Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37. Hadirnya Twins dan Perginya Bintang

Hallo semuaaaa... maaf karena ngaret banget.. tugas banyak dan gk bisa ditinggal 😂😂

Oke langsung ajaa yaaa seperti note aku kemarin.. jadii jangan kaget dengan isinya 😊😊😊 Dan untuk pesan2 yg belum ku bales, aku akan bales sekaligus hari ini bareng sama komen part ini.. Oke??

Di note terbawah ada pilihan cast Fian.. bantu pilih yaa 😉😉😘

Happy reading guys!!

🍁🍁🍁

Fian merapikan pakaian Raka yang baru saja dia keluarkan dari tas. Mereka saat ini sedang menginap di rumah orang tua Karel. Kepalanya menoleh pada putranya yang sedang duduk bersila di ranjang.

"Raka kenapa ngeliatin nda terus?" tanya Fian.

Raka menggelengkan kepalanya. "Ndaa capek nggak sih bawa dua dedek di perut?" tanya anak itu dengan wajah polos.

Fian terkekeh, dia mendekatkan wajahnya pada wajah Raka. "Nggak dong," jawabnya bohong. Sebenarnya dia sering kelelahan, setiap berdiri lama kakinya sudah pasti pegal tapi dia menikmati prosesnya. Untungnya Karel selalu memijat kakinya setiap malam, pria itu benar-benar mengerti kondisinya. Kening Raka berkerut, matanya menyipit curiga.

Jemari Fian mengusap kerutan itu, gemas dia kecup hidung mancung milik Raka. "Ihh gemes deh ndaa," kekehnya. "Raka makan sama oma yaa, ndaa mau istirahat sebentar." Raka mengecup pipi Fian, dia mengangguk dan pergi keluar kamar.

Fian tersenyum melihat tingkat putranya yang sangat manis. Dia benar-benar merasa seperti ratu saat bersama dengan Karel dan Raka. Tangannya mengusap perut saat merasakan tendangan. Dia mengambil ponsel yang ada di nakas.

"Sayang.." sapa Fian dengan manja setelah telfonnya diangkat.

"Ada apa? aku sedang rapat Fi," jawab Karel dengan terburu-buru. Sepertinya pria itu memang sedang sibuk.

"Cuma mengingatkan, nanti harus pulang tepat waktu. Kita harus mencari keperluan si kembar," jawab Fian. Terdengar helaan nafas Karel disebrang, Fian meringis geli membayangkan kesalnya wajah Karel sekarang.

"Aku tidak akan lupa, sudah ya,"

"Ehh tunggu.."

"Apa lagi Fi?"

Fian tersenyum, dia mengusap perutnya. "Aku kangen," rengeknya.

Disebrang Karel hanya bisa tersenyum gemas. Saat ini dia sedang menjadi perhatian para karyawan yang mengikuti rapat. "Sudah yaa sayang, aku harus rapat," ucap pria itu.

Para karyawan tersenyum takjub. Seorang sedingin Karel bisa menjadi hangat hanya dengan Fian. Dalam sekali lihat mereka sangat mengerti besarnya arti Fian bagi bos ini. Wanita itu seolah menjadi yang tercantik dimata Karel meski disekeliling pria itu jelas banyak yang lebih cantik dan lebih segala-galanya.

Fian menunggu Karel pulang, dia duduk di ruang keluarga rumah ini dengan Mariska yang sedang memangku Raka.

"Iyaa ma, prediksi bulan ini," ucap Fian dengan wajah ceria.

Mariska tersenyum, kerutan tampak jelas diwajah cantiknya. Matanya terlihat teduh, sejak kepergian Kinan wanita itu lebih diam padahal yang Fian tau Mariska itu sangat ceria setipe dengan dirinya. Yaa Fian bisa mengerti perasaan Mariska karena kehilangan seorang anak memang berat.

Satu yang membuat Mariska lebih tegar adalah kehadiran Fian dan Raka yang sering menemaninya di rumah besar ini.

"Semoga lahiran nanti lancar yaa," ucap Mariska. Fian mengangguk dia tersenyum sembari menggenggam lengan ibu mertuanya.

"Apa Fian dan Karel pindah kesini saja?" tanya Fian. Masalahnya sekarang Danu masih sering keluar kota dan meninggalkan istrinya.

"Sebenarnya mama mau, tapi takut Karel menolak," jawab Mariska.

Fian terkekeh, "mana mungkin? untuk Karel mama itu wanita yang paling dia sayangi jadi apapun yang mama minta pasti Karel akan berusaha memenuhinya," ucap Fian. Mariska tersenyum, dia meneteskan airmatanya.

Tangannya mengusap kepala Fian dengan kasih sayang. Sejak dulu Fian sudah menjadi putrinya, dia tidak marah akan kepergian Fian dulu. Justru karena itu semua membaik, semua belajar dari kesalahan dan semua mengerti tentang perasaannya masing-masing. Fian seperti kepingan puzzle yang hilang dan ditemukan untuk memperbaiki dan menyatukan semuanya.

"Mama tidak apa, kalian membutuhkan privasi. Kalau mama kangen kamu dan Raka mama bisa kesana atau kamu kesini," ucapnya. Dia harus mengerti kalau Karel membutuhkan sebuah kapal untuk menjadi nahkoda sendiri.

Fian menatap ragu, dia hanya tidak tega melihat ibu mertuanya kesepian. "Mama yakin?" tanya Fian. Mariska mengangguk pasti, dia kembali mengusap kepala Raka yang sibuk membaca buku.

"Raka ntar sama oma dulu yaa? ndaa mau pergi beli keperluan adeknya Raka," ucap Fian.

Raka mengangguk tanpa menoleh, sepertinya buku yang dia pegang lebih menarik daripada semuanya.

Setengah jam mereka menunggu hingga Karel datang. Pria itu menyalami ibunya dan duduk disamping Fian. "Sudah siap?" tanya Karel.

"Yapp, aku sudah cantik kan?" tanya Fian.

Karel tersenyum, dia mengecup kening Fian. "Kamu selalu cantik, yasudah ayo," ajaknya sembari membantu Fian berdiri.

Fian mengerutkan keningnya. "Kamu tidak ingin ganti baju?"

"Nanti saja ini sudah sore," ucapnya. Karel mengusap kepala Raka. "Ayah dan bunda pergi dulu, Raka baik-baik dirumah dengan oma, oke?"

Raka mendongak, senyum tipisnya hadir. Kepalanya mengangguk. "Oke," jawabnya singkat.

Seperti biasanya Fian mengoceh di dalam mobil, dia menceritakan semua hal yang sebenarnya tidak penting sama sekali. Untuknya yang terpenting Karel tidak diam, meskipun nanti pria itu akan menjawab hanya dengan dehaman itu sudah cukup untuknya.

"Sayang cari apa sih?" tanya Fian setelah mereka tiba di toko perlengkapan bayi.

"Ponselku, kamu masuk duluan saja," ucap Karel sembari menyibak beberapa benda untuk mencari benda kotak itu.

Fian memutar bola matanya, pria ini terkesan tidak peduli dengan ponsel padahal jelas-jelas ponsel adalah benda penting apalagi untuk pria yang sering dihubungi seperti Karel. Fian berjalan masuk ke toko.

Di depan pintu sudah ada karyawan toko yang berdiri menjulang dengan senyum ramahnya. Dia mengangguk hormat. "Selamat datang ibu, ada yang bisa kami bantu?" tanya

Fian membalas senyuman itu. "Saya ingin cari perlengkapan bayi kembar," jawabnya.

"Ohh ada, bentuknya sama dengan warna yang berbeda. Ibu sendiri?" tanya gadis muda itu. Masalahnya pelanggan di toki ini biasanya datang dengan suaminya.

Mendengar pertanyaan itu dia jadi teringat saat membeli perlengkapan Raka sendiri. Senyumnya kembali hadir, saat ini Karel ada disampingnya. Dia tidak sendiri lagi. "Ada.."

"Sepertinya ponselku tertinggal di kantor." Ucapan Fian terpotong oleh Karel yang baru saja masuk ke toko itu.

Fian menoleh pada Karel, dia tersenyum geli. "Yaaa sudah biasa," kekehnya. Pandangannya kembali pada pelayan toko yang saat ini sedang terbengong melihat Karel. Mata Fian berputar jengah, lagi-lagi dia harus bicara kalau dia sudah biasa melihat suaminya menjadi pusat perhatian.

Karel sepertinya tidak peduli, dia justru merangkul pinggang Fian dengan wajah cuek.

"Mbak mulutnya ditutup nanti ada hewan masuk loh," kekeh Fian dengan wajah bercanda.

Pelayan itu mengerjapkan matanya, dia tersenyum salah tingkah. "Ohh maaf bu, abis suami ibu ganteng banget saya kira aktor nyasar," jawabnya jujur. Fian tertawa sedangkan Karel hanya mendengus kesal.

Fian memilih semua perlengkapan bayi dibantu oleh pelayan tadi. Wajahnya tampak berbinar senang melihat pakaian lucu-lucu itu. Karena hasil USG menunjukan kedua anaknya adalah laki-laki maka Fian ingin membeli warna kuning dan biru agar sama seperti upin ipin kartun yang masih sering Fian tonton sampai sekarang tidak peduli Karel dan Raka mengejeknya.

Putri jelas sangat girang mendengar kabar itu, sepertinya rencana waktu itu akan dia benar-benar dia jalankan. Fian sih tidak yakin Raka akan mau menjadi boy band, bernyanyi saja malas. Anak itu bahkan pernah mengeluh kesal saat mendengar suaranya sendiri ketika sedang bernyanyi. Sama halnya dengan Karel, Raka nol besar dalam hal seni.

"Hemm kita beli apa lagi yaa," gumam Fian.

"Beli sepeda, mobil-mobilan, papan tulis," jawab Karel yang ikut antusias memilih perlengkapan bayi mereka.

Fian meringis, dasar Karel. Orang-orang yang sejak tadi memperhatikan mereka jadi menahan tawanya melihat wajah polos Karel saat mengatakan itu. "Karel.. anak kita baru saja akan lahir, kenapa tidak sekalian kamu berikan saja pekerjaan perusahaan pada mereka?" tanya Fian dengan wajah gemas.

Karel terdiam dan terkekeh kecil, dia mengerti maksud Fian. Tangannya mengacak rambut Fian dan kemudian dengan santainya pria itu mengecup pipi Fian. Wajah Fian langsung merona, dia melirik sekitar. Orang-orang tampak memandangnya dengan iri sekarang.

Mata Fian melotot kesal, "Karel.." rengeknya. Pria itu hanya memasang smirk andalannya hingga wajahnya terlihat makin tampan sekarang.

🍁🍁🍁

Fian mengusap perutnya yang mulas, dia menggigit kencang bibirnya hingga bibir itu mengeluarkan sedikit darah. Keningnya sudah dibanjiri keringat dingin. Sepertinya dia akan melahirkan. Tangan Fian meraba nakas untuk mengambil ponselnya.

Nada sambung terdengar sangat lama hingga suara Karel menyambutnya. Saat ini dia masih dirumah orang tua Karel.

"Karel sepertinya aku akan melahirkan," ucap Fian.

Hening di sebrang, Fian memanggil Karel sebanyak dua kali hingga kembali ada jawaban. "Yaa tadi kamu bicara apa? aku sedang membaca dokumen," ucap pria itu. Fian ternganga, suaminya ini sangat menyebalkan.

Fian mengatur nafasnya. "Karelku sayang, aku akan melahirkan," ucapnya dengan nada santai.

"Ohh, yasudah. Aku tutup yaa telfonnya?" tanya Karel. Sepertinya pria itu belum menyadari ucapan Fian. Telfon itu ditutup, Fian menggelengkan kepalanya. Dasar menyebalkan terlalu fokus pada pekerjaan hingga tidak bisa mencerna kalimat dengan baik.

Fian segera berjalan pelan ke lemari untuk mengambil pakaiannya. Sudah pernah melahirkan membuat Fian mengerti persiapan apa yang harus dia lakukan terlebih dulu dia tinggal dengan Stella yang notabennya adalah dokter kandungan.

Ponsel Fian berdering, itu sudah pasti Karel. "Yaa," jawab Fian masih dengan nada santai.

"Fii!! kamu akan melahirkan?? cepat panggil Mama aku akan menyusul di rumah sakit!" perintah Karel dengan nada panik.

"Yaa yaa, yasudah aku harus berangkat," ucap Fian sebelum memutup sambungan telfonnya. Dia berjalan keluar kamar dan menghampiri ibu mertuanya yang sedang mengajak Raka bermain

"Maa sepertinya aku akan melahirkan, kita harus ke rumah sakit," ucap Fian.

Mariska melebarkan matanya, dia langsung bangkit membantu Fian berjalan sedangkan Raka hanya diam dengan wajah bingung. "Yasudah ayoo! biar supir menyiapkan mobil," ucap Mariska. Fian mengangguk, lengannya terulur pada Raka agar putranya ini menggandengnya.

Tiba di rumah sakit Fian langsung menuju ke ruang khusus bersalin untuk diperiksa. Dokter Tiara adalah teman Stella jadi Fian bisa dengan mudah akrab dengannya. Seperti pengalaman saat melahirkan Raka, wajah Fian tampak tenang meski kesakitan. Dia masih sempat mengajak bercanda Tiara disela kontraksinya.

Karel belum datang juga, entah pria itu dimana sekarang. Fian hanya bisa cemberut kesal. Apa pekerjaan lebih penting daripada menemani dirinya melahirkan.

"Sayang tadi Karel mengabari, katanya dia baru tiba di Jakarta, sekarang sedang menuju rumah sakit," jelas Mariska.

Fian mengerutkan keningnya. "Ehh? memang tadi Karel dimana?"

"Mama juga tidak tau."

Tepat sebelum proses persalinan Karel datang dan masuk menyusul Fian. Wajah pria itu berkeringat, sepertinya dia berlari tadi. Wajahnya tampak cemas dengan kerutan di keningnya.

"Maaf aku terlambat," ucapnya dengan nafas tersengal. Fian tersenyum, jemarinya mengusap kening Karel yang berkerut. Rasanya seperti saat dia menenangkan Raka.

"Tidak apa," jawabnya.

Karel mendekatkan wajahnya pada Fian. Tangannya mengusap kepala Fian dengan lembut. "Sakit sekali yaa?" tanya Karel.

Fian meringis, tentu saja sakit tapi ini proses yang sangat dia nikmati karena setelah rasa sakit ini maka setelahnya akan datang kelegaan disertai kebahagiaan luar biasa saat melihat anaknya lahir.

Karel mengecup kening Fian. "Aku disini," bisiknya.

"Oke sesuai yang aku bicarakan Fi, karena ini kembar maka kamu akan melahirkan secara caesar jadi sebentar lagi operasi akan dimulai," jelas Tiara.

Selama operasi, Karel terus berjalan kesana dan kemari dengan wajah gelisah. Jujur saja tadi dia sedang ada di Jepang dan langsung pulang setelah mengetahui Fian akan melahirkan.

Tiara keluar dengan dua suster yang membawa si kembar. Mata Karel berbinar. Perlahan kaki Karel melangkap mendekati Tiara. Kembar identik.

"Alhamdulillah lengkap, ganteng pula," ucap Tiara.

Karel tersenyum, dia mengucapkan syukur berkali-kali. Kini dua jagoan barunya telah hadir ke dunia.

"Terima kasih, aku benar-benar bahagia," bisik Karel setelah diijinkan untuk bertemu Fian.

Raka terlihat sangat senang melihat kedua adiknya. Tangan itu sejak tadi tidak berhenti mengusap pipi kemerahan kedua adik yang baru saja lahir hari ini. Tadi setelah Fian dipindahkan ke ruang rawat, Raka langsung meminta untuk melihat adik barunya.

"Nda wajahnya sama, kalau Raka salah panggil gimana?" tanya Raka polos.

Fian terkekeh geli sedangkan Karel hanya tersenyum dan mengacak rambut Raka. Orang-orang datang silih berganti untuk menjenguk Fian kecuali Stella dan Gavyn. Fian mengerti itu karena sekarang Stella juga sedang hamil besar dan mungkin situasinya tidak memungkinkan.

Malam ini Karel berbaring di ranjang pasien dengan Fian. Tangannya mengusap kepala Fian. Sejak tadi matanya lekat memandang istrinya yang terlihat beribu kali lebih cantik malam ini.

Senyum Fian mengembang sempurna, matanya balas menatap Karel. Jemari Fian mengusap wajah suaminya. Masih terbayang di otaknya saat mata Karel tadi berbinar bahagia, saat suara Karel yang berat melantunkan azan dengan begitu indahnya. Percayalah Fian merinding saat itu.

"Terima kasih untuk kado terindahnya," bisik Karel sembari mengecup lembut pipi Fian.

Yaa minggu kemarin adalah ulang tahun pria itu dan saat Fian bertanya hadiah apa yang diinginkan Karel hanya menjawab "Cukup kamu melahirkan dengan lancar, kamu dan bayi kita sehat aku sudah bahagia,"

Ahh betapa manisnya Karel hingga Fian rasanya ingin meleleh berkali-kali. Dia rasa kata i love you tidak akan cukup untuk menggambarkan perasaannya pada Karel saat ini. Ini cintanya, sebuah perasaan yang tidak pernah menuntut balasan, sebuah perasaan yang membuatnya mengerti arti perjuangan dan kesabaran.

"Kenapa menangis?" tanya Karel. Tangannya mengusap air mata Fian yang menetes di pipinya.

Fian tersenyum, dia menangkup wajah Karel. "Aku tidak pernah menyangka, setelah semua yang aku dan kamu lewati kita bisa sampai pada tahap bahagia ini, dulu aku takut berharap."

"Aku sudah berjanji untuk memperbaiki semua Fi," ucap Karel.

Fian menganggukan kepalanya. "Kamu sudah memperbaiki semua dan membangun sebuah istana yang membuat aku nyaman," jawabnya.

🍁🍁🍁

Fian menyusui Arkan yang sejak pagi rewel. Mengurus satu bayi sudah sulit dan Fiah harus mengurus dua bayi sekaligus. Beruntung banyak pelayan di rumah ini hingga dia bisa terbantu.

Pagi ini Raka sudah berangkat ke sekolah dengan dua pengasuhnya dan Karel juga sudah berangkat ke kantor. Tinggalah dia dengan dua jagoan kecilnya di kamar ini.

Rafan Safaraz Rajendra dan Arkan Lazuard Rajendra. Dua nama yang sudah Karel siapkan kedua jagoan ini. Sejak seminggu lalu Fian diperbolehkan pulang setiap malam Karel membantunya untuk merawat Rafan dan Arkan.

"Nyonya ada Ibu datang," panggil Meri dari depan pintu kamar.

Fian menoleh, "ohh ajak kesini aja Ri, aku masih ngurus si kecil nih," ucapnya sembari mengusap kepala Arkan.

Meski wajah keduanya serupa tapi kedua bayi ini memiliki perbedaan. Jika suara tangis Arkan bisa memekakan telinga, suara tangis Rafan justru pelan bahkan lebih pada merengek.

Mariska sering kemari untuk membantu Fian. Rumah ini menjadi ramai dan Fian suka itu. Putri sudah dua kali kemari dan dia selalu menatap takjub melihat dua putranya.

Kata Putri dua putra kembarnya ini memiliki wajah perpaduan antara Karel dan Fian tapi tetap saja lebih dominan pada Karel. Fian cemberut saat itu mulai dari Raka sampai Rafan dan Arkan itu dominan wajah Karel.

Tapi tetap yang menjadi juaranya adalah Raka. Putra sulungnya itu bukan hanya memiliki wajah yang mirip dengan ayahnya tapi sifatnya pun sama. Bagai pinang dibelah dua, seperti Rafan dan Arkan.

"Sini biar Mama yang gendong Arkan, kamu urus Rafan yaa," ucap Mariska saat Arkan mulai tenang dan jatuh tertidur.

Raka pulang siang hari, anak itu langsung menyusul Fian. Wajahnya tampak memerah, mungkin cuaca sangat panas di luar.

"Ndaa.." ucapnya sembari memeluk Fian.

Fian mengusap kepala Raka dan saat tangannya mengusap kening putranya dia melebarkan mata. "Raka! kamu demam?" tanya Fian dengan wajah panik.

Raka hanya diam sembari menyelipkan wajahnya di lekuk leher Fian. Lagi-lagi kebiasaan yang sama dengan Karel setiap pria itu jatuh sakit.

"Maa tolong jagain twins sebentar yaa, aku suapin Raka dulu," ucap Fian sembari menggendong Raka.

Ini yang dulu Fian takutkan, dia takut tidak bisa fokus pada Raka ketika dia melahirkan lagi. Perhatiannya pasti terbagi ditambah sekarang Raka langsung memiliki dua adik. Beruntung Raka bukan anak rewel yang akan meminta perhatian ketika ibunya sibuk mengurus adik.

"Raka dari kapan sakit?" tanya Fian dengan wajah sedih.

"Dari pagi Raka udah pusing nda, tadi mau bilang tapi nda lagi gendong adek," jawabnya dengan wajah polos.

Fian meringis, dia mendekap Raka yang saat ini duduk di pangkuannya. "Lain kali bilang sama nda kalau lagi pusing, ndaa khawatir tau," omel Fian dengan nada hampir menangis. Dia sungguh-sungguh merasa bersalah.

Fian menyuapi Raka dan menyediakan obat penurun panas. Dia menemani Raka sampai putranya itu tertidur nyenyak. Tangannya mengusap kepala Raka hingga Raka merasa nyaman.

"Cepet sembuh yaa anak nda," bisik Fian setelah mengecup kening Raka.

Karel baru pulang dari kantor pukul tujuh malam. Wajah pria itu nampak lelah tapi senyumnya tidak luntur untuk menyapa kedua bayi yang sedang ada di tempat tidur.

"Sayang, Raka sakit," ucap Fian sembari memeluk Karel.

Kening Karel berkerut. "Sakit? sekarang bagaimana?"

"Demamnya sudah turun, dia mungkin masih tidur di kamarnya," jawab Fian. Dia membantu Karel melepaskan dasi pria itu.

"Aku ke kamar Raka dulu," ucapnya.

Karel masuk ke kamar Raka yang bernuansa luar angkasa dengan warna dark dan furniture planet dan bintang. Lengannya mengusap pelan kepala Raka.

Mata itu terbuka, warna hitam legam persis seperti Karel terlihat. "Yaah?" panggil Raka dengan suara serak.

Karel tersenyum. "Hay, Raka sakit?" tanya pria itu.

Raka mengerjap, dia menyentuh keningnya sendiri. "Udah nggak yah, kepala Raka juga udah nggak pusing," jawabnya.

Karel menghela nafas, dia membantu Raka untuk duduk. "Kita ke dokter ya?" ajak Karel.

Raka menggelengkan kepalanya. "Raka udah sembuh. Ayah beliin Raka susu aja," ucapnya. Susu coklat adalah favorit Raka untuk hal itu dia mendapatkannya dari Fian yang mulai menyukai susu coklat sejak hamil Raka.

Karel tersenyum geli, dia mengacak gemas rambut Raka. "Ayah beli yang banyak, tapi Raka janji harus cepat sehat, Oke?"

Raka tersenyum tipis dan menganggukan kepalanya dengan antusias. Dia memeluk ayahnya. Di ambang pintu Fian hanya bisa tersenyum memperhatikan dua laki-laki yang dia cintai ini.

"Nda nggak ada yang peyuk niii??" tanya Fian dengan nada lucu.

Raka melepaskan pelukannya pada Karel dan merentangkan tangan lebar-lebar hingga Fian tertawa dan berlari memeluk Raka. Tidak terasa anaknya sudah sebesar ini padahal sepertinya baru saja kemarin dia harus berjuang melahirkan dan membesarkan Raka tanpa Karel.

"Ihhh anak nda yang ini emang paling emesin!!" kekeh Fian. Karel tertawa geli melihat Raka yang cemberut diperlakukan seperti anak kecil oleh Fian.

Malam ini Karel, Fian dan Raka makan di ruang makan. Si kembar sudah tidur sejak tadi jadi sekarang adalah waktu Karel dan Fian untuk putra pertamanya. Seperti biasa Fian selalu menanyakan kegiatan Raka selama di sekolah hari ini.

Raka menjawab dengan wajah cuek yang justru terlihat cute banget. "Nggak gimana-gimana Nda, gurunya masih sama temen-temen Raka juga sama nggak ganti muka, abis baca doa, belajar abis itu main terus doa lagi yaudah deh pulang," jawabnya.

Fian mendengus, dia bertopang dagu menatap Raka hingga Raka mengangkat alisnya dengan wajah heran. "Temen Raka yang namanya Chika gimana? masih suka berantem nggak sama Raka?"

Raka tersenyum kecil kemudian menggeleng. "Raka nggak nanggepin Nda kata Nda Raka mending diem aja kalo nggak suka yaudah Raka diem," jawabnya.

"Chika itu siapa?" tanya Karel.

"Itu loh yah, temennya si Raka yang waktu itu dibentak.. ihh padahal mukanya imut banget," jawab Fian.

"Tapi dia cerewet kaya ndaa, pusing kalo dia ngomong terus makanya Raka nggak mau temenan sama dia," ketus Raka.

Karel yang tadinya sedang minum langsung tersedak. Penggambaran yang sama dengan Fian, dia juga sering pusing jika Fian mengoceh tiada henti disampingnya.

"Ihhh jahatt!! masa nda dibilang cerewet sih?" protes Fian. Raka bukannya merasa bersalah justru terkekeh kecil. "Ihh nangis nih ndaa.." rengek Fian.

Karena sudah lama Raka tidak tidur dengan Karel dan Fian malam ini anak itu tidur di kamar orang tuanya karena Fian yang memaksa. Fian terus mendekap hangat tubuh Raka yang tertidur pulas. Dia mengecup kepala Raka berkali-kali sembari berdoa untuk kesehatan putranya.

Malam ini si kembar tidak rewel, mereka tidur nyenyak di boxs bayi. Jam empat subuh barulah keduanya sama-sama rewel. Seperti ikatan batin anak kembar mungkin.

Fian menimang Rafan dan mengusuinya sedangkan Karel menenangkan Arkan. Wajah Fian masih mengantuk sama dengan Karel. "Sayang itu ada botol susu yang ada ASInya," ucap Fian sembari menunjuk tas khusus menyimpan ASI.

Sedang asik-asiknya menenangkan si kembar, ponsel Karel terus berdering. Awalnya Karel mengabaikan panggilan itu karena ini bukan waktunya seseorang untuk menelepon.

"Angkat dulu siapa tau penting," ucap Fian.

Karel menghela nafas dan meletakan Arkan di boxs bayi sebelum meraih ponselnya. Wajah pria itu tampak serius saat mengangkat telepon. Beberapa detik kemudian raut wajahnya berubah.

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un," gumam Karel.

Fian membeku, dia langsung meletakan Rafan pelan-pelan dan menghampiri Karel. Dia menatap Karel dengan pandangan bertanya tapi pria itu tidak menjelaskan apapun.

"Lo udah di rumahnya?"

"Oke gue segera kesana."

Obrolan yang terdengar satu arah ditelinga Fian akhirnya berakhir. Karel mengusap bahu Fian pelan. "Aku harus ke rumah Gavyn," ucapnya. Fian tercekat, dia tidak berani bertanya siapa yang pergi. "Stella meninggal setelah proses persalinan," lanjut Karel.

Mata Fian melebar, dia membekap mulutnya. Berita ini seperti isu hoax yang marak beredar. "Stella?" tanya Fian dengan suara serak. Kemarin bahkan dia baru saja ngobrol dengan sahabatnya itu meski hanya melalui telepon. Obrolan yang sangat lama dengan pembicaraan yang tidak penting seolah itu bukan Stella.

Air mata Fian menggenang di pelupuk mata. "Kita harus kesana Karel!!" pintanya.

"Ssstt kamu tidak mungkin kesana, ada twins yang butuh kamu," ucap Karel.

Fian menggeleng, mana mungkin dia berdiam diri di rumah saat sahabatnya meninggal dunia. "Lebih tidak mungkin kalau aku tidak datang, Stella sahabatku Karel, kamu tau itu.. dia, dia sangat baik padaku," isaknya.

Karel menghela nafasnya, dia juga harus memikirkan perasaan Fian saat ini. Dia mengusap kepala Fian. "Kamu siap-siap, aku akan bangunkan Raka," ucapnya.

"Raka ikut?" tanya Fian.

Karel tersenyum tipis. "Stella mommynya, dia akan sedih kalau tidak diajak," jawab pria itu sembari menghampiri Raka yang masih terlelap.

"Wake up kiddo," bisik Karel. Lengannya menepuk pelan tangan Raka hingga mata itu terbuka. Raka menguap lebar, matanya masih sulit untuk terbuka lebar. "Raka cuci muka yaa, kita harus ke rumah mom," ucapnya.

Raka mengucek matanya. "Mom?"

Karel mengusap kepala Raka. "Mommy udah nggak ada, Raka harus kesana kasih doa," lanjutnya.

"Emm? mom pergi?" tanya Raka lagi. Sepertinya dia belum mengerti ucapan Karel.

Karel menganggukan kepalanya. "Iyaa ke tempat yang sama seperti kak Irish berada." Penjelasan itu cukup membuat Raka mengerti. Anak itu terdiam, dia mengerjapkan matanya. Jika benar maka mommy akan ada di dalam tanah sama seperti kak Irish lalu setelah itu akan pindah ke tempat yang sangat indah bernama surga.

Mereka berangkat, karena ini masih pagi buta dan azan subuh belum berkumandan jalanan masih terasa sepi. Si kembar diurus oleh pengasuh selama mereka pergi.

Di mobil Fian hanya menangis dalam diam sedangkan Raka hanya memilih untuk menundukan kepalanya. Raka sangat dekat dengan Stella, untuk Raka panggilan mommy untuk Stella bukanlah panggilan biasa tapi memang karena Stella adalah ibu keduanya. Intensitas sayang Raka sangat besar dan tidak bisa dibandingkan dengan Fian karena kedua ibunya itu adalah wanita yang sama-sama istimewa.

Di rumah besar itu orang-orang sudah mulai ramai. Di pekarangan juga sudah dipasang tenda untuk para pelayat. Fian segera masuk ke rumah yang sudah sering dia kunjungi itu.

Fian bertemu dengan Rain yang sedang menyalami orang-orang. "Rain!" panggil Fian. Rain menoleh, dia langsung memeluk Fian dan mereka menangis bersama.

"Kenapa bisa begini?" tanya Fian.

Rain menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tau, sekarang ambulans sedang menuju kemari kita siap-siap saja," jawabnya.

Setengah jam mereka menunggu hingga akhirnya ambulans datang. Jenazah Stella langsung dikeluarkan. Fian hampir terjatuh lemas kalau saja Karel tidak merangkul pinggangnya.

Keluarga Stella ada di mobil pengiring ambulans. Mata Fian langsung mencari sosok Gavyn. Jika saat ini ada yang bertanya siapa yang paling terpukul maka jawabannya sudah pasti Gavyn.

Gavyn keluar dari mobil, wajahnya tampak datar lebih dari biasanya. Tidak ada air mata yang keluar dari mata tajam itu.

Fian langsung menghampiri Gavyn setelah pria itu masuk ke rumah. "Gavyn," panggilnya. Dia langsung memeluk Gavyn, untuk pria yang telah menolong dan melindunginya selama ini dia ingin menyalurkan kekuatan sebisa mungkin. Tidak menangis bukan berarti tidak sedih, terkadang ada kesedihan yang bahkan tidak cukup untuk diluapkan dengan air mata.

"Kamu pasti bisa melewati semuanya," ucap Fian.

Gavyn terkekeh kecil, dia mengusap kepala Fian. "Bodoh, aku tidak sedih," ucapnya bohong.

Fian mencoba untuk tersenyum, "kalau aku orang lain mungkin aku akan percaya," balasnya. "Dimana Lyza?" tanya Fian. Dia tidak ingin menanyakan apapun yang akan menambah beban Gavyn karena saat ini yang pria itu butuhkan adalah teman dan dukungan.

"Dengan Omanya," jawab Gavyn.

Karena semua telah dipersiapkan maka nanti setelah subuh jenazah Stella akan segera dimandikan. Fian duduk di dekat Stella dengan Putri yang baru saja datang.

Mata Stella terpejam dengan wajah damai, ada senyum dibibirnya hingga wajah pucat itu terlihat cantik. Sekarang tidak ada lagi sahabatnya bermata sebiru batu sapphire, mata indah itu sudah tertutup. Tidak akan ada lagi Stella yang menyambut Fian dengan senyuman lebar saat dia datang ke kantor Gavyn.

"Gavyn dimana? gue belum liat," gumam Putri.

Fian menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Belum turun sejak tadi, mungkin nenangin Lyza," jawabnya.

Putri menghela nafasnya, dia merangkul bahu Fian. "Anak itu pasti tau kalau Mommynya udah nggak ada," ucapnya. Fian mengangguk setuju, meski masih kecil tapi bocah itu pasti bisa merasakannya. Karena pada dasarnya perasaan anak pada ibunya sangat kuat.

Di kursi ruangan ini Karel duduk memangku Raka yang sejak tadi masih diam. Mata Raka menatap Stella tanpa berani mendekat. Bukan takut tapi dia tidak ingin menangis.

Gavyn turun dengan pakaian yang sudah ia ganti. Ekspresi wajahnya masih terlihat sama seperti tadi, tegar meski wajah sedih itu terlihat.

Jenazah Stella dimandikan dan mulai dikafankan. Karel menggendong Raka dan lengannya mengusap kepala putranya itu. "Raka mau cium mommy? sebentar lagi mommy mau ditutup," ucapnya.

Raka menatap ragu, dia menganggukan kepalanya dan turun dari gendongan Karel. Ini kesempatan terakhirnya sebelum mommy pergi ke surga. Dia berjalan ke samping Gavyn yang sedang menatap lekat wajah Stella. "Daddy, Raka boleh cium mom?"

Gavyn menoleh dan tersenyum. "Of course, say good bye with your mom," jawabnya.

Raka mendekati wajah Stella, matanya menatap sedih wajah terpejam itu. Jika biasanya Stella yang mengecup kening, kedua pipi, dan hidung Raka maka hari ini Raka yang melakukan itu. "I'll miss you mom, like i miss my sister," ucapnya. Anak itu menangis pelan dan kemudian langsung memeluk Gavyn.

"Mommy Dad.." rengeknya.

Gavyn tersenyum dan mengusap bahu Raka. "Raka doain mom, biar nanti mom senang disana," ucap pria itu. Raka mengangguk dalam dekapan Gavyn. Suara isakannya lirih hingga yang mendengar hanyalah orang-orang yang ada di dekat mereka termasuk Fian.

Fian kembali meneteskan air matanya. Selamanya Stella akan jadi mommy untuk Raka meski wanita itu telah tiada.

Prosesi pemakaman diselenggarakan jam tujuh pagi. Langit nampak cerah, angin berhembus mengusap pelan wajah-wajah sedih di area pemakaman ini. Fian menatap Gavyn yang baru saja naik setelah meletakan Stella.

Saat itu, saat tanah mulai menutupi tubuh Stella secara perlahan, untuk pertama kalinya selama Fian bersahabat dengan Gavyn. Fian melihat pria itu meneteskan air mata. Mata pria itu memerah, dia tetap menyaksikan dengan lekat meski sepertinya jika bisa dia tidak ingin melihat itu. Mungkin saat ditutup maka kehilangan itu semakin terlihat helas hingga Gavyn tidak bisa menahannya lagi.

Para pelayat mulai bepergian, Fian menghampiri Gavyn yang tadi berdiri di dekat Karel dan Fatar. "Kamu yang kuat, aku dan yang lain selalu sama kamu," ucap Fian.

Gavyn tersenyum, dia duduk dan mengusap nisan kayu bertuliskan nama lengkap Stella. "Aku memang tidak boleh sedih, dia meninggal dalam keadaan bahagia," gumamnya.

Fian tersenyum, dia setuju dengan Gavyn. Stella meninggal dalam keadaan bahagia. Bahagia karena bisa menjadi istri dari pria yang dia cintai dam bahagian karena bisa melahirkan anaknya dengan baik meski harus mengorbankan nyawanya. "Anakmu, bagaimana sekarang?" tanya Fian.

"Di rumah sakit, setelah ini aku akan kesana," jawab Gavyn.

Fian mendekati Karel dan berbisik pada suaminya hingga pria itu mengangguk. "Aku ikut, Raka ingin lihat adiknya," ucap Fian. Gavyn hanya mengangguk.

Mereka pergi ke rumah sakit bersama-sama. Fian menatap bayi yang sekarang ada di gendongan Gavyn. Bayi yang sangat tampan perpaduan wajah Stella dan Gavyn. Mata yang tadinya terpejam itu terbuka dan Fian langsung terpesona.

"Mata ini.. milik Stella?" gumam Fian. Mata dengan warna yang sama indahnya dengan sang ibu. Gavyn tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Boleh aku gendong?" tanya Fian.

Gavyn mengulurkan putranya perlahan pada Fian dan diterima dengan suka cita. Fian menggenggam tangan kecil itu, senyumnya mengembang. Kasihan sekali nasib anak ini, bertepatan saat lahir di hari itu pula dia harus kehilangan ibunya.

"Kenneth Aldebaran Soller, Bintang terang yang tampan dari keluarga Soller," gumam Gavyn.

Fian mengerutkan keningnya, nama yang susah diucapkan tapi itu sangat berhubungan dengan nama Stella yang berarti bintang. "Hay sayang, ini bundamu.." bisik Fian dan saat itu tangan anak itu menggenggam pelan jari Fian.

"Dia akan tinggal di London dengan opa dan omanya nanti," ucap Gavyn.

Fian menoleh kaget. "Apa? Lyza juga?"

Gavyn mengangguk. "Mereka akan lebih terawat dan tidak akan kesepian dibandingkan tinggal denganku. Kamu tau aku selalu bepergian."

Fian sebenarnya tidak setuju, pria itu pasti akan merindukan kedua anaknya. Sepertinya keputusan ini Gavyn ambil bukan hanya karena alasan itu.

"Aku bisa bantu urus Lyza dan Ken, aku masih bundanya mereka," ucap Fian.

Rain mengangguk setuju. "Ada aku juga yang akan membantu."

Gavyn hanya tersenyum kemudian menggelengkan kepala. "Kalian sudah kerepotan, lagipula kasian orang tua Stella. Mereka sangat ingin cucunya ikut ke London," jelasnya.

Ucapan itu tidak terbentahkan. Semua keputusan ada di tangan Gavyn dan mereka hanya bisa mendukung yang terbaik untuk pria itu.

Siang ini mereka berkumpul di rumah Gavyn. Fian dan Rain masih mengurus Ken di kamar sedangkan Karel bergabung dengan Fatar dan Gavyn untuk mempersiapkan tahlil nanti malam.

Sebelum magrib Karel mengajak Fian dan Raka untuk pulang dulu karena mereka juga harus bersiap-siap.

"Aku pulang dulu ya," pamit Fian.

Gavyn menganggukan kepala. "Thanks sudah membantu banyak," ucapnya.

Kenyataan ini masih seperti kilasan mimpi. Kejadian ini benar-benar tidak terduga, yahh wajar saja karena kemarin Stella masih mengobrol dengannya dan sekarang wanita itu telah tiada.

Sampai di rumah Fian langsung mandi dan mengurus si kembar. "Tadi rewel nggak mbak?" tanya Fian.

"Nggak Nyonya, anteng banget mungkin ngerti kalau bundanya lagi ada urusan," jawab pengasuh itu. Fian tersenyum kecil, anak-anaknya memang pintar.

🍁🍁🍁

Hari ini adalah hari keberangkatan Lyza dan Ken setelah Ken berulang tahun yang pertama minggu kemarin. Fian menciumi pipi bulat Ken yang sekarang sedang ada di gendongannya.

"Bunda bakal kangen banget sama Ken," lirihnya.

Ken mengerjap lucu, dia memeluk Fian. "Ndaa.." ucap bocah itu. Karel tersenyum, dia mengusap kepala Ken.

Raka merangkul bahu Lyza yang masih menangis. "Lyza jangan nangis, nanti Lyza bisa balik kesini terus main sama abang lagi," hiburnya.

Gavyn berlutut, dia mengusap bahu Lyza. "Dengar kata bang Raka, Daddy juga akan sering berkunjung." Lyza tetap menangis dan memekul Gavyn dengan erat.

"Promise to me, be the good girl honey," ucap Gavyn.

Fian tersenyum sedih saat mendengarnya, ini pasti sangat berat untuk Gavyn. Lyza terlalu kecil terlebih Ken. Mereka tidak akan mengerti alasan Gavyn mengirim mereka ke tempat yang jauh.

Fian memberikan Kenneth pada omanya dan menghampiri Lyza. "Lyza baik-baik yaa, bunda doa dari sini," ucap Fian. Lyza mengangguk dan memeluk erat Fian. Merasakan kehangatan seorang ibu yang sosoknya telah hilang satu tahun yang lalu.

Perpisahan ini menyedihkan tapi bagaimanapun suatu saat nanti mereka akan kembali bertemu. Fian yakin itu.

Lyza berdada ria masih dengan air mata yang mengalir di pipi yang memerah itu. Fian membalas lambaian itu, senyumnya terukir menenangkan. Ini bukan perpisahan selamanya. Masih akan banyak kesempatam mereka untuk bertemu dan saat itu tiba Fian masih akan menganggap Lyza dan Ken adalah anak-anaknya.

🍁🍁🍁

Yapp udah aku bilang kann kalian akan tau ending Stella dan Gavyn disini. Tunggu cerita mereka yaa.. mudah2an bisa greget..

Oh iya ada yg nanya kenapa pembatas NADW itu daun maple dan kenapa RCM itu salju.

Hemm begini, daun maple itu ada filosofinya. Kita akan jatuh cinta dengan orang yg berjalan bersama kita.. jadi ibaratnya itu Karel yg jatuh cinta sama fian karena emang fian yg selalu ada disampingnya 😂😂

Kalau RCM kenapa salju, itu karena salju menggambarkan keindahan tapi ada juga sisi misteriusnya.. Gavyn banget.

Oke mungkin ada lagi yg mau tanya2 tentang NADW? ohh iya cerita ini akan aku privat setelah epilog diupload yaa.. biar aman dan gk ada kejadian yg gk mengenakan.. apadah ndahh 😂

Cerita Gavyn Stella judulnya Roller Coaster Marriage sudah hadir.. masih prolog menunggu NADW. Setelah ini akan ada 2 part pendek yg mudah2an bisa diupdate sekaligus setelah itu baru epilog.

Satu lagi gengss.. aelah ndah banyak amat notenyaa wkwk

ada pilihan cast Fian ni.

1. Preechaya Pongthananikom *susah yaa ice panggilannya
Aku suka dia karena pas main i'm fine thank you love you, yg suka film thailand pasti tauuu.. nahh dia itu lucuu ekspresif 😂.. cantik tapi gk berlebihan

2. Kalo ini namanya Eunha
Kalau ini aku suka karena mukanya imut2 gituuuu hihi rekomen dari readers kemarin..

Jadii kalian setuju yg mana?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro