21. Berdamai
Hayy semuaaa... happy weekend hehe untuk anak sekolah happy holiday.. semoga nilai rapotnya memuaskan semuaa.. Aamiin 😊😊😊
Ehh cover NADW baru lohh.. bagus yakk?😀
Langsung aja yakk happy reading guyss 😆😆😆 Warning.. mungkin akan banyak typo bertebaran so maafkan author yang masih labil ini 😂 Ini udah 5000 kata lebih lohh 😉
🍁🍁🍁
Author POV
Fian duduk diam di pantri, semalam ia tau kalau Karel pulang pukul satu dini hari, entah apa yang dilakukan dengan temannya. Temannya, atau Rain, sepertinya Fian lebih percaya kalau Karel bilang akan pergi dengan Rain.
Karel menuruni tangga dengan wajah kusut, matanya sedikit memerah efek kurang tidur. Dia duduk di samping Fian dengan santai tanpa menyapa.
"Pagi," sapa Fian seformal kemarin-kemarin.
"Hemm," balas Karel.
"Apa yang ingin kamu berikan padaku kemarin?" tanya Fian to the point.
Mata Karel melirik sekilas, dan kemudian kembali fokus pada black coffee yang sudah disediakan Meri. Karel mengulurkan kotak perhiasan berwarna biru pada Fian. "Buka saja," ucapnya dengan datar.
Fian menghela nafas pasrah dan membuka kotak itu. Isi kotak itu membuat Fian melebarkan matanya, kalung cantik dengan liontin kemudi kapal yang sejak dulu Fian inginkan. Perasaan selama ini Fian tidak pernah cerita kalau dia menginginkan ini.
"Terima kasih Karel.." lirih Fian.
Karel bangkit dan merapikan jasnya, "kalau tidak suka kamu bisa membuangnya, hari ini berangkatlah dengan Ucup, aku harus ke Bekasi," katanya sebelum meninggalkan Fian.
Fian menitikkan airmata, sedang hamil malah diperlakukan seperti ini, nasibnya luar biasa.
Fian memasang kalung itu sendiri, sebenarnya ia ingin sekali Karel yang memasangkan untuknya tapi jangankan berlaku romantis begitu, bicara saja datar dan dingin.
Dalam hati Fian berdoa semoga ia bisa melewati masa kehamilannya sendiri tanpa perhatian bahkan dukungan dari Karel. Lagipula diluar sana masih banyak yang nasibnya jauh lebih buruk dari Fian jadi lebih baik Fian mensyukuri semua yang dia punya sekarang. Keluarga yang baik, sahabat yang baik dan orang-orang terdekat yang baik seperti Meri dan Bi Peni.
🍁🍁🍁
Mata Fian menatap pantulan dirinya di kaca yang ada di hadapannya. Tangannya mengelus perut yang sekarang sudah sedikit membuncit. Tidak terasa ini sudah masuk empat setengah bulan.
Entah beruntung atau tidak, Karel terlihat seperti sast pertama kali bertemu sejak pria itu kembali dari Bangkok. Sikap biasa saja sudah cuek apalagi sikap seperti dengan orang asing. Bisa bayangkan sendiri.
Hari ini seperti biasa, Fian menggunakan dress longgar agar sedikit menutupi perut buncitnya. Mungkin kalau dalam keadaan normal Karel akan curiga karena biasanya Fian lebih suka menggunakan pakaian formal setiap ke kantor.
Kaki jenjang Fian melangkah menuruni tangga. Matanya jatuh pada Karel yang sedang duduk di pantri dengan membaca koran dan secangkir black coffee kesukaannya. Dalam hati Fian menggerutu, ini jadwalnya minum susu. Dia bahkan sudah membawa plastik berisi sekotak susu yang selalu dia simpan aman di kamarnya.
"Pagi," sapa Fian sebelum duduk di sebelah Karel.
"Hemm," jawab pria itu tanpa mengalihkan pandangannya dari koran. Fian terdiam lalu tersenyum kecil. Hanya hemm, padahal seingatnya terakhir kali mereka bicara adalah tiga hari lalu.
Tinggal satu atap, kamar berdampingan, bertemu setiap hari, tapi ngobrol hanya sekedar untuk menyapa saja tidak, hebat sekali pernikahannya ini. Meri menghampiri Fian dan mengulurkan satu piring otak-otak bakar yang sudah dipisah dari daun pisang. Mata Fian berbinar, dia memang minta dicarikan makanan itu sejak kemarin.
"Makasih yaa Ri.. kamu dapet darimana? aku cari-cari ni makanan aja nggak ketemu," tanya Fian sembari memakan otak-otak itu dengan rakus.
Meri tertawa kecil, "hehe kemarin saya ke kawasan pantai Nyonya, di sana banyak banget yang jual, Nyonya makan aja sepuasnya.. masih banyak tuh di kulkas nanti tinggal saya angetin,"
"Makasih yaa Ri, kamu baik banget.. maaf ngerepotin," ucap Fian dengan nada bersalah. Karena dirinya tidak bisa minta tolong pada Karel untuk memenuhi keinginannya jadi dia hanya bisa merepotkan Putri, Bi Peni, Meri dan Ucup.
"Haha santai aja kali Nyonya, saya juga sekalian main kemarin, yaudah saya kebelakang dulu yaa..misi," Meri pergi meninggalkan Fian yang kembali sibuk melahap makanan di depannya ini.
Karel menoleh karena terganggu dengan suara berisik disampingnya. Matanya jatuh pada Fian yang makan seperti kuli. Tidak ada anggun-anggunnya sama sekali. Jika dilihat-lihat tubuh Fian sekarang memang lebih berisi.
"Apa?" tanya Fian saat sadar Karel menatapnya. Karel mendengus dan kembali membaca koran.
Setelah kenyang, Fian berangkat ke kantor dengan Karel. Tidak ada obrolan diantara keduanya. Fian sibuk dengan pikirannya sendiri dan Karel juga begitu.
Tiba di kantor Fian langsung turun sedangkan Karel melanjutkan perjalanan. Yah dia sudah jarang di kantor, karena pekerjaan diluar lebih banyak. Keuntungan lagi untuk Fian.
"Woy bumil! makan mulu kerjaan lo," ledek Putri saat melihat Fian makan chesse cake.
Fian menghela nafas, "nggak tau nih, pengennya makan terus.." jawabnya.
Putri tertawa dan menepuk bahu Fian. "Yahh nggak apa lah, yang penting baby sehat nggak masalah kalau emaknya lebaran,"
Fian menoyor kepala Putri, "sembarangan, gue masih langsing," elaknya. Padahal Fian juga menyadari kalau berat badannya naik drastis. Putri kembali tertawa, yahh setidaknya Fian sedikit demi sedikit mulai kembali ceria karena kehadiran si baby yang masih berada di perut itu.
"Kira-kira baby cewek apa cowok yaa.." gumam Putri sembari menerawang.
Fian tersenyum dan menggelengkan kepala, "gue nggak peduli, yang penting baby sehat dan nggak kekurangan satu apapun," jawabnya.
Putri mengangguk setuju, "lo harus kurangin aktivitas juga Fi, kasian si baby kalau lo kecapean," saran Putri seperti biasa.
"Kerjaan banyak banget Put, tenang aja gue bisa jaga diri.." jawab Fian. Putri menggelengkan kepala, Fian itu susah sekali dinasehati.
Fian kembali sibuk bekerja, meski sekarang Karel tidak di kantor tapi pekerjaan Karel yang dikantor juga banyak dan Fian harus memanage semua.
Sorenya Fian belum bisa pulang karena dokumen rapat Karel belum diselesaikan akhirnya mau tidak mau dirinya harus lembur. Pukul enam sore Fian baru bisa pulang ke rumah.
Setelah tiba di rumah, Fian langsung merebahkan diri di sofa ruang tamu. Hari ini cukup lelah karena dirinya tadi juga harus bolak-balik dari ruang arsip ke ruang Karel.
Karel juga baru kembali, dia masuk ke dalam rumah dan langsung berjalan ke kamarnya tanpa memperdulikan Fian yang sedang merebahkan diri. Hari ini Karel juga lelah jadi pria itu langsung mandi dan merebahkan diri di ranjang.
🍁🍁🍁
Karel membuka matanya, jam di nakas menunjukan pukul sebelas malam. Tenggorokan Karel terasa kering hingga dia memutuskan untuk bangun dan pergi ke dapur.
Mata Karel mengerjap beberapa kali saat melihat ada wanita dengan gaun putih pendek dan rambut panjang yang sedikit acak-acakan. Sejak kapan rumah ini punya penunggu, batinnya.
Kaki Karel melangkah mendekati wanita itu dan saat sudah dekat dia menyentuh bahu wanita itu.
"Aaaaaaa!!!!!!" teriak Fian gila-gilaan. Karel yang awalnya ingin mengagetkan justru kaget sendiri, untung jantungnya tidak loncat. Karel segera membekap mulut Fian.
Mata Fian melebar, nafasnya tersengal. Sialan bikin kaget aja ni orang, batinnya menggerutu. Tadi dia sedang membuat susu karena hari ini dirinya belum minum sama sekali.
"Sedang apa kamu malam-malam?" tanya Karel dengan tajam. Untung tadi dia tidak memutuskan untuk memukul dari belakang.
"Mmmm mm mm.." jawab Fian. Karel tersadar dan melepaskan bekapan tangannya dari bibir Fian. Fian mendelik kesal, "kenapa ngagetin begitu?" teriak Fian.
Karel mengangkat bahunya, acuh. "Ku pikir kamu kuntilanak," jawabnya. Fian ternganga sebentar. Mulut itu memang minta dicabein. Fian menghela nafas dan memutuskan untuk diam, toh memang akhir-akhir ini mereka tidak banyak bicara.
Fian meminum susu dengan santai sedangkan Karel memperhatikan Fian dari ujung kepala hingga kaki. Dalam hati Karel merutuk kenapa Fian mengenakan pakaian seminim itu. Belum lagi gaun tidur itu terlihat tipis. Mata Karel jatuh pada dada Fian. Kepala Karel menggeleng keras, otaknya mungkin tidak beres karena terlalu lelah bekerja.
"Sejak kapan kamu suka minum susu?" tanya Karel dengan wajah curiga.
Fian menghentikan tegukannya, bagaimana ini. "Aku sejak dulu suka minum susu," bohongnya.
Karel mendengus, dia tau Fian. "Kalau kamu lupa kita sudah menikah hampir satu tahun, aku tidak mungkin tidak tau apa yang kamu suka dan tidak suka," ucapnya dengan datar.
Yah Karel tau semua kebiasaan Fian, mulai dari gadis itu menyukai makan, dan setiap makan dengan Karel gadis itu akan meminta menukar makanan. Katanya makanan yang dirinya pesan pasti lebih enak daripada pesanan Fian sendiri. Tapi tentu saja itu dulu, sebelum mereka saling diam beberapa bulan ini.
Fian menghela nafas, sulit untuk membohongi Karel. "Aku mulai suka susu karena Putri selalu memaksaku karena bulan-bulan kemarin tubuhku terlalu kurus," untung dia bisa mencari alasan. Tidak sepenuhnya bohong karena Putri memang melakukan itu, tapi bukan hanya karena dirinya terlalu kurus melainkan juga karena ada baby di rahimnya.
"Hah Putri atau Gavyn," sindirnya.
Fian mengerutkan kening, "Gavyn?" tanya Fian. Karel menghela nafas, dia mengambil segelas air dan langsung berjalan ke ruang televisi meninggalkan Fian yang terdiam bingung.
Fian mengambil susu yang tadi dia buat dan langsung menyusul Karel. Dia duduk di samping Karel yang menatap layar tv padahal tv itu dalam keadaan mati.
"Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Gavyn?" tanya Karel tanpa menoleh.
Fian tersenyum kecil, "baik, dia selalu membuatku tertawa dengan leluconnya, dia memanjakan aku, dia menghiburku saat wajahku sedih padahal aku tidak cerita apapun padanya," gumam Fian dengan mata menerawang. Seandainya yang dia cintai adalah Gavyn maka semua akan lebih mudah, dia bisa meninggalkan Karel begitu saja dan pergi dengan Gavyn.
Karel menundukkan kepala, "aku setuju dengan ucapanmu," ucap Karel.
Fian mengerutkan kening, "ucapanku yang mana?"
"Tentang perceraian, semua sudah selesai. Aku dan Rain sudah berakhir jadi lebih baik kita juga berakhir," ucap Karel yang akhirnya menoleh pada Fian.
Fian terdiam, meneguk salivanya. Bagaimana ini, dirinya sedang hamil jadi bagaimanapun dia tidak bisa bercerai. Lagipula Fian terlalu mencintai Karel. Mata Fian berkaca-kaca, dia sudah ingin menangis sekarang.
"Ahh haha, selamat.. akhirnya kamu dan Rain sadar," ucap Fian sembari membuang muka. Tidak boleh menangis di depan Karel, batinnya. Dirinya sudah tau kalau akhir dari pernikahanya akan begini tapi kenapa rasanya masih saja sangat sakit.
"Ya, dan selamat juga karena kamu bebas dariku," ucapnya. Fian langsung menoleh pada Karel, dia melihat senyum pria itu meski matanya masih sedingin es.
"Bisa tunggu sampai empat bulan lagi?" tanya Fian.
Karel mengerutkan keningnya. "Kenapa? Gavyn sudah menunggumu, kamu bisa menikah dengannya setelah cerai denganku," ucap Karel.
"Menikah dengan Gavyn?" tanya Fian.
"Tentu, itu yang kalian harapkan bukan?" sinis Karel. Fian memiringkan kepala, ada apa sebenarnya.
"Kenapa aku harus menikah dengan orang yang sudah kuanggap sebagai kakak?" tanya Fian, entah dia bertanya pada Karel atau pada dirinya sendiri. Dia benar-benar bingung dengan ucapan Karel.
"Kakak?" tanya Karel. Fian mengangguk polos, "kamu menganggap Gavyn hanya sebagai kakak?" Fian mengangguk lagi. "Yakin?" apa-apaan ini, dikira mengangguk terus itu tidak capek. "Yakin?" tanya Karel untuk kedua kalinya karena Fian tidak menjawab.
"Yakin Karel, Astagfirullah.." ucap Fian.
Karel terdiam, matanya mengerjap. "Sial," umpatnya. Dia ternyata sudah salah sangka selama beberapa bulan terakhir ini. Harusnya dia percaya kata-kata Fatar, yahh saat itu dia langsung mengajak Fatar nongkrong di cafe langganan mereka.
"Menurut lo Fian tipe perempuan yang akan main belakang?" tanya Karel saat itu.
Dan saat itu Fatar justru tertawa geli dan memukul bahu Karel, "Fian sepolos itu mana mungkin main belakang, kalau lo yang main di belakang Fian baru gue percaya."
Karel menoleh pada Fian yang sedang duduk diam disampingnya. Mata Fian menatap lurus kedepan entah fokusnya kemana. Karel tersenyum, senyum lega karena Fian ternyata tidak mencintai Gavyn.
Tangan Karel terangkat untuk mengusap pipi Fian tapi ia langsung mengurungkan niatnya. Aneh tidak yaa kalau tiba-tiba aku memeluknya, batin Karel. Rasanya sangat canggung karena sudah dua bulan lebih mereka saling menjauh.
"Fi.."
"Karel.." mata mereka mengerjap karena panggilan yang bersamaan tadi.
"Ada apa?" tanya Karel.
"Bisa tunggu empat sampai lima bulan lagi?" tanya Fian kembali ke topik permasalahan lagi. Karel terdiam, ini semua salahnya karena membahas perceraian.
"Fi aku ingin bicara," ucap Karel. Nada itu terlalu lembut hingga Fian mengerut bingung. Tadi nada suara Karel begitu datar, dan sekarang berubah lembut. Apa mungkin kehamilannya mempengaruhi telinga.
Karel mengubah posisi duduknya, kini dia benar-benar menghadap Fian. Matanya mengunci mata Fian. "Aku ingin kamu menjadi istriku selamanya," tegas lugas dan mengagetkan. Fian terdiam, benar ini pasti efek kehamilannya. Halusinasi yahh ini hanya halusinasi.
"Apa? aku tidak dengar," ucap Fian.
"Aku ingin kamu jadi istriku Fi, bukan untuk sementara tapi selamanya," ulang Karel.
"Ohh.." jawab Fian. Otaknya bekerja keras mencerna ucapan Karel. "Istri selamanya.. APA???" tanya Fian yang baru sadar. Lamban sekali sistem kerja otaknya.
Karel menatap Fian dengan wajah datar tanpa ekspresi, bagaimana Fian bisa percaya bahwa pria ini baru saja menyatakan perasaan, yahh meskipun tidak mengucapkan langsung dengan kata i love you seperti kebanyakan orang.
"Apa maksudmu Karel?" tanya Fian. Dia tidak ingin jatuh lagi.
"Ku rasa tidak sulit mengartikan arti ucapanku tadi," jawab Karel.
Fian menatap wajah Karel masih dengan tatapan tidak percaya. "Kenapa kamu mau aku menjadi istrimu selamanya? lima menit yang lalu kamu bahkan membicarakan perceraian kita."
Karel menghela nafas dan memberanikan diri untuk merangkul pinggang Fian agar gadis itu mendekat. "Apa aku terlambat untuk mengucapkan i love you pada istriku ini?" Fian hanya bisa ternganga karena tidak tau harus merespon apa. "Please Fi, kembali seperti dulu, aku tidak suka kamu yang pendiam, kembalilah jadi Fian yang selalu tersenyum."
"Aku..aku rasa ini salah, yang kamu rasakan mungkin bukan cinta Karel.." lirih Fian.
"Lalu apa?" tanya Karel dengan tajam.
Fian mengusap pipi Karel hingga pria itu memejamkan mata menikmati tangan lembut itu. "Kamu mungkin hanya terbiasa denganku, biar bagaimanapun aku selalu disampingmu, aku yang mengurusmu, aku mempersiapkan semua kebutuhanmu. Tapi semua bukan berarti kamu mencintaiku," jelasnya.
Karel menahan tangan Fian agar terus dipipinya. "Aku tau perasaanku Fi, aku bukan anak remaja yang terjebak karena tidak mengerti perasaan sendiri." Fian diam, dia takut berharap. Dia sudah terlalu sakit hati dengan kelakuan Karel.
"Bagaimana mungkin secepat itu kamu melupakan Rain dan beralih padaku? aku bukan cadangan yang bisa kamu gunakan saat yang utama tidak ada Karel."
"Kenapa kamu bicara begitu?"
Fian tersenyum dan menarik tangannya. "Karena memang itu faktanya."
Karel menghela nafas "Oke aku ingin bertanya, apa kamu mencintaiku?" tanya Karel. Dasar tidak peka, dasar hati batu, dasar mata buta. Memangnya tidak jelas dari sikap Fian selama ini.
"Apa itu penting sekarang?" tanya Fian.
"Sangat," jawabnya.
Fian diam, mungkin sekarang saatnya dia mengataka perasaannya. Fian menghela nafas, dia tersenyum dan tiba-tiba mencium bibir Karel hingga pria itu melebarkan mata kaget. Hanya kecupan kecil setelah itu Fian menjauh.
"Aku mencintaimu sejak awal permainan ini, maaf tapi itu bukan kehendakku."
Karel menahan nafas, dia benar-benar kaget dengan fakta itu. Berarti selama ini Fian menahan rasa sakit, dan gilanya ini sudah berlangsung hampir satu tahun. "Kenapa kamu tidak pernah bicara padaku?"
Fian tersenyum getir dan mengusap airmatanya. "Apa itu berguna? apa kamu akan meninggalkan Rain untukku? tidak kan??" pertanyaan Fian membuat Karel diam. "Kamu terlalu asik dengan duniamu, kamu tidak pernah peka dengan lingkungan sekitar, kamu bahkan tidak bisa melihatku. Dan sekarang kamu bilang kamu mencintaiku? apa menurutmu aku bisa semudah itu percaya??" lanjut Fian prustasi.
Karel memeluk Fian, erat menyalurkan kehangatan untuk gadis itu. "Maaf karena sering menyakitimu, aku tidak bisa mengubah masalalu, tapi aku akan berusaha untuk memperbaiki masa depan kita," ucapnya. Jika ini bukan dalam keadaan sedih mungkin Fian akan tertawa geli karena ucapan Karel itu tida singkron dengan sikap dingin pria itu.
"Entah Karel, aku masih belum yakin untuk melanjutkan semua. Biarkan semua mengalir, dan kita lihat apakah kita bisa melanjutkan semuanya atau tidak," jawab Fian dengan lemas. Karel menghela nafas dan mengangguk pasrah, apalagi yang bisa ia lakukan selain mengikuti semua ucapan Fian.
"Jadi kita bisa kembali?" tanya Karel.
"Kembali apa?"
"Kembali, kamu kembali ke kamar dan aku bisa memelukmu seperti biasa," jawab Karel.
Fian terdiam, "memelukku? seperti biasa?" gumam Fian. "Kamu cari kesempatan ya!!" serunya saat sadar maksud Karel.
"Yah dari pada memeluk guling yang rata, lebih baik meluk kamu yang berbentuk," dan sedetik setelah Karel mengucapkan itu kaki Fian terangkat menendang tulang kering Karel. Memang sadis.
Karel tertawa melihat Fian mencebik, sudah lama dia tida melihat Fian yang ngambek dan merajuk seperti ini. Saat ini Fian masih duduk membelakanginya.
"Marah?" goda Karel. Fian berdiri untuk ke dapur tapi Karel langsung menarik tangannya hingga Fian duduk di pangkuan Karel.
"Apa sih?? aku mau ambil rujak.." keluh Fian.
"Rujak? malam-malam begini?" tanya Karel. Fian terdiam, bisakah sekarang dia bilang bahwa dirahimnya ada anak mereka. Fian membuka mulut tapi tiba-tiba niatnya terkurung. Nanti saja biar aku menikmati waktu dengan Karel sebentar, batin Fian.
Karek merangkum wajah Fian dengan tangannya. "Cantik," bisiknya. Wajah Fian langsung memanas karena ucapan manis Karel.
"Memang! baru sadar ya?" ledek Fian agar tidak terlalu salah tingkah.
Karel tersenyum dan mencium kening Fian. "Dari dulu sadar, tapi aku tidak ingin mau denganmu hanya karena wajahmu cantik," ucap Karel. Fian diam kemudian ikut tersenyum.
"Aku pikir kamu tidak akan menggunakan kalung pemberianku," ucap Karel sembari menyentuh leher putih Fian.
"Mana mungkin? aku suka apapun yang kamu berikan, meskipun caramu memberikannya itu membuatku sering sakit hati.." ketus Fian.
Karel tersenyum tulus, "maafkan aku sayang," ucapnya. Tanpa butuh waktu lama Karel langsung mencium bibir Fian yang manis. Memagut lembut setiap inci bibir tipis Fian.
Fian membuka mulutnya mempersilahkan Karel memperdalam ciuman mereka. Saat keduanya hampir kehabisan nafas Karel langsung melepas ciumannya. Senyumnya terukir melihat Fian memejamkan mata di depannya.
Perlahan mata Fian terbuka, ia mengalungkan lenganya di leher Karel. "Lagi.." pinta Fian dengan nada manja. Karel mendengus geli dan langsung menyerang Fian lagi.
Karel mengusap kepala Fian hingga Fian merasa nyaman dipelukan Karel. "Karel.. aku lapar," rengek Fian.
"Ingin makan apa?" tanya Karel.
"Rujak," jawabnya.
"Astaga Fian.. kamu masih memikirkan rujak?" tanya Karel. Fian tertawa dan bangkit dari pangkuan Karel. Dia berjalan ke dapur untuk mengambil sepiring rujak yang sekarang sering disediakan oleh Bi Peni.
Fian kembali dengan menenteng piring itu. Tanpa canggung dia duduk dipangkuan Karel dan langsung melahap rujak itu sendiri tanpa menawari suaminya.
"Besok kamu ke kantor?" tanya Fian disela kegiatan makannya.
"Sepertinya, ada beberapa berkas yang harus aku cek sebelum kembali ke Bangkok minggu depan," jelas Karel.
"Bangkok lagi..." keluh Fian.
Karel tertawa dan mengecup bibir Fian. "Aku harus pergi ke sana, lagipula disana hanya seminggu,"
"Seminggu itu lama," ucap Fian sembari menunduk.
🍁🍁🍁
Pagi ini Fian dan Karel berangkat bersama ke kantor. Setelah lama tidak melihat kemesraan dua pasangan ini akhirnya mereka melihatnya lagi hari ini. Fian begitu nyaman dalam rangkulan Karel. Putri yang melihat saja heran kenapa tiba-tiba bisa begitu.
"Si bos lengket lagi sama bu Fian, gue kira kemaren mereka udah pisah ranjang.." bisik Marta pada Heni.
"Husstt kalau ngomong, mungkin kemaren mereka sama-sama sibuk jadi nggak sempet mesra-mesraan," jawabnya.
Putri memutar mata, "woy Marta.. lo kerjaannya ngomongin orang aja! gue laporin bos baru nyaho lo!" bentak Putri.
Marta langsung pucat diancam begitu. "Aduhh jangan Put, gue bercanda doang.. asli deh," elaknya dengan wajah memelas. Putri hanya melengos dan pergi menaiki lift.
Karel mengecek pekerjaannya di sofa sedangkan Fian duduk di sampingnya dengan menyandarkan kepalanya di bahu Karel.
"Sayang kalau kamu begini mana bisa aku fokus?" tanya Karel. Sejak tadi Fian hanya bersandar malas sembari memainkan kancing kemeja Karel.
Fian terkikik geli, "yaa ya maaf, silahkan dilanjut Bapak," ucapnya. Fian juga bingung kenapa dia jadi sangat manja begini. Mungkin baby rindu pada ayahnya. Ehh bundanya juga sebenarnya.
Karel merangkul pinggang Fian agar wanita itu mendekat lagi. "Jangan sampai aku menyerangmu disini," ancam Karel. Fian melebarkan mata dan langsung menggetok kepala Karel hingga pria itu meringis.
"Mulutnya.. minta dicabein ya!" omel Fian. Karel tersenyum miring dan langsung mengecup bibir merah muda Fian. "Karel.." rengek Fian.
"Apa? tidak boleh mencium istri sendiri?" tanya Karel.
Fian menggeleng, "bukan tidak boleh tapi kurang.." nada manja itu membuat Karel tertawa dan langsung mengecup lembut bibir istrinya itu. Entah sejak kapan bibir Fian seperti candu untuk Karel.
"Astagfirullah.. apa kalian selalu begini di jam-jam kerja??" tanya Mariska.
Fian langsung menjauh sedangkan Karel hanya mendengus kesal. Ada saja pengganggu setiap dia ingin menikmati waktu dengan Fian.
"Ha-hay Ma.." sapa Fian dengan salah tingkah.
Mariska tersenyum dan memeluk menantunya itu. Dia sudah lebih dari satu bulan tidak bertemu dengan Fian. "Kamu gendutan sayang?" tanya Mariska.
Fian meringis, semoga ibu mertuanya ini tidak menyadari kehamilannya. "Diajak makan terus Ma sama Putri. Dalam hati Fian minta maaf karena Putri selalu jadi kambing hitamnya.
"Ada apa kemari?" tanya Karel.
Mariska mencibir dan duduk di sofa yang ada di sebrang Karel. "Sayang kamu itu harus setuju dengan Satrio."
"Aku sudah memutuskan, kalau Mama ingin merestui silahkan tapi aku tidak," jawab Karel sembari menekuni laptopnya. Fian menatap bingung keduanya, apakah dia ketinggalan sesuatu.
"Tapi beberapa hari lagi Kinan menikah sayang.. kasian kalau dia menikah tanpa restu kakaknya." Fian terdiam, Kinan akan menikah dan dia sama sekali tidak tau. Matanya melirik Karel dengan wajah penasaran.
"Apa restuku penting? kalian semua bahkan merencanakan pernikahan Kinan tanpa sepengetahuanku," ucap Karel dengan datar seperti biasa. Orang ini bicara pada ibunya sendiri saja datarnya begitu.
Mariska menghela nafas, sulit untuk menggoyahkan keputusan Karel. Apalagi ini bukan masalah main-main. Sebenarnya Mariska juga tidak setuju tapi karena Kinan terlanjur jatuh cinta pada Satrio jadi mau bagaimana lagi.
Sadar tidak akan dapat hasil Mariska memutuskan untuk pulang. Fian yang sudah penasaran langsung menanyakannya pada Karel.
"Dua minggu yang lalu Mama baru mengabariku kalau Kinan akan menikah," jelas Karel.
"Karel.. mungkin kamu bisa coba menerima Satrio, mungkin penilaianmu salah.." ucap Fian.
Karel tersenyum dan mengusap kepala Fian, "sekarang penilaianku tidak penting, kita doakan saja supaya Kinan tidak menyesal," jawabnya dengan wajah pasrah. Fian tersenyum menenangkan dan memeluk Karel agar pria itu sedikit tenang.
Beberapa hari kedepan Fian semakin sibuk ditambah lagi dia membantu persiapan pernikahan Kinan dan Satrio. Dan besok adalah hari yang ditunggu yaitu pernikahan Kinan, jadi hari ini Fian dan Karel menginap di rumah orang tua Karel.
Sejak pagi Fian sibuk mondari mandir membantu Mariska menyiapkan semua hingga Karel sempat kesal karena gadis itu sampai lupa untuk makan.
"Fi kamu harus istirahat," ucap Karel saat melihat Fian akan naik ke lantai atas.
Fian menoleh dan terkekeh kecil, "tanggung, aku harus mendekor kamar pengantin.." jawabnya. Fian mencium pipi suaminya dan setelah itu ia langsung berbalik dan meninggalkan Karel.
Hari yang benar-benar melelahkan untuk Fian, besok diapun tidak bisa beristirahat karena seharian akan ada acara mulai dari akad hingga resepsi yang akan di selenggarakan di halaman belakang rumah dengan nuansa garden party.
Karel memeluk Fian dari belakang saat melihat istrinya itu sedang berdiri menikmati angin di balkon. "Belum tidur?" bisik Karel.
"Mataku masih segar.." keluh Fian. Karel terkekeh dan membopong Fian hingga gadis itu terpekik kaget. "Karel!! turunkan aku!" perintahnya.
"Kamu harus tidur sayang, ini sudah malam dan aku tau kamu lelah." Panggilan sayang itu masih terdengar asing, dan setiap Karel menyebutnya maka ribuan kupu-kupu terbang itu rasanya langsung histeris.
Fian dibaringkan di ranjang dan Karelpun ikut berbaring, dengan lembut Karel mengusap-usap kepala Fian agar gadis itu tidur.
Melihat Fian yang sudah tertidur pulas, Karel tersenyum. Dia bisa melihat kelelahan di wajah gadis itu meski senyumnya tidak pudar. "Kamu tau? aku beruntung memiliki gadis yang tulus sepertimu.. aku harus mengucapkan ribuan terima kasih untuk Rain karena memilihmu untukku," bisik Karel. Dia mengecup bibir Fian sebelum ikut memejamkan mata dan mengistirahatkan tubuhnya.
🍁🍁🍁
Hari ini Fian nampak sangat cantik, dengan kebaya simple dan rambut yang tertata rapi. Orang tidak tau kecantikan Fian bertambah dengan aura kehamilannya. Banyak yang mencuri pandang padanya padahal sudah jelas-jelas ada Karel yang selalu merangkul pinggang Fian.
Akad nikah sudah berlangsung sejam yang lalu, saat ini Fian dan Karel sedang berkumpul dengan keluarga besar.
"Wahh Fian makin cantik aja.." puji Amanda, tante Karel yang tingga di Bali.
Fian tersenyum malu, "biasa aja Tan, dari dulu masih begini.." jawabnya.
"Begini apa? orang makin cantik gitu.. kayanya agak gendutan, lagi isi ya?" Degg, Fian terdiam dia melirik pada Karel yang sedang memandangnya.
"Doakan saja Tan, masih dalam tahap usaha," jawab Karel dengan senyum ramah.
Resepsi berlangsung sore hari, acara berlangsung dengan lancar dan saat ini Kinan dan Satrio sedang berfoto ria dengan para sahabatnya.
Wajah Kinan sangat bahagia, senyumnya tidak pernah pudar hingga semua orang tidak menyadari bahwa ada hal kecil yang sangat mengganjal hatinya, apalagi kalau bukan restu Karel. Sejak pagi dia belum berani bicara dengan kakaknya itu.
Pesta resepsi sudah hampir selesai, Fian sekarang sedang duduk di kursi mengistirahatkan kakinya. Wajahnya pucat akibat kelelahan.
"Kamu yakin tidak apa-apa?" tanya Karel untuk kedua kalinya melihat wajah Fia yang biasanya merona kini pucat.
Fian tersenyum pada Karel, "i'm okay Karel.. don't worry about me.." Karel mengusap kening Fian yang berkeringat. Dia meminjam kipas dan mengipasi Fian.
"Ayoo kita masuk ke kamar saja, ini sudah hampir selesai Fi," ajak Karel. Dia benar-benar khawatir pada Fian.
Fian menggeleng, dengan Karel ada di sini saja Kinan masih segan, apalagi kalau tiba-tiba Karel hilang di tengah acara. Dia juga kasihan pada Kinan. "Kita di sini saja, aku hanya butuh duduk sebentar.." jawab Fian sembari tersenyum teduh.
Setelah semua benar-benar selesai baru Fian mau di ajak masuk tapi dia mengajak Karel untuk mengucapkan selamat pada Kinan terlebih dahulu. "Kamu harus tetap mengucapkan selamat, jangan buat Kinan tertekan.." bujuk Fian sembari menarik lengan Karel.
Fian tersenyum dan mengucapkan selamat pada Satrio lalu setelah itu ia beralih pada Kinan yang hari ini terlihat layaknya princess di negri dongeng. Fian memeluk adik iparnya itu. "Selamat Ki.. aku ikut senang, semoga menjadi keluarga yang sakinah mawadah dan warohmah sayang.." Kinan meneteskan air mata dan mengangguk dalam pelukan Fian.
Sekarang giliran Karel yang mengucapkan selamat, wajahnya nampak sangat datar. "Kalau kau buat adikku sakit jangan harap kau bisa menghirup nafas dengan lega," ancam Karel. Satrio tersenyum miring dan menganggukkan kepala.
Karel mendekati Kinan yang sudah menangis terharu melihat rasa sayang kakaknya. "Kakak.." lirihnya.
Karel menghela nafas dan tersenyum pada Kinan, ia memeluk Kinan, dan mengusap kepala adik kesayangannya itu. "Berbahagialah, maaf karena kemarin Kakak menyebalkan."
Kinan terkekeh dan menggelengkan kepala, "Kakak hanya ingin aku mendapat yang terbaik, aku mengerti.." jawabnya.
🍁🍁🍁
Fian duduk di sofa yang ada di kamar Karel, matanya menerawang. Orang semakin sadar kalau dirinya sedang hamil, dan pasti sebentar lagi Karel akan tau juga. Dia ingin mengatakan kehamilannya pada Karel tapi dirinya terlalu takut.
"Sedang apa?" tanya Karel.
Fian mengerjapkan matanya, "ehh emm aku sedang bersantai saja," jawab Fian.
Karel mengacak rambut Fian, ia meletakkan kepalanya di pangkuan Fian. Tangannya mengusap perut Fian dan kemudian ia terdiam, ada rasa hangat yang tidak pernah Karel rasakan sebelumnya.
Fian menahan nafas, apa Karel tau tentang kehamilannya. "Apa yang kamu lakukan Karel?" bisik Fian.
Karel mengerjapkan mata, dia menoleh dan tersenyum kecil. "Aku memikirkan kata-kata Tante Amanda," jawabnya. "Aku membayangkan anakku ada di rahimmu, hah rasanya pasti bahagia sekali," lanjutnya dengan senyum cerah dan wajah senang. Ekspresi yang bahkan jarang Fian lihat.
"Ah haha kamu ingin segera punya anak?" tanya Fian dengan gugup.
Karel mengangguk, "aku sudah tidak muda lagi, apalagi yang bisa kuharapkan selain memiliki anak denganmu Fian?" tanya Karel. Fian tersenyum dan mengusap kepala Karel.
Karel kembali menyentuh perut Fian, dia benar-benar merasa hangat dan entah rasanya dia sangat betah mengusap perut Fian.
Pagi ini Karel mengantar Fian pulang sebelum berangkat ke kantor. Tadinya Fian ingin berangkat juga tapi Karel melarang. Dia ingin Fian istirahat untuk hari ini karena kemarin-kemarin kegiatan Fian benar-benar banyak.
"Hati-hati... jangan pulang malam.." ucap Fian dengan manja.
Karel tersenyum dan mengecup bibir Fian, "Aku pulang sore hari ini, sudah ya, aku bisa terlambat." Saat akan berbalik Fian menahan lengan Karel.
"Masih kangen.." rengek Fian.
Karel tersenyum geli dan mencubit pipi bulat Fian. "Sebentar, nanti sore aku akan pulang, aku janji."
Fian mengerucutkan bibirnya, "oke tapi nanti bawakan aku es buah yang ada di dekat kantor itu ya.." Karel tersenyum dan mengangguk sebelum pergi. Fian menatap kepergian Karel dengan tidak rela.
Di rumah Fian hanya bisa duduk-duduk di sofa dan sesekali ke dapur melihat Bi Peni dan Meri yang sedang memasak. Dia bosan tidak ada kegiatan.
Pukul empat sore Fian sudah menunggu Karel di luar. Satu jam ia menunggu tapi pria itu belum pulang juga jadi ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.
"Nyonya kenapa cemberut gitu?" tanya Meri.
"Kesel Ri.. katanya Karel pukang sore, tapi ini nggak pulang-pulang.." rengek Fian. Meri tertawa dan memutuskan untuk menemani Fian agar majikannya itu tidak kesepian.
"Nyonya.. saya menemukan ini di kamar Anda. Apa maksudnya ini?" tanya Bi Peni pada Fian yang sedang menonton televisi dengan Meri.
Fian terdiam menatap kotak susu hamilnya. Kepalanya tertunduk, "Fian.. emm Fian sedang hamil Bi.." lirihnya.
Bi Peni tersenyum, "sudah Bibi duga dari awal, kenapa Nyonya tidak jujur pada kami?" tanya Bi Peni.
"Iya.. tau begitu kita nggak akan biarin Nyonya kecapean.." timpal Meri dengan wajah yang masih kaget.
"Aku takut kalian akan bilang pada Karel," jawabnya.
Bi Peni menghampiri Fian dan mengusap kepala Fian seperti layaknya seorang ibu. "Tuan harus tau Nyonya, bagaimanapun anak ini adalah tanggung jawab Tuan juga, bicaralah sebelum semua terlambat dan Tuan berpikir yang tidak-tidak.." nasihat Bi Peni. Fian terdiam memikirkan ucapan itu.
"Menurut Bibi Fian harus jujur pada Karel?" tanya Fian dengan ragu.
Bi Peni menganggukkan kepala, "Tuan pasti sangat bahagia."
Fian tersenyum dan mengangguk juga, benar, dirinya harus jujur sekarang, lagipula kemarin Karel bilang ingin mempunyai anak. Semoga saja Karel tidak kaget dan berpikir macam-macam.
"Aku akan mengatakan kehamilanku besok Bi.. semoga Karel senang," jawab Fian.
"Pasti.." jawab Bi Peni dan Meri bersamaan.
Pukul tujuh malam, Karel belum pulang juga. Fian benar-benar kesal, pria itu bahkan sudah berjanji untuk pulang tepat waktu.
Fian meraba perut bagian bawahnya yang sejak tadi sore terasa sedikit nyeri. Sekarang nyerinya semakin hebat, dia berjalan pelan ke kamar mandi dan kaget bukan main saat melihat ada darah di celananya. Kaki Fian bergetar, keringat dingin keluar dari tubuhnya.
"Akkhh.." lirihnya saat perutnya semakin sakit. Fian berjalan pelan menuju nakas di samping ranjang. Dia akan menelfon Karel.
"Halo Karel.." panggil Fian dengan suara lemah.
"Halo sayang, ada apa? kenapa suaramu begitu?" jawab Karel disebrang dengan suara khawatir.
"Pulang Rel.. aku butuh kamu," pinta Fian dengan lirih.
"Sayang aku belum bisa pulang, karena.."
"Siapa Rel?" suara itu memotong perkataan Karel. Fian membeku, dia sangat kenal suara itu.
Fian tersenyum sedih, "yah aku tau.. karena ada Rain di sampingmu, maaf yaa aku mengganggu kalian." Setelah itu Fian langsung melempar ponselnya tanpa menunggu balasan Karel. Dia sakit hati, kecewa, marah.
"Arrrrggghh!!!" teriaknya menahan sakit. Fian berjalan pelan menuju lantai bawah. Di tengah tangga Fian kembali berteriak. "Bi Peni.. Meri.. tolong Fian," teriaknya dengan berurai airmata. Fian takut akan terjadi sesuatu pada janinnya.
Bi Peni dan Meri berlari tergopoh-gopoh. Mata Meri melebar melihat darah mengalir dari paha Fian. "Nyonya!!!" pekiknya. Dia langsung membantu Fian turun.
"Bi, Fian kenapa? apa yang terjadi sama bayi Fian Bi???" tanya Fian dengan histeris.
Bi Peni mengusap airmata Fian, "tenang dulu sayang.. kita ke rumah sakit ya.." jawabnya. Setelah itu mata Fian menggelap dan badannya terasa luruh. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Yang Fian harapkan hanya satu, bayi dalam kandungannya selamat.
🍁🍁🍁
Ahhhhhh gimana ini nasib si baby???? hehe see you in the next chapter 😉😉😉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro