Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

39. The Last

Halohaaa semuaaaa.. maafkan karena lama banget tapi semoga part terpanjang yang memang part terakhir ini bisa membayar kelamaan nunggunya*plakk apadah ndah😂

Tak terasa kita udah sampai di part terakhir, sedih sih tapi ini belum perpisahan yaa kita masih ketemu di epilog😉

So langsung ajaa.. happy reading guys 😘😘😘 selamat tenggelam selama beberapa menit di dunia Fian dan Karel 😂

🍁🍁🍁

Fian merapikan dasi Karel, matanya setia menatap wajah suaminya yang sudah hampir kepala lima tapi masih saja terlihat tampan. Ahh Karel memang selalu tampan pikir Fian.

"Anak-anak sudah bangun?" tanya Karel.

Fian mengangguk, dia merapikan kerah kemeja Karel sebelum menjauh. "Mereka sudah ada di meja makan," jawab Fian. Karel tersenyum, lengannya merangkul pinggang Fian.

"Kita ke bawah," ucapnya sembari menuntun Fian agar berjalan di sampingnya. Sejak Caramel masuk sekolah dasar Fian mulai aktif bekerja lagi di kantor Karel. Jadi setiap pagi biasanya Caramel akan berangkat dengan kedua orang tuanya hingga anak itu SMA, meskipun dua abangnya satu sekolah dengannya.

"Bundaku cantik, manis, baik hati dan tidak sombong.. morning!!" sapa Caramel dengan heboh.

Fian terkekeh, dia menghampiri putrinya. Partnernya untuk membuat suasana rumah ini selalu ramai selain si kembar Rafan dan Arkan. Jadi sebenarnya, yang normal di rumah ini hanya Karel dan Raka. Atau lebih tepatnya kedua pria itupun kelewat normal.

"Ihh anak Bunda yang paling cantik!" balas Fian.

"Iyalah paling cantik, orang Kara anak perempuan satu-satunya!" ketus Arkan.

Caramel mendengus, dia memeletkan lidahnya pada abang yang satu itu. "Iri yaa? mau dibilang cantik juga?" tanya Caramel dengan wajah menyebalkan.

Karel menghela nafasnya, ini bahkan masih pagi. Dia mengusap kepala Caramel. "Makan, Ayah dan Bunda harus berangkat cepat hari ini," ucapnya.

Caramel tersenyum pada ayahnya dan menganggukan kepala. Dia makan dengan lahap, meski tubuhnya kecil tapi nafsu makannya tinggi. Untuk hal itu Caramel harus terus bersyukur.

Di sampingnya, Raka duduk dengan tenang sembari memakan roti bakar yang tadi Meri buat. Dia memang tidak suka sarapan berat, jika bukan susu dan roti tawar maka dia akan memilih black coffe untuk menemaninya di pagi hari. Mata tajam itu fokus menatap koran yang dia bentangkan hingga menutupi sebagian wajahnya.

"Bang Raka nanti jemput Kara yaa?? hari ini Kara pulang sore," pinta suara nyaring itu. Krik tidak ada tanggapan dari Raka, entah suara Caramel yang kurang kencang atau gendang telinga Raka yang bermasalah.

"Bang Raka!!" rengek Caramel. Dia tidak suka diabaikan oleh abangnya ini meskipun dia tahu persis bagaimana pendiamnya Raka.

Raka menurunkan korannya. Mata dengan bola mata mirip Fian dan alis yang tebal itu menatap adiknya. "Abang banyak pekerjaan, nanti pulang dengan dua abangmu saja," jawabnya.

Caramel menatap kedua abang yang duduk di hadapannya. Rafan sedang sibuk memakan nasi goreng sedangkan Arkan menatap dirinya dengan cengiran jahil.

"Ihh ogah! dulu Kara dikerjain sama dua orang ini, Kara harus dorong mobil karena katanya mogok padahal nggak!" omelnya. Itu kejadian saat dengan sangat terpaksa Caramel harus pulang dengan si kembar karena supir telat menjemputnya.

Arkan tertawa kencang dan Rafan hanya terkekeh geli. Saat itu mereka sampai hampir mengeluarkan air mata karena tertawa melihat wajah kesal Caramel.

"Yahh dek, masa kapok pulang sama Abang, lagian sekarang Abang sama Bang Rafan bawa motor sendiri-sendiri, tinggal pilih mau bareng siapa," ucap Arkan dengan nada geli.

Caramel berdecih kesal, dia menoleh pada Karel untuk meminta pertolongan. Mata bulat itu menatap ayahnya. Sinarnya jernih, tatapan memohon itu membuat Karel selalu gemas.

"Pulang dengan salah satu Abangmu dulu, kalau mereka macam-macam lapor pada Ayah," ucap Karel. Yahh jika Karel sudah bicara begitu maka si kembar tidak akan berani menjaili Caramel.

Karel melihat Caramel yang memasang wajah ragu. "Ada apa?" tanya Karel.

"Kalau bareng sama temen boleh Yah? dia baik kok," pinta Caramel.

"Siapa?" tanya Karel lagi. Dia harus memastikan putrinya aman meski sejak kecil dia sudah membekali putrinya dengan latihan karate dan kickboxing bersama dengan abang-abangnya.

"Siapa lagi kalau bukan Bayu, pacar kesayangan," ucap Arkan dengan cuek.

Fian mengerutkan keningnya, dia tidak pernah mendengar nama Bayu. Sejauh inikah dia dengan anaknya hingga tidak tahu mengenai kehidupan luar anak-anaknya. Dia menatap Karel untuk melihat ekspresi wajah suaminya.

Tidak ada ekspresi disana, masih sama datarnya seperti tadi. Fian menghela nafas. "Bunda belum pernah dengar tentang Bayu, yahh it's okay toh sesuatu yang penting pasti akan kalian share ke Bunda nantinya," ucap wanita itu sembari melanjutkan acara sarapannya.

"Dia anak baik Bunda, iyaa kan Bang Rafan?" tanya Caramel.

Rafan yang sejak tadi tidak ingin ikut campur jadi harus masuk ke obrolan. Sebenarnya sifat Rafan itu setengah Karel setengah Fian. Anak laki-laki itu cuek di luar, dia jail hanya pada adiknya.

"Mana Abang tau, dia gaulnya cuma sama buku," jawabnya cuek. Yaa memang hanya itu yang dia tahu tentang murid laki-laki bernama Bayu

Arkan tertawa geli dan menggelengkan kepalanya. "Ckck ntar kalau lo nikah sama dia Ra, hemm mas kawinnya pasti buku sepaket soal fisika matematika sama kimia, nahh lohh! kerjain tuh tumpukan buku sampe kepala lo botak," kembali tawa Arkan terdengar di ruang makan ini.

Caramel menatap ngeri abangnya. Pikiran itu membuatnya merinding, benar juga kata abangnya. "Ehh tapi dia juga aktif di tim basket sekolah, masa lo nggak kenal dia sih?" tanya Caramel.

Arkan menggelengkan kepalanya. "Nggak pernah ngobrol gue," jawabnya.

Baru saja Caramel ingin menanggapi ucapan Arkan niatannya sudah tertunda dengan dehaman Karel. "Kara pulang dengan Bang Rafan dan Bang Arkan atau dengan Ayah?" tanya Karel. Itu pertanyaan sekaligus jawaban. Jawaban kalau Caramel tidak boleh pulang dengan Bayu nanti sore.

Bahu Caramel merosot, wajahnya terlihat sedih. Dia tidak bisa membantah ucapan ayahnya.

"Dengan Raka saja Yah, nanti biar Raka selesaikan pekerjaan secepatnya," ucap Raka memotong semua pembicaraan ini.

Raka mengusap kepala Caramel. "Nanti telpon Abang kalau sudah waktunya pulang," ucapnya.

Caramel tersenyum, dia langsung memeluk Raka dengan manja dan menciumi pipi abangnya itu. "Ihh Abang tersayang," kekehnya.

Raka hanya tersenyum dan mengacak rambut adiknya. Dia tidak pernah tega melihat wajah sedih itu. Selama dia mampu maka dia akan berusaha membuat Caramel tersenyum.

"Ohh iya hari minggu ini jadwal kalian harus kosong yaa," ucap Fian.

Rafan mengerutkan keningnya, dia menggelengkan kepala. "No Ndaa, aku ada pertandingan basket," tolaknya. Arkan mengangguk setuju, dua kembar ini memang masuk team inti basket sekolah.

"Iyaa Kara juga nggak bisa Bunda, si Umbel ngajak nonton pertandingan basket," ucap Kara. Dia sengaja menyebutkan nama salah satu sahabatnya itu padahal sebenarnya dia ingin melihat Bayu bertanding.

"Umbrella sayang, nama bagus-bagus kamu ganti umbel, geli Bunda dengernya," ucap Fian dengan wajah jijik membayangkan ingus.

Kara tertawa geli dan mengusap bibirnya. "Yahh daripada Kara panggil payung? lagian Tante Anya itu ngasih nama anak kok yaa nyentrik banget hehe."

"Ck jadi ngomongin si umbel, ehh Bella.. kamu sih! Bunda jadi ikutan manggil umbel," gerutu Fian. "Bunda nggak mau denger alasan kalian, pokoknya hari minggu kita kumpul semua karena kita akan pergi ke Solo," ucapnya dengan semangat.

Bahu Rafan dan Arkan langsung merosot, wajahnya terlihat kesal dan sedih. Besok minggu adalah pertandingan pembuka untuk basket antara SMA tahun ini. Mereka team inti jika mereka tidak ada maka sudah pasti team itu akan kelabakan.

Arkan merangkul bahu Caramel saat mereka berjalan keluar rumah. "Ra, bujuk Ayah dong, gue bener-bener harus main besok," pinta Arkan.

Rafan yang berjalan di samping Caramel mengangguk setuju. "Ayah selalu nurutin kamu Ra, Abang nggak bisa absen untuk pertandingan besok," lanjut Rafan.

Caramel menggigit bibirnya, dia menatap ragu kedua abangnya. Jujur dia juga tidak ingin pergi, tapi membujuk ayahnya tentang keputusan bunda akan sulit. Ayah selalu menuruti bunda, dan jika acara minggu depan itu di Solo maka sudah pasti itu usul bundanya.

"Kara coba deh, tapi nggak janji berhasil yaa.." ucapnya.

Rafan tersenyum dan mengacak rambut Caramel. "Sipp udah sana, kamu hati-hati," ucapnya.

"Berhasil nggak yaa?" tanya Arkan.

Rafan menggeleng. "Doa aja," ucapnya. Dia meninggalkan Arkan dan pergi ke motor besarnya. Tangannya mengambil ponsel dan mengecek notifikasi pesan sebelum menyalakan motornya.

Caramel duduk di belakang dengan tidak nyaman. Beberapa kali dia menghela nafas hingga Karel meliriknya lewat kaca.

"Kamu kenapa?" tanya Karel.

Caramel mendongak, dia memajukan tubuhnya. "Ndaa Yahh, kalau acaranya ditunda minggu depannya lagi gimana?" tanya Caramel.

Fian langsung menoleh. "Mana bisa begitu? Bunda udah urus semua," tolaknya.

"Bunda.. Kara bener-bener nggak bisa, abang-abang juga, ayo dong Ndaa.." rengek Caramel.

Fian menghela nafas. "Bunda bilang nggak yaa nggak, kapan lagi kita bisa kumpul sekeluarga sayang?" tanya Fian dengan lembut.

Merasa gagal membujuk Fian, Caramel menoleh pada Karel. Matanya menatap Karel dengan pandangan memohin yang selalu berhasil untuk ayahnya. "Ayah tolong Kara.." pintanya.

Karel melirik sekilas, dia tersenyum tipis. "Apa terlalu sulit menyisihkan waktu untuk Ayah dan Bunda?" tanya Karel.

Caramel terdiam, dia mengerjapkan matanya. Benar juga, rasanya dia terlalu sibuk dengan dunianya hingga sekarang tanpa sadar dia sudah jarang sekali menghabiskan waktu dengan kedua orang tuanya. Dia rasa kedua abangnya juga begitu.

"Yahh.." ucap Caramel.

Karel kembali tersenyum. "Kami hanya meminta sedikit waktu, kali ini saja turuti Bundamu." Pembicaraan sudah selesai. Caramel gagal membujuk kedua orang tuanya.

"Kara masuk dulu yaa," pamitnya sebelum keluar dari mobil.

Fian mengusap kepala Caramel. "Belajar yang benar yaa," ucapnya pada putri bungsunya ini.

Fian menatap Caramel hingga gadis itu masuk ke dalam sekolah. Dia tersenyum kecil. "Anak-anak sudah besar, kita sampai sulit untuk mengajak mereka berkumpul," gumamnya.

Karel mengangguk setuju, dia kembali menjalankan mobilnya menuju kantor.

🍁🍁🍁

Hari ini Karel menjalani beberapa pertemuan penting. Saat ini dia sedang di ruangannya dengan beberapa rekan bisnis dan penanam saham di perusahaan ini.

Fian merapikan beberapa berkas di meja kerjanya. Saat ini sudah jam makan siang, sebentar lagi Karel pasti akan keluar dari ruangan.

"Ndaa, Ayah di dalam?" tanya suara itu.

Fian mendongak, dia tersenyum lebar. "Iya kamu mau bicara dengan Ayah?" tanya Fian pada Raka.

Raka memberikan map berwarna biru pada Fian. "Hasil rekap produksi bulan lalu, aku harus ke Bekasi untuk survei perusahaan disana," ucapnya.

Fian mengusap lengan Raka. "Istirahat dulu, makan dengan Bunda dan Ayah," ajaknya.

Raka menggeleng, dia melirik jam tangannya. Tidak ada waktu lagi. "Aku kesana sekarang yaa Bunda, nanti sore aku harus menjemput Kara," pamitnya. Dia harus menyelesaikan semua pekerjaannya agar bisa menjemput adiknya tepat waktu.

Fian menatap kepergian Raka. Dia tersenyum lebar. Raka selalu bisa diandalkan untuk mengurus adik-adiknya.

Pintu ruangan Karel terbuka, beberapa orang menyapa Fian terlebih dahulu sebelum pergi. Satu orang belum juga keluar.

Fian mengerutkan keningnya. Dia berdecak kesal, ini sudah jam istirahat harusnya Karel sudah keluar. Kaki Fian melangkah mendekati ruangan, tangannya membuka kenop pintu.

Fian membuka ruangan Karel, matanya jatuh pada Karel yang sedang merangkul wanita dengan gaun yang terlalu terbuka untuk acara rapat pekerjaan.

Mata Fian melebar, mulutnya terbuka. "Karel.." desisnya.

Keduanya menoleh, wanita itu menjauh dengan wajah panik. Dia tersenyum kaku pada Fian. Mata Fian menatap tajam wajah Karel yang masih terlihat tenang.

"Apa-apaan ini?" tanya Fian.

Karel mengerutkan kening. "Apanya?" tanya Karel.

Fian mendengus kesal, matanya beralih pada wanita di samping Karel. Dia menatap keseluruhan wanita itu dari atas hingga ujung sepatu merahnya. "Anda ini ingin rapat atau ingin pergi ke club?" tanya Fian lebih pada sindiran.

Wanita itu terdiam, dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Maaf kalau Anda kurang nyaman dengan penampilan saya," ucapnya sopan.

"Tentu, bukan kurang tapi sangat tidak nyaman. Anda sekretaris Bapak Brahman kan? tolong sopan kalau Anda tidak ingin saya komplain langsung pada atasan Anda," ucap Fian dengan ketus.

Wanita itu mengangguk dengan wajah kesal lalu pamit dan pergi keluar ruangan. Fian bersedekap di depan Karel.

Wajahnya cemberut kesal, matanya tajam mengerikan. "Bahkan sudah setua ini kamu ingin selingkuh?" tanya Fian.

Ucapan itu membuat Karel memasang wajah datar. "Jangan bicara sembarangan, pergilah aku sibuk," ucap Karel. Fian ternganga, barusan Karel mengusirnya karena sudah mengusir wanita itu.

Fian meneteskan air matanya. Dia mengusap pipinya dengan kasar. "Iyaa aku memang sudah tua, dia lebih cantik dariku.. pergi sana dengannya!" bentak Fian sebelum pergi keluar ruangan.

Fian menyambar tasnya dan langsung pulang ke rumah dengan taxi. Dia menangis di dalam kamar mengingat Karel memeluk wanita muda itu.

Dia tidak menyangka kalau Karel akan mengulanginya lagi bahkan disaat mereka sudabh memiliki anak-anak yang sudah remaja. Bagaimana jika dia bercerai, semua anaknya pasti memilih Karel agar bisa hidup dengan layak.

Fian mengurung diri di kamar. Tidak dia tanggapi semua pertanyaan dari orang-orang yang bekerja di rumah ini. Dia ingin sendiri dan melampiaskan kemarahannya.

"Bunda.." panggil Caramel.

Anak itu sudah pulang, berarti Raka juga sudah ada di rumah. Fian mengusap air matanya. Dia berjalan ke pintu dan membukanya. "Hay sayang," sapa Fian.

Caramel tersenyum dan memeluk Fian. "Bunda kenapa?" tanya anak itu.

Mendengar nada pengertian itu Fian justru kembali menangis, Caramel mengusap bahu bundanya. Dia sudah mendengar semua dari bi Meri tadi.

"Bunda bisa cerita sama Kara," ucap Caramel.

Mereka masuk ke dalam kamar, Fian duduk di ranjang. "Menurut kamu mungkin nggak Ayah main di belakang Bunda?" tanya Fian.

Caramel tersenyum geli, dia tertawa dan berbaring di ranjang. Yang benar saja, pria yang lurus seperti ayahnya bisa berselingkuh. Memikirkannya saja tidak.

"Mana mungkin Nda?" kekehnya.

Fian menggigit bibirnya. Caramel tidak tahu sikap Karel dulu. Dia ikut berbaring di samping putrinya.

"Kamu tidak tahu Ayahmu," ucap Fian.

"Memang tidak, Ayah yang dulu sebelum mencintai Bunda mungkin bukan pria yang serius tapi dengan Bunda Kara yakin, Ayah jadi pria yang lurus," kekeh Caramel.

Raka masuk ke dalam kamar, dia duduk di kursi meja rias menyaksikan bundanya yang sedang bercerita pada Caramel.

"Ada apa?" tanya Raka meskipun dia sudah mendengarnya dari Karel.

"Ayah berselingkuh di belakang Bunda," ucap Fian dengan lemas.

Raka mendengus geli, dia melepaskan dasinya. "Pikiran macam apa itu? Bunda bukan anak kecil yang harus dibujuk agar percaya bukan?" tanya Raka.

Fian cemberut kesal, semua anaknya tidak percaya pada dirinya. "Kalian ini, Bunda yang lihat sendiri," keluhnya.

Caramel bangkit, dia duduk bersila menghadap Fian. "Bunda, Ayah itu cinta sama Bunda semua orang tahu itu.. kalau Ayah ingin berpaling kenapa nggak dari dulu?"

"Mana Bunda tahu," ketus Fian.

Raka menggelengkan kepalanya. Dia bertopang dagu menatap tingkah laku bundanya yang sedang merajuk ini.

"Karena Bunda terlalu sempurna, Bunda yang tercantik, Bunda yang terbaik untuk Ayah. Ayah tidak akan menemukan perempuan seperti Bunda di luar sana, Ayah itu pria cerdas Bun, dia tahu mana yang terbaik untuknya dan Ayah tahu Bunda adalah wanita terbaik yang pantas menjadi ibu untuk anak-anaknya," jelas Caramel.

Fian terdiam, dia menatap takjub Caramel. "Kamu makan apa sih? kok berubah jadi bijak gitu?" tanya Fian.

Raka terkekeh geli, dia duduk di ranjang dan merangkul bahu Fian. "Bunda dengar? bahkan Kara saja mengerti, Bunda adalah satu-satunya bagi Ayah. Ayah bukan pria yang suka memikirkan hal tidak penting seperti perselingkuhan," ucapnya.

Fian kembali terdiam, masalahnya anak-anak tidak pernah tahu tentang Karel dan Rain dulu.

"Bunda.." panggil Caramel.

"Biarkan saja, Bundamu bukan anak kecil yang harus dibujuk," ucap suara yang sangat Fian kenal. Karel bersandar santai di pintu kamar. Matanya datar menatap Fian yang masih duduk dengan Raka dan Caramel.

"Ishh Ayah ini, Bunda salah paham karena Ayah kurang romantis!" omel anak itu.

Raka mendengus geli, dia menarik lengan adiknya itu. "Ayoo kita keluar," ajaknya sembari merangkul bahu Caramel. Sekarang adalah tugas ayahnya untuk meyakini bunda.

Karel menutup pintu kamar dan menghampiri Fian dengan santai. Dia tidak melakukan kesalahan apapun, jadi tidak ada alasan untuk gugup dan merasa bersalah.

"Apa?" tanya Fian galak.

Karel mendengus, dia duduk di ujung ranjang. Mata hitamnya menatap tajam mata Fian. "Apa kita perlu bertengkar karena masalah tidak penting ini?" tanya Karel dengan nada malas. Ayolah, dirinya sudah terlalu tua untuk memikirkan tentang perselingkuhan atau apalah itu. Fokusnya hanyalah membahagiakan anak-anak yang menghabiskan sisa waktunya dengan Fian.

Fian mendelik kesal, dia mengalihkan pandangannya. "Masalah perselingkuhan adalah masalah yang besar tentu saja itu penting," ketusnya.

Karel menghela nafas, dia tidak menyangka Fian masih saja memiliki pemikiran seperti remaja. "Terserah, aku malas berdebat jangan bawa anak-anak pada masalah ini," ucapnya sebelum meninggalkan Fian.

Karel keluar dari kamar dan pergi ke kamar samping yang seharusnya menjadi kamar tamu.

Melihat Karel tidak menjelaskan apapun justru pergi begitu saja dengan kata-kata barusan membuat Fian semakin prustasi. Dugaannya pasti benar, Karel bermain api, lagi.

"Aaaarrrrggg!!" teriaknya.

Caramel yang sedang membawa sepiring buah-buahan sampai kaget mendengar teriakan mengerikan itu. Dia meringis kecil, bundanya itu adalah orang yang susah sekali dibujuk. Ayahnya adalah orang yang tidak suka membujuk dan merayu. Yasudah, kalau ada masalah seperti ini semuanya akan susah.

Caramel menghampiri Karel yang sudah berganti pakaian. Dia merangkul lengan Karel, rasanya sudah lama tidak bermanja-manja dengan ayahnya. Kesibukan Karel membuat Fian juga sibuk. Terkadang dua orang tuanya ini harus pulang malam dan Caramel juga sibuk dengan aktivitasnya di sekolah ataupun di luar sekolah.

"Yah memangnya ada apa sih?" tanya Caramel.

Karel melirik putrinya, dia mengusap kepala Caramel. "Bukan apa-apa, Bunda sedang sensitif jadi begitu," jelasnya.

Caramel mendengus kesal, dia menarik lengan Karel agar duduk di ruang keluarga lantai atas. "Cerita dong Yah.. Kara penasaran," rengeknya.

Karel tersenyum tipis, dia merapikan anak rambut Caramel. "Seperti biasa, hanya sekretaris rekan bisnis Ayah yang sedikit keterlaluan," jelasnya.

Mendengar penjelasan singkat itu Caramel langsung mengerti. Tidak heran, ayahnya adalah pria yang tampan bahkan diusia yang sudah kepala empat. Saat datang ke sekolah untuk mengambil rapot saja ayahnya selalu menjadi pusat perhatian.

"Huhh wanita-wanita itu, emangnya kurang jelas kalau Ayah punya Bunda?" tanya Caramel dengan wajah cemberut yang lucu.

Karel tersenyum geli, dia merangkul bahu putrinya. "Biarkan saja, selama mereka tidak mengganggu Bundamu, Ayah akan diam," ucapnya.

Caramel tersenyum, dia menyandarkan kepalanya di bahu Karel. "Kurang jelas apa kalau Ayah mencintai Bunda," gumamnya. Karel tidak menjawab, dia hanya menatap layar televisi yang berwarna hitam.

Rumah dengan Fian yang sedang merajuk adalah rumah yang kacau. Tempat ini seolah berubah menjadi wahana perang dingin antara Fian dengan Karel atau lebih tepatnya hanya Fian yang menganggap ini sebuah perang.

Karel masih sama santainya seperti kemarin. Dia tidak terpengaruh sama sekali meski istrinya itu sekarang sedang mendiaminya.

Pagi ini di meja makan, mereka makan dalam diam. Si kembar yang memang kemarin pulang malam belum mengerti situasi. Rafan mengerutkan keningnya melihat penampilan Fian yang masih santai.

"Bunda nggak kerja?" tanya Rafan.

Fian menggelengkan kepala. "Hari ini Bunda libur, Kara nanti kamu berangkat sama Bunda," ucapnya.

Caramel mendongak, dia menatap Karel dan melihat ayahnya mengangguk diapun mengangguk patuh. Dia merapikan tasnya dan melirik jam tangan. "Kara udah siap Nda," ucapnya.

Fian mengangguk, dia bangkit dan meninggalkan meja makan begitu saja. Di belakangnya Caramel mengikuti dalam diam.

Arkan mengangkat alisnya, dia menatap semua yang ada di meja makan. "Bunda kenapa sih? aneh banget," ucapnya.

Raka menyesap black coffee favoritnya. Sama seperti Karel, sepertinya anak itu juga tidak terlalu terpengaruh dengan sikap bundanya.

"Raka tunggu di mobil Yah," ucapnya sebelum pergi. Hari ini dia akan berangkat dengan Karel karena harus mengurus beberapa pekerjaan diluar.

"Yah.. Bunda hamil yaa? kok aneh gitu sikapnya?" tanya Arkan.

Karel terbatuk karena tadi dia sedang meminum air mineral. Dia berdeham pelan. "Memangnya kamu mau punya adik lagi?" tanya Karel.

Mendengar pertanyaan itu wajah Arkan langsung berubah. Dia bergidik ngeri, sudah sebesar ini kalau harus memiliki adik lagi rasanya akan aneh.

"Ck jangan dengar dia Yah," ucap Rafan. Dia tidak setuju kalau bundanya mengandung lagi. Menjaga Caramel saja sudah cukup melelahkan.

Karel tersenyum geli, dia bangkit dan merapikan jasnya. "Hati-hati di jalan, Ayah tidak ingin dengar kalian membuat masalah lagi," pesannya sebelum pergi.

"Siap Yah!!" balas Arkan.

🍁🍁🍁

Arkan menggebrak meja makan hingga Rafan dan Caramel melompat kaget. Ini sudah tiga hari dan rumah masih terlihat suram.

"Sumpah ini udah nggak lucu lagi! Bunda itu kenapa sih?" tanya Arkan.

Caramel mengusap dadanya, dia mendelik kesal pada Arkan. Abang yang paling brutal yang dia miliki. Sudah sering dia mendapati Arkan yang pulang dengan babak belur entah karena tauran atau masalah perseorangan lainnya.

"Lo kalau mau ribut langsung aja sini Bang! nggak usah pake bikin gue jantungan!" omel Caramel.

"Ck apaan sih? Kan lo nggak usah gebrak meja gitu bikin kaget! kamu juga Ra yang sopan sama Abang kamu," ucap Rafan menengahi perdebatan bodoh ini.

Arkan berdecak kesal, dia menyandarkan kepalanya di meja makan dengan wajah nelangsa. "Gue laper.." keluhnya.

Caramel menghela nafas, dia ikut menyandarkan kepala di meja. "Gue juga, Bunda ngambek kenapa pekerja disini juga ikut mogok masak sih?" keluhnya.

Rafan bertopang dagu, dia memainkan sendok dihadapannya. "Uang belanja Bunda yang pegang, jangan-jangan Bunda nggak kasih mereka uang lagi," keluh Rafan.

Arkan menggeram kesal, sudah malam dan bundanya belum pulang juga. Ayah dan abangnya pun masih sibuk bekerja. Di rumah ini para pekerja seolah sibuk dan tidak ada yang menyajikan makanan. Benar-benar keterlaluan, anak CEO perusahaan besar yang terkenal harus kelaparan karena tingkah konyol bundanya.

"Lo ada duit nggak? makan di luar yuk? cari warteg yang deket deh," usul Arkan.

Rafan menggeleng pelan. "Bulanan gue udah abis buat motor," keluhnya. Dia saja harus minta setiap hari untuk jajan di sekolah. Uang bulanan yang sebenarnya lumayan sudah habis untuk merakit motor kesayangannya.

"Uang lo aja Bang," usul Caramel dengan mendorong siku Arkan.

"Duit gue abis juga buat game, lo Ra!" tunjuk Arkan.

Caramel mengeluarkan uang dari kantongnya. "Sisa segini doang, tadi gue abis dari toko buku," ucapnya sembari mengeluarkan uang lima ribuan.

"Ck ini yang kerja disini nggak ada gunanya yaa??" tanya Arkan. Mereka memang tidak terlalu dekat dengan para pekerja di rumah ini. Hanya Bi Meri dan Bi Peni yang dekat dengan mereka seperti keluarga dan keduanya sedang tidak ada di rumah sekarang.

Suara mobil dari luar membuat mata ketiganya langsung berbinar. Mereka langsung berlari ke pintu untuk menyambut orang yang datang. Itu suara mobil yang selalu Karel pakai setiap ke kantor.

"Ayah.." sambut Caramel sembari memeluk Karel yang baru saja turun dari mobil.

"Ada apa?" tanya Karel to the point. Biasanya dia tidak akan disambut seheboh ini.

Caramel terkekeh dan menggelengkan kepalanya. "Kami laper Yah," ucapnya.

Karel terperengah, dia melirik jam tangannya. "Mana Bunda?" tanya Karel dengan nada tajam.

Caramel meneguk salivanya. Dari mata ayahnya dia bisa melihat aura yang menyeramkan saat ini. Dia melirik kedua abangnya.

"Emm Bunda belum pulang Yah," jawabnya pelan.

Raka turun dari mobil, dia mengerutkan keningnya. "Ada apa?" tanya Raka.

"Keterlaluan," geram Karel. Dia membuka pintu mobil. "Ayo kita makan diluar," ajaknya. Ini sudah pukul sembilan malam dan Fian belum pulang. Apa dia tidak memikirkan anak-anaknya.

Karel mengajak anak-anaknya ke restoran terdekat. Caramel langsung makan dengan lahap sama seperti Arkan dan Rafan.

"Bunda sudah tidak lucu lagi Yah," ucap Raka.

Karel diam, tangannya mengepal dengan raut wajah yang terlalu datar hingga Raka sulit menebak apa yang Karel rasakan sekarang.

"Besok kita ke Bangkok selama dua hari, kamu siapkan semuanya," ucap Karel.

Caramel mengerjapkan matanya. "Ehh Ayah mau ke Bangkok?" tanya anak itu.

Karel mengangguk, dia mengambil tissue untuk membersihkan mulut putrinya. "Kenapa?" tanya Karel.

"Terus rencana ke Solo gimana?" tanya Caramel lagi.

Karel menghela nafasnya. "Hari sabtu malam Ayah pulang, minggu kita berangkat," jelasnya.

"Yahh dikarain rencana batal gara-gara ratunya lagi ngambek," keluh Arkan.

Caramel terkekeh geli, dia memukul lengan Arkan. "Sembarangan!" kekehnya.

Arkan tertawa dan meminum minuman Caramel dengan santai. "Lagian Bunda itu, heran deh! Ayah yang lempeng begitu masih dicurigain apalagi kalau Bunda punya suami yang tempel sana-sini?" tanya Arkan.

"Bisa botak kepala Bunda hehe," jawab Caramel. Arkan kembali tertawa geli dan menggelengkan kepala.

Karel memperhatikan anak-anaknya tidak ada yang terpengaruh dengan sikap Fian. Semua masih bersikap seperti biasa, tertawa santai seolah tidak ada beban meski saat ini faktanya bunda mereka sedang marah. "Ayah tidak selempeng itu," ucap Karel. Dia bukan pria yang sempurna, dia pernah melakukan kesalahan yang sangat fatal jadi sebenarnya wajar kalau Fian mencurigainya. Itu fakta yang membuatnya marah, Fian belum bisa mempercayainya setelah lama waktu yang mereka lewati.

"No no no, Ayah itu lempeng ditambah Bunda yang wajahnya garang banget kalau ada perempuan genit yang deketin Ayah, itu perpaduan yang solid banget Yah.. harusnya mereka itu sadar kalau mereka nggak akan berhasil menggoda Ayah," ucap Caramel.

Kali ini Rafan ikut bicara, dia mendukung ucapan adiknya. "Mereka memang harus didepak sekali-kali biar kapok," ucapnya.

Arkan mendengus, itu sikap Rafan disekolah. Mendepak siapa saja yang membuatnya risih. Padahal kalau dipikir-pikir Rafan lebih terkenal daripada dirinya meskipun wajah mereka sama.

Kata anak-anak Rafan lebih misterius, baik-baik menyeramkan. Terlihat kalem padahal lebih nakal daripada saudara kembarnya. Semua tahu kebiasaan Rafan yang pergi ke club setiap malam meskipun sebenarnya dia kesana hanya sebagai DJ. Kalau Arkan dia nakal secara terang-terangan, bertengkar, tauran dengan teman-temannya itu sudah rutinitas sampai terkadang Fian dan Karel harus dipanggil ke sekolah. Kedua kembar ini bahkan memiliki julukan twins bad boynya sekolah.

"Nah setuju! masa iya di jidat Ayah harus kita tulis, udah milik Bunda, kan aneh," ucap Caramel.

Raka hanya menyimak obrolan adik-adiknya. Dia tidak tertarik untuk ikut membicarakan bundanya.

"Menurut Abang kita harus gimana biar Bunda berhenti merajuk?" tanya Arkan.

"Biarkan saja, Bunda tidak akan bisa marah lama pada Ayah," jawabnya dengan mengangkat bahu cuek.

Karel tersenyum tipis, dia mengambil dompet di kantung celananya. "Kalian pesan lagi untuk besok pagi, jaga-jaga kalau Bunda tidak pulang," ucap Karel.

Ketiganya mengangguk dengan antusias, mereka tidak ingin kelaparan lagi seperti hari ini.

🍁🍁🍁

Pagi ini Fian bangun terlambat, dia melebarkan matanya. Semalam karena berkumpul dengan Rain dan Putri dia jadi lupa waktu. Saat pulang semuanya sudah tidur, Karel suaminya itu masih tidur di ruang tamu dan Fian kesal dengan fakta itu.

Sekarang sudah terhitung empat hari dia tidak berkomunikasi dengan Karel. Jujur Fian tidak nyaman dan ingin kembali menempeli suaminya itu tapi dia juga kesal karena Karel diam tanpa menjelaskan apapun.

Fian bergegas bangun dan pergi keluar kamar. Anak-anaknya pasti belum bangun sekarang karena biasanya dia lah yang akan membangunkan semuanya.

"Aww," ringis Fian ketika keningnya membentur sesuatu. Dia mendongak dan terdiam menatap Karel yang sedang menatam tajam dirinya. Fian sudah siap kalau Karel akan marah karena masalah kemarin tapi ternyata pria itu tidak mengatakan apapun.

Karel hanya menatap Fian sekilas kemudian langsung berlalu tanpa mengucapkan satu katapun.

Fian mendesah kesal, ternyata dia benar-benar merindukan Karel. Dia berjalan lesu ke kamar Caramel. Di kamar bernuansa pastel itu Caramel sibuk mondar-mandir.

"Ada apa Nda? aku udah telat nih," ucapnya sembari mengambil seragamnya dan pergi ke kamar mandi. Fian memilih diam, dia keluar dan berniat menghampiri kamar Rafan yang bersebelahan dengan kamar Arkan. Dia kembali berpapasan dengan Karel.

"Rafan dan Arkan sudah bangun?" tanya Fian saat melihat Karel sepertinya baru saja dari kamar mereka.

Karel melirik sekilas. "Apa pedulimu?" ucapnya sembali berlalu pergi.

Fian terdiam, dia menundukan kepalanya dan masuk ke kamar. Mungkin dirinya sudah keterlaluan sampai membuat Karel marah tapi bukankah harusnya dia yang marah karena perbuatan Karel.

Di bawah, semua sedang sibuk memakan sarapan dengan buru-buru. Ini sudah hampir jam tujuh, hari ini Caramel dengan terpaksa berangkat dengan Rafan karena Karel dan Raka juga harus buru-buru sebelum berangkat ke Bangkok.

Fian merasa diabaikan hari ini. Dia menggeram kesal, pasti kemarin Karel sudah mempengaruhi anak-anak. Hari ini dia hanya berdiam diri di rumah menunggu semuanya pulang. Nanti malam semua masalah harus selesai, dia tidak ingin kepergian ke Solo hari minggu nanti batal.

Sore hari Caramel pulang dengan anak laki-laki yang Fian tidak kenal. Fian bersedekap di pintu rumah memperhatikan orang yang sedang bersama dengan putrinya itu.

"Bunda, kenalin ini Bayu emm pacar Kara," ucap Caramel dengan ragu.

Anak laki-laki itu tersenyum ramah, dia menyalami Fian. "Siang Tante," sapanya.

Fian balas tersenyum, dia menganggukan kepalanya. Matanya meneliti penampilan anak laki-laki itu. Wajahnya tampan dengan tampang anak baik-baik, ini memang tipe Caramel sejak dulu.

"Masuk dulu," ajak Fian.

Bayu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Maaf Tan, saya harus pulang ini sudah sore," pamitnya. "Ra aku pulang dulu yaa, jangan lupa kerjain PR kamu nanti," ucapnya.

Caramel terkekeh dan berhormat ria. "Siap boss! take care," ucapnya dengan senyuman lebar. Melihat putrinya terlihat bahagia Fian jadi ikut tersenyum.

"Bunda.. Bayu baik kan?" tanya Caramel saat masuk ke rumah dengan ibunya.

Fian mengangkat bahunya. "Kelihatan baik bukan berarti dia baik sayang, Bunda tidak bisa menilai sekarang," jawabnya.

Fian menunggu di ruang tamu, dia berjalan ke pintu dan kembali duduk di sofa. Sudah malam dan Karel belum pulang. Ditambah twins juga belum pulang, sebenarnya itu hal biasa. Fian tahu tentang pekerjaan Rafan sebagai DJ, dia tidak setuju tapi karena kepercayaannya yang besar pada anak itu maka Fian tidak melarangnya.

"Dua abangmu itu mana sih?" tanya Fian pada Caramel yang sibuk mengerjakan tugas.

Caramel mendengus geli. "Bunda nanyain Abang apa nanyain Ayah ni?" tanya Caramel.

Fian melirik kesal, dia duduk di samping putrinya. "Abangmu, udah jelaskan?" sewot Fian.

Caramel tertawa geli, dia menutup buku pelajarannya. Matanya menatap wajah khawatir bunda. "Bunda tahu kebiasaan Bang Arkan dan Bang Rafan. Kalau Bunda tanya tentang Ayah, Kara akan jawab Ayah hari ini berangkat ke Bangkok dengan Bang Raka," jawabnya.

"Apa?? ke Bangkok hari ini?" tanya Fian dengan wajah kaget.

Caramel mengangguk polos, "yapp mungkin sebulan lagi Ayah pulang," jawabnya bohong.

Fian semakin membuka mulutnya. Dia menggeleng pelan. "Terus acara ke Solo gimana?"

"Yaa pasti Ayah pikir Bunda nggak jadi pergi. Bunda sih ngambek terus, padahal Ayah itu kurang apa sih sama Bunda? semalem Ayah marah sama Bunda, bukan karena Bunda nggak mikirin kami meskipun itu juga faktor pencetus tapi yang paling buat Ayah marah itu Bunda pergi tanpa bilang dan buat Ayah khawatir," jelasnya. Semalam dia memang tidak sengaja melihat ayahnya menunggu bunda di ruang tamu meskipun wajahnya terlihat lelah.

Fian menundukan kepalanya, mungkin beberapa hari ini dirinya memang kekanak-kanakan. Niatnya hari ini ingin menyelesaikan semuanya tapi Karel justru pergi.

"Kara makan malam aja duluan, Bunda mau ke kamar," ucapnya dengan lesu. Dia menaiki tangga dan masuk ke kamarnya.

Karel itu menyebalkan, kenapa tidak bilang sama sekali kalau akan pergi. Biasanya dia akan memeluk Karel sebelum suaminya itu bertugas lama di luar kota ataupun di luar negri.

Kenapa tidak bilang kalau kamu harus pergi ke Bangkok hari ini?

Fian menatap ponselnya kembali, ragu ingin mengirim pesan ini atau tidak. Akan terlalu aneh kalau dia mengirim pesan ditengah aksi marahnya tapi dia juga benar-benar merindukan Karel.

"Kirim aja deh," gumamnya.

Lama Fian menunggu balasan dari Karel hingga jatuh tertidur di sofa kamar. Paginya saat dia mengecek ponsel, Karel belum juga membalas pesan itu.

"Huhh dia pasti cuma sibuk sampai nggak sempat balas pesan ini," ucapnya untuk meyakinkan diri sendiri.

Hari ini setelah mengantar Caramel ke sekolah, Fian pergi ke cafe dekat kantor untuk berkumpul dengan Rain dan Putri. Dia melambaikan tangannya saat melihat kedua sahabatnya itu telah duduk manis dengan pesanan masing-masing.

"Gimana masalah lo sama bos?" tanya Putri.

Fian bertopang dagu, matanya menatap kearah luar jendela. Musim hujan sudah mulai datang, hari ini langit mendung dan sekarang gerimis mulai turun.

"Belum selesai, dia justru pergi sama Raka ke Bangkok," jawabnya dengan lesu.

Rain tersenyum prihatin, dia mengusap lengan Fian. "Aku sudah bilang, Karel tidak mungkin selingkuh dengan orang itu."

Fian semakin menunduk lesu, yang menghiburnya adalah orang yang dulu adalah selingkuhan Karel, itu sama sekali tidak bisa menurunkan rasa khawatirnya.

"Ibu Fian," sapa suara wanita yang tidak terlalu asing untuk Fian.

Fian mendongak, dia melebarkan matanya. Wanita ini adalah orang yang membuat dirinya marah pada Karel beberapa hari ini. Beberapa detik kekagetan itu berubah menjadi rasa marah.

Wanita itu tersenyum ramah, kepalanya menunduk kecil. "Saya Gita sekretaris Bapak Brahman," ucapnya memperkenalkan diri meski dia tahu kalau Fian mengenalinya.

Fian berdeham, dia menegakkan tubuhnya. Dagunya sedikit terangkat, bagi wanita itu Fian memang wanita yang anggun hingga bisa membuat Karel terpikat. "Ada apa?" tanya Fian.

"Saya ingin minta maaf untuk kemarin," jawab Gita. "Maaf karena saya membuat Anda marah, kemarin Pak Karel hanya menolong saya karena saya hampir jatuh," jelasnya.

Fian terdiam, dia menatap tajam mata Gita. "Hampir jatuh atau sengaja jatuh?" tanya Fian.

Gita meneguk salivanya. Wajahnya mulai berkeringar. "Maafkan saya," lirihnya.

Fian menggeram kesal, hanya karena ulah wanita ini dia harus marah pada Karel dan sekarang Karel juga marah padanya. Dia menyambar tasnya dan pergi meninggalkan semua.

"Woy!! Fi.." panggil Putri.

Suara-suara itu Fian abaikan, sekarang dia hanya ingin menelpon Karel dan memintanya untuk pulang. Dia langsung masuk ke kamar setelah tiba di rumah.

Jemarinya dengan lincah menekan layar datar di genggamannya. Matanya menatap cemas ponsel itu.

Maaf aku salah

Hanya itu pesan yang Fian kirim. Dia hanya ingin Karel membalas pesannya. Seperti kemarin, tidak ada jawaban untuk pesannya. Karel benar-benar marah padanya. Kata Caramel, Karel pergi selama satu bulan. Mana bisa dirinya menunggu selama itu ditambah tidak ada kabar sama sekali. Mungki dia harus menyusul ke Bangkok karena rasanya dia ingin sekali memeluk Karel.

Fian berjalan lemas keluar kamar. Matanya nampak merah karena tadi dia menangis. Sudah sore, tadi dia menyuruh Caramel untuk pulang dengan salah satu abangnya.

"Loh Kara nggak bareng sama Abang?" tanya Fian saat melihat putrinya masuk ke dalam rumah.

Caramel tidak menjawab, anak itu langsung melewati Fian begitu saja. Wajah anak itu terlihat sedih dan marah. Fian mengerutkan keningnya. Dia langsung menyusul anak itu untuk bertanya.

Baru akan mengetuk pintu berwarna putih itu, Fian mendengar Caramel yang sedang menangis.

"Kenapa anak itu," gumamnya dengan wajah heran.

Caramel jarang menangis, anak itu memiliki tingkat keceriaan yang terlalu tinggi hingga berlebih. Masalah ini pasti cukup berat sampai membuat putri satu-satunya ini menangis.

"Ada apa?" tanya Caramel.

Fian mengerutkan keningnya, dia mendekatkan diri ke pintu.

"Ngomong apa? lo mau bilang yang tadi gue liat itu halusinasi?"

Suara itu terdengar ketus. Fian membuka pintu kamar Caramel. Dia menatap wajah kaget putrinya. Senyum Fian hadir menenangkan.

Caramel ikut tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Kita selesai, gue nggak mau lo deket-deket gue lagi," ucapnya.

"Ini bukan masalah sederhana! gue benci sama kata selingkuh!" bentak Caramel.

Degg, Fian melebarkan mata. Dia mendekati putrinya ini dan duduk di ujung ranjang.

"Gue tau gue nggak bisa ngimbangin lo, tapi bukan ini caranya! lo bisa putusin gue langsung tanpa harus selingkuh! selingkuh udah parah dan lo nambahin dengan selingkuh sama sohib gue sendiri?? elo, Dera itu sama aja, gue benci lo berdua!" bentaknya sebelum memutuskan sambungan telpon.

Caramel tersenyum pada Fian, dia mengayunkan ponselnya. "Biasa, masalah anak muda," ucapnya.

Fian menatap putrinya, tangannya mengusap kepala Caramel. "Kara bisa nangis di depan Bunda," ucapnya.

Caramel menggeleng, dia menundukan kepalanya. "Kara nggak mau nangis karena cowok kaya Bayu Nda," lirihnya.

"Faktanya Kara nangis," jawab Fian.

Caramel mendongak, dia meneteskan air mata dan memeluk bundanya. Dia menangis disana, menumpahkan semua emosinya.

"Kara benci mereka Nda.." isaknya. "Dari semua murid cewek di sekolah kenapa harus Dera yang jadi selingkuhan Bayu? dia sahabat Kara."

"Dera?" tanya Fian. Dia cukup kaget, Dera adalah sahabat Caramel sejak anaknya itu masuk ke jenjang SMA, berarti sudah hampir satu tahun ini. Dera juga sering sekali main ke rumah dengan Umbrella.

Caramel mengangguk. "Kara mau cerita sama Umbel tapi.. tapi Kara juga nggak mau nantinya Umbel jadi marah sama Dera, Kara nggak mau persahabatan dia sama Dera ikut rusak," ucapnya.

"Sayang dengerin Bunda," ucap Fian sembari terus mengusap kepala Caramel. "Kalau memang Kara tahu kelakuan Bayu sekarang, itu berarti bagus.. karena makin lama Kara tahu makin sakit Kara nantinya," jelas Fian.

Kepala Caramel mengangguk. "Semua bener, keliatan baik bukan berarti bener-bener baik.. Bayu, Kara nggak nyangka Bunda," lirihnya.

Fian tersenyum sedih, kenapa anaknya harus merasakan hal yang sama dengannya. "Masalah Kara dan Dera, Bunda nggak bisa ikut campur, Kara sudah besar sudah tahu mana yang benar dan salah. Bunda hanya bisa bilang kebencian membuat hati Kara semakin sakit."

"Kara harus apa Nda.. kalau untuk temenan lagi sama Dera jujur Kara nggak sanggup, rasa percaya Kara udah hilang," ucapnya.

Semua wajar, kepercayaan itu mahal harganya. Sekali dibohongi dan dikhianati maka kepercayaan akan menghilang. Seolah kita berjalan di atas lapisan es yang tipis seperti itulah rentannya nilai kepercayaan.

Fian mengerti, putrinya membutuhkan waktu untuk memaafkan Dera dan Bayu. Tidak mudah memang untu memaafkan tapi jika itu putrinya dia yakin pasti bisa. Dirinya percaya dibalik sikap kekanak-kanakan Caramel, anak itu memiliki sisi dewasa dan pemikiran yang logis menurun dari ayahnya.

"Bicara sama mereka, dengarkan dan keluarkan semua apa yang kamu inginkan, kalau hubungan dimulai dengan baik-baik kenapa berpisahnya tidak baik-baik juga?" tanya Fian dengan senyum yang membuat hati Caramel tenang.

Caramel menarik nafas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Matanya terpejam, dia tersenyum sembari mengusap air matanya. "Makasih yaa Bunda," ucapnya.

Fian tersenyum dan menganggukan kepalanya. Dia merentangkan tangannya. "Sini anak Bunda yang udah mulai remaja, peluk dulu dong," ucapnya.

Caramel terkekeh geli dan memeluk bundanya, dia masih memiliki bunda yang siap mendengarkan semua ceritanya.

Ponsel Caramel berdering, nama Dera muncul di layar. Caramel tahu, pasti Dera akan membahas tentang apa yang dia lihat di ruang perpustakaan tadi.

"Yaa halo," sapa Caramel.

"Cukup Der, besok senin gue akan ngomong sama lo. Untuk sekarang gue nggak mau lo hubungin gue tolong bilang itu sama Bayu."

"Lo tenang aja, gue nggak akan ngomong sama Umbel dan yang lain, besok senin gue pindah tempat duduk. Lo tetep di bangku biasa," lanjutnya.

Fian masih memperhatikan raut emosi putrinya.

"Sejauh ini? lo bisa nanya sama diri lo sendiri? sori untuk balik seakrab dulu gue nggak bisa, gimanapun tetep kita nggak bisa kaya dulu. Lo bisa tetep sama Umbel, gue yang akan ngejauh." Caramel menutup sambungan telponnya.

Hanya dalam batas itu toleransinya bekerja. Dia tidak akan bicara apapun tentang kelakuan Dera. Untuk kembali berteman apalagi bersahabat Caramel tidak sanggup dan tidak mau. Cukup dirinya belajar dari kesalahan saat ini.

"Bunda buatin teh mau?" tanya Fian.

Caramel menggeleng. "Kara mau tidur aja Nda," ucapnya.

Fian tersenyum, dia menghapus air mata yang kembali mengalir dari mata putrinya. "Yaudah, jangan nangis lagi yaa.. kalau nanti abang-abang kamu lihat ini mata bengkak, kamu pasti tahu siapa yang mereka cari?" tanya Fian dengan nada bercanda.

"Haha iyaa siap Nda," jawab Caramel. Dia berbaring dan menarik selimut hingga menutupi wajahnya.

Fian meninggalkan kamar putrinya. Dia berjalan menuju balkon rumah yang dihiasi taman kecil hasil dekorasinya dengan Caramel saat anak itu masih kecil. Fian duduk di kursi ayun. Dulu saat anak-anaknya masih kecil, dia akan duduk disini dan menceritakan dongeng pada si kembar dan si bungsu. Raka sibuk dengan bukunya sendiri dan anak itu akan duduk di samping ayahnya yang sedang sibuk dengan kerjaan.

Masa yang sangat indah, masa dimana semua anaknya terlihat ceria tanpa beban. Saat ini mungkin semua sudah memiliki beban masing-masing meski dirinya tidak tahu. Dia hanya bisa berdoa, agar apapun masalahnya mereka dapat melewati semua dan menjadi manusia yang lebuh kuat dari sebelumnya.

Malam ini, saat Fian sedang sibuk menyiapkan makan malam di ruang makan, Arkan pulang dengan wajah lelah.

"Ngapain kamu?" tanya Fian.

Arkan menenguk air meneral dengan rakus. "Biasa Ndaa basket sama anak-anak," jawabnya. "Si Kara mana? tumben nggak ngintilin Bunda," ucapnya.

Fian terdiam, dia kembali merapikan meja makan. "Jangan ganggu adikmu dulu," ucapnya.

Arkan mengerutkan keningnya. "Kenapa? dia sakit?" tanya lagi.

"Nggak, udah kamu mandi sana! Bang Rafan mana?"

"Yahh biasa Ndaa.. nge DJ lah dia," jawab anak itu sembari menaiki tangga.

Fian tersenyum, kepalanya menggeleng pelan. Andai saat ini Karel ada, dia pasti bisa meminta solusi untuk semuanya. Karel, suaminya itu masih belum menghubunginya sama sekali.

Sudah pukul sembilan malam, Fian masih menungu di meja makan. Arkan dan Caramel belum juga turun.

"Nyonya perlu sama panggil Den Arkan sama Non Kara?" tanya Meri.

Fian tersenyum tipis. "Nggak usah Ri.. mereka udah terlalu besar, kalau lapar mereka pasti ke bawah."

Arkan turun dengan wajah yang lebih segar dengan pakaian rumahnya. Dia duduk di kursi samping Fian. "Mana Kara? belum turun juga?" tanya Arkan.

"Mungkin masih belajar," jawab Fian.

"Assalamualaikum," ucap Rafan.

"Waalaikumsalam, tumben anak Bunda yang satu ini udah pulang," ucap Fian dengan wajah heran.

Rafan mendengus geli, dia menyalami lengan bundanua dan duduk di kursi samping Arkan. "Kan harus packing Bun," jawabnya santai.

Arkan melotot pada saudara kembarnys itu. Dengan kode mata dia memperingati tentang perjanjian mereka semalam.

"Packing kemana? kita nggak jadi ke Solo sayang, Ayah kamu aja sebulan di Bangkok," ucap Fian.

Rafan berdecak kesal, dia hampir lupa tentang rencana itu. Dia tersenyum tipis untuk menutupi kebohongannya. "Packing buat basket besok Nda, aku harus bawa baju double," elaknya dengan cengiran canggung.

"Aissh kalian girang yaa?" tanya Fian sewot.

Rafan dan Arkan terkekeh geli. "Iya dong," jawab mereka dengan kompak.

Sampai jam sepuluh malam Caramel belum juga turun. Fian akhirnya bangkit dari kursinya. Dia menatap lantai atas. Sejak tadi anak itu belum keluar dari kamar.

"Kalian makan yaa, Bunda mau panggil Kara," ucapnya sebelum pergi.

"Bunda." Panggilan itu membuat Fian reflek menoleh, dia ternganga menatap putra pertamanya yang sedang tersenyum tipis sembari menyeret koper.

Fian tersenyum girang dan langsung berlari menghampiri Raka. "Loh katanya kamu sama Ayah pergi satu bulan? Ayah mana?" tanya Fian.

Raka mengerutkan keningnya, dia menatap kedua adiknya yang sedang menatap polos tanpa dosa.

"Raka, berkas itu bisa kamu bawa hari senin nanti," ucap suara yang Fian rindukan sejak kemarin-kemarin.

Karel masih sibuk memperhatikan ponselnya di ruang tamu.

"Karel!!!" panggil Fian. Dia berlari dan langsung memeluk suaminya itu. Karel mengerutkan keningnya. Pandangan bertanya itu jatuh pada anak-anaknya.

"Aku minta maaf.. tapi kenapa kamu pulang? kata anak-anak kamu pergi satu bulan," ucap Fian.

Karel menghela nafasnya, ini pasti ulah si kembar dan Caramel. Dia mengusap kepala Fian. "Aku hanya dua hari disana," jawab Karel.

Fian menoleh pada Arkan dan Rafan dengan mata menyipit kesal. Karena dia terlalu merindukan Karel akhirnya dia kembali memeluk suaminya itu.

"Urusan kalian nanti yaaa sama Bunda," ucap Fian.

Karel mendengus geli, "kalau kamu memelukku terus, aku tidak bisa makan Fi," ucap Karel.

"Biar, aku masih ingin peluk kamu," jawabnya.

"Anak-anak melihat, kamu tidak malu?" tanya Karel.

Fian menggelengkan kepalanya. "Biar saja mereka lihat," jawabnya cuek. Dia melingkarkan lengannya di leher Karel. "Kamu marah?" tanya Fian.

Karel menganggukan kepala. "Tentu saja, kamu merajuk sampai membuat anak-anak kelaparan. Sudah kubilang jangan bawa mereka dalam acara marahmu," jawab Karel.

Fian menundukan kepala, dirinya memang sudah keterlaluan. "Maaf, aku memang salah," ucapnya dengan pelan.

Karel terseyum, dia mengecup kening istrinya. "Untuk apa aku selingkuh kalau ada kamu yang melibihi mereka semua?" tanya Karel. "Aku ini sudah tua, tidak ada waktu untuk berpikir yang lain selain kamu dan anak-anak Fi."

"Iyaa aku tahu, yasudah kamu makan biar aku panggil Caramel," ucap Fian. Dia terpaksa melepaskan pelukannya.

Fian mengetuk pintu kamar itu sebelum masuk ke dalam. Dia menatap putrinya yang masih berbaring di ranjang.

"Sayang bangun," ucap Fian.

Caramel membuka selimutnya, Fian meringis saat melihat mata putrinya membengkak.

"Bunda, gimana nih?? Kara nggak bisa turun," ucap anak itu.

"Aduh Bunda udah bilang jangan banyak nangis.." jawab Fian. Dia menoleh kearah pintu kamar. "Yaudah turun aja biar nanti Bunda bilang kalau Kara abis nonton drama korea," usul Fian.

"Masuk akal yaa?? emang dramanya sedih banget sampe bikin nangis??" tanya Caramel.

Fian melotot kesal, dia mencubit pipi anak itu. "Masih sempet mikirin itu?? udah sana turun, Ayah udah nunggu di bawah," ucapnya.

Mendengar ayahnya disebut, Caramel langsung meloncat dari kasur dan merapikan penampilannya. Dia berdiri di depan kaca sebentar lalu langsung berlari ke bawah.

"Ayah.." suara melengking Caramel memenuhi ruangan. Anak itu langsung memeluk Karel yang sedang bersiap untuk makan.

"Kamu kenapa? sakit?" tanya Raka sembari memperhatikan wajah adiknya.

Caramel tersenyum kecil dan menggelengkan kepala. "Ini tadi abis nonton drama korea ehh sedih banget Bang ceritanya," jelasnya sesuai dengan instruksi Fian tadi.

"Sejak kapan lo nonton begituan? biasanya tontonan lo film zombi," tanya Arkan.

Caramel berdecak kesal, dia duduk di samping Raka. "Pindah haluan gue," jawabnya asal.

🍁🍁🍁

Hari ini sesuai rencana, mereka semua pergi ke Solo. Di rumah itu, orang tua Fian terlihat bahagia menyambut cucu-cucunya. Caramel menemani neneknya membuat kue sedangkan Raka dan si kembar ikut kakeknya ke kebun milik keluarga.

Fian tersenyum menatap sekeliling rumah yang tidak terlalu berubah sejak terakhir dirinya kemari.

"Ada apa dengan Kara?" tanya Karel.

Fian menoleh kaget, dia tersenyum tipis. Karel pasti tahu semalam Caramel sedang berbohong.

"Hanya masalah anak remaja, aku yakin anak itu bisa melewatinya," jawab Fian sembari mendekat.

Dia menyandarkan kepalanya di bahu Karel. "Kangen.." rengeknya.

"Aku hanya pergi dua hari," ucap Karel dengan nada geli. Lengannya melingkar di pinggang Fian.

"Rasanya lama sekali, maaf karena kemarin aku menyebalkan," ucap Fian.

Karel mengangguk, "maaf karena aku tidak berusaha menjelaskan," balasnya.

Siang hari Fian mengajak semua untuk berkumpul di halaman belakang yang saat ini telah dirombak menjadi taman yang nyaman oleh Aryo.

Karel menghampiri Caramel yang sedang diam di saung sederhana. Matanya menangkap raut sedih dari mata putrinya. Dia duduk di samping Caramel yang sepertinya belum menyadari keberadaannya.

"Biasanya kamu yang paling berisik disana," ucap Karel sembari memperhatikan semua yang sibuk dengan masakan yang baru saja mereka buat.

Caramel menoleh kaget, dia tersenyum canggung. "Emm Ayah disini," gumamnya sembari mengusap tengkuk.

"Ada masalah?" tanya suara berat Karel.

Caramel menggeleng pelan. Dia menyandarkan kepala di bahu ayahnya. "Kara cuma lagi unmood Yah, biasa perempuan," jawabnya.

Karel tersenyum, dia mengacak rambut putri satu-satunya ini. "Kamu tahu harus kemana kalau butuh seseorang," ucap Karel.

Caramel langsung mengerti, ayahnya tahu kalau dia sedang ada masalah. Senyumnya mengembang, rasanya sayang sekali kalau harus bersedih terus karena masalah kecil itu.

"Ayah, ayoo Kara mau gabung sama yang lain," ucapnya dengan semangat. Dirinya harus melupakan semuanya dan mulai kembali seperti dulu, sebelum ada Bayu di kesehariannya.

Acara hari ini sama seperti biasa, meski sebentar rasanya mereka cukup puas karena bisa berkumpul. Rafan dan Arkan bahkan sudah tidak memikirkan pertandingan basketnya.

Malam ini mereka kembali ke Jakarta. Arkan merangkul bahu Caramel, wajah keduanya nampak lelah karena sore tadi mereka puas bermain di kolam milik bude Ayu tetangga di sana.

"Ra.." panggil suara itu.

Caramel menoleh, dia ternganga menatap Bayu dengan motornya sedang menunggu di depan pagar.

"Ehh emm Ayah kenalin, dia temen Kara," ucap Caramel pada Karel.

Karel menatap anak laki-laki itu sekilas, kemudian pandangannya kembali pada Caramel. "Ajak masuk saja, ini sudah malam," ucapnya.

"Nggak usah, dia cuma sebentar.." jawab Caramel dengan cepat.

Mendengar itu Karel hanya mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Dia mengajak semuanya masuk ke dalam tapi Fian memilih untuk tinggal di teras.

"Ngapain sih lo?" tanya Caramel.

"Raa dengerin aku," pinta Bayu.

Caramel menggelengkan kepalanya. "Gue bilang besok! ahh yaa kebetulan banget lo dateng, tunggu sebentar!"

Anak itu masuk ke dalam dan melihat bundanya. "Tenang Bunda, Kara nggak niat buat bunuh dia kok," kekehnya.

"Sembarangan!" jawab Fian dengan geli.

Caramel masuk ke dalam cukup lama setelah itu keluar lagi dengan menenteng kotak kardus. Dia kembali menghampiri Bayu yang masih menunggu di depan pagar.

"Nih gue balikin semuanya," ucap Caramel sembari memberikan kotal itu.

"Kenapa?" tanya Bayu.

Caramel tersenyum miring, "gue nggak mau ada jejak lo di rumah gue, kalau makanan traktiran lo bisa gue muntahin sekarang pasti gue muntahin di depan lo tapi sayangnya nggak bisa, jadi anggep aja lo sedekah," ucapnya dengan sadis.

Fian meringis geli, anaknya sudah kembali seperti biasa. Dia menggeleng pelan dengan senyuman lega.

"Aku salah, maafin aku Ra.. kakak-kakak kamu.."

"Mereka nggak tau, karena kalau mereka tau lo nggak akan bisa berdiri di depan gue sekarang," jawab Caramel dengan dingin.

Fian membenarkan tentang itu, si kembar akan menghajar anak laki-laki itu kalau sampai mereka tahu. Belum lagi Raka yang selalu tidak suka kalau Caramel menangis.

Caramel menghampiri Fian. "Ayoo Bunda masuk," ajaknya. Fian tersenyum dan mengangguk, dia merangkul bahu putrinya dan masuk ke dalam rumah.

🍁🍁🍁

Semua berjalan seperti biasa, mereka kembali ke rutinitas masing-masing. Fian bekerja setiap hari dengan Karel dan Raka. Rafan dan Arkan kembali fokus pada team basket sekolah dan Caramel yang masih bersikap normal meski saat ini menjadi pusat perhatian di sekolah karna rumor perselingkuhan Bayu dan Dera tersebar. Sangat wajar mengingat Caramel dan Bayu termasuk dalam pasangan favorit sekolah itu.

Hari minggu ini Fian sedang sibuk mencoba resep kue yang baru dengan Putri yang sedang main ke rumah. Caramel hanya bertopang dagu menatap dua ibu-ibu yang heboh bicara daripada bekerja.

"Aunty Puput.. Samudra sama Benua mana sih? kok nggak diajak?" tanya Caramel. Samudra dan Benua adalah nama anak Putri yang menurut Fian terdengar aneh. Fian bahkan harus berdebat dengan Putri dulu saat sahabatnya itu mencari nama anak.

"Sam sama Ben main sama Papanya dong.." jawab Putri.

"Ini tumben Aunty Rain nggak gabung," ucap Caramel.

Fian tersenyum, "lagi liburan sama Uncle Fatar dia biarin aja," jawabnya.

"Jadi cuma Kara yang nganggur di rumah selama hari minggu?" protesnya dengan kesal. "Hemm tau gitu Kara ikut Ayah aja tadi ke kantor. Ohh iyaa Ndaa, kemaren Kara nemu photo di laci, anak kecil perempuan sama laki-laki. Mereka siapa sih?? Kara punya adek sepupu yang selucu itu tapi nggak tau," ocehnya.

Fian mengerutkan keningnya, "yang mana?" tanya Fian.

"Itu loh, yang perempuan rambutnya coklat, yang laki-laki matanya biru," jelas Caramel.

Fian berpandangan dengan Putri dan keduanya tertawa geli. "Sembarangan! kamu sama mereka itu tuaan mereka, hemm kabar Lyza sama Ken gimana yaa?" gumam Fian.

"Iyaa, si Gavyn lama banget nggak ngirim photo mereka ke lo yaa.. gue juga penasaran," ucap Putri.

"Hello, nggak ada yang mau jelasin mereka siapa?" protes Caramel.

"Elyza Valeria Tiffani sama Ken.. Ken apasih Fi? gue lupa," tanya Putri.

Fian berdecak kesal. "Kenneth Aldebaran Soller," jelasnya dengan wajah bangga.

Putri mendengus, jalan salahkan dia, nama itu saja yang terlalu susah. "Lagiam nama kok bikin lidah kesleo," sungutnya.

"Haha dasar! Kenneth itu bahasa skotladia artinya tampan bisa berarti raja pertama juga, itu nama bagus! lidah lo aja yang bermasalah," jawab Fian. Dia menoleh pada putrinya yang masih setia mendengarkan perdebatan itu. "Tau nggak kenapa nama tengah Kara itu Starla?" tanya Fian.

"Karena Bunda suka bintang?" tanya Caramel dengan ragu.

Fian menggelengkan kepalanya. "Karena Bunda punya sahabat terbaik, namanya Aunty Stella yang artinya bintang. Dia udah seperti mommy untuk Abang Raka, dia adalah ibunya kak Lyza dan Bang Ken," jawabnya.

Caremel berohh ria, "terus sekarang Aunty Stella dimana?" tanyanya dengan wajah penasaran.

"Di tempat yang sama dengan Kak Irish dan Aunty Kinan, Aunty Stella meninggal saat melahirkan Abang Ken. Kara tau arti Aldebaran nama tengahnya Abang Ken itu apa?" tanya Fian.

Caramel melebarkan matanya. "Bintang? nama Abang Ken sama dong sama Kara?" tanya Caramel.

Fian terkekeh dan mengangguk. "Yapp bener," jawabnya.

Caramel tersenyum, "tapi kasian yaa Ndaa, baru lahir udah ditinggal ibunya," ucapnya. Dia tidak membayangkan bagaimana perasaan Kenneth saat ini. Bagaimanapun itu pasti beban yang berat.

Bel rumah berdering, Caramel pergi untuk membuka pintu itu. Mulutnya langsung terbuka lebar melihat abangnya membawa perempuan ke rumah.

Caramel langsung mendekati Raka. "Abang.." panggilnya.

Raka tersenyum tipis, dia mengusap kepala Caramel. "Adikku," ucapnya memperkenalkan Caramel.

Gadis itu tersenyum ramah. "Hay aku Chika temennya Kaka," ucapnya.

"Kaka?" tanya Caramel.

Chika terkekeh, dia menunjuk Raka. "Aku panggil dia Kaka dari dulu," jelasnya.

Caramel manatap takjub abangnya yang memasang tampang kesal. Raka itu jarang sekali menampakan ekspresinya.

"Bundaa.. ada temennya abang nih dateng," teriak Caramel. "Ayoo Kak duduk sini sama Kara," ajaknya sembari menarik lengan Chika.

Fian datang dengan wajah heran, dia menatap gadis yang sedang bicara dengan putrinya. "Temen Abang apa temen kamu?" tanya Fian.

Chika menoleh, dia tersenyum dan bangkit menghampiri Fian. "Siang Tante, masih ingat Chika?" tanya gadis itu.

Fian melebarkan matanya, dia tersenyum lebar dan memeluk gadis itu. "Chika yaampun sayang, terakhir ketemu pas kelulusan SMA Raka yaa," ucapnya.

"Hehe iya Tante, udah lama yaa.."jawabnya.

"Ketemu sama Raka dimana?" tanya Fian dengan antusias.

"Ehh emm, di.."

"Bunda, Raka ingin bicara serius dengan Bunda dan Chika. Raka tunggu di kamar," ucap pria itu sembari berlalu melewati semuanya.

Caramel ternganga, dia menatap Fian dengan pandangan bertanya.

"Chika naik ke atas dulu yaa, Tante nyusul nanti," ucap Fian. Chika mengangguk dan meninggalkan Fian dengan Caramel.

"Ahhhh sayang.. kayanya Abang kamu mau menikah deh.." ucap Fian.

Caramel mengangguk, dia juga berpikir begitu. "Cantik Ndaa, pacarnya Abang yaa?"

"Setau Bunda sih bukan, yaudah Bunda naik dulu yaa.." ucap Fian.

"Sipp Ndaa.. selamat ngobrol sama calon menantu," ucap Caramel sembari tertawa geli.

Fian ikut tertawa, dia pergi ke kamar Raka. Di depan kamar itu Chika menunggunya untuk masuk.

"Jadi kamu mau bicara apa?" tanya Fian pada Raka.

Raka menghela nafasnya. "Chika akan tinggal di sini mulai hari ini, biar dia tidur di kamar Raka, Raka akan pindah di kamar tamu," ucapnya.

Fian melebarkan matanya. "Maksudnya? kalian ingin tinggal bersama sebelum menikah? kalian harus menikah dulu sebelum tinggal satu atap," ucap Fian.

Chika mengerutkan keningnya bingung. Sedangkan Raka hanya memutar bola matanya, dia mengerti maksud bundanya.

"Pikiran Bunda salah," ucap Raka. Dia menepuk bahu Chika. "Cerita saja pada Bunda, dia tidak akan menceritakan pada orang lain," ucap Raka sebelum pergi keluar dari kamarnya.

Fian masih belum mengerti semuanya, dia menunggu Chika bicara.

"Tante, Chika minta maaf karena merepotkan, tapi Chika butuh bantuan Raka sekarang," ucapnya. Chika mulai menceritakan semuanya dan Fian hanya bisa diam mendengarkan.

"Jadi Chika besar di panti asuhan?" tanya Fian setelah mendengar cerita Chika

Chika mengangguk dengan wajah sedih. "Saat masuk SMP baru Chika di adopsi, yaa Ayah angkat Chika itu yang membuat Chika tidak nyaman dari dulu," ucapnya.

"Orang itu benar-benar keterlaluan, dia ingin menjual kamu padahal biar bagaimanapun kamu itu anaknya meskipun kamu hanya diadopsi," ucap Fian dengan emosi.

Chika tersenyum tipis. "Karena itu Chika butuh tumpangan selama beberapa hari ini, hanya sampai Ayah berhenti cari Chika," ucapnya.

Fian mengusap lengan Chika, senyumnya mengembang menenangkan. "Chika bisa tinggal disini, Kara pasti seneng punya kakak perempuan di rumah," ucapnya.

Chika tersenyum dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Dia memeluk Fian dengan erat. "Terima kasih banyak Tante," ucapnya tulus.

Di bawah, Caramel dan Putri sedang bergosip heboh tentang Raka yang untuk pertama kali mengajak seorang gadis ke rumah. Mereka sama-sama beransumsi kalau gadis itu adalah calon istri Raka.

"Apa sih heboh amat?" tanya Rafan yang datang dengan menenteng tas ranselnya. Masih dengan pakaian basket sekolah dia duduk di samping Caramel.

Di belakang Arkan menyusul, dia meminum minuman Caramel dengan santai tanpa meminta izin.

"Hemm nih yaa Bang, di atas di kamarnya Bang Raka lagi ada calon istrinya Abang yang lagi ngobrol sama Bunda," jawab Carel dengan antusias.

Arka terbatuk, dia menoleh pada adiknya. "Bang Raka?? calon istri? lo serius?" tanya Arkan.

Caramel mengangguk dengan senyum geli, sudah pasti semuanya kaget. "Lo mau liat nggak?"

"Kamu ngarang ya? mana mungkin Abang tiba-tiba bawa calon istri?" tanya Rafan dengan wajah tidak yakin.

"Ihh Abang nggak percayaan, Bang Raka itu diem-diem so sweet banget tau!" jawabnya. "Ayoo Bang Ar kita liat calonnya Bang Raka," ajak Caramel.

Arkan mengangguk, mereka berjalan menaiki anak tangga. Rafan yang ikut penasaran akhirnya mengikuti adik-adiknya juga.

Pintu kamar Raka masih terbuka, mereka mengintip dari ambang pintu. "Tuhh Bang liat!" ucap Caramel.

"Ckk kepala lo awas! ganggu pandangan gue!" ucap Arkan sembari menoyor kepala Caramel. "Wihh cakep amat, Bang Raka pinter juga milihnya," gumamnya.

"Yaiyalah, emangnya lo! kambing dibedakin juga lo mau!" kekeh Caramel.

Rafan menyipitkan matanya. "Kayanya udah deket sama Bunda," gumamnya.

"Ehhmm," dehaman Raka membuat tiga tubuh itu langsung menegak. Cengiran ketiga adiknya membuat Raka hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Ngapain kalian ngintip begitu?" tanya Raka.

"Mau liat calon istri Abang dong," jawab Arkan.

Raka mengerutkan keningnya. "Jangan ngawur! sudah sana main saja," usirnya.

Caramel mengerucutkan bibirnya, "emangnya kita anak kecil?" protesnya. "Bang kapan Kara bisa main sama kak Chika?"

Raka memutar bola matanya. "Nanti, sekarang pergi dulu, Kak Chika harus istirahat," ucapnya.

Ketiganya mengangguk dan pergi dengan berbisik-bisik. "Tuhh kan apa gue bilang, liat kan perhatiannya Bang Raka sama Kak Chika?" tanya Caramel.

Arkan mengangguk setuju, "harus diadain syukuran nih!" usulnya.

Rafan mengangguk, "yahh sebentar lagi kalau Bang Raka menikah pasti dia pindah ke rumah baru sama istrinya."

🍁🍁🍁

Raka menundukan kepalanya dalam-dalam, dia baru saja menceritakan pertemuannya dengan Chika pada Fian dan Karel.

"Kamu yakin akan membantunya? ini masalah yang serius, belum lagi dia tinggal di rumah ini, akan banyak pendapat tetangga yang mungkin tidak enak di dengar," ucap Karel.

Raka tersenyum tipis, "Raka sudah pikirkan semua Yah, kalau memang harus biar Raka pindah untuk sementara waktu," jawabnya.

Karel menghela nafasnya. "Kalau begitu Ayah akan coba bantu, semoga masalahnya bisa cepat selesai," ucap Karel sembari menepuk bahu Raka. "Ayah yakin, alasanmu membantunya sangat kuat. Dia pasti berharga untukmu," lanjutnya.

Raka terdiam cukup lama, dia tersenyum sekilas sebelum pamit keluar dari kamar kedua orang tuanya. Ucapan ayahnya barusan mengganggu pikirannya.

"Anak-anak sudah memiliki masalah masing-masing, apa yang harus kita lakukan untuk membantu mereka Karel?" tanya Fian.

Karel menarik lembut lengan Fian agar istrinya itu duduk di sampingnya. "Dengan terus bersama mereka, itu cukup bagi mereka untuk paham jika mereka mulai lelah dengan masalahnya mereka masih mempunyai kita untuk beristirahat meski sejenak," jawab Karel.

Fian tersenyum, dia mengangguk setuju. Kapanpun itu, lengannya akan terbuka lebar untuk menerima setiap keluh kesah anak-anaknya. Pelukan hangatnya akan terus tersedia untuk menenangkan anak-anaknya.

Jika dirinya mampu membantu lebih maka dia akan melakukannya. Saat ini dia hanya bisa berdoa agar disetiap masalah yang anak-anaknya akan temui nanti mereka akan selalu dimudahkan dalam setiap jalannya hingga nanti mereka akan melihat indahnya harapan.

🍁🍁🍁

Tau nggak ini berapa ribu kata?? totalnya 9444 kata wow banget aku nulis sambil mikir ditengah tugas2 yang makin numpuk...😂😂😂

Seperti judull... ini part penutup and kita ketemu di epilog nanti yaa... selesai ini baru aku akan ngerjain novel RCM stella gavyn.

Sedihh yaaa rasanyaaa udh part terakhir ajaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro