Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Pilihan Sulit (Repost)

Happy reading guys!

Hope you like this chapter 😘😘😘

🍁🍁🍁

Sejak kejadian malam itu, rasa hormat Fian pada Karel langsung menghilang. Semuanya terkikis oleh rasa marah, kenapa ada orang yang setega itu. Entah setan apa yang merasuki Fian hingga gadis itu berani memasang wajah cuek di depan bosnya yang seram.

Fian memilih untuk menjauh, jika tidak ada hal yang mendesak maka dia tidak akan menemui Karel. Bahkan untuk sekedar menyapa, Fian tidak mau. Setiap berpapasan maka dia akan pura-pura tidak melihat.

Saat ini Fian masih duduk di kursi kerjanya meski sudah melewati jam pulang kantor. Jam pulang sekarang adalah hal yang paling Fian sukai dan tidak dia sukai. Suka karena akhirnya berpisah dengan Karel, tidak suka karena harus masuk ke ruangan Karel untuk menanyakan kegiatan tambahan.

Fian segera membereskan barang-barangnya sebelum masuk ke dalam rangan Karel. bagaimanapun ini pekerjaan, dan dia harus profesional.

"Maaf pak, apa hari ini ada kegiatan tambahan?" tanya Fian setelah berhadapan dengan Karel.

"Tidak ada," jawab Karel sembari menatap Fian.

"Baik kalau begitu saya permisi pulang," ucapnya sebelum berbalik.

"Fian," panggil suara berat itu.

Fian menghentikan langkahnya tanpa menoleh. Dia sedikit kaget saat merasa lenganya digenggam. "Lepas," perintahnya.

"Dengarkan aku seb-"

"Lepas! saya sekretaris Ba-" Ucapan Fian terputus. Matanya terbelalak saat tanpa diduga Karel memeluknya dari belakang. Aroma maskulin dari menyeruak dari Karel.

Fian melepaskan pelukan Karel. Dia berbalik dengan wajah marah. "Apa maksud Bapak? saya memang sekretaris Bapak tapi Bapak tidak bisa menyentuh saya sembarangan! saya bukan wanita murahan!" berangnya. Nafasnya naik turun karena emosi yang terpendam sejak kemarin-kemarin.

Karel terdiam, bisa dirasakan tatapan penuh benci itu. Sebenci itukan gadis ini padanya. Karel menundukan kepala dan berlutut dihadapan Fian.

"Apa yang bapak lakukan??" teriak Fian kaget.

"Menikahlah dengan," ucap Karel.

Fian membuka mulutnya. Pria ini benar-benar kelewatan. "Tidak! aku tidak mau. Pura-pura menjadi pacarmu saja membuat aku merasa sangat bersalah pada Fatar." Fian sudah meninggalkan Bahasa formalnya.

"Jangan libatkan aku terlalu jauh, tujuanku ke Jakarta hanya ingin bekerja, tolong jangan ganggu hidupku Karel," pinta Fian.

"Aku akan berikan apapun jika kamu membantuku," pinta Karel lagi.

Fian mendesah kesal, dia menarik bahu Karel agar pria itu berdiri. "Aku hanya ingin hidupku tenang tanpa rasa bersalah. Cari saja yang lain asal jangan aku." Fian berbalik dan pergi meninggalkan Karel. Ini sudah menjadi keputusannya.

Gila kalau dirinya setuju membantu Karel. Dia memang bukan orang baik tapi dia juga bukan wanita sejahat itu. Menikah untuk menutupi sebuah perselingkuhan, alasan macam apa itu. Ibu dan ayah juga tidak akan setuju.

Fian berjalan keluar kantor dengan wajah kesal. Dia berdiri di pinggir jalan untuk menunggu taxi lewat.

"Lohh Fian?" sapa wanita yang suaranya Fian kenal.

Fian menoleh dan terdiam. Dia mencoba untuk tersenyum pada ibu Karel. Yaa yang memanggilnya tadi adalah Mariska. Wajah wanita yang masih cantik meskipun sudah tidak muda lagi itu terlihat bahagia.

"Kamu mau kemana Nak? kenapa naik taxi?" tanya Mariska sembari mengusap lembut kepala Fian.

"Ehh emm pulang, Karel sedang sibuk Ma," elaknya sebisa mungkin. Gawat kalau Mariska menyuruh Karel untuk mengantarnya pulang.

Mariska berdecak kesal, dia melirik gedung tinggi perusahaan ini. "Ck dasar anak itu, calon istripun dibiarkan pulang sendiri," keluhnya.

"Haha tidak masalah Ma, yaudah Fian pulang yaa," pamit Fian.

Mariska menggeleng tegas. "No, kamu calon istrinya, jadi dia yang harus antar kamu pulang. Ayoo kita ke atas," ajak wanita itu dengan menarik tangan Fian.

Fian meringis, sengaja menghindar dari Karel dan sekarang dia justru harus diseret kembali ke depan pria itu. Mariska langsung menerobos masuk tanpa mengetuk pintu ruangan Karel. Disana, di sofa ruangan kerja Karel. Pria itu sedang duduk dengan memijat kening, wajah itu nampak lelah dan Fian muak dengan itu.

"Loh katanya Karel sibuk?" tanya Mariska pada Fian.

Karel mendongak, dia tersenyum tipis sembari menghampiri ibunya dan Fian. Pria itu menyalami ibunya. "Aku tidak sibuk, dia hanya sedang merajuk," ucapnya dengan santai. Fian melebarkan matanya, kenapa sekarang dia yang disalahkan.

Mariska tertawa geli mendengar penjelasan dari putranya. "Ohh lagi ngambek? lihat calon suami kamu, wajahnya frustasi, cinta banget dia sama kamu."

Fian hanya tersenyum kecil, dalam hati dia meringis. Mencintai dari mana, memanfaatkan itu lebih tepatnya. "Ehh iya maa."

Mariska mengajak Karel dan Fian untuk makan bersama. Karena kebaikan Mariska selama ini maka Fian tidak tega untuk menolak. Lagipula yang dia benci adalah anaknya bukan ibunya.

"Gimana kalau bulan depan kalian menikah?" tanya Mariska saat mereka sedang makan.

Fian langsung tersedak, dia batuk heboh hingga Mariska menyodorkan segelas minuman padanya.

"Ehh sayang pelan-pelan dong," ucap Mariska dengan wajah khawatir.

Karel tersenyum, ternyata takdir berpihak padanya. "Aku setuju, minggu depan pun boleh."

Fian menoleh kilat, matanya melebar. Dia melotot kesal pada pria yang duduk disampingnya ini. sembarangan saja kalau bicara.

"Nah Karel saja sudah tidak sabar, ayo Fian mau yaa? Mama benar-benar ingin gendong cucu," pinta wanita itu dengan wajah penuh harap.

Fian duduk gelisah, sekarang tidak akan ada yang menolongnya untuk menolak pernikahan ini. Mata Fian melirik Karel dan dia bisa melihat ada senyum kemenangan di wajah bos yang menyebalkan itu. "Fian belum siap Ma, kami belum lama berpacaran. Emm Fian ingin kenal Karel lebih lama," ucapnya.

"Kalau sudah menikah nanti Fian bisa lebih kenal sama Karel."

Fian mengeluh dalam hati. Salah ngomong nih gue, batinnya. "Fian pikir-pikir dulu yaa ma."

Mariska tersenyum puas, dia mengusap lembut lengan Fian. "Iya tapi jangan lama-lama yaa? lihat Karel, dia sudah tidak sabar!" bisik Mariska disertai kekehan gelinya. Fian berusaha untuk ikut tertawa sedangkan Karel hanya tersenyum dan sekarang Fian tidak suka senyum itu.

Karel mengantar Fian ke apartemen. Saat Fian turun dari mobil ternyata Karel mengikutinya. Kening Fian berkerut dalam. "Kenapa ikut turun?"

"Ingin lihat tempat tinggal calon istriku," jawab Karel dengan asal. Demi segalanya, Fian lebih suka Karel menjadi pendiam seperti biasa.

"Untuk apa? aku tiak ingin ada gosip macam-macam, sana pulang!" usir Fian.

Satu alis Karel terangkat, dia menyandarkan tubuhnya pada mobil. "Kamu berani mengusir bos mu? dasar tidak sopan!"

Fian ternganga, dia langsung diam. Kalau dipikir-pikir dia memang tidak sopan mengusir orang yang memberinya gaji setiap bulan. Dengan sabar Fian menghela nafas, kakinya menghentak kesal. Tanpa menunggu Karel dia langsung berjalan masuk ke gedung apartemennya. Yaa anggap saja pria itu tidak ada.

Mereka masuk ke apartemen sederhana itu. Karel langsung duduk di sofa dan melonggarkan dasinya. Fian melepas sepatunya dan langsung ke dapur untuk menyiapkan minum.

Fian meletakan segelas air jeruk di meja. Dia menatap Karel yang sekarang terlihat lebih santai, pria itu sudah melepas jas dan dasinya lalu kemeja putih itu di gulung hingga siku. Tidak bisa dipungkiri pria dihadapannya ini memang sangat tampan.

"Sebaiknya kamu cepat pergi," usir Fian dengan ketus.

Karel menghela nafas, dia mengusap rambutnya. "Aku ingin melanjutkan pembicaraan tadi," ucap suara berat itu.

Kali ini Fian yang menghela nafas. "Aku sudah bilang kalau aku tidak bisa, cari saja gadis lain yang mau menikah denganmu," jawabnya.

Karel menggelengkan kepalanya. "Mama menyukaimu dan Rain juga."

Fian menatap tajam mata Karel. "Rain, Rain, dan Rain! selalu dia, kamu itu bisa cari gadis lain selain dia! ayolah Karel dia itu istri sahabat kamu sendiri, SAHABAT KAMU!" ucap Fian dengan penekanan di kata terakhir.

Karel menundukan kepalanya. "Tidak ada pilihan," ucapnya.

Fian mendengus geli. "Jangan salahkan pilihan! sebenernya selalu ada pilihan, tinggal orangnya saja ingin memilih jalan yang baik atau yang buruk," ucap Fian.

"Aku mencintai Rain," kata-kata itu mengalir tegas dari mulut Karel. Semudah itu dia mengatakan cinta pada istri sahabatnya sendiri. Karel ternyata hanya kuat diluar, pada dasarnya pria itu sangat lemah dan bodoh.

"Anak-anak Rain dan suaminya juga sangat mencintai Rain!" seru Fian. Karel terdiam, dia semakin menundukan kepalanya.

"Tapi Rain cinta padaku," balas Karel.

"Kalian saling mencintai tapi sama sekali tidak berpikir kedepan. Karel kamu itu laki-laki cerdas, harusnya kamu bisa berpikir kedepannya. Kelakuan kalian bukan hanya menyakiti satu pihak tapi juga banyak pihak! bahkan kalian berdua juga akan merasakan sakitnya nanti," ucap Fian panjang lebar.

Nafas Karel terdengar berat. "Karena itu aku membutuhkanmu untuk menutupi semua." Shoot rasanya Fian ingin menembak kepala Karel sekarang juga.

Fian menggeram kesal. "Bangkai akan tercium meskipun kamu berusa untuk menyembunyikannya! sekarang kamu hanya tinggal menunggu bom itu meledak Karel."

"Setidaknya aku sudah berusaha menutupi bangkai itu!" Oke sekarang Fian hanya bisa menggigit bantal yang ada di genggamannya. Otak pria dihadapannya ini memang bebal, hatinya sudah tertutup rapat dan sulit untuk mengembalikan sistem logika otaknya. Mungkin cara satu-satunya adalah menghancurkan memori tentang Rain.

Fian bangkit, dia bersedekap dengan wajah tegas. "Kalau kamu tetap dengan pendirianmu, aku juga tetap dengan pendirianku untuk tidak membantumu," ucapnya sebelum pergi ke kamarnya dan meninggalkan Karel.

🍁🍁🍁

Pagi ini disaat Fian sudah siap untuk kembali tenggelam dalam dokumen-dokumen yang Karel butuhkan pria itu justru memerintahkannya untuk mengosongkan jadwal. Sebenarnya Fian penasaran tapi dia malas bertanya. Lagipula tugasnya hanyalah mengikuti perintah Karel.

"Hemm untung hari ini cuma ada sedikit pertemuan, ck itu orang seenak jidat banget sih!" gerutunya sembari melihat note kegiatan mingguan Karel.

Karena hari ini Karel free maka otomatis Fian pun juga. Fian harus bersyukur setidaknya dia bisa istirahat sejenak. Dia bangkit dari kursi dan saat akan pergi, pintu ruangan Karel terbuka. Pria itu menatap Fian dengan kening berkerut.

"Kemana?" tanya pria itu.

Fian menunjuk dirinya sendiri. "Saya?" tanya Fian pada bosnya itu. Karel hanya memutar matanya. "Ke kantin, Bapak free kan hari ini?" Hubungannya dengan Karel memang sudah sedikit membaik tapi Fian tetap berusaha untuk menjaga jarak.

"Lalu?" tanya Karel.

Kali ini Fian yang mengerutkan keningnya. "Yaa saya juga free kan Pak?"

Karel menghela nafas, dia berjalan mendekat hingga jarak mereka tinggal satu meter saja. "Kita free bukan untuk bersantai, hari ini kita ke Solo untuk bertemu orang tuamu," ucapnya dengan datar.

Fian melebarkan matanya. "Apaa?" pekik Fian. Dia menggeleng frustasi, bos dihadapannya ini memang gila, tidak pernah berbasa-basi dan langsung tancap gas. "Untuk apa bertemu orang tua saya?" tanya Fian masih dengan suasana kaget.

"Mama dan Papa ingin bertemu," jawabnya.

Fian memutar bola matanya. "Iyaa tapi untuk apa? saya belum mengambil keputusan untuk menikah!" geramnya.

Karel mengangkat bahunya dengan acuh. "Mungkin untuk mengenal calon besan," jawaban itu membuat Fian ingin menggaruk tembok sekarang juga. Atau agar lebih bagus dia ingin menggaruk wajah bosnya yang dingin dan datar itu.

Fian meringis ngeri, apa kata ibu dan ayahnya jika sudah pada tahap memperkenalkan pada orang tua dan dia tidak menikah. Bisa-bisa dirinya digantung karena dikira bermain dalam hubungan. Padahal memiliki hubungan saja tidak, yahh kecuali hubungan antara bos dan karyawannya tentu saja.

"Tidak adil, aku tidak tahu sama sekali tentang ini! aku menolak untuk pergi ke Solo!" ratapnya.

Karel merapikan jasnya, dia melirik Fian sekilas. "Bilang itu pada Mama," ucapnya sebelum pergi meninggalkan Fian.

Mulut Fian terbuka lebar, dia berteriak kesal memanggil nama Karel. Benar-benar minta diinjak wajah sok kerennya itu. Fian mengatur nafasnya dan berlari mengejar Karel.

"Jam berapa kita berangkat?" tanya Fian. Karel hanya tersenyum, mata itu menunjukan senyum kemenangan dan sekali lagi Fian harus bilang kalau dia benci itu. Jika bukan karena ibu Karel maka Fian tidak akan mau melakukan ini.

"Dua jam lagi," jawab Karel.

Fian menggigit bibirnya, dia menundukan kepalanya. Karel memperhatikan semuanya, dia tersenyum sedih. Gadis ini terus menolaknya disaat para gadis mencoba mencari perhatiannya. Bahkan banyak yang dengan suka rela berlari ke pelukannya.

"Aku pinjam Putri boleh?" tanya Fian dengan suara kecewa.

Karel menghela nafasnya dan mengangguk. "Bilang pada atasannya kalau ini perintahku," jawab Karel. Dia mengusap kepala Fian sebelum keluar dari lift tindakan itu dilakukan tanpa dia sadari.

"Karel!!" panggil Fian. "Emm aku cerita pada Putri semua tapi tenang dia bisa di percaya," ucap Fian.

Karel terdiam, dia kembali masuk ke dalam lift dan menutup pintunya. Fian mundur saat Karel melangkah maju hingga Fian bersandar pada dinding lift. Karel menyangga tangannya pada dinding lift di samping kepala Fian. Fian menjauhnya kepalanya, dalam kurungan lengan Karel dia bisa merasakan jantungnya benar-benar berdetak sangat keras.

"Lihat aku!" perintah Karel. Fian yang awalnya memandang sekitar langsung menatap mata Karel. "Kamu yakin dia bisa dipercaya?" tanya Karel.

Fian mengangguk kaku, matanya fokus pada mata hitam di depannya ini. Karel terdiam dan ikut mengangguk. "Baiklah," ucapnya sembari menjauh. Dia membuka lift dan keluar meninggalkan Fian.

Fian mengambil nafas dengan rakus, jadi sejak tadi dia menahan nafas. Dia menyentuh dadanya. "Sial," gumamnya. Saat keluar dia menatap orang-orang yang menatap penasaran pada dirinya.

Tadi orang-orang melihat Karel kembali masuk ke dalam lift dan mereka berpikir ada yang tidak beres ditambah saat Fian keluar wajah gadis itu bersemu merah. Fian menggerutu kesal, dia memanggil Putri dan mengajak sahabatnya itu ke kantin di kantor ini. Responnya seperti biasa, kaget dan suara teriakannya membuat Fian kesal.

"Gila lo serius, orang kayak Pak Karel?" tanya Putri histeris. Fian hanya menganggukan kepala lemas.

"Gue kenal sama Pak Fatar, dia sering kesini. Yaampun gue gak nyangka," gumam Putri. Tentu saja, Fian juga kaget tentang hal itu.

"Sama Put gue juga nggak nyangka. Terus gimana? entar gue berangkat ke Solo, gue nggak mau menikah sama Karel tapi kalau dia udah ketemu sama orang tua gue yaa gue enggak bisa apa-apa," rengeknya.

"Tunggu deh gue punya ide!" ucap Putri dengan semangat.

Fian langsung berbinar, ikut antusias mendengarnya. "Apa idenya? harus bagus yaa!"

"Hehe pasti bagus dong, nihh yaa dengerin gue, gimana kalau lo terima aja lamaran pak Karel terus nikah sama dia!" ucap Putri.

Kali ini Fian yang kaget karena ide gila sahabatnya itu. "APA?? LO GILA!!" teriaknya.

Putri terkekeh geli. "Yeh denger dulu non!! lo tadi cerita kasian sama Pak Fatar, nah kenapa lo enggak bantu dia aja? yahh caranya dengan menikah sama Pak Karel, tapi setelah menikah lo harus berhasil ngerebut hati Pak Karel, dengan begitu Pak Karel sama Bu Rain pisah kan? lo bisa nyelametin banyak orang," jelas Putri dengan mengangkat alisnya.

Fian ternganga lebar. "Secara enggak langsung gue dijadiin umpan gitu?".

"Hehe enggak juga Fian sayang, nih yaa Pak Karel itu ganteng, mapan lo bakal bahagia hidup sama dia. Jadi lo adalah umpan yang beruntung," jawab Putri dengan wajah menyebalkan.

Fian menoyor kepala Putri. "Sembarangan!! serius dong Put! gue bener-bener butuh bantuan."

Wajah bercanda Putri langsung berubah serius. "Fian dengerin gue, gue serius sama ide gue tadi. Kalau Pak Karel bisa ngehancurin semua itu artinya kemungkinan lo bisa memperbaiki semua. Kalau Pak Karel jatuh cinta sama lo dia pasti bakal ninggalin Bu Rain, lo tahu kan lo akan selametin apa aja? lo bakal nyelametin hati Pak Fatar dan anak-anaknya, lo bakal nyelametin hati seluruh keluarga besar mereka, lo bakal nyelametin anak-anak Pak Fatar dari status anak broken home dan masih banyak lagi yang lo selametin," jelas Putri lagi.

Fian terdiam mendengar ucapan Putri. Sebanarnya apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu tidak salah. Dia mungkin bisa saja menyelamatkan semuanya tapi bagaimana dengan dirinya sendiri. Apa dia harus berkorban, apa dia akan ikhlas, karena jika tidak maka semua pengorbanan ini akan sia-sia saja.

Putri menepuk pelan bahu Fian. "Tolong pikir baik-baik, gue yakin lo pasti bisa ngelewatinnya."

Fian menggigit bibirnya, apa yang akan dia lakukan. Kenapa dia harus bertemu pria seperti Karel. Apa pilihannya untuk bekerja di Jakarta itu salah. Seharusnya dia tetap tinggal di Solo dengan ayah dan ibunya. Jawaban dari semua pertanyaannya adalah takdir, Fian tidak akan mungkin terlibat di dalam hubungan pelik ini tanpa sebuah alasan yang jelas.

🍁🍁🍁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro