, "lo cemburu sama Gavyn dulu," ucapnya.

Gavyn tersenyum miring, dia mendekati Fian dan merangkul bahu wanita itu dengan santai. "Dia tidak cemburu Fi, tinggalkan saja dan menikah denganku," ucap Gavyn.

Karel melotot kesal, dia memukul lengan Gavyn yang ada di bahu Fian. Lengannya langsung menarik pinggang Fian agar berdiri di sampingnya. Semuanya kembali tertawa. Disini yang tidak tahu situasi hanya Caramel. Anak itu menonton dengan tampang bingung yang terlihat lucu.

"Sayang, Daddy Gavyn ini Ayahnya Kak Lyza dan Abang Ken yang waktu itu kamu tanyain, dia ini udah Bunda anggap kakak sendiri," jelas Fian.

"Ohhh gitu," ucap Caramel. "Pantes aja yaa Abang Ken ganteng, orang Ayahnya juga ganteng banget," ceplos Caramel hingga membuat semuanya terdiam dengan wajah heran.

Fian tersenyum penuh arti. "Kamu pernah liat Abang Ken yang sekarang? kok bilang kalau dia ganteng?" tanya Fian.

Caramel menggelengkan kepalanya. "Belum, tapi kebayang aja sih gantengnya kayak gimana, yahh siapa tau entar Abang Ken naksir sama Kara haha si Bayu kalah jauh deh!!" kekehnya.

Rain ternganga dan tertawa geli, "ini kamu ceritanya nyatain perasaan? di depan kamu lagi ada ayahnya cowok itu loh Ra," ucapnya geli.

Caramel melebarkan matanya, wajahnya langsung memanas. "Ohh iya lupa, aduh Bundaaa Kara malu!!" rengeknya sembari mendekati Fian.

Gavyn yang sejak tadi bengong langsung tertawa. Seperti melihat sosok Fian dulu. Dia menganggukan kepalanya. "Yaa ya nanti pasti disampaikan," ucapnya.

"Jangan Om! ehh Kara panggil apa nih?" tanya anak itu.

Gavyn mensejajarkan pandangannya pada Caramel. Senyumnya hangat menenangkan, "apapun yang bisa membuat Kara nyaman," jawabnya.

Caramel balas tersenyum, kepalanya mengangguk antusias. "Daddy Gavyn!!" panggilnya dengan cengiran lebar. "Jangan bilang yaa Dad, Kara malu," ucapnya masih dengan wajah yang bersemu merah.

"Isshh malu-maluin," ucap Fian.

Caramel cemberut kesal, dia melirik jam tangannya. "Ohh iya Bunda Ayah, Kara harus pergi ke rumah Umbel sebentar.. nggak apa-apa kan?" tanyanya dengan wajah berharap. Dia tidak berbohong untuk menghadiri pesta pertunangan kakak Umbrella.

"Yaudah, minta antar Abangmu yaa," ucap Fian sembari mengusap kepala Caramel.

Caramel berhormat ria. "Siap komandan, Bang Raka udah nunggu di depan," jawabnya. Dia menyalami semuanya kecuali Fatar. "Males salim sama Uncle lah, tangannya bau terasi," kekehnya.

Fatar terkekeh dan menjitak kepala Caramel. "Dasar! kamu dan Abangmu itu memang jahil," ucapnya. Minggu lalu dirinya dikerjai oleh Caramel dan si kembar, lengannya diolesi terasi saat mereka main ke rumah.

Caramel tertawa dan menyalami Fatar. "Uncle tersayang, besok Kara booking Bang Rasya yaa.." ucapnya. Dia kembali pada Gavyn. "Dad Kara pergi dulu, nanti kita sambung obrolin Bang Ken lagi deh," lanjutnya sebelum berdada ria dan pergi.

Fian tertawa geli melihat tingkah putrinya. "Aisshh anak ini, Ken mana mau sama anak selebor begitu," ucapnya.

"Dia pasti senang jika kenal dengan orang seaktif Kara," gumam Gavyn.

Fian terdiam, dia kembali mengingat obrolannya yang sempat terpotong oleh Caramel. "Jadi dimana Kenneth? kenapa dia di Jakarta dan aku tidak tahu?" tanya Fian.

Mendengar pertanyaan itu Karel dan Fatar ikut kaget. Hanya Rain yang tahu semua, itupun dia baru tahu kemarin. Ternyata selama ini hubungan Gavyn dan kedua anaknya kurang baik hingga meski Kenneth sudah kembali anak itu memilih untuk tidak tinggal di tempat keluarga ayahnya.

"Di tempat yang aman, aku selalu mengawasinya meski anak itu tidak tahu," jawab Gavyn dengan raut wajah datar yang terlihat sedih dari sinar matanya.

Fian masih belum bisa mengerti tentang semuanya. Keningnya berkerut semakin dalam. "Kenneth di sini dan kamu tetap di luar negri?" tanya Fian.

Gavyn tersenyum kecil, dirinya keluar negri agar orang-orangnya bisa dengan leluasa mengawasi putranya yang sudah mulai remaja. Jika dirinya disini maka tingkat kewaspadaan anak itu akan meningkat.

"Aku banyak pekerjaan disana," jawab Gavyn dengan santai.

Fian ternganga, dia memukuli lengan Gavyn. "Dasar!! memangnya uangmu itu bisa membuat Ken dekat dengan kamu??" omelnya.

🍁🍁🍁

"Ada apa?" tanya Karel saat mereka berdua sudah masuk ke kamar yang telah di pesan oleh sahabatnya.

Fian menggeleng pelan, dia tersenyum menatap sekeliling kamar yang telah dihias. "Aku senang," gumamnya. Meski baru saja mendengar kabar yang tidak enak tapi dirinya percaya Gavyn bisa menyelesaikan masalahnya.

Karel ikut tersenyum, dia menghela nafas. "Maaf hari ini membuatku kesal," ucapnya.

"Kamu memang selalu membuatku kesal setiap hari," jawab Fian dengan santai. Masih dengan mata yang berbinar senang, Fian membuka balkon kamar ini. Lampu-lamou di bawah sana menyambut mata mereka. Warna-warninya menimbulkan kesan indah yang manis.

"Kamu terlihat sangat senang, maaf aku tidak pernah memberikan kejutan ini sejak dulu," ucap Karel sembari memeluk Fian dari belakang.

Fian tersenyum, dia menoleh sedikit. Matanya menatap wajah Karel yang sedang menatap jutaan lampu di bawah sana. "Kamu tahu? aku lebih suka makan malam berdua dibandingkan dengan pesta sebesar ini," jawabnya.

Karel menoleh, dia mengerutkan keningnya hingga Fian terkekeh kecil. Jemarinya mengusap kerutan itu. "Aku suka setiap moment saat kamu dan aku bersama, apapun itu," lanjutnya. Fian membalikkan tubuhnya dan melingkarkan lengannya pada leher Karel.

Di bawah cahaya bulan, wajah Fian terlihat bersinar. Raut bahagia tergambar jelas disana. Karel merangkum keseluruhan wajah Fian dengan pandangan matanya yang setajam elang.

"Cantik," gumamnya tanpa sadar.

Fian terkekeh geli, dia menjawil hidung Karel. "Kita sudah terlalu tua untuk bergombal ria," ucapnya.

Karel tersenyum, dia mengecup lama kening Fian. "Aku serius, kamu selalu terlihat cantik. Terima kasih atas dua puluh lima tahun kesetiaanmu," bisiknya.

Air mata itu menetes lagi, semuanya terlalu membahagiakan hingga rasanya sulit untuk mengungkapkannya. Tangan Fian mengusap rahang Karel. "Terima kasih juga untuk dua puluh lima tahun ini," gumamnya.

Karel tersenyum dan menangkup wajah Fian dengan lengannya. Pandangan mata itu selalu membuat Fian merasa ingin meleleh. Ditatap sehangat ini oleh Karel selalu membuatnya merasa menjadi orang paling istimewa untuk pria itu.

"Ada banyak yang ingin aku bicarakan tapi malam ini bukan waktunya untuk bicara," ucap Karel sembari mengedipkan satu matanya. Sepertinya ini ajaran dari si kembar.

Fian melebarkan matanya saat Karel membopongnya. Lengannya langsung melingkar di leher Karel. "Yaa aku memang tidak suka banyak bicara, langsung praktik saja," kekeh Fian.

Karel tertawa dan mengecup bibir Fian sekilas. "Nakal," gumamnya.

Seperti malam-malam romantis mereka, malam ini adalah list moment indah dalam hidup Fian. Semua moment indah jika Karel selalu berada di sampingnya. Karena itu Fian selalu berdoa agar pria ini selalu dilindungi dimanapun dia berada.

Fian menyandarkan kepalanya di dada Karel. Senyumnya masih mengembang sempurna.

"Kamu tahu peetemuan pertama kita?" tanya Karel.

Fian mendongak, "tentu saja, saat aku masuk ke kantor untuk pertama kali kan? itu moment yang tidak akan aku lupakan, kamu dengan wajah dingin yang hawanya menyeramkan," jawabnya.

Karel menggeleng pelan, "kita pernah bertemu sebelum itu," ucapnya.

"Ehh? kapan?" tanya Fian dengan kening berkerut.

Mata Karel menerawang, saat itu dirinya benar-benar tertarik dengan sifat Fian yang tergolong unik baginya. Selama ini dia dikelilingi orang-orang normal kecuali ibunya hingga hidupnya terasa membosankan. "Saat di rumah sakit, kamu menabrakku dan bukannya minta maaf kamu justru menyalahkanku," jelasnya.

Fian menggigit bibirnya, mencoba untuk mengingat kejadian itu.

"Aduh Masnya gimana sih? kalau jalan itu mata sama kaki harus kerja sama biar kompak," ucap Karel mempraktikan kata-kata Fian saat itu.

Fian melebarkan matanya, dia ternganga. Saat itu dirinya sedang buru-buru ke toilet, jika bisa dicatat mungkin itu adalah salah satu hari memalukan dalam hidupnya. Menabrak pria tampan dan marah-marah tidak jelas karena salah tingkah. Jadi pria itu adalah suaminya sendiri, kemana saja dia selama ini sampai tidak sadar.

"Kamu sangat manis meski hanya menggunakan jeans dan kaus yang besar itu," ucap Karel sembari memainkan rambut Fian. "Kalau saya tidak salah, kamu yang menabrak saya, haha hanya itu yang bisa kuucapkan karena terlalu takjub melihat kelakuanmu."

Fian tersenyum malu, dia menenggelamkan wajahnya di dada Karel. "Idih Masnya nggak peka? belom pernah denger kalau cewek selalu bener ya? mau cewek yang salah tetep aja dia bener, itu jawabanku karena salah tingkat melihat kamu," jawabnya. Keduanya tertawa mengingat moment itu. "Tapi saat itu kamu minta maaf? padahal kamu pasti tahu aku yang salah."

Karel mengangguk, dia mengecup kepala Fian. "Aku juga tidak tahu, rasanya menyenangkan bisa bertemu dengan kamu apalagi saat bertemu kamu di kantor, seperti kebetulan yang menyenangkan," ucapnya.

Setiap orang memiliki takdirnya masing-masing dan takdir mempertemukan mereka dengan cara yang begitu indah dan tidak terduga. Jika bukan karena masalah Karel dan Rain, maka Fian tidak akan ada disini. Jika bukan karena masalah Karel dan Rain maka Rain tidak akan sadar bahwa cintanya adalah untuk Fatar. Semua memang telah diatur, kesalahan dan masa lalu adalah pembelajaran yang paling berharga. Dari semua kesalahan itu, mereka semua belajar banyak tentang arti kesetiaan, tentang definisi cinta sesungguhnya yang tidak akan menyakiti banyak pihak.

"Tidak ada garis lurus yang dibuat secara sengaja, sama seperti takdir pertemuan kita. Semua telah diatur dengan indah," ucap Fian dengan mata menerawang.

Karel setuju dengan ucapan Fian. Dulu dirinya bisa saja memilih gadis lain untuk pura-pura menjadi istrinya. Mungkin hanya tinggal menunjuk orangnya maka dia akan mendapatkan itu, tapi dirinya justru memilih bersusah payah membujuk Fian yang memang sejak awal telah menolaknya.

"Hemm dua puluh lima tahun, sebentar lagi Raka akan menikah lalu setelah itu si kembar dan setelah itu Kara. Kita akan jadi Nenek Kakek, rasanya waktu berjalan sangat cepat," gumam Fian.

Karel terkekeh geli mendengar ucapan Fian. "Iyaa kita akan melamar seorang gadis untuk putra pertama kita lalu untuk si kembar dan setelah itu aku akan menjadi wali saat putri kita menikah," jawabnya.

Fian mendongak, "nanti kalau kita sudah tua, kita pasti akan kesepian karena mereka sibuk dengan urusannya masing-masing," ucapnya.

"Ada aku di sampingmu, kita akan menghabiskan waktu berdua sembari melihat senyum bahagia mereka dan berdoa untuk kelancaran hidup mereka dan keluarganya kelak," jawab Karel.

Fian mengangguk setuju, dia membayangkan masa tua itu. Masa yang akan sangat indah. Berikanlah umur panjang bagi kami untuk dapat berkumpul bersama hingga kami tua kelak, doanya.

Fian mengecup bibir Karel. "I love you my handsome husband," kekehnya.

Karels tersenyum, dia balas mengecup bibir Fian yang selalu terasa manis. "Love you more my sweet little cupcakes," bisiknya sebelum kembali mengecup bibir Fian.

🍁🍁🍁

Berbeda dengan suasana kamar hotel yang penuh dengan nuansa romantis. Di rumah suasana sangat kacau. Sudah hampir pukul dua belas malam dan Caramel belum juga pulang.

Wajah Rafan dan Arkan nampak cemas. Mereka terus berusaha menghubungi ponsel adiknya itu. Jika ada sesuatu yang terjadi pada adiknya itu maka merekalah yang akan merasa paling bersalah karena tadi tidak sempat menjemput Caramel.

"Dek lo dimana sih," gumam Arkan sembari mengacak rambutnya dengan wajah prustasi. "Nomernya masih nggak aktif," keluhnya.

"Gue telpon Bella, katanya Kara udah pulang dua jam yang lalu," ucap Rafan.

Arkan ternganga, dia membenturkan kepalanya di meja pantri. "Mati gue kalau dia kenapa-kenapa," keluhnya.

Rafan melotot kesal, "jangan bicara sembarangan!" omelnya. Jarum jam terus bergerak, malam semakin sunyi karena para pekerja sudah muali tidur di kamar masing-masing.

Dari luar suara mobil yang Raka pakai terdengar. Rafan dan Arkan saling berpandangan mereka langsung pergi menghampiri abangnya itu.

"Masuklah, aku langsung pulang," ucap Raka pada Chika. Iyaa pulang, sejak Chika tinggal disini, Raka pindah ke apartemen yang ia beli sendiri dengan tabungannya selama bekerja di kantor Karel.

Chika mengangguk, "thanks Ka, take care," ucapnya.

"Abang!!" teriak Arkan saat melihat Raka ingin masuk ke dalam mobil.

Raka mengerutkan kening melihat kedua wajah adiknya ini terlihat cemas. "Ada apa? kalian tidak buat ulah lagi kan?" tanya Raka.

Rafan menghela nafas berat, dia harus menyiapkan diri dulu sebelum menceritakan semua pada Raka karena sudah pasti abangnya ini akan marah besar.

"Kara belum pulang Bang," ucap Rafan sembari menundukan kepalanya.

Raka melebarkan matanya, dia melihat jam di pergelangan tangannya. "Apa?? kalian tidak menjemputnya?" tanya Raka dengan tajam.

"Maaf Bang tadi Arkan dan Rafan ada urusan," jawab Arkan.

Raka menggeram kesal, tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih. "Bodoh! kalian tahu Kara itu cerobohkan? bagaimana kalau dia dikerjai orang di jalan?" tanya Raka dengan emosi.

Mendengar omelan itu, mereka hanya bisa menunduk. Itu yang sejak tadi mereka takutkan. Kara itu ceroboh, mudah percaya dengan orang lain, sangat bahaya kalau dilepaskan malam-malam begini.

"Kaka tenang! Kara pasti baik-baik aja, mungkin dia sedang main di rumah temannya," ucap Chika.

"Mana bisa aku tenang? Kara di luar sana malam-malam begini!" geramnya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi orang-orang ayahnya untuk mencari Caramel.

"Jangan laporkan pada Ayah dulu," pesan Raka sebelum mematikan sambungan telponnya.

"Kalian masuk saja ke rumah," suruh Raka.

"No Bang, aku akan cari Kara bukan hanya Abang yang khawatir, aku juga," jawab Rafan. Arkan mengangguk setuju, dia juga tidak bisa hanya duduk berpangku tangan menunggu kabar di rumah.

Raka menghela nafasnya, dia mengurut keningnya. Jika sesuatu terjadi pada Caramel dia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. "Ayo kita cari sama-sama," ucap Raka.

Rafan dan Arkan mengangguk dengan senyum tipis. Mereka tahu, yang terpenting saat ini adalah menemukan Camarel.

"Tunggu-tunggu!!" cegah Chika.

Suara berisik motor melaju cepat melewati rumah mereka.

"Kenapa Kak? kita harus buru-buru nih, sekarang lagi ngetrand geng motor yang suka bikin rusuh di jalanan," ucap Arkan.

Chika tersenyum lebar, dia menunjuk pintu pagar. "Itu Kara," ucapnya.

Mendengar itu, ketiganya refleks menoleh kearah pagar. Disana, Caramel berjalan pelan seperti orang sempoyongan. Raka langsung berlari menghampiri adiknya itu.

"Kara! kamu kemana saja?" tanya Raka to the point.

Caramel yang memang sepertinya sedang setengah sadar hanya menampakan wajah bingungnya. "Ehh kenapa? Bang Raka bilang apa?" tanya anak itu.

Raka menangkup wajah Caramel. Matanya dengan meneliti setiap sudut wajah adiknya, setelah itu dia memeriksa tangan Caramel. "Tidak ada luka kan?" tanya Raka dengan wajah panik.

"Luka apa? Kara nggak jatoh," jawab Caramel dengan wajah bingung.

Raka menghela nafas lega, dia memejamkan matanya. "Kamu mau bikin Abang jantungan Ra?" tanya Raka.

Rafan dan Arkan ikut mendekat, mereka memeriksa Caramel. "Aman," gumam Rafan dengan lega.

"Lo yaa!! kenapa ponsel lo nggak bisa dihubungin? seneng liat abang-abang lo khawatir ya?" omel Arkan.

Caramel mengerjapkan matanya, "ponsel? iya ponsel gue kemana yaa?" tanyanya.

Arkan ternganga, dia menyentuh kening adiknya. Tidak demam, tapi kenapa sikap Caramel terlihat aneh. Dia mendekat, hidungkan mengendus untuk memeriksa apakah ada aroma alkohol tapi nihil.

"Dia nggak minum, tapi kenapa kaya orang nggak sadar gini sih?" tanya Arkan.

Rafan mengetuk kepala saudara kembarnya itu. "Mana mungkin Kara minum? dia minum teh kebanyakan aja mabok," jawabnya.

Arkan mengangguk setuju, itu memang tidak mungkin. Matanya langsung melebar, "jangan-jangan dihipnotis orang?" tanya Arkan dengan wajah kembali panik.

Raka terdiam, dia langsung merangkul Caramel. "Kita masuk, di luar dingin," ucapnya sembari menuntun adiknya itu. Dia menuntun Caramel untuk duduk di sofa ruang tamu. Chika langsung berinisiatif mengambil minum untuk Caramel.

Caramel duduk diapit oleh Raka dan Rafan, di sebrang ada Arkan yang masih memperhatikan wajah bingung itu.

"Semuanya cepet banget, gilaa.. gue masih hidup!" gumam Caramel dengan menggelengkan kepalanya.

Raka mengerutkan keningnya. "Kara kenapa? tadi itu siapa?" tanya Raka. Raka kenal siapa saja teman Caramel, dan yang tadi mengantar adiknya pulang jelas bukan teman.

Caramel menoleh pada Raka, dia menggelengkan kepalanya. "Kara nggak tahu Bang, ohh iya coba jelasin sama Kara kenapa naik motor rasanya bisa kaya terbang??" tanya anak itu.

Arkan mengerutkan keningnya, "lo kenapa sih?" tanyanya dengan wajah semakin bingung.

Raka mengusap kepala Caramel, baginya yang terpenting adalah adiknya ini pulang dengan selamat tanpa luka sedikitpun. Dia mengambil minuman yang tadi di bawa oleh Chika. "Minum dulu," ucapnya.

Caramel tersenyum dan meminum air itu sampai habis. "Ahh rasanya kaya mimpi," gumamnya.

"Sebenarnya kemana kamu tadi?" tanya Raka setelah adiknya sudah kembali normal.

Caramel merubah posisi duduknya agar bisa menghadap Raka. "Pulang Bang, Kara tadi mau pulang.. tapi malem ini kayanya taxi emang lagi susah banget, terus Kara jalan sampai di jalanan yang rame dengan motor dan cowok yang wajahnya serem-serem, Kara bilang sama mereka permisi numpang lewat," ceritanya.

"Ihh begonya keterlaluan," gumam Arkan.

Rafan menepuk keningnya sendiri. Adiknya ini benar-benar harus dijaga dengan ketat.

"Tarus Abang semua tau apa yang mereka bilang??" tanya Caramel. Raka menggeleng diikuti oleh yang lainnya. "Mereka bilang wihh ada cewek cantik nyasar, lumayan nih mangsa, gitu katanya! kan kurang ajar!" lanjutnya dengan berapi-api.

Raka menggeretakan rahangnya. "Apa yang mereka lakukan padamu?" tanya Raka.

Caramel berdecak kesal, "nanti dulu Abang! Kara belum selesai cerita," omelnya. Dia kembali menerawang. "Kara marah sama mereka, yaudah Kara bentak. Maksud lo apa ngomong begitu?" ceritanya sembari mempraktikan cara dia membentak gerombolan itu. "Kara samperin mereka Bang tapi kaki Kara kesandung terus badan Kara jatoh di motor yang parkir berjejer. Motornya jatoh Bang! merembet semua! terus mereka marah sama Kara padahal Kara kan nggak sengaja," lanjutnya.

Arkan semakin membuka mulutnya lebar-lebar. "Gila, bisa jantungan kalau Bunda denger," desisnya.

"Semua marah, sampai dia dateng pake motornya yang bener-bener canggih, Abang harus liat ekspresi takut dari gerombolan serem itu! ckck pasti dia bener-bener hebat," gumam Caramel dengan senyum lebarnya.

Raka sejak tadi hanya diam mendengarkan cerita Caramel seperti biasanya. Dia sesekali mengusap kepala adiknya itu.

"Pemimpin gerombolan itu bilang sama antek-anteknya, ngapain kita takut? dia sendiri dan kita ramean! ayo serang dia! dan abis itu dia nyamperin Kara pake motornya yang keren itu sampe semua pada minggir karena takut ketabrak hihi keren banget kan dia Bang?" tanya Caramel. Tidak ada raut takut di wajah itu, yang ada hanya ekspresi bahagia yang beberapa hari ini jarang Raka temukan.

"Dia bisikin Kara untuk cepet naik ke motornya, dan waktu sedeket itu Kara liat matanya, yaampun!!! gimana Kara bisa suka cuma dari matanya??? naik motor sama dia rasanya kaya terbang, pas di tikungan nih yaa," Caramel mengangkat telapak tangan kanan dan kirinya. "Ini aspal ini muka Kara, deket kan??" tanya Caramel lagi.

Raka mengerjapkan matanya, dia menepuk bahu Caramel. "Dengar Abang, apapun itu malam ini Kara sedang beruntung. Jangan ulangi lagi, telpon Abang atau yang lain kalau ingin pulang, mengerti?" tanya Raka.

Caramel menganggukan kepalanya. Dia tersenyum lebar dan menyandarkan kepalanya di bahu Raka. "Kira-kira cowok itu namanya siapa yaa? Kara mau ngucapin terima kasih," gumamnya.

Raka menghela nafas, dia menepuk-nepuk kepala Caramel. "Dia pasti tau kalau kamu ingin berterima kasih, huhhh sudah waktunya tidur! pergi ke kamarmu, Abang harus pulang sekarang," ucapnya.

Caramel menganggukan kepala, dia mengecup pipi Raka. "Dada Bang, take care," ucapnya sebelum pergi ke kamarnya. Rafan dan Arkan mengikuti Caramel ke atas sedangkan Chika masih menemani Raka di ruang tamu.

Chika menepuk pelan lengan Raka. "Are you okay?" tanya gadis itu melihat Raka yang terdiam cukup lama.

"Yahh," jawabnya sembari bangkit dari duduknya. "Aku titip adik-adikku," ucap Raka pada Chika.

Chika tersenyum dan mengangguk. "Iyaa tenang saja," jawabnya. Raka menghela nafasnya dan berbalik keluar rumah.

Di atas, Rafan dan Arkan masih setia mendengarkan lanjutan cerita Caramel di kamar gadis itu. "Yahh yang penting kamu selamat," ucap Rafan.

"Iyaa karena dia aku selamat," jawab Caramel.

🍁🍁🍁

Hari ini Fian dan Karel sudah kembali ke rumah. Tidak ada yang menceritakan kejadian semalam pada mereka. Semua bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

Mereka sedang berkumpul di meja makan sekarang. Fian menatap bingung putrinya yang sejak tadi senyum-senyum tidak jelas. "Ini anak kesambet apa sih semalem?" tanya Fian.

Caramel mengerjapkan matanya, cengiran lucu menghiasi wajah manis itu. "Hehe nggak Bunda," jawabnya.

Karel tersenyum geli dan lanjut membaca tabnya. Minggu pagi seperti ini memang paling enak bersantai dengan membaca berita ditemani black coffe favoritnya.

"Ehh sini dulu!!" perinta Fian saat melihat kedua putranya sudah siap dengan pakaian basketnya. "Adik kamu kenapa?" tanya Fian dengan wajah penarasan.

Rafan duduk di samping Fian dan memakan roti di piring bundanya itu sedangkan Arkan bertopang dagu menatap Caramel yang kembali tersenyum dengan mata menerawang.

Arkan mengambil gelas yang berisi sedikit air dan langsung menyiramkannya pada Caramel hingga membuat Fian ternganga.

"Takut kesurupan Ndaa," jelas anak itu pada bundanya.

Caramel melebarkan matanya, dia mengusap wajahnya yang basah. "Ihh Abang!! kok gue disiram??" protesnya sembari mengusap kasar wajahnya.

Karel menggelengkan kepala. "Arkan jangan mulai," ucap Karel.

Arkan terkekeh. "Maaf Yah, abis takut dia kesurupan," jawabnya. Dia beralih pada Caramel. "Masih untung cuma gue guyur! daripada gue seret ke tempat rukyah?" tanya Arkan.

Caramel melotot kesal dan melempar apel ke wajah abangnya yang dengan gesit menangkap apel itu. "Sembarangan!" omelnya. "Ayah Bunda!! Abang nih!!" rengeknya.

Rafan terkekeh, "makanya Ra jangan senyum-senyum gitu! nyeremin," ucapnya.

Fian mengangguk setuju, dia juga sempat memiliki ide untuk mengguyur Caramel agar sadar tapi tidak tega. "Benar, kamu yang aneh," ucapnya.

Caramel cemberut kesal, dia menoleh pada ayahnya. "Ayah.. semua nyebelin," rengeknya.

Karel tersenyum dan mengacak gemas rambut putrinya. "Sini duduk dekat Ayah," ajaknya. Caramel mengangguk dan langsung menggeser kursinya agar lebih dekat dengan Karel. "Diam disini," perintah Karel.

Di dekat Karel, kedua abangnya tidak akan bisa menjailinya. Caramel memeletkan lidah dengan wajah meledek. Rafan dan Arkan hanya bisa tertawa geli melihat ekspresi kemenangan yang terlihat jelas di wajah Caramel.

Telpon berdering, pelayan yang sedang berada di dekatnya langsung mengangkat.

"Maaf Nyonya.. ada telpon untuk Nyonya," ucap pelayan itu.

Fian mengangguk dan pergi untuk mengangkat telpon. "Yaa halo?" sapanya.

Di meja makan semua masih sibuk dengan aktivitasnya masing-masing sampai Fian kembali dengan senyum yang menurut mereka aneh. Ini senyum yang sering Fian tampilkan saat membuat hukuman untuk anak-anaknya.

Rafan mencium adanya hal tidak enak. Dia berdeham pelan. "Emm Ndaa, Rafan berangkat dulu yaa udah telat," pamitnya.

"Ehh Arkan juga deh," ucapnya.

Fian tersenyum semakin lebar. "Mau kemana buru-buru banget, sini aja dulu sama Bunda," ucapnya.

"Ehh tapi Nda.." ucap Rafan.

"Duduk Bunda bilang," ucap Fian lagi dengan nada yang lebih tegas.

Rafan mengehal nafasnya, sudah terlambat. Dia duduk di samping Arkan dan menunggu ocehan bundanya.

"Rafan minggu ini udah bolos berapa kali? terus Arkan minggu ini ikut tauran dimana lagi? dan anak Bunda yang paling cantik Kara, ulangan harian kemarin dapet nilai berapa aja?" tanya Fian.

Ketiganya melebarkan mata. Bagaimana bundanya bisa tahu masalah ini. Mereka terdiam dan menundukan kepalanya.

Karel menghela nafasnya, dia meletakan tab yang ia genggam di meja. "Kalian sudah besar, Ayah tidak perlu memberitahu mana yang baik dan mana yang salah," ucapnya dengan santai.

Fian menatap ketiga anaknya dengan pandangan tajam. "Lihat? kurang baik apa Ayah? pokoknya kalian harus dihukum!" ucapnya.

Caramel langsung menganggukan kepala. "Siap Ndaa.. Kara siap disuruh nguras kolam renang sama Mang Ujang!" ucapnya.

Fian tersenyum dan menjawil hidung putrinya. "Kali ini hukumannya bukan itu," jawabnya.

"Terus apa?" tanya Arkan.

"Hemm apa yaa.. hemm gimana kalau nggak ada jatah tambahan uang jajan selama tiga bulan?" tanya Fian.

Ketiganya langsung diam, mereka saling berpandangan satu sama lain. "Nggak bisa gitu dong Nda! Rafan butuh untuk motor Rafan," protesnya.

"Iyaa.. Kara juga mau ada acara sama temen-temen, masa nggak ada uang tambahan," keluhnya.

Arkan mengangguk. "Bener!! yang lain ajalah Ndaa apa aja deh asal jangan ngusik uang saku," negonya dengan wajah memohon.

"Kamu kira ini pasar! nggak ada tawar-tawaran.. udah sana katanya mau berangkat?" tanya Fian pada si kembar.

Caramel menarik kemeja ayahnya dengan pandangan puppy eyes andalan seperti biasa. "Ayah.. Bunda nih," rengeknya.

Karel mengusap kepala putrinya. "Masalah uang kalian itu mutlak urusan Bunda sayang," jawabnya.

Caramel mengerucutkan bibirnya. "Alamat kelaperan deh gara-gara nabung.." lirihnya dramatis.

"Hehe gitu yaa?? nggak usah lebay! udah Rafan Arkan kalian berangkat! Kara mending kamu belajar daripada senyum-senyum aneh kaya tadi," perintah Fian.

Caramel dan kedua abangnya bangkit, mereka berdimpitan dan saling berbisik. "Bunda nggak asik," bisik Arkan.

"Iyaa emang nggak asik!" jawab Caramel.

"Yaa yaa Bunda denger itu," gumam Fian.

Ketiganya menoleh dengan cengiran palsu dan langsung kabur sebelum mendengar Fian menambah hukaman mereka.

"Aisshh dasar," ucap Fian sembari bertopang dagu.

Karel mendengus geli menyaksikan perdebatan antara istri dan anak-anaknya. Pemandangan yang memang sering dia lihat dan itu selalu membuatnya ingin tertawa. Tanpa perdebatan seperti itu toh rumah ini akan terlihat sepi dan tidak menyenangkan untuk dihuni.

"Kamu terlihat cantik saat marah," bisik Karel.

Fian melotot kesal, "jangan mulai!" omelnya. Melihat senyum Karel tetap terukir mau tidak mau Fian ikut tersenyum juga pada akhirnya.

🍁🍁🍁

Dannn selesailah NADW 😀

Terima kasih atas antusiasme para readers NADW selama part awal sampai akhir..

Terima kasih untuk vote dan komen kalian. Asli aku selalu ketawa ngakak kalau ada koment lucu dari kalian. 😂😂😂

Thanks juga untuk yang baca tapi nggak ngevote karena seenggaknya udah mau bacaa.. 😂

Intinya thank you so much guysss 😘😘😘😘

Ohh iyaaa setelah jam 12 malemm.. apadah.. wkwk serius, mulai besok NADW akan di privat karena syudah selesai, di privat secara acak yaa.. 😉

Kita ketemu di story2 ku yang lainnya yaaaa see youuuuu 😘😢#pelukjauh#iloveyoureaders

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro