Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30. Raka Eldenis Rajendra

Hayyy semuaaaa... mohon maaf untuk koment part kemarin belum sempet aku bales semua karena hp eror dan gk bisa bales komen padahal mau banget bales aslii wkwk.. nanti aku bales yaa sekalian sama komen untuk part ini ;)

Langsung aja yaa ini next partnya. Dari judul udah tau dong itu nama siapaaa...

Happy reading guys!! wish you like this part :) :)

🍁🍁🍁

Sudah hampir dua minggu Fian pergi meninggalkan Karel dan semua. Tidak ada rasa lega apalagi senang dalam hatinya. Seperti hari-hari kemarin dia termenung di balkon kamarnya. Langit sudah mulai senja, gradiasi warna jingga menyorot lembut memberikan hawa ketenangan tapi tidak dengan hatinya saat ini. Fian selalu menyukai senja tapi tanpa Karel, senja yang dia lewati terasa sedikit berbeda, berlebihan tapi itu faktanya. Ada kenangan pada senja yang membuatnya tersenyum miris.

"Maaf Nyonya, Tuan menunggu di bawah," ucap salah satu pekerja di vila ini.

Fian melirik sekilas kemudian matanya kembali menatap ke arah kejauhan. "Aku akan menemuinya nanti," jawab Fian. Dia sedang tidak ingin diganggu siapapun saat ini. Lagipula Gavyn memanggil pasti karena hari ini adalah jadwal dokter datang untuk memeriksa keadaannya.

Mendengar ucapan Fian, pekerja itu menunduk hormat dan pergi dari kamar luas itu. Semua pekerja dirumah ini memang selalu menuruti apapun ucapannya, dan itu sudah pasti perintah dari Gavyn. Pria itu selalu membuatnya merasa diperlakukan istimewa dengan tindakan kecil sekalipun. Tidak akan ada orang yang rela menemaninya setiap malam hanya karena sulit tidur tapi Gavyn melakukan itu untuknya. Beberapa hari kemarin Fian merasa sulit tidur dan Gavyn dengan sabar menemaninya meski wajah pria itu terlihat lelah.

Fian menunduk, satu tetes air mata lagi-lagi keluar meski dia sudah tidak ingin menangis untuk Karel. Pria lain bisa melakukan semua itu untuknya, tapi kenapa pria yang sangat dia cintai justru hanya bisa membuatnya sakit hati. Kurang menerima apa dia selama ini, kurang bersabar apa dia selama ini sampai Karel terus berbuat seenaknya.

"Kau akan terus menangis?" tanya Gavyn.

Fian mendogak kaget, dia menatap Gavyn yang sedang bersandar di dekat jendela balkon. Pria itu sudah melepas jasnya dan menggulung kemejanya hingga siku. "Kapan kamu masuk?"

Gavyn tersenyum geli, dia berlutut di dekat Fian dan mengusap kepala Fian dengan lembut. Matanya menyorot hangat sangat berbeda saat pertama kali Fian melihat pria itu. "Malam ini bintang tidak akan datang karena takut dengan wajah jelekmu itu," ucap Gavyn.

Fian mendengus kesal, satu senyuman tipisnya hadir. "Terima kasih Gavyn, aku tidak tau harus membalas apa untuk semuanya," ucap Fian tulus.

"Kau bisa membalasnya," jawab Gavyn.

Kening Fian berkerut, "dengan?"

Gavyn kembali tersenyum dan ibu jarinya mengusap sisa airmata Fian. "Hanya dengan kau tersenyum maka semua akan lunas, aku tidak butuh yang lainnya."

Fian terkekeh geli mendengar ucapan Gavyn. "Kamu merayuku? astaga Gavyn! kamu tidak lihat perutku sedang membuncit? apa tidak bisa kamu mencari wanita yang bertubuh langsing untuk kamu rayu?"

Gavyn tertawa dan bangkit, mendengar Fian tertawa itu suda membuatnya senang. "Asal kau tau, saat membuncit kau justru terlihat seksi." Mendengar lelucon itu Fian melotot kesal dan menyerang Gavyn dengan cubitan-cubitan sampai pria itu menyerah.

Malam ini seperti biasa mereka makan bersama. Fian mengambil makanan secukupnya. Dia tidak terlalu bernafsu untuk makan banyak, makan hanya agar anaknya tidak kelaparan dan itu cukup. "Kenapa dokter belum datang juga?" tanya Fian disela kegiatan makannya.

"Sebentar lagi," jawab Gavyn santai.

Selesai makan malam, dokter yang Gavyn ceritakan datang. Tidak sesuai penggambaran pria itu tadi. Dokter itu sangat cantik dengan rambut pendek sebahu dan mata yang jernih dihiasi bola mata biru yang sedikit pudar nyaris berwarna abu-abu saat terkena sorot lampu.

"Kamu bilang dia pendek, gendut dan rambutnya seperti sarang tawon?" bisik Fian.

Gavyn mengangguk, "memang dia begitu," jawabnya santai.

Fian tertawa geli dan memukul bahu pria yang saat ini duduk disampingnya itu. "Matamu atau otakmu yang bermasalah?" kekeh Fian.

Dokter itu mengerutkan kening, bingung melihat dua orang dihadapannya tertawa sembari berbisik-bisik. "Apa aku aneh?" tanya dokter itu.

Fian tersenyum ramah dan mengangguk. "Aneh dalam artian yang bagus, kamu sangat cantik sampai pria disampingku ini memiliki penggambaran yang istimewa untukmu," kekehnya.

Dokter itu akhirnya ikut tertawa, kepalanya mengangguk. "Ahh aku tau, Gavyn pasti menggambarkan yang aneh-aneh tentang diriku."

"Ehh kalian akrab?" tanya Fian.

Dokter itu mengangguk dan tangannya terulur pada Fian. Tangan yang bahkan sangat putih, dari semua ciri fisik gadis didepannya ini, Fian ragu bahwa dia memiliki darah Indonesia.

"Aku Stella dan kamu pasti Fian. Aku teman sekolah Gavyn dulu," jelasnya. Fian mengangguk mengerti. Dia menjabat tangan Stella dengan senang hati. Malam ini dia mendapatkan teman baru yang menyenangkan dan itu berkat Gavyn.

"Kamu harus bersiap, sebentar lagi kamu akan melahirkan. Rileks dan jangan memikirkan apapun yang membuatmu stress," ucap Stella setelah memeriksa Fian di kamar.

Fian tersenyum dan mengusap perutnya. Dia senang dan tidak sabar menantikan anaknya lahir ke dunia ini. "Datanglah pada Bunda sayang.." gumamnya.

Stella tersenyum dan ikut mengusap perut Fian. "Aku akan menemanimu mulai sekarang," ucapnya.

Fian mendongak kaget. "Maksudnya?"

"Aku akan tinggal disini dan menjadi temanmu. Gavyn sudah menceritakan semuanya, dan aku ikut sedih dengan apa yang terjadi padamu." Stella mengusap lengan Fian. Matanya menyorot lembut menyalurkan ketenangan pada Fian.

Fian mendengus kesal, "seenaknya saja dia menceritakan semua, membuatku malu saja."

Stella menutup mulutnya dan tertawa kecil. "Seandainya dia tidak menceritakan semua, aku tidak akan membantumu. Percayalah, Gavyn hanya ingin kamu tidak kesepian."

Fian tersenyum dan mengangguk, dia tau itu. Pria itu akan selalu memikirkan tentangnya sedetail apapun. Mereka melanjutkan obrolan santai sembari bertukar cerita.

"Apa kamu dan Gavyn hanya berteman? sayang sekali, dia pria yang sayang jika dilewatkan," ucap Fian dengan wajah ingin taunya.

Stella memutar matanya, terlihat sekali pembawaannya luwes dan anggun. "Kami bersahabat lebih tepatnya, memang sayang untuk dilewatkan tapi mengerikan juga kalau didekati. Kamu harus tau, sikapnya yang sering bergonta-ganti pacar itu sering membuatku diserang mantan-mantannya dulu meskipun aku sudah sampai bersumpah didepan mereka kalau aku hanya sahabat Gavyn."

Fian melebarkan matanya. "Diserang?"

Stella mengangguk. "Dulu saat aku ingin ke toilet dia bahkan sampai mengantarku ke depan toilet perempuan karena merasa bersalah dan takut aku diserang lagi oleh mantan-mantannya," jelasnya sembari menerawang.

Fian berdecak kagum, benar juga pasti masa-masa SMA Gavyn sangat menarik karena melihat sikap pria itu sampai saat ini belum berubah. Kapan pria itu akan serius pada satu wanita. Mendengar cerita itu dia jadi ingat tentang Karel.

Karel juga tampan, jangan ditanya seberapa banyak penggemar pria itu di luar sana. Membayangkan masa SMA Karel yang pasti tidak jauh beda akan dikerubungi gadis-gadis cantik membuatnya tersenyum masam.

"Ada apa?" tanya Stella.

Fian menggeleng pelan, "aku hanya ingat sesuatu. Ahh iya aku ingin bertanya ini sejak awal, apa kamu bukan orang Indonesia?"

Mendengar pertanyaan itu Stella tersenyum. "Sangat terlihat ya?" tanya gadis itu. "Yahh aku memang bukan orang Indonesia. Ibuku warga asli Rusia dan ayahku keturunam Irlandia dan Inggris, tapi kami sudah pindah kemari sejak aku masih kecil." Fian beroh ria, pantas saja bahasa Indonesianya fasih tidak seperti orang yang baru mempelajari bahasa.

Malam semakin larut dan mereka semakin tenggelam dalam obrolan. Stella melirik jam di lengannya. Dia menghela nafas, "Okey waktunya ibu hamil untuk tidur," ucapnya sembari bangkit dari sofa.

"Kamu tidur saja, aku merasa sulit tidur akhir-akhir ini," jawab Fian.

Stella menggeleng, dia mengeluarkan ponselnya dan beberapa saat tersengar alunan musik dengan nada lembut yang menyenangkan. "Dengarkan, ini akan membuat kamu dan bayimu rileks," ucapnya. Dia membantu Fian untuk berbaring dan menarik selimut Fian. "Sampai jumpa besok Fi," ucapnya masih dengan senyum menyenangkan. Stella berbalik dan keluar dari kamar Fian.

Fian terdiam menatap langit kamar sembari mencoba untuk menikmati alunan lembut dari musik yang tadi dinyalakan Stella.

Matanya mulai berat sekarang, perlahan matanya terpejam. "Selamat tidur Karel," gumamnya. Dan saat terpejam, semua kembali, semua kenangannya hingga mata itu kembali basah tanpa Fian sadari.

🍁🍁🍁

Kinan mengusap wajah Karel dengan handuk yang telah dibasuh air sebelumnya. Sudah hampir dua minggu dan kakaknya belum mengalami kemajuan. Saat ini kakaknya terlihat menyedihkan, tubuhnya kurus dengan wajah yang pucat.

"Sini Non biar Bibi yang membersihkan Tuan," tawar Bi Peni.

Kinan tersenyum kecil. "Biar Kinan aja Bi," jawabnya sembari membasuh lengan Karel. Pagi ini hanya ada dirinya dan Bi Peni karena semalaman Mariska sudah menunggu disini.

Menjelang sore Mariska kembali ke rumah sakit dengan Danu. Seperti biasa Mariska duduk di kursi samping ranjang Karel dan menggenggam tangan Putranya. "Sebentar lagi Fian pasti akan ditemukan, kamu tunggu yaa sayang," gumamnya.

Kinan tersenyum, dia mengusap wajah Karel. "Seandainya Kak Fian tau kalau kakak begini, dia pasti akan sedih," gumamnya.

Malam ini Mariska tidur di rumah sakit. Dia menyuruh suami dan anak perempuannya pulang karena kedua orang itu pasti lelah, dan besok juga mereka harus pergi ke kantor menggantikan pekerjaan Karel.

Mata Karel perlahan terbuka, matanya masih buram dan sulit menatap sekitar. Nyeri di kepalanya sangat kuat. "Aarrgg," erangnya menahan sakit.

Mendengar erangan Karel, Mariska langsung terbangun. Matanya melebar, akhirnya Karel kembali sadar. Tangannya mengusap pipi Karel perlahan. "Karel, ini Mama sayang.. apa yang kamu rasakan?"

Karel mencoba untuk sedikit tersenyum agar ibunya tidak terlalu khawatir. Matanya menatap sekitar. "Fian?" tanya Karel nyaris seperti bisikan.

Air mata Mariska hampir jatuh karena mendengar pertanyaan Karel. "Sebentar lagi dia datang," jawabnya.

Karel terdiam, dia menatap langit kamarnya. Sesekali dia mengatur nafas untuk menahan rasa nyeri sampai tiba-tiba kesadarannya seperti hilang.

"Karel!!!" teriak Mariska panik melihat putranya kejang. Dia memencet tombol darurat sampai perawat datang dan menangani Karel.

Tangannya gemetar ketakutan, ada apalagi sekarang. Apa keadaan Karel semakin memburuk. Karena sekarang dia tidak mungkin menghubungi orang rumah akhirnya dia mencoba untuk tenang dan berpikir positif.

Dokter menjelaskan semuanya pada Mariska tentang kondisi Karel. Benturan keras di kepala anaknya saat kecelakaan kemarin memang menyebabkan cidera kepala sampai Karel mengalami penurunan kesadaran dan kejang baru-baru ini.

Di dalam ruangan rawat Karel, Mariska hanya bisa terduduk lemas. Dia tidak bisa melihat anaknya seperti ini. "Mama," panggil Karel.

Mariska menoleh, dia tersenyum dan mencium kening Karel. "Ada apa?" tanyanya.

"Fian, dimana dia?" tanya Karel.

Mariska terdiam sejenak, "sebentar lagi dia pasti datang sayang."

Satu tetes airmata Karel menetes, dia tau ibunya berbohong. Apapun itu, dia hanya ingin tau apakah sekarang Fian baik-baik saja atau tidak. "Jangan beritahu dia," ucapnya. Dia yakin sebentar lagi pasti keluarganya akan menemukan Fian.

"Apa maksud kamu?" tanya Mariska.

Karel meringis karena kepalanya yang semakin sakit. "Kondisiku, jangan sampai dia tau," ucapnya setelah mengumpulkan kekuatan untuk bicara sedikit. Fian tidak boleh mengetahui keadaannya saat ini. Dia tau sekali kalau Fian mengetahui semua maka wanita itu akan merasa bersalah dan menangis melihat keadaannya.

"Tapi Fian harus tau Karel," ucap Mariska.

"Aku akan memberiahunya nanti setelah aku sembuh," ucap Karel sebelum memejamkan mata. Dia butuh tidur untuk mengurangi rasa nyeri yang dirasakan.

Mariska menatap Karel nelangsa. Serba salah kondisi saat ini. Putranya pasti sangat ingin Fian berada disini untuk menemaninya tapi disatu sisi putranya ini juga tidak ingin membuat Fian khawatir.

Paginya Karel kembali terbangun, kepalanya yang pusing membuat dia merasa ingin muntah. Dan karena tidak bisa beranjak dari tempat tidur akhirnya lagi-lagi dia harus merepotkan ibunya. Dengan sabar ibunya itu membersihkan sisa muntahannya tadi.

Karel memalingkan pandangannya, saat ini dirinya seperti bayi. Jangankan mencari Fian, untuk mengurus dirinya sendiri saja dia tidak mampu. Tangannya mengepal keras, ada kemarahan dalam hatinya. Bukan marah pada siapapun, dia hanya marah pada dirinya sendiri karena bisa jatuh pada titik ini.

"Aku senang Kakak sudah sadar," gumam Kinan yang datang setelah jam pulang kantor.

Karel tersenyum tipis, "wajahmu pucat," ucapnya sembari menatap wajah lelah adiknya ini. Sebegitu menyusahkannya dia saat ini.

"Aku tidak apa, sepertinya kakak harus melihat kaca sekarang. Wajah kakak saat ini nyaris seperti tidak ada aliran darahnya," ledek Kinan.

Karel mencoba untuk kembali tersenyum meski saat ini matanya kembali memburam. Seperti dihantam keras, kepalanya kembali sakit seperti ingin pecah. "Ki.." panggilnya.

Kinan mendekatkan dirinya pada Karel karena suara kakaknya itu nyaris tidak terdengar. "Ada apa?" tanya Kinan panik melihat Karel mulai menggigil.

"Soal Fian, tolong jangan sampai dia melihat keadaanku." Seperti bisikan kecil Karel mengucapkan hal yang sama pada Kinan. Merasa keadaannya semakin tidak menentu, dirinya jadi merasa takut tidak akan bisa melewati semuanya. Seandainya memang tidak bisa, maka setidaknya biarkan Fian melahirkan dengan tenang.

Kinan menangis melihat keadaan kakak yang selalu menjadi pelindungnya, kakak yang selalu terlihat kuat dan berdiri kokoh saat ini sangat rapuh. "Aku tidak akan bilang apapun, biar nanti kakak sendiri yang menceritakan semua."

"Terima kasih," gumamnya pelan. Kinan mengangguk dan langsung memeluk Karel dengan hati-hati. Tangannya menggenggam lengan Karel yang gemetar. Sebentar lagi pasti akan menemui Fian karena saat ini dia sudah tau dimana Gavyn menyembunyikan kakak iparnya itu.

🍁🍁🍁

Fian tertawa geli mendengar perkelahian kecil antara Gavyn dan Stella. Saat ini ketiganya sedang berada di dapur untuk membuat makan siang.

"Gavyn!! pergilah.. kamu membuat semuanya hancur!" omel Stella dengan wajah kesal.

Gavyn menggeleng polos, dia berlindung dibalik punggung Fian dan tersenyum mengejek seolah menantang Stella dengan mengatakan kalau dia memiliki pelindung yaitu Fian. Stella mendengus geli dan menghentakan kakinya.

"Maaf mengganggu Tuan, ada tamu untuk Nyonya Fian," ucap pelayan rumah yang baru saja datang menghampiri ketiganya. Fian mengerutkan keningnya, bingung karena tidak pernah ada tamu untuknya selama dua minggu ini.

Kaki Fian melangkah menuju ruang tamu. Matanya kontan melebar saat Kinan dengan wajah lelahnya berdiri menunggu Fian. Wajahnya seketika membeku, sudah jelas kalau adik iparnya ini datang untuk Karel.

Kalau memang iya, kenapa tidak Karel saja yang langsung datang. Apakah pria itu takut tentang surat yang ia tulis saat pamit. Fian mendengus, ternyata pria itu masih sama egoisnya. Pria itu tetap menginginkan dirinya meski tetap akan menikahi Rain.

"Untuk apa kamu kemari?" tanya Fian tajam.

Kinan tersentak kaget mendengar penyambutan Fian yang sama sekali tidak ramah. Semarah itukah Fian pada kakaknya sampai dia ikut terkena imbasnya. "Kak.. ak-aku, aku hanya ingin bertemu kakak dan bicara masalah penting," ucapnya.

Fian menghela nafas, dia sepertinya terlalu keterlaluan sampai wajah Kinan berubah pucat. "Maaf, tapi lebih baik kamu pergi kalau kamu hanya ingin memintaku kembali pada Karel," ucap Fian melunak.

Gavyn dan Stella menyusul Fian. Gavyn dengan santainya berdiri di samping Fian dan merangkul bahu wanita itu. "Kau dengar? sampaikan itu pada Karel," ucapnya dengan senyum miring yang menyebalkan.

Kinan menggigit bibirnya, inikah alasan Fian pergi. Apakah karena kakak iparnya kini lebih memilih Gavyn. "Aku mohon, aku hanya butuh beberapa menit kakak," mohon Kinan.

Fian terdiam, dia menoleh pada Gavyn. Senyum Gavyn yang menenangkan menyalur pada Fian. "Baiklah, ayo kita bicara di kamarku," ajak Fian. Dia berjalan menaiki anak tangga dan Kinan mengikuti di belakangnya.

Fian menutup pintu kamarnya karena ini memang masalah pribadinya. Dia duduk di sofa dan mempersilahkan Kinan untuk duduk disampingnya.

"Kakak terlihat bahagia disini," ucap Kinam dengan nada getir yang bisa Fian dengar dengan jelas.

Fian tersenyum tipis. "Apa lagi yang bisa kulakukan selain berusaha untuk bahagia dengan caraku sendiri?" tanya Fian lagi.

Kinan tersenyum miris mendengar sindiran halus itu. "Kak Fian membenci kakakku?"

"Tidak, untuk apa aku membencinya?" tanya Fian geli. Fian menghela nafas, "langsung pada intinya saja Ki, ada apa kamu kemari?"

Sorot mata Kinan berubah sedih, dia ingin memberitahu semuanya pada Fian tapi kakaknya telah memohon padanya untuk tidak memberitahu kondisi Karel yang makin memburuk. "Tidak bisakah kakak kembali pada kak Karel?" tanya Kinan sedih.

"Kinan, kamu mungkin menganggapku egois karena meninggalkan kakakmu, tapi kamu harus tau aku sudah memberikan pilihan pada Karel," jawab Fian.

Kinan menundukan kepalanya. "Kakak butuh kak Fian," lirih suara Kinan membuat Fian mengepalkan tangannya.

"Untuk apa? untuk terus mengalah pada keputusannya? untuk terus siap disakiti olehnya? maaf Kinan tapi saat ini hidupku bukan untuk diriku sendiri, aku hidup untuk anakku, dan aku tidak ingin anakku harus tertekan hidup dalam keluarga yang absurd seperti itu," ucap Fian sembari menahan air matanya yang sebentar lagi akan jatuh.

"Tapi kak.."

"Bilang pada Karel, jangan mengganggu kami lagi. Aku hanya ingin bahagian dengan anakku, apa itu tidak pantas aku dapatkan?" cecar Fian lagi. Rasanya dia ingin sekali memukul Karel saat ini atas semua rasa sakit yang harus dia rasakan.

"Kakak sangat mencintai kak Fian," gumam Kinan.

Tidak tahan dengan semua obrolan ini akhirnya Fian menangis sembari menutup wajahnya. "Apa kamu pikir aku tidak mencintainya? apa kamu pikir aku bahagia meninggalkannya? apa kamu pikir aku tidak merasa sakit karena semua?? aku sangat mencintai kakakmu yang egois itu Kinan!!" bentak Fian tanpa sadar.

"Kalau aku tidak mencintainya mana mungkin aku bisa bertahan saat dia memperlakukan aku seenaknya, saat dia terus membohongiku, saat dia bahkan membuat aku merasa menjadi wanita rendahan!! mana mungkin aku bisa bertahan selama ini!!" bentak Fian lagi diiringi tangisannya.

Fian hampir jatuh terduduk kalau Gavyn tidak menangkapnya. Pria itu masuk dengan mendobrak kamar Fian yang terkunci. "Hey tenanglah Fi," ucap Gavyn.

"Kak Fian.." Kinan kaget melihat Fian seperti orang yang mengalami depresi berat.

"Pergi," ucap Gavyn dingin. "Pergi sekarang, atau aku yang akan menyeretmu keluar," lanjutnya lagi. Tidak ada bentakan disana tapi suara itu membuat Kinan ketakutan.

Gavyn berdecak kesal melihat Kinan tidak bergerak sedikitpun. "Stella, tolong urus Fian," ucapnya sebelum bangkit dan menarik tangan Kinan menjauh.

"Kau sudah dengar jawaban Fian," ucap Gavyn setelah mereka sampai di depan vila besar ini.

Kinan menangis. "Kak Karel membutuhkannya, kamu pasti tau keadaan kak Karel saat ini," ucapnya.

Gavyn tersenyum miris sekaligus geli. "Dia sudah mendapatkan kesempatan berkali-kali dari Fian, itu salahnya kalau dia membuang semua kesempatan itu."

"Jika dia sudah sembuh, bilang padanya untuk mencariku sebelum mencari Fian karena aku tidak akan membuat Fian mudah untuk kalian temukan," ucap Gavyn.

Kinan terdiam, menghadapi pria dihadapannya ini memang sulit. Dia lawan yang setara dengan kakaknya. "Kak Karel, aku tidak bisa memastikan karena kondisinya tidak membaik juga," gumamnya.

Gavyn mendengus geli, kemudian berbalik pergi namun saat beberapa langkah dia menjauh kepalanya kembali menoleh pada Kinan. "Dia akan sembuh, aku akan pastikan itu dan kalau memang tidak, itu berarti dia memang menyerah dan sudah merelakan Fian untukku."

"Apa maksudmu?" tanya Kinan.

"Kalau memang Fian berharga untuknya, dia pasti akan berusaha untuk sembuh, atau setidaknya dia akan berusaha bertahan untuk bisa menemui Fian meskipun hanya untuk meminta maaf." Gavyn melanjutkan langkahnya dan masuk ke dalam vila.

Kinan memandang langit yang mulai gelap. Bagaiamana caranya agar semuanya kembali pada posisinya masing-masing atau apakah memang sejak awal posisi itu hanya sementara.

Hanya waktu yang bisa menjawab, takdir yang akan menentukan apakah nanti semua akan kembali pada posisinya masing-masing atau justru masing-masing akan menemukan kebahagiannya sendiri.

🍁🍁🍁

Fian memejamkan matanya menahan sakit yang luar biasa. Saat ini dia sudah berada di rumah sakit karena kemarin dia sudah merasakan mulas diperutnya. Gavyn memandang wajah Fian dengan cemas. Dia tidak pernah berada dalam posisi ini, jangankan posisi ini, menikah saja belum.

"Kau tidak apa?" tanya pria itu bodoh karena jelas sekali Fian sedang menahan sakit.

Setelah kontraksinya terhenti baru Fian menanggapi pertanyaan Gavyn. "Aku tidak apa, jangan memasang wajah begitu Gavyn," kekehnya.

Gavyn mengusap peluh di kening Fian. "Apa yang bisa kulakukan untuk membantu?"

Fian tersenyum geli, "aku tidak apa, ini proses yang menyenangkan, percayalah," balasnya.

Kontraksi kembali datang sepuluh menit selanjutnya. Kali ini Fian menggenggam erat tangan Gavyn yang rela mengorbankan tangannya untuk dicengkrang kuat-kuat. Peluh semakin deras membasahi kening Fian.

"Sudah bukaan lima, sabar Fi kalau kontraksi datang dengan teratur sebentar lagi proses melahirkanmu akan berjalan," jelas Stella.

Gavyn berdecak kesal. "Tidak bisa langsung saja?? Fian sudah merasa kesakitan sejak pagi Stella, kenapa harus melewati banyak bukaan itu?"

Fian terkekeh geli sedangkan Stella berdecak kesal dan mengetuk kepala Gavyn dengan pena yang ada di lengannya. "Kau diam saja! mana bisa seenaknya begitu? ini proses kelahiran bodoh," sungutnya.

Ini sudah sore, sebentar lagi matahari akan terbenam dan bertepatan dengan itu bukaan Fian sudah sempurna. Stella langsung bersiap dengan suster untuk membantu proses persalinan.

"Siap Fi? ingat kalau mulai kontraksi lagi kamu langsung mengejan," ucap Stella yang sudah duduk di depan kaki Fian yang mengangkang.

Fian merasakan mulas luar biasa dia menggigit ujung selimut untuk menahan nyeri kuat itu, dia mulai mengejan dengan sekuat tenaga dengan menggunakan pernafasan perut agar perutnya dapat terdorong ke bawah.

Kontraksi terhenti dan bayinya belum berhasil keluar. Fian terengah-engah, matanya mulai berkunang-kunang sekarang.

"Kamu pasti bisa sayang," bisikan itu jelas suara Karel. Mata Fian melirik sekitar, tidak ada pria itu disana, yang ada hanya Gavyn yang terus menggenggam tangannya.

Kontraksi datang lagi, Fian kembali fokus dan mencengkrang erat tangan Gavyn. Dia kembali mengejan sekuat mungkin dengan teriakan tertahan untuk menambah energinya. Fian mengambil nafas sebentar kemudian kembali mengejan, mengeluarkan semua tenaganya sampai dia merasa ada yang meluncur keluar.

Stella dengan cekatan menarik bayi itu dan suster memotong tali pusarnya. Tangisan pertama keluar dari bayi laki-laki itu. Tangisan kencang yang membuat ruangan dipenuhi rasa haru.

Satu tetes air mata Fian keluar, kini dia merasa menjadi wanita seutuhnya. Meski matanya masih memburam dan tidak bisa melihat jelas wajah putranya tapi rasa bahagia ini benar-benar tidak tergambarkan oleh apapun.

"Hey Gavyn kau menangis?" tanya Stella dengan nada geli saat melihat Gavyn ikut meneteskan ait mata.

Gavyn mengerjapkan matanya, dia segera mengusap air mata itu dengan kasar. "Bukan menangis, aku hanya terlalu mengantuk," elaknya.

Stella tertawa sedangkan Fian hanya bisa tersenyum. "Yahh wajar jika kau menangis, ini memang mengharukan," ejek Stella. "Sekarang kau keluarlah, baby tampan ini butuh susu ibunya." Stella memberikan bayi itu pada Fian dan langsung menarik Gavyn keluar ruangan.

Fian mendekap hangat bayi mungil yang tubuhnya masih dipenuhi darah dan lendir. Mulut kecil itu mencari puting susu ibunya dan tak lama bayi mungil itu menemukannya.

Sekali lagi Fian menitikan airmata bahagia ini adalah pertama kalinya dia menyusui anaknya. "Hai sayang," gumamnya.

Sore itu, di senja yang sama. Di lain rumah sakit, sekumpulan dokter mengambil nafas lega. Akhirnya detak jantung pasien kembali membaik setelah beberapa kali RJP dan penggunaan alat defibilator untuk kejut jantung.

Dokter keluar dari ruangan dengan wajah lega. "Detak jantung pasien kembali stabil," ucap dokter itu pada Mariska. Mendengar itu dia meluruh, rasanya sangat lega mendengar putranya kembali.

🍁🍁🍁

"Anak bunda ganteng banget sih!!" seru Fian gemas. Bayinya kini telah dibersihkan dan dirinya juga sudah dipindahkan ke ruang rawat.

Stella tersenyum dan mengusap pipi bulat bayi mungil yang ada di dekapan Fian. Dia setuju dengan Fian, bayi ini terlihat tampan dengan mata yang indah, hidung mancung dan bibir mungil yang menggemaskan. Keseluruhan wajahnya membentuk kesatuan yang membuat orang-orang tersihir.

"Hai kecil, apa kau mengikuti ketampananku?" tanya Gavyn.

Stella mendengus geli. "Mana mungkin?" tanya Stella. Fian hanya tertawa geli melihat keduanya kembali berdebat.

"Siapa nama anakmu?" tanya Stella.

Fian mengerutkan keningnya, memikirkan nama untuk putra kecilnya ini. "Raka.." gumamnya. "Raka Eldenis Rajendra," lanjutnya dengan senyuman.

"Denis? hemm matahari terbenam, tepat untuk anak laki-laki yang hadir saat senja yang indah," gumam Stella mendengar nama Denis yang berarti matahari terbenam dalam bahasa Portugis.

Lain dengan Gavyn yang mendengus geli, Karel dan Raka dua nama yang tidah jauh berbeda dan saling berkaitan. "Raka Karel, hemm lumayan mirip," ucap Gavyn.

Stella menyikut lengan Gavyn. "Kau jangan merusak semua," omelnya.

Fian tersenyum dan kembali mengecup pipi bulat Raka. "Sayang, ini daddymu dan yang ini mommymu," ucap Fian sembari menunjuk Gavyn dan Stella.

Stella mendekatkan wajahnya pada Raka. Gemas, diciuminya setiap bagian dari wajah bayi mungil itu. "Sayangku, kau akan memiliki dua ibu sekarang," gumamnya. Fian terkekeh, dia senang mendapatkan Stella sebagai sahabat barunya. Seandainya disini ada Putri maka dia yakin anak itu akan heboh memeluk dan menciumi Raka.

Dua hari Fian dirawat dan akhirnya hari ini dia sudah bisa pulang. Mereka kembali ke vila. Semua menyambut anggota baru di vila ini dengan suka ria. Pelayan-pelayan rumah ini merasa gemas saat melihat bayi Fian meski bayi itu hanya diam tertidur pulas.

Fian menimang Raka yang sejak tadi terus menangis, saat ini dia sedang mengajak Raka untuk duduk di taman belakang untuk menikmati sinar mentari pagi yang menghangatkan.

"Raka mau apa sayang? haus yaa?" tanya Fian. Tangan kecil Raka menggenggam telunjuk Fian. Fian menciumi tangan kecil itu. "Sssttt jangan nangis yaa sayang, bunda disini," bisiknya.

Stella tersenyum menatap dari kejauhan, dia bisa melihat wajah Fian yang terlihat sangat bahagia semenjak Raka hadir di dunia ini. Binar mata Fian kembali hidup.

"Aku tidak menyangka sinar mata itu bisa kembali," gumam Gavyn yang tengah berdiri di samping Stella.

Stella menoleh. "Apa dulu Fian begitu?"

Gavyn mengangguk, "kau akan ikut tersenyum saat dia tersenyum. Wanita itu mempunyai cara untuk menularkan kebahagiaannya," jawabnya.

Stella menatap takjub, lama bersahabat dengan Gavyn membuatnya tau pria ini tidak pernah bisa serius dengan seorang wanita tapi sepertinya untuk Fian perasaan itu berbeda. Gavyn serius mencintai Fian. "Luar biasa, sepertinya doa para korbanmu telah terkabul," ucap Stella.

"Apa maksudmu?" tanya Gavyn.

"Doa mereka agar kau merasakan apa yang mereka rasakan. Mencintai seseorang tanpa balasan," ledek Stella.

Gavyn tersenyum miris, jika benar ini karena doa mereka semua maka terkutuklah. Dia benar-benar jatuh pada pesona Fian yang selalu terlihat sederhana tapi cantik dengan caranya. Padahal kalau dilihat, Fian bukan tipenya. Fian memang cantik dan pintar tapi dia tidak secantik gadis yang biasa dia kencani dan tidak sepintar rekan-rekannya dalam dunia bisnis.

"Mana mungkin begitu," jawab Gavyn dengan wajah tidak yakin. Stella menatap Gavyn dengan alis terangkat membuat pria itu mendengus kesal dan memalingkan wajahnya.

Vila ini menjadi lebih ramai karena tangisan Raka. Fian mengurus Raka dengan dibantu oleh Stella, terkadang jika Gavyn sudah pulang dari kantor pria itu akan dengan senang hati ikut membantu mengurus Raka.

"Raka.." panggil Stella.

Bayi yang dipanggil itu hanya memandang polos sekitarnya. Sesekali tangannya menggenggam tangan Fian yang berbaring disampingnya. Stella duduk di ujung ranjang, dia tertawa dan menggesekan hidungnya pada wajah Raka saat melihat bayi itu tertawa menggemaskan.

"Apa Gavyn belum pulang?" tanya Stella.

Fian menggeleng. "Belum, mungkin sebentar lagi," jawabnya. Baru saja mereka bicarakan, Gavyn sudah berdiri di ambang pintu kamar Fian. Pria itu menghampiri kedua wanita yang sedang sibuk bermain dengan bayi mungil.

Gavyn menggendong Raka dengan hati-hati. Senyumnya mengembang, rasa lelah setelah bekerja seharian mulai berkurang. Dia memang sudah berani menggendong Raka karena saat pertama Stella dan Fian selalu memaksanya untuk menggendong bocah ini.

"Hai tampan.. kau ingin main?" tanya Gavyn. Raka memukul-mukul pelan wajah Gavyn hingga pria itu terkekeh.

"Apa kau sudah cuci tangan?" tanya Stella dengan mata menyipit tajam. Dari penampilan Gavyn yang masih mengenakan jasnya, dia tau kalau pria itu baru tiba.

"Memangnya perlu?" tanya Gavyn.

Stella dan Fian melotot kesal, Stella langsung merebut Raka dan mengembalikannya pada Fian. "Cuci tangan dan bersihkan dirimu, baru kau boleh menyentuh baby Raka! aku tidak ingin baby Raka sakit karena kuman yang kau bawa," omel Stella.

Gavyn berdecak kesal, dia langsung berbalik dan membersihkan diri karena ingin buru-buru bermain dengan Raka. Bayi kecil yang juga memikat hatinya.

🍁🍁🍁

Fian menatap wajah putranya yang saat ini sudah tertidur pulas setelah menyusu. Perlahan jarinya mengusap pipi bulat Raka yang sedikit memerah.

"Raka.." panggil Fian dengar getaran yang sama saat dia memanggil Karel. Menyebut nama Raka membuatnya selalu ingat akan pria itu.

"Raka.. Raka.. Raka.." gumamnya. Fian menciumi setiap bagian wajah putranya. Satu tetes airmatanya jatuh diwajah Raka.

"Bunda minta maaf," ucapnya sembari menciumi lengan kecil itu. Sudah hampir dua bulan semenjak kelahiran Raka dan selama itu pula dia tidak pernah mendengar kabar apapun tentang Karel. Bagaimana pria itu hidup, apakah hidupnya bahagia.

Membayangkan saat ini Karel sedang mengurus Rain yang sedang hamil membuatnya memejamkan mata. "Apa kamu sudah menikahinya?" gumam Fian.

Fian mengeluarkan foto yang ia bawa saat pergi dari rumah Karel. "Hai Karel, kamu lihat bayi disampingku ini? dia Karel junior," bisik Fian.

Dia tersentak kaget saat tangan mungil itu menyentuh foto Karel. Kepalanya menoleh, mata bening kecoklatan milik Raka terbuka. Tawa menggemaskan dari bibir mungilnya saat menyentuh foto itu membuat Fian ikut tersenyum.

Dia mendekatkan foto itu pada Raka. "Ini ayah, ayahnya Raka. Ganteng kan?" tanya Fian. Tangannya mengusap-usap kepala Raka. "Raka mataharinya bunda, bunda akan lakukan apapun yang terbaik untuk Raka," ucapnya.

🍁🍁🍁

Nahhh segitu dulu yaaa.. yang penasaran sama kondisi Karel nanti yaa di part selanjutnya hehe

Next part akan ada fatar dan Rain untuk yang penasaransama cerita mereka berdua ;)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro