Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Makan Siang dengan Karel (Repost)

HAPPY READING GUYS 😘😘😘

🍁🍁🍁

Karel menatap Fian yang baru saja masuk ke dalam rumah. Dalam hati dia mengucapkan banyak terima kasih pada gadis itu. Seandainya saja dirinya tidak terjebak dalam kisah cinta yang rumit dengan Rain maka Karel tidak akan membuat gadis sebaik Fian kesusahan seperti sekarang ini. Karel menghela nafas berat, dia mengikuti Fian masuk ke dalam rumah.

Hari sudah mulai gelap. Fian berpamitan pada keluarganya karena memang mereka harus kembali ke Jakarta. Wajah Fian nampak sedih saat pamit pada ibunya.

"Fian pulang Bu, Ibu baik-baik disini," ucap Fian.

Nita mengangguk, dia mengusap kepala Fian. "Hati-hati yaa, Ibu selalu doa yang terbaik untuk kamu," ucapnya.

Fian tersenyum, dia beralih pada ayahnya. "Jaga kesehatan Ayah, Fian pulang Yah," pamitnya.

Aryo tersenyum dan mengangguk. Tidak terasa putrinya sudah dewasa. Waktu berjalan sangat cepat, seingatnya dia baru saja menggendong Fian kecil yang menangis minta susu dan saat ini putri sulungnya datang ke rumah dengan membawa calon suami.

Fian pamit pada kedua adiknya yang terlihat sedih. Wajar saja, Fian sangat dekat dengan adik-adiknya.

Ketika Fian hendak menaiki mobil, Aldo tiba dengan motor matic merahnya. "Loh Mbak Fian?"

Fian menoleh, senyumnya mengembang. Dia langsung berlari dan memeluk adiknya itu. Selama ini Aldo adalah adik sekaligus teman untuk menceritakan masalah apapun. "Kamu ini lama sekali kuliahnya, Mbak sekarang harus kembali ke Jakarta," omel Fian dengan wajah kesal.

"Haha maaf Mbak, tadi ada acara di kampus. Kenapa pulangnya sebentar sekali?" tanya Aldo.

Karel menghampiri keduanya dengan senyum ramah. "Saya Karel, calon suami Fian." Tangannya terulur pada Aldo.

"Ehh?" Aldo melirik Fian. Masalahnya Fian tidak pernah menceritakan tentang pria ini sebelumnya. "Aku Aldo adiknya Mbak Fian, ada acara apa ini kemari ramai-ramai?"

"Aku baru melamar kakakmu," jawab Karel.

Mata Aldo melebar. "Yaampun! Aldo melewatkan acara penting, Mbak ini bagaimana sih, acara sepenting ini kenapa tidak mengabari dulu sejak kemarin? Kalau tau akan ada lamaran Aldo tidak akan masuk kuliah."

Fian tersenyum miris, ini memang tidak direncanakan Aldo, batin Fian. Aldo curiga melihat wajah murung kakak perempuannya itu, meskipun samar tapi Aldo bisa melihat dengan jelas.

🍁🍁🍁

Fian merengangkan kedua lengannya. Rasanya tubuhnya terasa sakit karena terlalu lelah. Lingkaran hitam di bawah mata Fian juga terlihat jelas. Semalam setelah tiba di apartemen, Fian tidak bisa langsung tidur karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan malam itu juga. Seperti ada magnet kuat dari meja Fian hingga kepalanya terasa ingin menempel terus.

"Sabar, sebentar lagi jam istirahat," gumam Fian sembari menatap jam tangan.

Matanya mengerjap agar bisa kembali fokus pada layar komputer di depannya. Tulisan-tulisan itu terlihat seperti garis lurus tanpa bentuk di mata Fian. Dia menyerah, matanya sudah tidak bisa diajak bekerja sama.

Fian memelih untuk pergi ke toilet, disana dia bisa membasuh wajah sekaligus beristirahat sejenak. Langkah kakinya terhenti saat mendengar namanya disebut.

"Jadi bos beneran mau nikah? gila! beruntung banget si Fian, baru berapa bulan udah bisa ngejinakin Pak Karel."

Fian berusaha menahan tawanya, memang menjinakkan singa yang sedang lapar itu sangat sulit, dan Karel bukan hanya seperti singa yang sedang lapar, tapi juga seperti singa yang sedang datang bulan. Fian membuka pintu itu dan kedua orang yang sedang membicarakannya langsung terdiam. Sebenarnya Fian tidak masalah jika semua orang membicarakan hal aneh tentang dirinya, toh mereka tidak tahu apa yang terjadi.

Dua orang itu langsung pergi meninggalkan Fian sendiri di toilet. Fian menghela nafas panjang, dia membasuh wajahnya dengan air. Rasa segar itu mengalir hingga kepala. Matanya mulai terbuka, tadi rasanya membuka mata saja berat. Ponsel Fian berdering, nama Karel muncur di layar kotak itu.

Pria ini memang tidak bisa melihat karyawannya bersantai. Dengan terpaksa Fian mengangkat telepon itu.

"Fian! ke ruangan saya sekarang." Sambungan itu langsung dimatikan secara sepihak.

Rasanya Fian ingin sekali melempar ponsel. Seenaknya saja memberikan perintah. Bossy sekali. Dengan langkah cepat Fian pergi ke ruangan Karel.

"Ada apa Pak?" tanya Fian.

"Mana dokumen rapat besok? rapat dimajukan siang ini," ucap Karel.

Fian terbelalak kaget, bagaimana bisa dimajukan begitu saja. Dokumen itu belum selesai karena tadi matanya sudah tidak sanggup. Bagaimanapun Karel pasti akan mengamuk.

Siap-siap telinga deh, batin Fian. "Emm, begini rekapnya belum selesai kar-"

"Apa?" tanya Karel memotong ucapan Fian.

Fian menunduk, dia sudah siap mendengar semua ocehan Karel. Sudah dia duga kalau Karel akan mengomel panjang dan lebar.

"Kenapa belum selesai? kau ini bisa kerja tidak? saya tidak tolerir apapun. Semua harus profesional, jangan manja!" Omelan Karel terdengar pedas untuk Fian. Siapa yang manja.

Karel bangkit dari kursinya. "Kerjakan semua, tidak ada jam istirahat untukmu."

Pipi Fian memerah karena emosi. Padahal semua ini terjadi karena Karel yang selalu seenaknya dalam bertindak. "Maaf saya bukan manja, seharusnya kemarin saya bisa menyelesaikan semua tapi ada seseorang yang seenaknya mengajak saya keluar kota, tadi saya juga sudah berusaha menyelesaikan tapi saya kelelahan."

Karel mengerti sindiran dari Fian untuknya. "Fi, aku menuntut profesionalitas." Wajah Karel terlihat lelah bahkan lebih lelah dari Fian. "Bawa kemari berkasnya, kita kerjakan sama-sama."

Fian menatap wajah Karel, dibawah mata tajamnya juga ada lingkaran hitam, jelas kalau pria itu juga kurang tidur. Seketika ada sedikit rasa bersalah yang menyusup dalam hati Fian.

"Tidak usah, maaf saya kurang sopan. Akan saya selesaikan secepatnya."

Fian segera keluar dari ruangan. Batinnya berteriak, apa-apaan ini, kenapa dia harus merasa bersalah pada Karel dan terlihat lemah seperti sekarang ini.

Jam istirahat datang, Karel menghampiri Fian setelah keluar dari ruangan. "Ingin makan apa?"

Fian mendongak kaget, jantungnya kembali berdetak cepat. Mungkin karena kaget, pria yang sejak tadi memenuhi kepalanya sekarang sedang berdiri di depanya. "Tidak usah, saya tidak lapar Pak," jawab Fian dengan cepat. Bohong, perutnya sangat lapar sekarang.

Karel memandang Fian sejenak sebelum mengangguk dan pergi begitu saja.

"Enggak peka! emang enggak keliatan kalau gue kelaperan? bujuk gue dong toh gue calon istrinya," omel Fian.

Tiga puluh menit kemudian pekerjaan ini akhirnya selesai. Fian bernafas lega, dia melirik jam tangannya, jam istirahat sudah hampir habis, tidak ada waktu untuk makan. "Dasar.. jadi enggak bisa makan siang deh," keluh Fian.

Karel datang dengan plastik berlogo restoran cepat saji yang berada didekat kantornya. Dia melirik Fian sekilas. "Masuklah, ayo makan bersama." Karel masuk keruangannya meninggalkan Fian yang melongo.

Fian menepuk pipinya sendiri, baru saja bosnya yang menyebalkan itu mengajaknya makan siang bersama. Ada angina apa sampai Karel bisa berubah menjadi baik.

"Aduh! pipi gue kenapa panas gini sih!!!" seru Fian.

Fian masih memegangi kedua pipinya kemudian masuk ke ruangan Karel. Di sofa, Karel sudah melonggarkan dasinya, dengan rambut yang sedikit berantakan saat ini Karel tampak lebih tampan. Ohh tidak, Karel memang selalu tampan.

Mereka makan dalam diam, sesekali Fian mencuri pandang. Dia menggeram kesal, gila! ini sih namanya kalah sebelum perang, batin Fian. Dia tidak ingin jatuh cinta pada Karel sebelum Karel jatuh cinta padanya.

Pintu dibuka secara tiba-tiba. "Ciyee sedang makan bersama!! ternyata Kakak yang dingin ini bisa romantis juga," kekeh Kinan.

Karel berdecak kesal, adiknya ini selalu saja ada dimana-mana. "Pulang Kinan, Kakak sedang sibuk."

Raut wajah Kinan seketika kesal. "Kakak ini akan menikah satu bulan lagi, kenapa harus sibuk bekerja terus? istirahat saja dulu, Kakak dan Kak Fian itu harus melakukan persiapan pernikahan. Lagi pula istirahat sebulan tidak akan membuat perusahaan ini bangkrut."

Karel memang memiliki banyak tangan kanan yang terpercaya. Sebenarnya dia bisa saja istirat satu bulan ini, tapi untuk apa, tidak penting. Jika ini persiapan pernikahannya dengan Rain mungkin dia akan memilih mempersiapkan pernikahan. "Sudah ada wedding organizer, untuk apa turun tangan langsung."

Kinan menyipitkan mata. "Kak Fian ini mau saja dengan si muka datar, Kak Fian cantik, sayang sekali menikah dengan pria seperti kakakku." Suara itu terdengar prihatin hingga membuat Fian ingin tertawa.

Fian tersenyum getir, gue juga ogah nikah sama dia, teriak Fian dalam hati. "Haha, namanya juga cinta, mau bagaimanapun sifatnya yaa kakak harus terima, ya kan sayang?" tanya Fian.

Karel tersedak makanannya, dia kaget mendengar jawaban Fian ditambah panggilan sayang dari gadis itu. Karel hanya mengangguk kaku dan tersenyum canggung pada Fian.

Fian baru menyadari itu, dia merasa bodoh dengan ucapannya barusan, pipinya memanas seketika. Da melirik Karel yang sedang menahan senyum karena melihat wajah Fian yang memerah. Tatapan maut Fian langsung keluar pada Karel.

Kinan yang memperhatikan keduanya langsung mundur perlahan, dia tidak ingin merusak momen manis itu. Setelah menutup pintu ruangan itu Kinan menghela nafas lega. "Aku tidak sebodoh itu, aku tahu ini hanya sandiwara kalian, tapi tenang Kakakku tersayang, aku akan terus berdoa agar Kak Fian bisa membuatmu jatuh cinta padanya dan aku yakin itu akan berhasil, medusa seperti Rain tidak pantas untukmu." Kaki jenjangnya melangkah pergi dengan senyum kemenangan.

🍁🍁🍁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro