29. End of The Bad Beginning
Hayy semuaa mohon maaf lama karena asli abis bikin laporan pkk dan lain2an besok aku presentasi di rs sooo doain lancar yaksss 😂
Langsung aja.. baca sambil dengerin mulmednya kalo bisa, aku baru dapet lagu enak meskipun gk ngerti artinya 😂😅 untung kebantu sama subtitle inggrisnya 😧😅
Happy reading guys!!!😉
🍁🍁🍁
Mata Fian langsung terbuka lebar, nafasnya berkejaran. Keringat dingin menetes dari kening, tangannya merasa jantung yang berdetak cepat. Mimpinya barusan terlalu menyeramkan, dia melihat jelas Karel yang direnggut paksa darinya. Entah pertanda apa, tapi dia berusaha membuang semua pikiran buruk. Ini hanya mimpi, dan mimpi adalah bunga tidur.
Satu tetes air mata Fian mengalir tanpa sebab. "Aku ini kenapa?" tanyanya pada dirinya sendiri, tangannya mengusap tetesan airmata itu. Dia melirik jam yang ada di dinding kamar, masih pukul tiga dini hari. Matanya kembali terpejam namun gagal karena entah kenapa perasaannya sangat tidak enak.
Fian akhirnya memutuskan untuk bangun dan membuka pintu balkon kamarnya. Di langit berwarna biru gelap nyaris hitam bintang-bintang bertebaran membentuk gradiasi abstrak yang tetap indah dipandang. Hawa dingin disekitar membuat Fian menggigil dan mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya.
Tadi Gavyn membawanya ke sebuah vila yang besar dengan gaya modern di luar dan kesan alam di dalamnya. Kata pria itu ini adalah salah satu vila keluarganya dan Fian percaya itu karea Karel juga memiliki vila yang sebesar ini. Lokasi vila yang cukup jauh dari keramaian sangat cocok dengan kondisinya saat ini. Inilah salah satu alasan dia memilih Gavyn untuk membawanya pergi. Gavyn adalah orang yang mampu menyembunyikan dirinya dari Karel. Hanya pria itu yang setara dengan Karel dan hanya pria itu yang Fian percaya.
Pagi ini Fian sudah duduk di ruang makan dan bersiap untuk sarapan. Vila ini memiliki banyak pelayan dan Fian yakin itu sengaja disiapkan oleh Gavyn. Disini dia sama sekali tidak boleh melakukan apapun dan pria itu juga menyuruhnya untuk fokus pada kehamilan saja.
"Pagi," sapa Gavyn dengan wajah bangun tidurnya.
Fian tersenyum kecil melihat penampilan pria yang biasanya selalu rapi ini sekarang nampak berantakan. "Pagi Gavyn," sapanya kembali.
Gavyn tersenyum manis, jika ini wanita lain dia tidak yakin wanita itu akan tetap bersikap tenang seperti Fian. Bukannya percaya diri, dia sudah bosan dengan wanita yang menatapnya dengan tatapan lapar. "Tidurmu nyenyak?" tanya Gavyn disela kegiatan sarapannya. Fian mengangguk sebagai jawaban. Mereka ngobrol panjang lebar dan saling melemparkan lelucon hingga keduanya tertawa bersama.
"Bodoh," kekeh Fian.
Gavyn ikut tertawa, "nahh kau lebih manusiawi sekarang," ucapnya. Fian mengerti maksud Gavyn, ia hanya tersenyum kecut. Sesuram itukah wajahnya sejak kemarin sampai Gavyn menyadarinya.
Karena masih pagi, Fian memutuskan untuk berjalan mengelilingi vila ini. Di samping kiri dan kanan vila terbentang padang rumput dengan beberapa pohon buah yang menggiurkan. Jelas semua ditata oleh ahlinya karena terlihat sangat rapi. Kaki Fian melangkah ke halaman belakang vila melalui jalanan setapak bebatuan alam yang kembali memberikan kesan kenyamanan pada setiap orang yang berada disini.
Di halaman belakang Fian dibuat terpukai dengan hamparan taman yang sangat indah. Ada berbagai macam bunga kesukaannya seperti lily dengan aneka warna,tulip, krisan, anggrek dan bunga lain dengan berbagai macam bentuk dan warna. Di tengah ada danau buatan dengan bunga teratai dan air mancur di ujungnya.
Mata Fian berbinar, ini tempat yang dia suka dan selalu ingin dia datangi. Kakinya melangkah dengan semangat ke tengah hamparan bunga. Senyumnya mengembang sempurna, rasanya dia akan betah menghabiskan waktu ditaman ini.
Dari kejauhan Gavyn memandang siluet Fian yang sedang berdiri di antara hamparan bunga indah. Untuknya Fian cocok berdiri ditengah sana, karena wanita itu sama cantiknya dengan bunga-bunga itu. Kakinya melangkah untuk mendekati Fian.
"Apa kau suka?" tanya Gavyn.
Fian menoleh kaget, mengetahui orang itu adalah Gavyn baru senyumnya kembali terbit. "Sangat Gavyn!! ini indah," jawabnya.
Gavyn terseyum dan mengulurkan tangannya pada Fian. "Ayo duduk, kau pasti lelah berdiri sejak tadi," ajaknya. Fian menerima uluran tangan itu dan mereka berjalan beriringan ke ayunan kayu yang ada di dekat danau buatan.
"Semua ini pasti diurus oleh ahlinya," gumam Fian sembari menatap keseluruhan taman.
Gavyn mengangguk santai, "aku tidak mungkin memiliki waktu untuk mengurus ini," jawabnya.
Fian tertawa kecil dan memukul bahu Gavyn. "Dan kamu memang tidak bisa mengurusnya," ucap Fian. Gavyn hanya tertawa dan menatap wajah Fian yang polos tanpa make up namun tetap cantik untuknya.
Fian tersenyum dan menepuk lengan pria itu. "Jangan menatapku begitu, kamu bisa jatuh cinta padaku nanti," ledeknya.
Mata Gavyn berkedip beberapa kali menyadari kebodohannya. Dia merasa pipinya memanas sekarang, dia terbatuk karena salah tingkah. Baru kali ini merasa salah tingkah di depan wanita karena biasanya dia yang membuat wanita salah tingkah di depannya.
"Aku bukan menatapmu," elaknya.
"Yaa ya lalu kenapa wajahmu merah?? ohh kamu sangan manis Gavyn," ledek Fian disertai kekehan gelinya.
Gavyn mendengus geli. "Yaa aku memang menatapmu, sangat wajar kalau aku menatap wanita cantik sepertimu," jawab Gavyn santai. Fian ikut mendengus dan kepalanya kembali menatap ke depan. Mengabaikan rayuan pria gombal ini adalah pilihan terbaik. Gavyn ikut menatap ke depan dan menikmati taman yang sejak dulu ia abaikan keberadaannya.
Mata Fian terpejam, menikmati semilir angin yang mengusap lembut wajahnya. Nafasnya terasa lebih rileks karena udara segar di sekitar. Untuk kali ini ia ingin bersantai dan meninggalkan semua pikiran yang membuatnya selama ini pusing. Lama keheningan menguasai Fian dan Gavyn, yang terdengar hanyalah gemerisik air serta angin yang bergesekan dengan ranting pohon.
"Kira-kira kapan kau akan melahirkan?" tanya Gavyn memecah kesunyian.
Fian membuka matanya perlahan, silau cahaya matahari membuat matanya sedikit menyipit. "Mungkin beberapa minggu lagi," jawabnya. Beberapa minggu lagi, ia akan melahirkan dan itu harus dia lalui tanpa Karel. Bagaimana nasib anaknya nanti juga Fian belum memikirkannya, tidak mungkin dia akan bergantung terus pada Gavyn.
Suara ponsel Gavyn terdengar, saat melihat nama yang ada di layar Gavyn langsung menatap Fian. "Tunggu sebentar," ucapnya pada Fian sebelum menjauh.
Gavyn menjaga jarak dari Fian karena ini telfon dari orang suruhannya yang sedang mengawasi pergerakan Karel. "Bagaimana?" tanya Gavyn tanpa basa-basi.
Ada keheningan cukup lama di sebrang. "Ada kabar yang buruk Tuan," jawab orang suruhannya.
Mata Gavyn menyipit. "Apa?"
"Tuan Karel mengalami kecelakaan yang parah tadi," jawabnya.
Gavyn terdiam, dia langsung menoleh pada Fian. "Bagaimana kondisinya?"
"Dari pengamatan kami sepertinya dia masih kritis karena dokter belum keluar sejak tadi."
Gavyn mengusap keningnya sendiri, apa yang harus dia lakukan sekarang. Memberitahu semua pada Fian bukan pilihan melihat kondisi Fian yang sedang hamil besar. Dia tidak ingin membahayaan Fian sedikitpun. "Pantau terus keadaannya, dan segera hubungi aku jika ada informasi baru," ucapnya otoriter.
"Baik Tuan."
"Ohh yaa, lihat semua data dokter yang menanganinya. Aku ingin dokter yang terbaik untuk dia," ucap Gavyn yang membuat orang di sebrang bingung. Yang dia tau pria yang kecelakaan ini adalah musuh bosnya.
"Kenapa begitu Tuan?"
Gavyn tersenyum miring, "perintahku sudah cukup jelas?" tanya pria itu kembali. Si mata-mata tersadar, dia sudah terlalu banyak bertanya apa yang menjadi privasi bosnya.
"Cukup Tuan." Gavyn tersenyum dan mematikan sambungan telfonnya. Satu alasan yang dia miliki adalah, dia tidak akan membuat Karel mati dengan mudah, Karel harus merasakan sakitnya kehilangan Fian karena telah mengabaikan wanita itu. Sebenarnya ada satu alasan yang lebih kuat dari itu. Alasan bahwa Fian akan menangis jika Karel pergi dan Gavyn tidak akan bisa melihat Fian menangis.
Gavyn merasa hanya kasihan dan perlu bertanggung jawab pada Fian karena ulah adiknya, wanita itu harus terjebak pada situasi ini. Namun, ada satu yang terlewatkan dalam sudut hatinya, ada sesuatu yang perlahan tumbuh dan menjalar, sebuah rasa yang seharusnya tidak pernah ada karena diapun tau apa yang akan terjadi pada akhirnya.
"Ada apa ?" tanya Fian melihat wajah Gavyn yang mengeruh.
Gavyn mencoba untuk tersenyum seperti biasa. "Hanya masalah kantor, aku harus pergi sekarang Fi. Kau tidak apa ku tinggal?"
Fian membalas senyum Gavyn, kepalanya menggeleng. "Pergilah," jawabnya.
Gavyn menghela nafas panjang. "Bersantailah, buat dirimu nyaman disini. Jika ada orang-orangku yang tidak ramah padamu langsung laporkan saja padaku oke?"
Fian terkekeh dan mengangguk. "Yaa, sudah sana!" suruhnya. Gavyn mengangguk dan pergi meninggalkan Fian. Dalam hati dia meminta maaf karena tidak bisa memberitahu kedaan Karel saat ini padanya.
🍁🍁🍁
Di tempat lain seluruh keluarga Karel sedang menunggu dengan cemas. Mariska bahkan sudah menangis dan Kinan mencoba untuk menenangkannya. Tadi pagi sekali mereka mendapat kabar mengejutkan ini. Bi Peni menceritakan semua pada Mariska dan itu semakin membuat ibu dari Karel menangis. Dia tidak menyalahkan kepergian Fian karena siapa yang akan tahan hidup dengan Karel yang selalu seenaknya.
"Tenang Maa," bujuk Kinan.
"Gimana kalau Karel nanti.. ohh sebentar lagi dia harus jadi ayah," isak Mariska yang berusaha membuang semua pikiran buruknya.
Seorang dokter laki-laki keluar dengan wajah lelah. Dia mencoba untuk tersenyum pada keluarga Karel. "Keluarga Pak Karel?"
Mariska berdiri dan mendekati dokter itu. "Gimana kondisi anak saya dok?"
Dokter menggela nafas dan itu membuak efek tegang disekitarnya meningkat. "Benturan yang kuat dikepalanya membuat perdarahan yang cukup parah, tulang lehernya juga patah, kesadaran pasien terus menurun saat ini. Kami sudah melakukan apapun untuk mempertahankan tingkat kesadaran pasien, kita harap semua usaha ini tidak sia-sia."
Mariska membekap mulutnya, dunia ini terasa menggelap bersamaan dengan kabar itu. Karel adalah putra satu-satunya yang dia miliki, semenyebalkan apapun putranya itu dia tetap sangat menyayanginya.
"Apa Karel koma?"
Dokter tersenyum kecil dan menggeleng, "bisa saja, tapi saat ini belum dan mudah-mudahan itu tidak terjadi. Saat ini masih dalam tahap somnolen, pasien akan banyak tidur tapi masih bisa diajak bicara sedikit," jelasnya.
Danu merangkul bahu Mariska untuk membantu tubuh limbung istrinya itu. Dia tau ini berat untuk semuanya tapi yang dibutuhkan Karel saat ini adalah doa bukam tangisan histeris.
"Boleh kami melihatnya?" tanya Kinan. Saat ini dia tidak dengan Satrio, suaminya itu entah kemana. Sekarang setelah lama menjalin rumah tangga dengan Satrio dia baru sadar kalau ucapan Karel benar. Satrio tidak pantas untuknya, lihatlah sekarang dalam kondisi seperti ini pria itu justru hilang seperti ditelan bumi.
Dokter itu mengangguk, "bergantian," jawabnya.
Danu mengajak Mariska masuk saat istrinya itu sudah sedikit tenang. Mereka mendatangi Karel yang masih memejamkan mata, kondisi Karel terlihat buruk sekarang dengan gips di lehernya, perban yang mengelilingi kepalanya dan wajah yang memucat. Ditambah lagi harus ada dua selang infus untuk tranfusi darah serta cairan pada kedua lengannya dan dihidungnya juga terpasang selang oksigen untuk membantunya bernafas.
Mariska mendekat dan mengusap wajah Karel perlahan. "Karel sayang, ini Mama," bisiknya.
Sentuhan lembut itu membuat mata Karel perlahan terbuka. Cahaya dari mata hitam itu nampak redup, tidak ada ketajaman seperti biasa. Matanya menatap ke atas langit kamar.
"Fi..an," gumam Karel dengan suara serak. Hanya itu suara yang keluar lalu mata itu kembali terpejam. Mariska mengusap satu tetes airmata yang jatuh dari ujung mata Karel yang terpejam.
"Kita cari Fian yaa sayang, kamu harus bangun," ucap Mariska tanpa ada respon dari putranya.
Danu menarik istrinya untuk menjauh. "Ingat, Karel akan banyak tidur. Biarkan dia istirahat," ucapnya bijak. Dalam hal ini bukan berarti dia tidak sedih, dia sangat sedih melihat keadaan putra kesayangannya terbaring tidak berdaya. Tapi sebagai kepala keluarga jika dia ikut bersedih maka siapa yang akan menjadi sandaran dan penguat bagi yang lainnya.
Karena Mariska sulit untuk ditenangkan akhirnya Danu membawanya keluar ruangan. Diluar Kinan ikut menangis saat melihat ibunya terlihat sangat prustasi. Seburuk itukah kondisi kakaknya saat ini.
Dari ujung lorong Rain berlari mendekati keluarga Karel, tadi dia mendengar berita tentang kecelakaan lalu lintas dan dia tau pasti itu mobil Karel.
Mariska menatap tajam Rain, semua berawal dari kesalahan anaknya dan wanita ini. Semua kacau karena keegoisan dari anaknya dan wanita ini.
"Untuk apa kamu kemari?" tanya Mariska lemas.
Rain menangis, dia memang tidak pernah dekat dengan keluarga sahabatnya itu. "Saya hanya ingin menjenguk Karel," jawabnya.
Mariska mengusap wajahnya yang sudah memerah karena terlalu banyak menangis. "Tolong Rain, semua sudah kacau. Fian sudah pergi dari hidup Karel, jadi akhiri semuanya Rain, Tante bukan membencimu, tapi sejak awal Tante tau kalian tidak akan bisa bersama dan jika iya maka seperti sekarang hasilnya, banyak orang yang tersakiti bahkan orang-orang yang kalian sayangi."
Rain terdiam kaget, Fian pergi meninggalkan Karel. Ini pasti karena niat Karel untuk bertanggung jawab. Dia tidak pernah berniat untuk menghancurkan rumah tangga Karel dan Fian.
Air mata Rain menetes deras, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. "Maaf Tante, Rain tidak pernah tau semua akan sekacau ini," isaknya. Dia tidak tau semua akan hancur dalam waktu sekejap. Semua kebahagiaannya dengan Fatar, kebahagiaan Karel dengan Fian semua hilang lenyap menyisakan kepedihan untuk semua sisi.
Kinan membantu Rain untuk bangun, dia mengerti kalau saat ini Rain juga sama kacaunya karena beberapa hari lalu dia mendapat kabar perceraian wanita itu dengan Fatar.
"Bagaimana kondisi Karel?" tanya Rain.
Kinan tersenyum kecil. "Belum bisa dipastikan, semoga ada keajaiban sampai kakak bisa kembali pulih dan bisa mencari kak Fian."
Rain menggeleng pelan, mendengar itu dia sudah mendapatkan jawaban jelas tentang kondisi Karel saat ini. Pria itu dalam masa kritis. Karena sudah tau kondisi Karel, dia langsung pamit untuk pulang karena semakin lama dia disini maka keadaan akan semakin canggung.
Kaki Rain melangkah menelusuri lorong rumah sakit yang nampak ramai hiruk pikuk kesibukan. Matanua menerawang ke depan. Kemana Fian pergi sekarang, dengan siapa dia pergi dan bagaimana mungkin Fian sanggup meninggalkan Karel padahal yang dia tau Fian sangat mencintai Karel.
Rain terduduk di kursi taman rumah sakit. Dia mengeluarkan ponselnya, ada satu orang yang harus mengetahui tentang keadaan Karel dan orang itu adalah Fatar.
Nada sambung terdengar lama hingga akhirnya suara dingin asing itu menyambutnya. "Ada apa?"
"Datanglah ke RS Husada, Karel kecelakaan dan sedang kritis disana," jawab Rain.
Hening di sebrang sana cukup lama hingga jawaban Fatar membuat Rain tersenyum. "Untuk apa kamu memberitahuku?"
"Aku memberitahu Fatar sahabat Karel bukan Fatar mantan suamiku, Fatar sahabat Karel pasti tau kenapa aku memberitahunya, sudah yaa salam untuk anak-anakku," ucap Rain sebelum mematikan sambungan telfonnya.
Dia tau semarah apapun Fatar dia tidak akan bertahan selama lima menit untuk hanya diam tanpa berlari ke rumah sakit untuk mengetahui kondisi Karel. Fatar itu menyayangi Karel layaknya saudara kandung begitupun sebaliknya dan memang harus seperti itu karena persahabatan indah itu tidak pantas dihancurkan oleh wanita seperti dirinya.
🍁🍁🍁
Di lain tempat lagi, Fatar sibuk mengurus Keyla yang jatuh sakit. Jika biasanya akan ada Rain yang mengurus anaknya maka kali ini dia harus turun langsung mengurus putrinya yang memang sering jatuh sakit itu.
Hari ini dia seharusnya pergi ke kantor tapi karena kondisi Keyla dia memilih untuk tetap di rumah meskipun sudah ada Bi Jizah.
"Key kangen Mama, sebenernya Mama kemana Pa? kenapa sekarang jarang pulang? Key nggak suka pindah ke rumah baru kalo Mama nggak ikut," rengeknya.
Fatar menghela nafas, dia meletakkan putrinya di pangkuannya dan mendekap dengan penuh kasih sayang. "Mama sibuk, nanti kalau Papa libur pasti Papa anter ke Mama," ucapnya.
Keyla menggeleng lemas, dia rindu mamanya, dia ingin tidur dengan mamanya dan dia ingin disuapi mamanya seperti biasa. Dia bukan Rasya yang sering melakukan apapun sendiri. Ponsel Fatar berdering panggilan masuk dari Rain.
Dia meletakkan Keyla di tempat tidur dan keluar dari kamar anaknya. Sebelumnya dia pikir Rain menelfon karena kedua anaknya tapi ternyata mantan istrinya itu memberi kabar yang mengagetkan.
Karel mengalami kecelakaan, dia tidak tau harus bagaimana sekarang ini. Kata-kata Rain di telfon tadi membuatnya terdiam. Hatinya terlalu sakit karena ulah sahabatnya yang bodoh itu tapi dia juga tidak bisa pura-pura tuli saat mendengar kabar kecelakaan Karel.
Bagaimanapun kebersamaan sejak kecil tidak akan mudah hancur meski dalam kemarahan dan kekecewaan besar seperti yang ia alami saat ini. Fatar menghela nafasnya, dia mengontak Rain.
"Aku akan kirim alamat baru rumahku, jaga anak-anak karena aku harus ke rumah sakit," ucap Fatar.
Di sebrang Rain tersenyum kecil. "Terima kasih," ucapnya. Hanya itu setelah itu sambungan kembali diputus.
Fatar langsung mengirimkan pesan berisi alamat lengkap rumah barunya. Tidak butuh waktu lama untuk Rain sampai ke rumah yang besar itu.
Rain menekan bel dua kali dan pintu kayu besar itu terbuka menampilkan wajah tua Bi Jizah. Rain tersenyum dan memeluk wanita yang sudah seperti ibu saat mereka tinggal bersama membentuk suatu keluarga.
Keyla yang diberitahu Fatar yang datang adalah Rain langsung berlari keluar kamar. Matanya berbinar senang melihat mamanya yang akhirnya pulang. Rentangan tangan kecilnya memeluk Rain dengan erat.
Rain menciumi wajah Keyla yang demam. Betapa rindunya dia pada anaknya ini sampai rasanya dia tidak ingin melepaskan pelukannya. "Rasya mana?" tanya Rain.
"Sekolah Ma," jawab Keyla.
Fatar ikut berjongkok di dekat Keyla, dia mengusap puncak kepala gadis kecilnya. "Main dengan Mama yaa, Papa harus pergi," pamitnya.
Keyla mengerutkan kening. "Kemana? Key sama Mama ikut yaa," pintanya.
Fatar terkekeh dan menggeleng pelan. "Papa harus ke rumah sakit, Om Karel sakit sekarang," jawab Fatar jujur. Mata Fatar beralih pada Rain yang sedang memandangi tatapan hangat Fatar pada Keyla.
"Bagaimana kondisi Karel?" tanya Fatar.
"Cukup buruk sepertinya," jawab Rain seadanya karena dia tidak melihat langsung keadaan pria itu jadi yang dia bisa beritahu hanya itu.
Fatar berdiri dan merapikan kemejanya sebelum berbalik namun saat akan melangkah tangannya digenggam oleh tangan kecil Keyla.
"Key belum salim," katanya polos. Fatar tersenyum dan kembali mengusap kepala Keyla. "Mama nggak? biasanya Mama juga?"
Rain dan Fatar terdiam beberapa detik sampai akhirnya Fatar mengulurkan tangan. Dia tidak ingin anaknya mencurigai apapun.
Rain meraih tangan itu dan mencium punggu tangan Fatar seperti biasa. "Hati-hati Mas," ucapnya. Fatar hanya berdeham dan langsung pergi keluar rumah.
Kaki Fatar melangkah cepat melewati lorong rumah sakit. Di ujung dia melihat Kinan yang duduk di ruang tunggu IGD rumah sakit ini. Dia menepuk pelan bahu Kinan agar gadis itu tidak kaget.
"Hai Ki," sapa Fatar.
Kinan tersenyum kecil dengan mata berbinar. Dia tidak menyangka kalau Farar masih mau bersedia datang untuk menjenguk Karel setelah apa yang telah dilakukan kakaknya pada pria itu.
"Hai Kak, apa kabar?" tanya Kinan.
Fatar tersenyum kecil dan duduk di samping Kinan. "Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja," jawabnya mencoba untuk santai.
Kinan menundukan kepala, "maafkan perbuatannya, dia benar-benar buta dulu," ucapnya.
"Sudahlah jangan membahas itu, bagaimana kondisi Karel sekarang?" tanya Fatar.
Air mata Kinan menetes, Karel belum kembali bangun meski telah dibangunkan beberapa kali. Dia takut kesadaran kakaknya semakin menurun saat ini. "Belum membaik, aku takut justru akan semakin buruk," isaknya.
Fatar merangkul bahu gadis yang telah dia anggap adiknya sendiri itu. "Kita doakan yang terbaik untuknya, kamu harus tegar agar Karel juga bisa lebih semangat untuk sembuh."
Fatar masuk ke ruangan dan menghampiri brangkar yang ditempati Karel. Rahangnya terkatup rapat melihat kondisi sahabatnya yang nampak buruk itu. Kakinya melangkah semakin mendekat. Masih ada rasa marah dan kecewa yang kuat disisi hatinya tapi melihat mata itu terpejam tidak berdaya dia juga merasa kemarahan karena tidak bisa menolong apapun.
"Apa yang membuat lo sampai begini? lo bukan orang yang ceroboh dalam menyetir," gumamnya.
Tidak ada jawaban dari Karel, Fatar hanya bisa menatap mata yang terpejam itu basah. Entah apa yang dialaminya dalam tidur sampai airmata sahabatnya itu terus menetes.
"Bangunlah, sebentar lagi lo akan jadi ayah," ucap Fatar. Dia menepuk pelan bahu Karel kemudian langsung kembali keluar. Rasanya tidak tega melihat Karel terbaring lemah seperti itu. Dia duduk di samping Kinan lagi.
"Mana Fian? Kakak belum lihat," tanya Fatar.
Kinan mengerutkan keningnya. "Kak Fian pergi, karena itu kak Karel mencarinya seharian dan kecelakaan, apa Rain belum cerita?"
Fatar terdiam, jika penyebab kekacauan Karel adalah Fian dia tidak heran. Namun, yang adal dalam pikirannya adalah kenapa Fian pergi meninggalkan Karel begitu saja padahal wanita itu selalu bertahan selama ini meski Karel bersikap semaunya.
"Kakak sangat mencintai kak Fian," gumam Kinan. "Bahkan saat tadi sempat sadar dia hanya mengucapkan nama kak Fian, aku bahkan belum pernah melihat kakak sekacau ini. Kak Fatar juga tau kan? pengendalian diri Kak Karel itu cukup hebat, tapi untuk menyangkut Kak Fian, semua keahliannya seperti hilang."
Fatar mengangguk pasti, dia tidak mungkin tidak sadar akan hal itu karena sudah lama dia mengenal Karel. "Fian pasti punya alasan yang kuat," ucapnya.
Kinan mengangguk, dia mengusap wajahnya. "Setiap manusia memiliki batas kemampuan, dan mungkin ini batas kemampuan kak Fian untuk menerima. Selama ini dia berdiri di dekat kakakku itu dengan perisai baja sampai mampu bertahan, tapi perisai itu juga bisa rapuh jika diterpa api terus menerus." Itu faktanya, Fian harus mematikan hatinya dulu jika ingin terus dengan Karel, Fian harus bersedia menjadi boneka jika ingin dengan Karel karena pria itu seolah tidak pernah menyadari kalau wanita disampingnya itu bukan boneka yang tidak memiliki perasaan.
"Apa ini tentang Karel yang akan menikahi Rain?" tanya Fatar.
Kinan mengangguk, dia tidak tau kenapa kakaknya itu memiliki pemikiran seperti itu tapi, dia tau alasan kakaknya itu pasti cukup kuat.
Fatar menghela nafas, sekarang bukan hanya rumah tangganya yang hancur tapi juga rumah tangga sahabatnya. Dia tidak merasa menang akan hal ini, dia juga ikut sedih karena semua hancur tanpa sisa. Seharusnya perselingkuhan bodoh itu tidak pernah terjadi.
Setelah malam Fatar baru pamit untuk pulang. Saat ini Keyla juga sedang sakit jadi dia tidak tenang meninggalkan putrinya itu meskipun ada Rain di rumah.
Setibanya Fatar dirumah, dia langsung menuju kamar anak-anaknya. Di depan pintu dia menyaksikan Rain tidur ditengah kedua anaknya. Wanita itu mendekap Keyla yang dikeningnya terpasang kompres. Perlahan kakinya mendekat, dia memeriksa kondisi anaknya.
"Demamnya sudah turun, ternyata dia benar-benar kangen Mamanya," gumam Fatar. Dia pergi keluar kamar tanpa suara. Untuk hari ini biarlah Rain menemani kedua anaknya.
"Mas," panggil Rain pada Fatar yang sibuk memandang laptopnya.
Fatar mendongak, dia melepas kaca matanya dan mempersilahkan Rain duduk.
"Aku harus pulang," pamit Rain.
"Ini sudah malam, menginaplah. Kamu bisa tidur di kamar anak-anak," ucapnya. Bukan apa-apa ini sudah malam dan Rain adalah seorang wanita. Dia khawatir ada hal yang terjadi nanti.
Kepala Rain menggeleng. "Anak-anak pasti tidak mau kutinggal kalau mereka sudah bangun," jawabnya. Fatar terdiam, dia membenarkan ucapan Rain barusan.
Dia bangkit dan pergi ke kamarnya untuk mengambil jaket dan kunci mobil. "Ayo, aku akan mengantarmu," ucapnya.
"Tidak usah repot, aku naik taxi saja," tolak Rain halus. Lebih karena tidak ingin merepotkan Fatar.
Fatar menghela nafasnya. "Aku hanya bersikap sebagai teman. Kamu adalah ibu dari anakku, mau tidak mau kita harus menjaga hubungan baik untuk mereka.
Rain menundukan kepala, jantungnya merasa diremas saat sadar sekarang dia bukanlah bagian keluarga ini. "Baiklah, terima kasih," ucapnya dengan tersenyum paksa.
Tidak ada perbincangan selama perjalanan. Hanya suara musik dari radio mobil yang melantun indah memecah kesunyian. Fatar hanya fokus pada jalan di hadapannya.
"Terima kasih," ucap Rain sekali lagi sebelum turun dari mobil karena mereka sudah sampai.
Fatar mengangguk kaku, matanya melirik rumah lamanya. Rumah yang penuh dengan kenangan manis yang beriringan dengan goresan luka di dalamnya.
🍁🍁🍁
Rain menatap mobil Fatar yang telah hilang di tikungan. Nafasnya kembali lega. Kakinya melangkah menjauhi rumah itu. Yaa dia tidak tinggal di rumah yang penuh kenangan itu, selain karena tidak mampu dia juga tidak berhak.
Rumah besar itu sepenuhnya milik Fatar. Jadi jika rumah itu ditempati maka orang itu harusnya dalah Fatar dan kedua anaknya. Tapi seperti biasa, Fatar mengalah dengan pergi dari rumah itu dan mencari rumah lain. Entah karena mengalah atau tidak ingin tinggal di rumah ini tapi yang pasti Fatar selalu memberikan apapun pada dirinya bahkan sampai akhir.
Rain berjalan sembari mengusap perutnya. "Kamu beruntung karena Papamu orang baik, maaf karena Mama membuatmu harus lahir dalam kondisi seperti ini," gumamnya.
Di jalan besar, Rain menyetop taxi karena sudah terlalu malam untuk naik angkutan. Taxi itu melaju ke daerah yang dipenuhi rumah berpetak dengan ukuran rata-rata 2×3 meter dan jalanan sempit yang bahkan menyulitkan motor untuk melewatinya.
Sampai di depan gang sempit itu Rain turun dan berjalan ke rumah kontrakan yang sudah beberapa hari dia tempati.
Rain mengusap wajahnya, dia langsung berbaring di ranjang kapuk yang ada di kamar ini. Beberapa hari ini rasanya tenaganya terkuras berkali lipat sampai dia merasa lelah fisik dan batin.
Matanya menatap atap kamar, memikirkan kemana kira-kira Fian pergi. Bagaimanapun dia harus membantu Karel untuk menemukan Fian karena ini juga ulahnya.
"Aku harus bagaimana.." gumamnya. Dia tidak memiliki apapun untuk membantu Karel, yang dia miliki hanyalah tenaga sekarang.
Ponsel Rain bergetar, tangannya meraba tas dan mengeluarkan ponsel itu. "Yaa.." sapanya.
"Kenapa kau tinggal di kontrakan itu?" tanya suara yang tidak asing untuk Rain. Dia segera terduduk dengan mata berbinar.
"Kakak.." gumamnya.
"Jawab aku," ucap Gavyn lebih dingin.
Rain menghela nafas, tanpa perlu penjelasan dia sudah tau jawaban kenapa kakaknya ini bisa tau semua tentangnya. "Aku harus bagaimana lagi? tinggal di rumah yang Fatar berikan padaku atas dasar kasihan? tidak bisa kak, kembali ke rumah apalagi, aku tau kalian semua malu karena perbuatanku," jawabnya putus asa.
"Astagaa!! kenapa kau memilih hidup seperti ini Rain?? aku sudah memperingatkanmu berkali-kali!!" geram pria itu dengan nada prustasi.
Rain menengadah kepala, tidak ingin ada setetes air mata yang keluar lagi untuk hari ini. "Aku menyesal.." gumamnya. "Seandainya aku memiliki pemutar waktu sudah pasti aku memilih tetap bersama Fatar dan bahagia dengannya."
Terdengar helaan nafas di sebrang sana. "Aku akan mencarikanmu rumah, kau harus segera pindah. Arrrgg kau ini punya otak atau tidak? kau sedang hamil tanpa suami dan kau justru tinggal di pemukiman padat penduduk yang akan semakin membuatmu dikucilkan!"
Rain menggigit bibirnya, inilah kakaknya yang selalu tegas padanya. Ini kakak yang selalu melindunginya, dan dia sangat merindukan pelukan dari kakaknya itu terlebih dalam kondisi seperti ini.
"Aku akan tetap tinggal di sini, biar aku yang hadapi orang-orang itu nanti," yakin Rain.
"Hahh kau semakin gila! saat ini Karel tidak sadar, bagaimana dia akan bertanggung jawab padamu? apa kau membiarkan anakmu tumbuh dengan kekurangan? kau bahkan tidak punya uang Rain!"
"Aku tau! aku akan berusaha mencari uang. Dan tentang Karel, dia tidak melakukan apapun sampai harus bertanggung jawab," gumamnya.
"Maksudmu? anak itu milik Fatar?"
Rain tersenyum sedih, "dia milikku, tolong kak, aku hanya ingin memulai hidup baruku tanpa Fatar dan Karel," mohonnya.
"Rain kau.."
"Kak aku juga ingin minta tolong padamu," sekarang dia tau harus membantu Karel dengan cara apa. "Tolong cari Fian dam bawa dia kembali pada Karel, kau pasti tau saat ini dia sedang kritis," ucapnya.
Hening di sebrang sana. "Aku tidak bisa, jika pria itu ingin Fian kembali biar dia yang mencarinya."
"Bagaimana caranya?? dia bahkan tidak sadarkan diri Kak!! tolonglah, jika bukan untuk Karel lakukan untuk Fian, dia sahabatmu kan?"
"Justru karena aku membantunya jadi aku tidak akan mencari Fian. Percayalah pria itu akan menemukan Fian saat dia lebih pantas untuk menyebut dirinya sebagai seorang pria dan suami untuk wanita sebaik Fian," jawab Gavyn dengan aura dingin yang membekukan.
Rain terdiam, memikirkan sesuatu yang janggal pada kalimat itu. Kakaknya kah yang telah membawa Fian pergi.
🍁🍁🍁
Buat part ini sengaja cuma segitu untuk ngasih tau aja efek dari kehancuran kemarin.. wkwk apadah
Mohon maaf kalau kurang greget.. kemaren itu asli aku emang ngerasa kurang
Mudah2an next part bisa cepet aku bikin 😁😁😁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro