Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36. Kehidupan yang Lebih Baik

Hayy semuaa kakak, adik, teman ahh elahh apaan dah, 😂😂😂😂

Maaf karena agak lama, yahh sempet kehilangan mood nulis jadi break sejenak dan mulai berpikir lagi.. apaan dah 😁

Okee langsung ajaa happy reading guys, hope you like this chapter

Di note paling bawah ada foto Karel 😉

🍁🍁🍁

Fian menghampiri Raka yang wajahnya terlihat suntuk. Putranya itu hanya bertopang dagu menatap taman dihadapannya. Tidak terasa hari ini adalah hari pertama putranya masuk ke taman kanak-kanak.

"Heyy anaknya bunda kenapa?" tanya Fian. Raka hanya diam tanpa menjawab pertanyaan Fian. Yahh ternyata putranya ini benar-benar mendapatkan sikap Karel. Bicara seperlunya saja. "Tadi pagi gimana? temen-temennya seru?" tanya Fian lagi.

Raka berdecak kesal. "Raka diliatin terus nda.. emang wajah Raka aneh?" tanya anak itu.

Fian meringis, yahh sejak pendaftaran minggu kemarin putranya ini memang sudah menjadi pusat perhatian dan sepertinya Raka risih dengan itu.

"Raka ganteng kok," ucap Fian dengan cengirannya.

Raka mendengus kesal, wajahnya semakin tertekuk. Itu bukan jawaban atas kekesalannya. "Tadi ada cewek yang deketin Raka nda, kan Raka sama dia masih kecil," sungut bocah itu.

"Ehh masa sih?" tanya Fian kaget.

Raka hanya mengangguk, dia meletakan kepalanya di pangkuan Fian. Dengan lembut Fian mengusap kepala Raka hingga anak itu merasa nyaman. "Terus ceweknya Raka apain?"

Raka mengerjap polos, "Raka bentak biar minggir, abis tadi pas mau lewat dia ngehalangin jalannya Raka," jawab anak itu dengan mengangkat bahu cuek.

Fian ternganga, astaga ternyata arogan dari ayahnya juga menurun. Benar-benar gawat, dia tidak ingin putranya menjadi anak laki-laki yang dingin seperti ayahnya nanti. Dia mencubit pipi Raka. "Siapa yang ajarin Raka bentak-bentak? kalau anaknya sakit hati Raka mau tanggung jawab?" omel Fian.

Raka bangun dari pangkuan Fian. Dia melipat tangannya dengan wajah galak yang menurut Fian justru semakin lucu. Fian menghela nafasnya, dia mengusap kepala Raka. Pandangannya menyorotkan kelembutan seorang ibu. "Bunda nggak suka Raka begini, nggak baik kalau Raka sampai nyakitin hati orang. Coba kalau bunda dibentak sama orang lain, Raka terima nggak?"

Raka terdiam, dia menggelengkan kepalanya. "Tapi Raka risih nda.." ucapnya.

Fian tersenyum, dia kecup kening putranya. "Kalau risih kan bisa bilang baik-baik, nggak perlu bentak. Nahh lebih baik lagi kalau Raka diem, ntar temen-temen Raka pasti bosen sendiri," ucapnya.

Karel datang dengan kemeja yang sudah digulung hingga siku. Pria itu nampak lelah meskipun masih ada senyum diwajahnya. Kakinya melangkah mendekati Fian dan Raka.

"Ada apa?" tanya suara berat itu.

Wajah Fian berbinar senang, dia langsung memeluk Karel tanpa malu meskipun ada Raka disana. "Sayang!! hari ini katanya pulang terlambat?" tanya Fian.

Karel tersenyum geli, dia mengusap kepala Fian. "Aku sudah menyelesaikan semua tadi."

Raka memutar bola matanya. Dia sudah terbiasa dengan sikap manja bundanya itu. "Ndaa Raka disini," sungut Raka. Sikap anak ini benar-benar tidak seperti anak TK.

Fian mengerucutkan bibirnya. "Terus kenapa?" tanya Fian.

Karel hanya menggelengkan kepalanya. Dia menggendong bocah yang masih memasang tampang kesal itu. "Ada apa jagoan?" tanya Karel.

"Yaa si casanova kita ini sepertinya kewalahan menghadapi fansnya," kekeh Fian.

Kening Karel berkerut, dia menatap putranya. "Benar?" tanya Karel. Raka tidak menjawab. "Fi tolong buatkan aku teh yaa," ucap Karel.

Fian tersenyum, dia mengangguk mengerti. Karel butuh bicara dengan Raka karena biasanya hanya pria itu yang selalu mengerti tentang perasaan Raka. "Oke, dada sayang," ucap Fian setelah mengecup pipi Raka.

"Ndaa.." protes Raka yang tidak suka diperlakukan seperti anak kecil.

Karel mengajak Raka untuk duduk di ruangan keluarga. Disana Raka menceritakan semuanya pada Karel tanpa ada yang ditutupi. Karel menghela nafasnya.

"Menurut Raka perbuatan Raka ini salah atau benar?" tanya Karel masih dengan wajah santai.

Raka menundukan kepalanya. "Katanya nda Raka salah," ucapnya.

Karel tersenyum tipis. "Ayah bertanya pendapat Raka bukan bunda," ucapnya lagi.

Kepala Raka semakin menunduk, dia berdecak pelan. Rasanya Karel seperti melihat dirinya saat kecil, pantas mamanya selalu bilang kalau Raka ini copyan Karel. "Salah yah," ucapnya.

"Kenapa?" tanya Karel. Raka kembali diam, dia mengangkat wajahnya. Kepalanya menggeleng polos. Karel tersenyum tipis. "Laki-laki itu tidak ada yang membentak apalagi memukul perempuan. Tugas laki-laki itu melindungi bukan menyakiti," jelas Karel. Dia mengusap kepala Raka. "Ayah tidak minta Raka mengerti, setidaknya Raka harus tau soal itu," ucapnya.

Raka tersenyum, dia menganggukan kepalanya. "Besok Raka minta maaf yah," ucap anak itu.

"Good, sekarang ayo makan sebelum bundamu berasap," ucap Karel. Raka terkekeh geli, dia menganggukan kepalanya dan mengikuti Karel.

Rumah ini adalah rumah yang dulu Karel dan Fian tempati, sejak kembali ke Jakarta mereka memang memutuskan untuk tetap tinggal di rumah ini. Bi Peni dan Meri tetap ikut dirumah ini, ditambah beberapa pekerja tambahan yang menurut Fian sebenarnya tidak terlalu diperlukan mengingat dirinya juga bisa membantu mengurus rumah. Fian memang tidak bekerja dulu, karena bagi Karel yang terpenting adalah perkembangan Raka yang tidak akan terulang.

Fian tersenyum melihat Karel dan Raka datang. Dua orang yang penting dalam hidupnya ini selalu memberikan warna setiap harinya. "Jadi anak ndaa ini udah tau apa yang harus dilakuin?" tanya Fian sembari berjongkok di depan Raka

Raka menganggukan kepalanya. "Iya nda, besok Raka minta maaf," ucapnya.

"Nahh itu baru anaknya ndaa, oke sekarang kita makan.." ucap Fian. Seperti hari-hari biasanya, hanya Fian yang meramaikan suasana, dia harap nanti dia akan memiliki partner untuk membuat rumah ini ramai.

Fian membuka pintu kamar. Dia tersenyum melihat Karel sedang memandang laptopnya di sofa. Kakinya melangkah mendekat. "Memang tidak lelah sampai kerjaanpun kamu bawa ke rumah?"

Karel mendongak, dia tersenyum dan menarik Fian untuk duduk dipangkuannya. "Dimana Raka?" tanya Karel.

"Sudah tidur dikamarnya," jawab Fian sembari mengalungkan lengannya di leher Karel.

"Aku masih ada beberapa pekerjaan, tidurlah duluan," ucap Karel.

Fian melirik layar laptop Karel. Tumben sekali pria ini tidak mengerjakannya di ruang kerja. "Perlu aku bantu?" tanya Fian.

Karel menggelengkan kepalanya. "Kamu sudah mengurus Raka seharian, sekarang istirahatlah."

"Raka itu sudah besar, kamu tau kalau sekarang aku tidak terlalu banuak mengurusnya. Ohh yaa Karel, kapan aku bisa kembali kerja?" tanya Fian.

Wajah Karel tampak sedang menimbang jawabannya, dia mengerutkan kening lalu menggelengkan kepala. "Sebentar lagi kamu akan mengurus adiknya Raka, hemm sepertinya lebih baik kamu berhenti saja," jawabnya. Fian melotot kesal dan mencubit perut Karel. "Sudah waktunya Raka punya adik," kekehnya.

"Karel.. fokus!!" rengek Fian.

Karel menghela nafasnya, dia memainkan jemari Fian. "Nanti saja, sekarang yang terpenting adalah Raka, sayang," ucapnya lembut.

"Tapi aku kesepian kalau nanti Raka sekolah dan kamu kerja.." Fian memainkan kancing t-shirt yang Karel pakai sekarang.

Karel tersenyum geli, dia menjawil hidung Fian dengan gemas. "Kamu bisa ke kantor kalau bosan di rumah," jawabnya. Fian merengut kesal, percuma saja membujuk Karel. Dia bangkit dan berbaring di ranjangnya sembari membaca novel yang baru saja dia beli. Lebih tepatnya pura-pura membaca.

Kepala Karel menggeleng, semakin hari tingkah Fian semakin manja. Dia akhirnya mengalah, ditutup laptop yang masih menampilkan ms. word itu lalu pergi menyusul Fian. Pria itu duduk di pinggir ranjang dan menarik novel itu dari hadapan Fian.

"Apa?" tanya Fian sewot.

"Kamu akan pusing kalau membaca buku terbalik," ucapnya.

Bulu mata lentik itu bergerak saat mata Fian mengerjap beberapa kali. "Ehh? aku memang sengaja, sini bukunya!" pinta Fian. Karel menggeleng, dia menyembunyikan buku itu di balik tubuhnya. "Karel!!"

Saat tangan Fian terulur untuk mengambil novel itu Karel langsung menarik lengan itu. Saat ini tidak ada jarak diantara mereka. Fian menahan nafas, reaksi tubuhnya memang selalu seperti ini saat berdekatan dengan suaminya.

"Aku akan mengizinkanmu bekerja," ucap Karel. Mata Fian melebar, dia tersenyum senang dan memeluk Karel. "Tapi ada satu syarat," bisik pria itu.

Fian mengerutkan keningnya. "Apa?" tanya Fian.

Karel mengecup puncak kepala Fian. "Kamu harus bisa mengatur waktu, Raka butuh bundanya sayang," ucap pria itu.

"Ohh tenang, Raka tetap jadi prioritas kita," ucapnya. Wajahnya sekarang benar-benar ceria, berbeda dengan yang tadi. Tangan Fian mengusap bekas luka itu, hal yang selalu dia lakukan sejak dirinya kembali bertemu dengan Karel.

"Apa aku menyeramkan? kamu selalu menyentuh bekas luka ini," bisik Karel. Fian merinding mendengar suara itu, itu terdengar sangat hemm seksi mungki. Dia terkekeh geli karena pikirannya sendiri.

Fian menggigit bibir bawahnya, kepalanya menggeleng. "Kamu masih sama tampannya, bekas luka itu justru membuatmu lebih.." dia menghentikan ucapannya. Senyumnya semakin mengembang, wajahnya tampak manis meski tanpa polesan make up.

Karel mengerutkan keningnya, dia menatap Fian dengan pandangan menantang. "Lebih apa?" tanya pria itu. Fian tidak menjawab, dia hanya diam dan menatap wajah Karel hingga pria itu gemas sendiri. "Ck lebih seksi bukan?" tanya Karel.

Fian terkekeh, dia menganggukan kepalanya. "Sangat.." ucapnya.

"Dasar," Karel menggenggam lengan Fian. Dia mengecup lengan kecil itu. "Terima kasih untuk semuanya Fi, maaf belum bisa menjadi yang terbaik," gumamnya.

Fian menggelengkan kepalanya, Karel selalu mengucapkan ini setiap malam meski dirinya selalu bicara kalau dia sudah bahagia. "Aku bahagia Karel, dengan kamu dengan Raka, kamu sudah melakukan yang terbaik." Dia mendekat, lengannya menangkup wajah Karel agar pria itu menatapnya. "Kalau kita kembali pada masa saat kamu melamarku dulu jawabanku akan tetap sama, aku akan menerima kamu meski aku sudah tau jalannya."

Karel tersenyum, dia mengecup lengan Fian lagi. Kening mereka bersatu. "Aku beruntung memiliki kamu," bisiknya.

🍁🍁🍁

"Sayang nanti aku ke kantor Gavyn yaa.. Stella juga ada disana siang ini," ucap Fian sembari menyiapkan sarapan untuk Karel dan Raka.

Karel merapikan setelan jasnya, dia duduk di kursinya dan tersenyum melihat Raka sedang sibuk memakan rotinya. "Raka bagaimana?" tanya Karel pada Fian.

Fian duduk disamping Raka, dia mengusap puncak kepala putranya. "Aku ajak dong, Raka mau kan main ke tempat daddy?" tanya Fian.

Raka menganggukan kepalanya santai. Lagipula dia sudah lama tidak main dengan mommy dan daddynya.

"Pulang sekolah nda?" tanya Raka.

"Iyaa nanti bunda nungguin Raka sampe pulang, terus kita langsung ke kantor daddy, oke?" ajak Fian semangat.

Raka hanya merespon Fian dengan wajah datarnya. "Ayah belum bilang boleh nda," ucapnya sembari mengangkat alis.

Fian mendengus, dia belarih pada Karel dengan mata berbinar memohon. "Bolehkan sayang??" rengeknya dengan wajah memelas. Raka memandang bundanya, ngeri sekali pemandangan dihadapannya ini.

Karel tersenyum, dia mengangguk asalkan Fian bisa menjaga diri, dia tidak akan melarang Fian.

Raka duduk dengan tenang di belakang. Anak itu mengambil buku yang baru saja dia dapat dari sekolahnya. Dia abaikan suara berisik bundanya yang sedang bicara dengan ayah.

"Raka masuk dulu yah," pamit anak itu. "Ndaa Raka duluan, udah mau masuk," ucapnya.

Fian hanya bisa cemberut kesal, dia menatap Karel. "Lihat kelakuannya," keluh Fian. "Ohh iya nanti aku mampir ke makam Kinan dan Irish yaa?"

Karel menghela nafasnya. "Raka ikut?" Putranya belum pernah pergi ke makam kakak dan tantenya itu.

Fian tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Aku ingin Raka mengenal kakak dan tantenya," ucap Fian. Selama ini Raka belum pernah mengetahui tentang Irish, kakaknya, anak pertama Fian dan Karel yang belum sempat hadir di dunia.

"Baiklah hati-hati," jawab Karel. Fian tersenyum, dia mengecup pipi Karel sebelum keluar dari mobil.

Di depan taman kanak-kanak itu para ibu sedang semangat menunggu anak-anaknya. Yahh wajar saja, ini masih baru jadi pasti semua antusias melihat putra putri mereka bersekolah.

Para ibu itu menyambut Fian dengan senyuman. "Bu Fian, suaminya nggak mampir dulu?" tanya Bu Maya.

Fian mengerutkan keningnya, sepertinya dia telah salah duga. Ibu-ibu ini tampak antusias bukan karena putra putri mereka tapi karena Karel suaminya.

"Ehh iyaa, ayahnya Raka lagi sibuk," jawab Fian seadanya. Dia mencoba untuk tersenyum sopan pada para wanita yang kebanyakan ibu muda yang baru memiliki satu anak sama seperti dirinya.

"Wahh iyaa sih, wajar kalau sibuk.." kekeh ibu Disa.

"Yahh padahal kita mau ngobrol loh bu Fian," timpal ibu Maya.

Fian berdecak kesal dalam hati, ini semua karena Karel yang ikut saat pendaftaran Raka. Harusnya dia datang saja sendiri, bukan masalah cemburu atau apa tapi dia hanya malas menanggapi para fans Karel ini.

"Ehh udah-udah kasian bu Fian, risih dong kalo suaminya jadi rebutan begitu," ucap bu Fatma.

Fian tersenyum, dia duduk di samping bu Fatma. "Ahh nggak kok, udah biasa," ucapnya. Yahh setidaknya dia beruntung karena masih ada yang senormal bu Fatma disini.

Taman kanak-kanak ini memiliki jam belajar selama 2 jam dan sisanya adalah bermain sembari belajar selama 1 jam. Cukup efektif bagi anak-anak yang mudah bosan dengan suasana kelas.

Jam istirahat Raka menghampiri Fian. Anak itu duduk di pangkuan Fian sembari meminum minuman dari botol yang dia bawa. "Ndaa Raka udah minta maaf," ucap anak itu.

"Ohh yaa? bagus dong, dimaafin nggak?" tanya Fian.

Raka mengangkat bahunya. "Nggak tau, abis minta maaf Raka langsung pergi," jawabnya cuek.

"Aisshh anak ini," keluh Fian. Dia menatap segerombolan anak yang keluar dari pintu kelas. "Yang mana sih anaknya?"

Raka menunjuk anak perempuan dengan rambut dikuncir satu yang sedang tertawa dengan temannya, wajah anak itu nampak manis ditambah aksesoris lucu di rambutnya menambah kesan imut pada wajah itu.

"Ihhh Raka!! masa cantik kaya boneka gitu dibentak sih!" Fian kesal sendiri dengan sikap anaknya itu.

Raka mengerucutkan bibirnya. Pipinya menggembung lucu. "Raka masih kecil ndaa.." ucapnya.

Fian mendengus, benar juga kata Raka. Tapi maksud Fian setidaknya anaknya bisa berteman dengan baik dengan anak manis itu. Tangan Fian melambai saat anak itu menoleh padanya.

"Haii sini.." panggil Fian.

Anak itu tersenyum dan menghampiri Fian. "Tante manggil Chika?"

"Ohh namanya Chika?" tanya Fian. Anak itu mengangguk dengan antusias. Dia menoleh pada Raka.

"Ini mamanya Kaka yaa?" tanya anak itu.

"Raka! bukan Kaka!" protes Raka.

Chika cemberut, pipinya memerah tanda anak itu benar-benar kesal. "Tapi Chika maunya panggil Kaka!!" balas anak itu.

"Tuhh kan ndaa dia ngeselin! kenapa nda panggil?" tanya Raka dengan wajah kesal juga. Fian meringis kecil.

"Aduh udah yaa kan tadi udah baikan, nahh Chika mamanya mana?" tanya Fian berusaha untuk mencairkan suasana.

Chika terdiam, dia menundukan kepalanya. "Ada tante, nanti siang Ibu jemput Chika," jawabnya. Fian menyaksikan tampang sedih itu tapi dia tidak ingin banyak bicara, dia hanya tersenyum.

"Yaudah, sekarang Raka minta maaf lagi sama Chika.. bunda nggak mau Raka punya musuh," ucapnya dengan nada tegas.

Raka baru akan membantah, tapi dia melihat mata Fian yang tidak ingin dibantah. Dia berdecak kesal dan turun dari pangkuan Fian. Tangannya terulur pada anak perempuan di depannya.

"Raka minta maaf," ucapnya.

Chika tertawa kecil, dia mengangguk dan menjabat tangan Raka. "Chika maafin Kaka," ucapnya. Fian tersenyum melihat putranya terlihat sangat manis sekarang.

🍁🍁🍁

Raka mengerutkan keningnya saat mobil berhenti di kompleks pemakaman. Tadi bundanya bilang akan pergi ke kantor daddy, apa sekarang kantor daddynya pindah.

"Kita mampir dulu yaa sayang," ucap Fian sekaligus sebagai penjelasan untuk Raka.

Raka berjalan di samping Fian, mereka berhenti di makan dengan nisan keramik putih dengan ukiran nama Kinan disana. Fian duduk, sembari mengusap nisan itu.

"Ini siapa nda?" tanya Raka.

Fian tersenyum, "ini tantenya Raka, namanya tante Kinan. Dulu dia sayang banget sama Raka waktu Raka masih ada di kandungannya bunda," jelas Fian. "Tante Kinan itu adeknya ayah, dulu tante dikasarin sama laki-laki."

Raka mengerjapkan matanya. Fian tersenyum, tangannya menangkup wajah Raka. "Makanya ayah nggak suka kalau Raka kasar sama perempuan," jelasnya. Ini masih terlalu dini untuk menjelaskan tapi dia percaya Raka pasti sudah mengerti ucapannya.

"Bunda tau, Raka pintar pasti anak bunda ini ngerti maksud bunda," ucap Fian. Raka tersenyum, dia mengangguk dan memeluk leher Fian. "Ada satu lagi yang mau bunda kenalin sama Raka," bisik Fian.

Fian mengajak Raka ke makam kecil, ini makam Irish. "Kalau ini kakaknya Raka," jelas Fian.

"Tapi kayanya gedean Raka," gumam anak itu melihat ukuran makam.

Fian terkekeh geli. "Badannya doang, tapi Irish ini kakaknya Raka. Kak Irish meninggal waktu masih di perutnya bunda," jelas Fian.

Raka mendekati makam itu, dia mengusap nisannya. Wajah itu nampak serius. "Raka akan jaga ndaa sama ayah kak," ucapnya. Dia menatap bundanya, sedikit-sedikit dia mengerti maksud bundanya mengajak dia kemari. "Raka janji nggak kasar lagi ndaa.." ucap anak itu sembari memeluk Fian.

"Bunda percaya Raka." Lembut Fian mengusap kepala putranya. "Yaudah kita ke kantor daddy yaa sekarang," ajak Fian.

"Mau gendong apa jalan sendiri?" tanya Fian.

Raka terkekeh, "jalan dong ndaa Raka udah berat," jawabnya. Fian terkekeh dia menggandeng lengan kecil Raka dan pergi menuju mobil.

Mereka memasuki gedung kantor milik Gavyn. Pandangan mata beberapa orang langsung tertuju pada Fian yang sedang menggandeng putranya. Beberapa kali Fian kemari dan respon orang-orang itu masih tetap sama. Fian berusaha tetap cuek, dia melangkah pasti memasuki lift.

Setelah masuk ke ruangan Gavyn barulah wajah kesal Fian terbit. Dia menjatuhkan diri di sofa sedangkan Raka langsung menghampiri Gavyn.

"Mana Stella?" tanya Fian.

"Di toilet," jawab Gavyn. Pria itu sibuk berinteraksi dengan Raka. "Kemana saja jagoan? kau lupa dengan daddymu?" protes Gavyn karena Raka jarang kemari.

Stella keluar dari toilet dan duduk di samping Fian. "Heyy akhirnya datang juga," sambut Stella. "Raka.. kamu tidak rindu mommy?"

"Ayolahh Raka sekarang sibuk sekolah daddy mommy.." keluh Raka. Anak itu berjalan menghampiri Stella dan memeluknya.

"Mom.. dimana Lyza?" tanya Raka. Lyza adalah anak pertama Gavyn dan Stella yang sudah berumur dua tahun.

"Sedang main dengan pengasuhnya, ohh iya Raka sudah makan?"

Raka mengangguk. "Sudah," jawabnya. Dia duduk diantara Stella dan Fian yang masih menyandarkan tubuhnya.

"Kamu ini kenapa?" tanya Stella.

"Gavyn.. kenapa sih setiap aku kemari mereka melihatku seolah aku ini virus aneh?" tanya Fian.

Stella terdiam sebentar sebelum tawanya pecah. Dia mengerti maksud Fian karena dulu dia juga diperlakukan begitu. Stella menepuk bahu Fuan dramatis. "Aku juga begitu, orang-orang disini memang unik."

"Unik apanya?? ihh menyebalkan.."

Stella terkekeh. "Kamu istri Karel, wajar mereka melihatmu begitu, itu sudah resiko menikah dengan orang seperti Karel."

Fian memandang Stella dengan tatapan horor. "Dia bukan aktor!" ucapnya.

"Memang bukan, tapi dia itu terkenal dalam dunia bisnis." Stella mengusap kepala Raka. "Sayang mommy punya kabar baik," ucapnya.

"Apa?" tanya Raka. Stella tersenyum lebar, dia mengusap perutnya. Saat itu juga Fian mengerti maksud Stella.

Mata Fian melebar, dia ikut tersenyum senang. "Jadi Lyza akan punya adik?" tanya Fian. Stella terkekeh dan menganggukan kepalanya.

"Hehe iyaa sudah satu setengah bulan, Naah Lyza sudah mau punya adik, kapan kamu akan membuat adik untuk Raka?" ledek Stella.

Gavyn terkekeh, dia menghampiri Stella dan Fian. Pria itu duduk di samping istrinya. "Iyaa Raka sudah cukup besar," timpal Gavyn.

Fian cemberut kesal dia menatap Raka yang wajahnya masih tenang. "Raka nggak iri kan kalau Lyza punya adik?" tanya Fian.

Raka menggelengkan kepalanya. "Lyza juga adeknya Raka, adek yang diperut mom juga. Kenapa Raka harus iri?" tanya anak itu dengan wajah cuek.

Stella tersenyum, dia mengacak gemas rambut Raka. "Benar-benar anak Karel," kekehnya. Fian mendengus, dia setuju. Benar-benar anak Karel, mulai dari wajah hingga sikap dan cara bicaranya. Padahal mereka sempat terpisah satu tahun lebih.

Fian dan Raka tetap di kantor Gavyn hingga jam pulang perusahaan. Mereka menunggu Karel yang sedang dalam perjalanan kemari untuk menjemput Fian dan Raka.

"Karell.." sambut Fian sembari berlari menghampiri suaminya yang baru masuk ke ruangan kerja Gavyn. "Kenapa lama?"

Karel tersenyum geli, dia mengusap kepala Fian. "Kamu tau jalanan selalu padat, yasudah ayo pulang," ajaknya. Pria itu menggendong Raka dan menghampiri Gavyn.

"Tadi Fatar ke kantorku, dia menyampaikan pesan dari Rain. Kau harus datang ke rumah malam ini," ucap Karel.

Gavyn mendengus, dia melonggarkan ikatan dasinya. Dia mengusap kepalanya. "Bilang pada Fatar, aku sibuk," jawabnya.

"Hemm, setidaknya aku sudah menyampaikan pesan itu," ucap Karel sembari berbalik.

"Dada abang Raka.." ucap Stella sembari menggerakan lengan kecil Lyza.

Karel tersenyum, "sudah pamit pada mom dan Lyza?" Raka mengangguk, dia menguap kecil. Matanya sudah memberat karena biasanya dia selalu tidur siang.

Karel dan Fian keluar dari kantor dan seperti biasa. Mereka selalu menjadi tontonan. Lain dengan Fian, Karel selalu tenang dan terkesan tidak perduli dengan sekitarnya. Yang terpenting mereka tidak melewati batas, itu prinsipnya.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Raka sudah tertidur nyenyak di belakang sedangkan Fian sibuk memainkan ponselnya. Mata Fian mengerjap, dia menatap ponsel yang tiba-tiba terlihat buram.

Fian menghela nafas, dia memejamkan matanya untuk sedikit mengurangi pusing di kepalanya. Dia mencoba sedikit rileks.

"Ada apa?" tanya Karel.

"Kepalaku sedikit pusing," jawab Fian.

Karel menoleh sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya. Tangan kirinya menyentuh kening Fian. "Tidak demam," ucapnya.

Fian menyentuh tangan itu dan menggenggamnya. Dia tersenyum kecil, ini masih prediksinya jadi dia tidak akan menceritakan pada Karel sebelum semuanya jelas. "Haha memang tidak, ohh iyaa.. Stella sedang hamil loh," ceritanya.

"Benarkah?" tanya Karel dengan wajah santainya. Fian menganggukan kepalanya dengan antusias. "Kalau begitu kita harus segera menyusul," lanjut Karel dengan senyum yang menyebalkan. Fian terkekeh, dia mencubit pinggang Karel. Sudah pasti itu respon suaminya.

Tiba di rumah Karel langsung menggendong Raka ke kamarnya. Putranya itu masih tertidur nyenyak, wajahnya nampak tenang dengan nafas yang teratur. Karel menyelimuti tubuh kecil itu. Senyumnya mengembang, dia mengusap kepala Raka sebelum pergi meninggalkan kamar itu.

Di kamarnya, Fian sedang memijat kakijya sendiri. Dia menoleh saat pintu kamar dibuka. "Hayy," sapa Fian dengan cengirannya.

Karel tersenyum geli, dia duduk di samping Fian dan memindahkan kaki istrinya itu ke pangkuannya. Dia memijat kaki Fian. "Kemana saja tadi sampai kelelahan begini?" tanya Karel.

"Ahh hanya jalan sedikit, mungkin aku sudah tua jadi gampang lelah," keluh Fian dengan menundukan kepala.

"Lalu kalau tua kenapa? kamu masih sangat cantik," ucap Karel. Tidak ada wajah menggoda disana. Hanya ada tatapan serius dari pria itu.

Fian menutup pipinya yang memanas. Dia terkekeh geli. "Karel!! sudahlah, aku malu," kikiknya. Cukup lama Karel memijat kaki dan tangan Fian hingga wanita itu menarik kakinya. "Sudah cukup, terima kasih," ucapnya manis.

Karel mengecup bibir Fian. "Tidak perlu terima kasih, aku ingin mandi dulu," ucap pria itu. Dia melepas jas dan kemejanya di depan Fian.

"Uhh nanti sajaa.. aku kan masih ingin ngobrol.." rengek Fian.

Karel mengerutkan keningnya, dia mendekati wajah Fian hingga menyisakan beberapa sentimeter saja. "Kita ngobrol di dalam saja, bagaimana?" bisik Karel.

Fian ternganga, matanya mengerjap polos, wajahnya kembali memanas. "Dasar!!!"

Karel terkekeh, dia mengambil pakaian di lemarinya dan berjalan ke kamar mandi. "Yaa sudah kalau tidak mau ikut," ucapnya cuek sembari menutup pintu kamar mandi.

Fian menggigit bibirnya, dia duduk dengan gelisah. Huhh Karel sengaja menggodanya. Dia menatap pintu kamar mandi kemudian berdecak kesal.

"Karel!! ikut.." teriaknya sembari berlari ke kamar mandi yang pintunya sengaja tidak di kunci. Karel tau Fian pasti menyusulnya.

🍁🍁🍁

Pagi ini Fian berjalan mindar-mandir di dalam kamar mandi. Sudah setengah jam dia tidak keluar dari sini. Di tangannya sudah ada test pack yang dia beli kemarin, rasanya sedikit takut hasilnya tidak sesuai dengan harapannya. Karel sudah menunggu lama untuk kehadiran adik Raka. Yahh meskipun kalaupun memang belum hamil, pria itu tidak akan mempermasalahkannya.

"Okee harus di cek," gumamnya.

Sengaja Fian mengetesnya saat pagi hari karena dia pernah membaca tentang tingkat keakuratan test pack jika digunakan pada saat pagi dimana tubuh sedang menghasilkan hormon dengan sangat baik termasuk hormon hcg yang akan menentukan dirinya positif hamil atau tidak.

Mata Fian terpejam, dia menarik nafas sebelum membuka matanya. Fian memperhatikan test pack di hadapannya yang menunjukan dua garis berwarna merah. Matanya langsung berbinar senang, dari mulutnya keluar segala ucapan syukur atas doanya. Fian langsung berlari keluar kamar mandi. Dia menghampiri Karel yang masih tertidur pulas.

"Karel.." panggil Fian di dekat telinga pria itu. Mata Karel tergerak, perlahan sinar tajamnya mulai terlihat. Fian tersenyum, dia langsung memeluk Karel hingga pria itu mengerutkan keningnya. Lembut dia usap bahu Fian.

"Ada apa?" tanya Karel.

Fian tidak menjawab, dia masih ingin menikmati hangatnya pelukan Karel. Diamnya Fian membuat Karel gemas, masalahnya istrinya ini sudah bertingkah aneh pagi-pagi sekali.

"Kamu ini kenapa?" tanya Karel dengan nada gemas.

Fian menjauh, dia terkekeh geli melihat suaminya kesal. Dia menunjukan hasil test pack itu pada Karel. "Lihat.. garisnya ada dua," ucapnya.

Karel memang tidak terlalu mengerti tentang cara kerja alat itu tapi kalau hanya tentang garis dia mengerti. Dua garis yang artinya positif, matanya melebar. Dia langsung menoleh pada Fian yang sudah mengangkat alisnya. "See?" tanya Fian.

"Ini bukan karena Stella sedang hamil kan?" tanya Karel dengan mata yang menyipit curiga.

Senyum Fian langsung hilang, dia merengut kesal dan melipat lengannya di depan dada. "Menurutmu? untuk apa aku melakukan itu," ketusnya. Karel terkekeh, dia melingkarkan lengannya di pinggang Fian.

"Aku bercanda," ucapnya. Karel menyelipkan rambut Fian di belakang telinga. "Aku sangat senang, terima kasih sayang," ucapnya sebelum mengecup kening Fian.

"Jadi apa hadiah untukku?" tanya Fian sembari mengalungkan lengannya di leher Karel.

"Kamu ingin apa?" tanya pria itu.

Fian mengerutkan keningnya, dia berpikir sejenak. "Hemm untuk hari ini kamu tidak boleh ke kantor, setuju?"

"Hanya itu?" Fian mengangguk, karena dengan Karel disampingnya itu sudah mengalahkan hadiah sebagus apapun. "Oke," ucapnya sembari menarik Fian hingga istrinya itu berbaring diatasnya.

"Karel!!" rengek Fian manja.

🍁🍁🍁

Fian berjalan santai memasuki gedung kantor yang sudah lama tidak dia datangi. Melihat nyonya perusahaan ini datang, beberapa orang langsung memasang sikap semanis mungkin. Bagi beberapa karyawan baru mereka tidak terlalu mengenali Fian yang memang jarang sekali berkunjung ke kantor ditambah kondisi wanita itu yang sedang hamil.

"Fii!! kemana aja lo nggak pernah main?" tanya Heni.

Fian terkekeh, dia mengusap perutnya yang sudah membuncit. "Lo nggak liat? gue lagi begini, Karel nggak akan ngizinin gue kemana-mana," ucapnya.

Heni menatap takjub, Fian benar-benar beruntung. "Enak banget sih nasib lo," ucapnya.

Fian mendengus kesal, selalu itu respon mereka. "Yaudah gue ke atas dulu yaa, mau nyari Putri," ucapnya.

Karena sejak dulu Fian sudah terbiasa datang ke bagian HRD semua pasti tau kalau tujuan nyonya perusahaan ini adalah mencari Putri. Kepala HRD menghampiri Putri langsung untuk menghadap Fian.

"Ihhh baru aja gue mau nelfon lo!!" ucap Putri semangat saat sudah berjalan menuju lift.

Fian terkekeh, "ada apaan?"

Putri mengatur nafasnya, dia mengusap dahi yang sebenarnya tidak berkeringat. "Masa pak Cakra pindah rumah di depan rumah gue!!" teriaknya.

Fian menutup telinganya, dia menatap kesal Putri. "Biasa aje kalee, kuping gue bisa budek gara-gara lo histeris!" keluhnya.

Putri tertawa tanpa ada wajah bersalah. "Abis gue kaget beneran, gue ngindarin dia sampe ngumpet di kamar mandi berjam-jam terus bokong gue pegel duduk terus di kloset ehh nggak taunya itu orang pindah di depan rumah gue! kan semut banget!" umpatnya. Bagi kedua sahabat itu semut adalah umpatan yang palinf kasar saat mereka kesal.

"Serius?? pak Cakra? dia kan kayaa.. ngapain ngambik rumah di kompleks lo," ucap Fian.

Putri mengangguk setuju, "kayanya dia sengaja.. ck udah gue bilang gue nggak akan mempan sama rayuan dia buat yang kedua kalinya," ucap gadis itu dengan mata berapi-api.

Fian tertawa dia mengetuk kepala Putri dengan ponsel ditangannya. "Nggak percaya gue!! paling bentar lagi kalo dapet kedipan lo langsung diem!"

"Huhh iya juga yaa, gue tutup mata deh pas ketemu dia," sungut Putri dengan wajah cemberut berat.

Fian kembali tertawa, "mana bisa gitu?? ehh terus apa respon lo pas pertama kali tau?"

"Mau gimana lagi selain senyum? pura-pura pingsan? nggak ngaru, pura-pura ayan? ogah banget, pura-pura kesurupan guenya capek. Tadinya mau pura-pura mati, ehh nggak mungkin gue juga takut ntar jadi doa," jelas gadis itu dengan ngawur.

"Ngaco lo!!" kekeh Fian.

Mereka pergi ke ruangan Karel, dan entah kebetulan atau apapun itu. Cakra juga sedang disana. Putri ternganga, dia mengenggol lengan Fian dengan sikutnya.

"Apaan sih lo nyenggol-nyenggol?" tanya Fian dengan suara kencang. Putri melotot, dia menyubit lengan Fian.

"Kalo ngajak ribut ayokk tapi jangan disini," bisik Putri. Masalahnya dia juga takut menyerang Fian di depan Karel. Bisa dipecat dia nanti.

Fian meringis, dia terkekeh geli. "Maap hehe keceplosan," bisiknya. Dia langsung menampilkan senyum lebarnya di depan Karel dan Cakra.

"Hayy sedang sibuk yaa?" tanya Fian.

Cakra tersenyum tipis, "sudah selesai bu," ucapnya sembari menunduk hormat.

Fian mengibaskan tangannya, dia risih jika orang-orang memperlakukannya begitu. Lagipula dia bukan Karel yang memang pantas dihormati disini. "Panggil Fian aja, aku bukan bos disini," ucapnya sembari mendekat pada Karel.

Lengannya melingkar manja pada lengan Karel. "Iya kan sayang?" ucapnya. Sudah menjadi pandangan yang umum bagi beberapa orang tentang manjanya Fian pada Karel. Karel hanya tersenyum, dia mengusap kepala Fian.

"Yasudah, saya harus pergi sekarang. Permisi," ucap pria itu. Dia melewati Putri begitu saja, bahkan melirikpun tidak.

Putri menemani Fian mengobrol sedangkan Karel sibuk bekerja. "Katanya lo mau kerja lagi?" tanya Putri.

"Yahh karena gue hamil jadi Karel batal ngizinin gue," ucapnya. Yahh beberapa bulan lalu saat dia memberitahu tentang kehamilannya Karel langsung menarik ucapannya dan Fian menerima itu. Dia mengerti kalau ini yang terbaik untuk dirinya dan bayinya.

"Tapi kayanya yang ini nggak terlalu rewel yaa.. beda sama hamilnya Raka dulu," ucap Putri sembari mengusap perut Fian.

Fian mengangguk setuju, mungkin karena saat itu dia belum terlalu terbiasa jadi masih rewel. Kehamilannya yang ini lebih santai dan perutnya juga lebih besar karena ada dua bayi di dalam rahimnya. Yaa dia hamil anak kembar dan itu membuat Fian semakin senang.

"Mudah-mudahan cowok semua, biar nanti jadi trio boyband kecil ganteng huehee," kekeh Putri.

Fian merengut, dia menggelengkan kepalanya. "Cewek sama cowok biar lengkap," ucapnya.

Putri menggeleng tegas. "Nggak bisa gitu dong! nanti aja lo bikin lagi kalau mau cewek!" Fian ternganga, sahabatnya ini bicara seolah Karel tidak ada di ruangan. Menyadari kesalahan ucapannya Putri langsung diam, dia melirik Karel yang masih duduk di kursinya. "Ehh maaf pak," ucapnya. Karel menahan senyumnya, dia sudah tidak heran dengan kedua sahabat itu.

"Ckk lo sih!! lagian yang punya anak gue kenapa lo yang repot!" omel Fian.

Putri terkekeh, dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Abiss gue mau nyalonin diri jadi manager boy bandnya.."

"Yehh harusnya gue managernya, kan gue emaknya," protes Fian.

"Nggak bisa gitu dong! lo udah jadi istri bos duit udah banyak, bagi-bagi lah rejeki sama sohib tercinta lo ini!" Dan dimulai lagi perdebatan absurd mereka. Karel menggeram kesal, dia menutup telinganya dan mencoba untu fokus pada lembaran pekerjaan itu.

"Pokoknya gue manager lo asisten!" ucap Fian.

"Nahh kan berarti lo setuju kalo anak kembar ini cowok semua.." ucap Putri sembari memutar bola matanya.

Fian mengerjapkan mata. "Ehh iyaa yaa?" ucapnya sembari tertawa geli.

Pintu ruangan kerja Karel dibuka, Raka datang dengan dua pengasuhnya. Anak itu baru saja pulang dari sekolah. Raka menghampiri Fian dengan wajah kesal yang sangat menggemaskan.

Lengan Raka terlipat di depan dada, matanya tajam menusuk. "Ndaa kenapa disini?" tanya Raka.

"Ehh? bunda mau main aja," ucap Fian. Dia sedikit kaget putranya kemari bukan langsung pulang ke rumah. "Kenapa nggak langsung pulang Win?" tanya Fian pada pengasuh Raka.

"Maaf Nyonya, aden minta diantar kemari waktu dia nanya dimana Nyonya," ucap Wina. Fian meringis, dia tersenyum kecil pada Raka.

"Kalo nda capek gimana? kan kasian nda sama dedek bayi," keluh anak itu. Dia mendekati Fian dan mengusap perut bundanya. Anaknya ini sama posesifnya dengan Karel.

Sejak tau Fian hamil, Raka benar-benar senang. Dia terus menceramahi bundanya untuk tidak banyak bergerak sama seperti ayahnya. Bahkan sekarang dia tidak mau dijemput Fian, katanya biar mbak saja yang menjemputnya agar bunda bisa istirahat dirumah.

"Uhh manis banget sihhh, aunty makin fall in love," kekeh Putri.

"Raka nggak mau sama aunty," ucap Raka.

Putri mengerutkan keningnya. "Kenapa?" tanya Putru dengan wajah pura-pura sedih.

"Aunty udah tua," ucapnya. Fian menggigit bibirnya agar tidak tertawa. Karel yang sejah tadi hanya memperhatikan juga tidak dapat menyembunyikan senyum gelinya.

Putri ternganga, dia mengatupkan mulutnya. "Siapa yang bilang gitu? aunty masih muda tau," protesnya.

"Bunda," jawab Raka. Putri langsung menoleh pada Fian dengan tatapan kesal dan Fian langsung tertawa kencang.

"Hahaa itu faktaaa.." kekeh Fian.

"Sumprett lo!!" teriak Putri.

🍁🍁🍁🍁

Ehhh indah nemu cast Karel yg menurut indah cocok.. hemm ganteng bangettt😅😅😅

Karel : Nick Bateman (kalau kalian punya imajinasi sendiri yaa nggak apaa.. hehe)

Cast Fian menyusul yaaa.. udah dapet sih

Ingett yg pas fian masuk ke kamar Karel yg Karelnya abis mandi??? 😂

Gimanaa Karelnyaaa???? 😇

Sengaja dibikin cepet, karena kalau ngelanjutin kemarin takutnya flat dan nggak bisa panjang..

Next chapter mungkin adalah part terakhir sebelum epilog.. dan untuk yg menunggu stella gavyn kalian mungkin akan tau ending cerita mereka di part selanjutnya, tapi di cerita gavyn dan stella kalian akan tau detail pasangan itu selama pernikahan..

Soo mohon di tunggu 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro