Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Fian Berubah

Hayyy semuaaa NADW updateeee... kangen fian sama karel?? Atau kangen sama si rain? 😂

My boyfriend is my junior juga update part 1 yaa..

Langsung aja happy reading guyss😙😙😘😘😘

🍁🍁🍁


Author POV

Karel menguap lebar, lengannya meraba ranjang di sebelah. Mendapati dia tidur sendiri matanya terbuka. Tidak ada Fian disampingnya padahal biasanya setiap dia bangun dia akan menikmati wajah polos Fian yang masih tertidur.

Kening Karel berkerut, bukannya semalam dia mabuk dengan teman-temannya. Bahkan saat ini kepalanya masih pusing. Kenapa tiba-tiba dia ada di kamar.

"Fian.." panggil Karel. Tidak ada sahutan yang terdengar. "Kemana Fian," gumam Karel. Saat baru akan bangun ia sadar sesuatu, kenapa dirinya tidak mengenakan pakaian satu helaipun.

Karel berpikir keras, memikirkan apa yang telah terjadi semalam. Tapi yang dia ingat dia melihat wajah Fian yang sangat cantik dengan rona merah dipipi istrinya itu.

"Sial!" serunya. Jangan-jangan semalam ia melakukan hal yang tidak-tidak pada Fian. Karel berlari mengambil handuk dan melilitkannya dipinggang. Tanpa berpikir panjang Karel langsung berlari keluar.

"Yaampun Tuan! kenapa lari-lari pakai anduk doang sih??" tanya Meri sembari menutup matanya dengan telapak tangan.

"Ri.. dimana Fian?" tanya Karel dengan panik tanpa mendengarkan ucapan Meri.

"Ke kantor Tuan, tadi pagi-pagi udah berangkat katanya ada urusan," jawabnya. Karel merutuk dan segera berlari keatas untuk mandi.

Tanpa perlu berlama-lama Karel langsung siap dengan kemejanya. Ia langsung menyuruh Ucup untuk mengeluarkan mobil.

Karel menyetir dengan kecepatan gila. Otaknya sejak tadi memikirkan tentang Fian. Kalau terjadi sesuatu maka dosanya akan semakin banyak. Dosa dengan Rain saja sudah berat, ini ditambah dosa karena merusak gadis sepolos Fian.

Wajah Karel yang panik membuat orang-orang di kantor menatapnya bingung. Ekspresi Karel itu sangat sedikit, kalau tidak dingin ya datar. Sejak dengan Fian saja semua penghuni kantor bisa melihat ekspresi lain dari Karel yang biasa.

Karel mengambil nafas lega saat melihat Fian sedang duduk di mejanya seperti biasa. Tapi kelegaan itu berlangsung beberapa detik saja karena meski dari jauh Karel bisa melihat mata indah itu kini membengkak.

"Fian," panggil Karel.

Fian menoleh kaget, wajahnya langsung berubah pucat ketakutan. "Pa-pagi Pak, Bapak ingin minum apa?" tanya Fian.

Karel menyipit, sedikit sakit melihatnya dengan tatapan takut, benar ada yang tidak beres. "Masuk ke ruanganku," ucap Karel.

Fian menggeleng cepat, "saya sedang sibuk, nanti kalau sudah selesai saya akan masuk ke ruang Bapak," jawabnya. Karel berdecak dan langsung menarik Fian agar ikut dengannya.

Di dalam ruangan Fian hanya duduk di pojok sofa sembari menatap meja. "Ada apa?" tanya Karel. Fian menggeleng pelan tanpa menjawab. "Apa yang kulakukan padamu semalam?" tanya Karel langsung pada inti permasalahan.

Fian mendongak, matanya menatap Karel dengan tatapan yang membuat Karel juga ikut merasakan sakit. "Tidak ada apa-apa semalam," lirih Fian.

"Bohong!"

Fian menghela nafas dan tersenyum, "aku sudah jujur.. sudah ya, aku ingin kerja,"

"Tolong jawab aku Fian!"

"Aku sudah jawab," ucap Fian dengan nada dan tatapan datar. "Semalam kamu hanya mabuk dan setelah itu kamu tidur," lanjutnya.

Jika biasanya Karel bisa membaca mata Fian sekarang ia tidak bisa sama sekali membaca mata itu. Entah, mata gadis itu terasa datar dan kosong.

"Kenapa aku tidak mengenakan apapun saat aku bangun?" tanya Karel memastikan sekali lagi.

Fian menggeleng, "aku tidak tau.. setelah membantumu aku langsung pindah ke kamar samping. Kamu bau alkohol dan aku tidak kuat." Lebih baik begini, bagi Fian semalam adalah hal yang harus dianggap tidak ada.

Karel menghembuskan nafas lega, setidaknya tidak terjadi apa-apa pada gadis itu. "Kenapa matamu bengkak?" tanya Karel.

Fian menyentuh matanya, "kurang tidur, semalam aku menunggumu. Hemm sudahkan? aku harus kerja," Fian bangkit dan langsung pergi keluar. Setelah menutup pintu ruangan Karel, Fian bersandar disana. Menyentuh dadanya yang sesak.

Jam istirahat Karel baru saja ingin mengajak Fian tapi gadis itu sudah hilang. Biasanya Fian akan menunggu dirinya keluar dari ruangan. Karel menghembuskan nafas, mungkin hari ini ia harus istirahat sendiri seperti biasa sebelum ada Fian dihidupnya.

Fian menjauh, Karel sadar itu. Bahkan tadi saat jam pulang Fian memilih untuk pulang dengan Putri. Alasannya ingin mampir ke tempat teman tapi itu alasan klise yang mudah ditebak.

Karel pikir mungkin Fian sedang PMS karena biasanya gadis itu akan uring-uringan saat masa bulannya datang. Seperti bulan kemarin Karel harus bersedia menjadi korban cubitan dan omelan saat gadis itu sedang nyeri perut.

Tapi tidak, ini sudah hampir tiga minggu. Fian bahkan sekarang tidur di kamarnya sendiri. Karel semakin bingung dengan Fian. Apakah gadis itu marah karena melihat dirinya mabuk. Gadis itu seolah membuat benteng. Tipis tidak terlihat tapi sangat bisa dirasakan oleh Karel.

Fian dekat tapi terasa sangat jauh dan Karel tidak suka itu. Dia lebih memilih Fian yang cemberut meski karena hal sepele daripada Fian diam dan menganggapnya tidak ada.

Pagi ini Karel sengaja menunggu Fian di ruang makan. Semenjak kejadian Karel mabuk Fian memang selalu bangun pagi dan makan lebih dulu agar bisa berangkat ke kantor meninggalkan Karel.

"Pagi.." sapa Karel.

Fian menoleh sekilas, "pagi," jawab Fian. Ini seperti bukan obrolan dua orang yang memiliki hubungan suami istri.

"Pagi ini.."

"Karel, aku harus berangkat duluan. Beberapa berkas belum ku selesaikan." Fian bangkit dan langsung berjalan cepat meninggalkan Karel.

Karel terdiam sebentar, baru juga ingin bicara. Dengan terburu-buru Karel mengejar Fian.

"Kita berangkat sama-sama," perintah Karel.

🍁🍁🍁

Fian hanya diam menatap jalanan dari balik jendela mobil Karel. Sejak peristiwa itu dirinya memang menjauh dari Karel. Bahkan ia meminta pada Karel untuk pindah kamar dengan alasan ingin memiliki privasi.

Tiga minggu Fian berhasil menjauh dari Karel dan hari ini sialnya Karel sudah menunggu untuk sarapan bersama, alhasil disinilah dia, dimobil Karel dan empunya.

"Kamu terlihat kurus," gumam Karel.

Fian tersenyum kecil, "diet," jawabnya dengan singkat.

"Kamu terlihat pendiam," lanjut Karel lagi.

"Hanya perasaanmu," jawabnya lagi masih dengan datar. Ada senyum dibibir tipisnya. Tapi Karel tau itu hanya senyum sopan, bahkan senyum itu tidak sampai ke mata seperti biasanya Fian tersenyum.

Karel menghela nafas pasrah. Mungkin Fian memang dalam keadaan mood buruk. Dia harap gadis ini bisa kembali seperti semula. Tapi sayang, bagaimanapun Fian tidak bisa kembali seperti dulu. Semua berubah, dan Karel tidak tau itu.

Semakin hari Fian semakin jauh dari Karel. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Bertemu hanya saat pagi ketika Karel ada di kantor atau malam saat mereka tidak sengaja pergi ke dapur untuk mengambil minum.

Karel memang sedang sibuk dengan pembangunan perusahaan baru jadi pria itu jarang ada di kantor dan yang mendampingi Karel tentu saja Yuki.

"Baru dua bulan lo ngejauh dari Karel," gumam Putri, "dan lo langsung keliatan kurusan sekarang," lanjutnya. Kali ini mereka sedang duduk di cafe yang biasa mereka kunjungi.

Fian tersenyum kecil. "Yang penting sehat," jawabnya.

"Sehat sih sehat, tapi nggak kaya mayat hidup juga!" gerutu Putri yang kesal melihat Fian selalu bersikap datar. Ditambah lagi sahabatnya itu terlihat kurusan sekarang.

Di luar sedang hujan sekarang, Fian menatap air yang jatuh dari langit. Pemandangan indah yang Fian suka, mungkin dulu Fian akan dengan senang hati bermain hujan tapi sekarang tidak. Fian akan memilih meringkuk dalam selimut dan mengabaikan hujan.

Mata Fian menyipit, di sebrang ia melihat Gavyn sedang berdiri dengan seorang anak kecil. Gavyn, pria itu sudah lama tidak muncul dan sekarang pria menyebalkan itu muncul lagi. Dan Fian senang dengan fakta itu.

"Put gue keluar sebentar," gumamnya sembari berjalan keluar. Fian menerobos hujan dan menyebrangi jalan yang hari ini lumayan sepi.

"Gavyn!" seru Fian. Pria itu menoleh kaget, dia mengerutkan keningnya menatap penampilan Fian.

"Fian, kenapa disini?" tanya Gavyn. Ia baru saja pulang setelah bertugas ke Jerman dengan ayahnya.

Fian mendengus geli, "harusnya aku yang bertanya, apa radarmu itu bisa terus melacakku sampai kamu sekarang ada disini?" Fian ingat bercandaan pria itu saat terakhir bertemu.

Gavyn tertawa kecil, "kamu terlihat kurus," gumamnya. Fian tersenyum dan berjongkok menyapa anak gadis yang tadi bersama Gavyn.

"Hay cantik, suka dengan hujan?" tanya Fian. Gadis itu tersenyum dan mengangguk dengan antusias.

"Dia terjebak hujan, aku akan mengantarkannya dulu.. dan kamu gadis yang sudah tidak kecil lagi, tolong sadar diri, kamu bisa sakit jika terus bermain hujan. Berteduhlah, aku akan menyusul," ucap Gavyn. Dia menggendong gadis kecil itu menuju pertokoan di depan.

Fian tersenyum dan berjalan kembali menuju cafe.

"Ehh lo gila ujan-ujanan gitu? sini keringin rambut lo!" Putri menyambut Fian dengan mengomel seperti ibu-ibu. Untung Putri selalu sedia handuk kecil di dalam tasnya.

"Tadi lo ngobrol sama siapa?" tanya Pitri masih dengan membantu Fian mengeringkan rambut.

"Gavyn kakak Rain," jawabnya.

"Ohh.. untung kakaknya si cewek uler baik yaa," gumam Putri. Fian tersenyum geli dan meminum tehnya.

Sepuluh menit kemudian Gavyn menghampiri Fian dengan keadaan basah kuyup. "Jadi hero untuk anak-anak?" tanya Fian.

Gavyn menunjukkan smirknya. "Hanya malas mendengar berita anak diculik karena terjebak hujan," jawab pria itu seperti biasa.

Gavyn tersenyum pada Putri yang sejak tadi bengong. "Kamu Putri sahabat Fian?" tanya Gavyn. Putri mengangguk pelan, Gavyn itu satu spesies dengan Karel. Sama-sama ganteng keterlaluan pikir Putri.

Gavyn mengobrol lama dengan Putri dan Fian hingga dia pamit untuk pergi. "Aku akan mengunjungimu lagi," ucap Gavyn sebelum melangkah pergi.

"Dia seru yaa.. nggak kaya suami lo, meskipun sama-sama bos tapi Gavyn supel banget," gumam Putri tanpa menutupi kekaguman pada pria itu. Fian tersenyum dan mengangguk setuju. Gavyn adalah pria unik yang pernah dia kenal.

🍁🍁🍁

Fian memijat keningnya, efek hujan tadi berdampak pada kepalanya yang sekarang terasa sangat pusing. Ia berjalan sempoyongan dan duduk di sofa.

"Nyonya kenapa?" tanya bi Peni.

Fian menggeleng pelan, "pusing Bi.. kecapean sama tadi abis keujanan,"

Bi Peni menghampiri Fian dan memijat bahu gadis itu. "Ck Bibi kan udah bilang jangan main ujan, Nyonya itu selalu masuk angin kalau abis ujan-ujanan.."

"Yahh tadi nggak sengaja," jawab Fian dengan tersenyum. Bi Peni juga sadar ada yang berubah dengan majikannya ini.

"Yaudah Nyonya istirahat aja, ntar saya antar teh hangat ke kamar Nyonya." Bi Peni. Bi Peni dan Meri berusaha untuk tidak ikut campur masalah kenapa Fian pindah kamar.

Fian meringkuk di ranjang. Tubuhnya menggigil, dia suka hujan tapi badannya sepertinya tidak suka. Matanya berusaha terpejam, butuh waktu lumayan lama hingga Fian bisa jatuh tertidur.

Paginya Fian masih pucat, kakinya melangkah lemas menuju dapur. Ini masih pukul setengah lima jadi dirinya bisa bebas berkeliaran di dalam rumah tanpa takut berpapasan dengan Karel.

"Nyonya.." sapa Bi Peni.

Fian tersenyum, "pagi Bi.." sapanya. Fian mengambil dua apel merah dan duduk dipantri. Mulutnya mengunyah apel merah itu. "Emm Bi, hari ini mau masak apa?"

"Nyonya mau apa?" tanya Bi Peni.

Fian tersenyum, Bi Peni memang mengerti. "Aku mau ayam rica-rica.." kata Fian dengan lebih semangat. Sejak kemarin Fian sangat ingin makan ayam rica-rica tadi karena Bi Peni dan Meri sudah memasak sup iga, ia tidak tega untuk minta dimasakan lagi.

"Oh gampang itu. Oh iya badannya udah enakan belum?"

"Udah, lumayan. Paling tinggal enek kalau makan apa-apa," jawab Fian. Yah kalau sakit makan apapun rasanya pahit. Sudah kurus tambah kuruslah dia.

Fian menghentikan kunyahannya. Perutnya mulai bergejolak menolak makanan yang masuk. Buru-buru dia berlari ke kamar mandi yang muntah disana. Bi Peni mengikuti Fian dan membantu meminjat tengkuk gadis itu.

"Aduhh.. Bibi kerokin aja mau? biar mendingan," tawar Bi Peni.

Fian mengusap bibirnya, kerokan, dia tidak pernah kerokan sebelumnya. Tapi mungkin itu bisa membuat keadaannya membaik. Fian membuka bajunya dan Bi Peni mengerok punggung gadis itu.

"Tuhkan merah," kekeh Bi Peni.

Fian menoleh sedikit, "masa sih? banget nggak?" Bi Peni mengangguk. "Wah mungkin Fian masuk anginnya parah kali yaa.." tanya Fian.

Setelah selesai Bi Peni membantu Fian yang tadi kembali muntah. "Nyonya berangkat ke kantornya sama Tuan aja, pikirin kesehatan Nyonya," saran wanita tua itu. Fian mengangguk, ia mungkin harus berangkat dengan Karel dulu beberapa hari ini.

Di ruang makan Karel sedikit kaget melihat Fian belum berangkat. Sudah berapa hari aku tidak melihatnya, batin Karel. Mata Karel tidak bisa lepas dari wajah Fian yang pagi ini nampak pucat.

"Pagi," sapa Fian. Karel mengerjap, kenapa suara Fian terdengar lebih lembut hari ini. Mati-matian Karel harus menahan diri untuk tidak memeluk gadis yang duduk di dekatnya itu.

"Karel.." panggil Fian karena sejak tadi Karel hanya diam menatapnya. "Are you okay?"

Karel menggeleng pelan, ia duduk dan memakan roti tawar dengan selai coklat seperti biasa. Matanya tanpa sengaja jatuh mata bahu Fian yang memerah. "Kamu sakit?" tanya Karel.

Fian tersenyum kecil, "yaa sedikit, tapi udah dikerok sama Bi Peni," jawabnya.

"Berobatlah, jangan menyepelekan penyakit," saran Karel.

Fian mendongak dan matanya menatap Karel, wajah pria ini terlihat lelah. Ditambah lagi sepertinya pria itu beberapa hari ini tidak bercukur hingga ada bulu-bulu halus disekitar rahangnya. Dalam hati Fian merutuk, betapa rindunya dia dengan pria dihadapannya ini.

"Sepertinya kamu sangat sibuk," kata Fian membuka obrolan.

Karel menghela nafas, "yahh minggu depan bahkan aku juga harus ke Bangkok untuk urusan pekerjaan."

"Bangkok.." gumam Fian. "Berapa lama pekerjaan disana?" tanya Fian sembari menyembunyikan rasa kecewanya.

Karel mengangkat bahunya, "mungkin satu minggu atau lebih." Selama itukah Karel akan pergi. Fian menggigit bibirnya, menahan air yang sepertinya sebentar lagi akan menetes dari matanya. Kenapa dirinya jadi sesensitif ini.

Di mobil mereka berdua hanya diam, tidak ada yang membuka pembicaraan. Hanya ada lagu dari radio di mobil Karel. Fian memandang jalanan seperti biasa.

Fian menoleh pada Karel, "ini bukan jalan ke kantor.." ucap Fian dengan mengerutkan kening.

Kerel melirik sekilas, "kamu butuh ke rumah sakit bukan ke kantor," jawabnya. Fian menghela nafas, lebih baik mengalah dan tidak memperpanjang obrolan.

"Jadi apa keluhan Anda?" tanya dokter tampan itu pada Fian. Karel menatap kesal dokter itu yang sejak tadi menatap kagum Fian.

"Emm pusing, tapi sudah lebih baik, sekarang hanya tinggal mual, tadi pagi saya sempat muntah-muntah," jelas Fian. Dokter itu mengangguk dan menyuruh Fian untuk berbaring.

"Bisa singkirkan tanganmu dari istriku?" tanya Karel dengan sengit saat lengan dokter itu betah sekali menyentuh Fian.

Fian menoleh bingung, "bagaimana dia bisa memeriksaku kalau tidak menyentuhku? pergilah Karel! kamu menghambat kerja dokter ini.." ucap Fian.

"Tapi.."

"Keluar," potong Fian tidak terbantahkan. Karel menutup mulutnya, dengan kesal dia berbalik dan pergi menunggu diluar.

"Jadi bagaimana dok?" tanya Fian setelah diperiksa.

Dokter bernama Reza itu tersenyum, "dari apa yang Anda keluhkan sepertinya Anda harus konsultasi dengan dokter kandungan," sarannya.

Mata Fian mengerjap bingung, pendengarannya salahkan. "Apa dok?" tanya Fian memastikan. Senyum dokter itu menjawab semuanya. Fian melenan ludah, dokter ini pasti salah.

Kakinya melangkah dengan lemas keluar ruangan. Di luar Karel sedang menunggu dengan wajah kesal. "Karel, kamu ke kantor duluan saja.. aku harus menebus obat," ucap Fian.

"Aku tidak mungkin meninggalkanmu Fian, kamu sedang sakit!" jawab Karel dengan penuh penekanan. Dia kesal, Fian boleh marah padanya meski ia tidak tau untuk alasan apa, tapi jangan pada saat begini.

"Nanti suruh Putri menyusulku, kamu sedang sibuk Karel.. jangan membuatku tambah pusing," keluh Fian. Dia sudah lemas dan tidak ingin berdebat. Karel diam menimbang-nimbang usulan Fian.

"Baiklah telfon aku jika ada apa-apa," ucap Karel. Dia mencium kening Fian sebelum pergi. Percuma berdebat dengan Fian yang sekarang. Dia akan selalu kalah.

Setelah kepergian Karel, Fian langsung meluruh di kursi ruang tunggu. Kepalanya menggeleng pelan, ini semua tidak mungkin.

Putri datang setengah jam selanjutnya. Dia langsung menghampiri Fian. "Lo kenapa? kata bos lo sakit?" tanya Putri dengan wajah cemas.

Fian mendongak, "temenin gue periksa yuk," ajak Fian.

"Ohh ayo.. dokter apa?"

"Dokter kandungan," jawab Fian. Putri terdiam sebentar, mulutnya ternganga lebar.

"What what what??? dokter kandungan? lo hamil???" tanya Putri histeris. Fian menggeleng, ia juga bingung. Tapi setelah dipikir-pikir dirinya belum kedatangan tamu bulan ini. Dia pikir ini biasa karena siklus haidnya selalu tidak teratur.

Fian menatap layar USG yang ditunjuk dokter Hani. Disana ada satu titik kecil yang menandakan ada yang hidup dalam rahimnya, airmata Fian menetes. Itu anaknya, Fian tersenyum bahagia.

"Selamat sebentar lagi Anda akan jadi ibu," ujar dokter Hani yang sejak tadi menunjukan senyum keibuannya. Putri hanya bisa melongo sejak tadi. Antara kaget dan ikut bahagia.

Putri memeluk Fian, mereka sekarang sudah ada di taman dekat rumah Karel. "Selamat.. gue ikut bahagia,"

Fian tersenyum dan menepuk punggung Putri. "Thanks Put," jawab Fian.

"Lo harus kasih tau kabar bahagia ini sama Karel!"

Fian terdiam, dia menggeleng lemah. "Ini anak gue, dia nggak perlu tau," ucapnya.

"Tapi Karel ayahnya.. dan lo nggak mungkin bisa nutupin kehamilan ini lama-lama. Perut lo akan makin besar Fi," ucap Putri.

Fian diam, Putri benar tapi Fian tidak siap untuk memberitau Karel yang sebenarnya terjadi malam itu. Itu terlalu menyakitkan.

"Ssstt jangan nangis Fi.. lo harus jadi kuat untuk anak lo." Putri memberikan semangat untuk Fian. Yahh memang harus begitu, kalau Fian lemah maka siapa yang akan melindungi anak yang ada dirahimnya ini.

Putri mengantar Fian membeli susu ibu hamil dan beberapa keperluan lain. Tadi dokter Hani juga sempat menyarankan makanan yang baik selama kehamilan. Setelah berbelanja Fian pulang sedangkan Putri kembali ke kantor.

Di rumah Fian memilih untuk duduk di balkon kamarnya. Dirinya mengeluarkan ponsel untuk menelfon Karel. "Halo Karel.." sambut Fian.

"Ada apa Fi? kamu baik-baik saja?"  tanya Karel disebrang sana.

Fian tersenyum kecil, "aku baik tapi hari ini aku tidak bisa masuk kerja," jawabnya.

Fian bisa dengar helaan nafas disebrang sana, "syukurlah, aku lega. Kamu tidak usah pikirkan pekerjaan," suruh Karel.

"Terimakasih, yasudah aku menelfon untuk minta izin padamu. Bye Rel.." Fian menutup sambungan telfonnya dan meletakkan ponsel di atas meja.

Tangannya mengelus perutnya yang masih rata. "Anak Bunda kangen ayah? Bunda juga, tapi kita nggak boleh deket-deket sama ayah, jadi kamu sama Bunda aja ya.." ucap Fian sembari tersenyum lebar. Akhirnya ada alasan untuk dia tersenyum lagi.

Mata Fian menerawang, berfikir bagaimana nasib anaknya nanti setelah lahir. Apa Karek akan mengakuinya sebagai anak, bahkan Karel tidak ingat telah membuatnya.

🍁🍁🍁

Fian meminum susu yang baru saja dia buat. Dia tidak suka minum susu tapi ini untuk baby di perutnya. Apapun akan Fian lakukan untuk anaknya ini.

Saat akan kembali ke kamar Fian melihat Karel di ruang televisi. Besok Karel akan berangkat ke Bangkok dan malam ini sepertinya pria itu sibuk menyiapkan berkas-berkas.

"Ada yang bisa aku bantu?" tanya Fian.

Karel mendongak, "tidak usah.. tidurlah ini sudah malam,"

Fian menghela nafas, dia menggeleng pelan. Tiba-tiba Fian ingin dekat dengan Karel, dia rindu wangi parfum suaminya itu.

Dengan ragu Fian duduk di samping Karel dan menyalakan televisi. Matanya fokus pada layar yang menampilkan film komedi Indonesia. Sesekali Fian tertawa kecil melihat tingkah tokoh utama.

Dengan Fian duduk disampingnya, itu membuat konsentrasi Karel pecah. Pria itu menahan diri untuk tidak merangkul atau memeluk Fian.

"Karel.." panggil Fian.

"Hemm.." balas Karel.

"Boleh aku minta tolong?" pinta Fian dengan ragu. Sepertinya anaknya mengerti kalau sedang dekat dengan ayahnya.

"Apa?" kening Karel berkerut bingung melihat wajah Fian yang seperti serba salah ingin bicara.

"Emm aku.. aku ingin makan bubur ayam cirebon," gumamnya.

Karel berohh ria, "yasudah besok aku cari," jawabnya.

"Sekarang Karel.." pinta Fian.

Satu alis Karel terangkat semakin bingung dengan tingkah Fian. "Ini sudah jam setengah dua belas malam, siapa yang jual bubur di jam-jam ini?" Fian mengangkat bahu, dia juga bingung akan mencari dimana. Tapi ini kemauan anaknya.

Fian aneh, itu yang Karel pikirkan. Dua bulan terakhir Fian menjauh dan akan selalu menghindar tapi malam ini gadis itu memilih duduk disampingnya dan sekarang minta dibelikan bubur ayam.

"Aku cari, tapi kalau tidak dapat jangan marah ya," ucap Karel. Dia ke kamar untuk mengambil jaket dan langsung berangkat.

Satu jam Karel belum juga kembali, Fian mengeluh, dia menyesal sudah menyusahkan Karel padahal besok pagi pria itu akan berangkat ke Bangkok.

Fian berjalan mondar-mandir hingga kakinya lelah. Ia duduk sembari menggigit ibu jarinya. Sudah dua setengah jam, matanya sudah berat. Fian bersandar di sofa mengatur nafas agar bisa sedikit tenang. Matanya yang sudah berat tidak bisa diajak bekerja sama. Fian tertidur di sofa dengan pikiran yang tidak tenang.

Karel menghampiri Fian yang tertidur di sofa. Dengan pelan ia mengusap kening Fian. Sepertinya dia terlalu lama, tapi mencari bubur malam-malam begini memang susah. Ditambah yang Fian minta adalah bubur ayam cirebon. Tadi saja dia mendapatkannya dari tukang bubur pangkalan  yang sebenarnya sudah tidur tapi dengan sangat terpaksa Karel ganggu dengan alasan istrinya sedang nyidam. Jangan tanya kenapa Karel memberi alasan itu, dia juga bingung.

Karel membopong Fian menuju kamar mereka, bukan kamar Fian yang dalam waktu terakhir ini ia tiduri. Pelan Karel meletakan Fian diranjang dan setelah itu dia berbaring di samping Fian.

Mata Karel terus memandang setiap lekuk wajah Fian yang tertidur pulas. Ada aura yang membuat Fian semakin cantik, itulah yang dirasakan Karel saat ini. Tangan Karel mengusap pipi Fian yang sekarang lebih tirus.

"I miss you Fi, kamu tau? dua bulan ini aku kesepian. Tidak ada kamu yang cerewet dan ceroboh," bisik Karel. Dia mengecup kening, kedua mata Fian yang tertutup lalu yang terakhir bibir Fian. Karel terdiam sebentar, seperti dejavu Karel merasa pernah melakukan ini.

🍁🍁🍁

Fian terbangun dan kaget karena sekarang dia ada dipelukan Karel. Bagaimana dia bisa tidur dengan Karel. Matanya sibuk berkekeling ruangan, ini kamar Karel. Fian tercekat, mengingat kejadian malam itu.

Fian melepaskan diri dari pelukan Karel dan langsung pergi menuju kamarnya. Seperti biasa, dia menangis saat mengingatnya lagi. Tangan Fian mengelus perutnya, "Bunda tau kamu kangen ayah, tapi tolong jangan buat Bunda mendekati Ayah sayang.. belum saatnya," bisik Fian. Ingat semalam ada keinginan kuat yang tidak bisa ditahan untuk dekat dengan Karel.

Pagi ini Fian seperti biasa berangkat ke kantor diantar Ucup. Dia pergi begitu saja tanpa menunggu Karel meskipun hari ini pria itu akan pergi ke Bangkok.

"Bos hari ini ke Bangkok ya?" tanya Putri saat jam makan siang.

Fian mengangguk santai, "iya," jawabnya.

Putri menghela nafas. "Lo nggak apa ditinggalin? inget lo lagi hamil muda," ucapnya.

Fian tersenyum geli, "dia tau gue hamil aja nggak, udahdeh gue nggak apa." Fian mengelap mulutnya dengan tissue karena dia sudah selesai dengan makan siangnya.

"Yahh okedeh, kalau lo nyidam apa-apa bilang aja sama gue, biar gue yang cariin." Fian tertawa pelan dan mengangguk. Putri memang sahabat the best lah untuknya.

Seminggu selama Karel pergi, Putri menginap dirumah. Rumah yang dua bulan ini sepi sekarang kembali ramai dengan kerusuhan Putri. Bi Peni dan Meri sampai takjub karena miripnya sikap duo sahabat ini. Setiap pagi Fian merasakan mual, hingga bi Peni curiga tapi Fian memberi alasan kalau maagnya memang sedang kambuh.

"Lo kangen Karel?" tanya Putri melihat Fian diam di dekat kolam renang.

Fian menoleh pada Putri. "Sok tau, gue cuma lagi santai," elaknya. Putri tersenyum meledek dan ikut duduk disamping Fian. "Gue pengen rujak," gumamnya.

"Hello.. neng, kemaren rujak sekarang rujak. Nggak bosen?"

"Cihh namanya juga nyidam," keluh Fian dengan nada bete.

"Hehe iyadeh, besok laki lo kan udah balik, nah minta lah sama dia," usul Putri yang langsung dihadiahi toyoran oleh Fian. Fian jadi ingat saat minta bubur ayam malam-malam pada Karel. Dia masih bingung darimana Karel mendapatkan bubur itu.

Pagi ini jadwal kepulangan Karel. Pria itu bukannya langsung beristirahat di rumah justru mampir ke kantor karena ia tau pasti Fian disana. Dan benar gadis itu dikantor, Karel melihat tas Fian ada dikursinya tapi tidak dengan pemiliknya.

Karel berdecak dan kembali ke lobby untuk mencari Fian.

"Hen. Apa kamu lihat Fian?" tanya Karel pada Heni, resepsionis kantor ini.

"Ehh tadi keluar Pak, mungkin ke cafe dekat kantor. Biasanya saya sering lihat ibu disana," jawab Heni dengan gugup. Didekati pria tampan macam Karel siapa yang tidak gugup batinnya.

Karel mengucapkan terimakasih dan langsung pergi ke cafe itu. Mata tajamnya meneliti setiap sudut cafe mencari sosok Fian.

Di sana, di dekat jendela Karel menemukan Fian sedang tertawa dengan pria yang Karel kenal. Itu Gavyn, jadi selama ini Fian sering jalan dengan pria itu dibelakangnya. Karel mengepalkan tangannya hingga buku jarinya memutih, sekarang dia tau bahwa ini alasan Fian menjauhinya.

Baru satu langkah ingin mendekat Karel mengingat kata-kata Fian saat di Bali. "Jangan ikut campur urusanku dengan Gavyn." Karel menggeram emosi, dia berbalik dan keluar dari cafe. Pergi kemanapun yang penting bisa membuat kepalanya mendingin.

🍁🍁🍁


Fian tertawa mendengar guyonan Gavyn. Tadi pria itu datang ke kantor dan mengajaknya keluar. Dengan senang hati Fian menerima tawaran Gavyn karena Fian juga sedang suntuk di kantor.

Mendengar pintu ditutup dengan keras semua langsung menoleh termasuk Fian dan Gavyn. "Siapa yang menutup pintu? apa dia gila?" tanya Fian yang tidak habis fikir ada saja orang iseng yang ingin merusak pintu cafe.

Gavyn tersenyum miring, dia tau itu Karel. Pria itu menyadari kehadiran Karel sejak pertama masuk. "Yahh dia memang gila, percayalah kau akan membenci orang itu nanti,"

Fian tersenyum geli, "sekarangpun aku sudah membenci orang itu. Mencari perhatian saja." Kata-kata Fian membuat Gavyn tertawa.

Setengah jam kemudian Gavyn mengantar Fian kembali ke kantor. Banyak orang bertanya-tanya kenapa seorang dari lawan perusahaan ini bisa dekat dengan istri pemilik perusahaan.

Fian berjalan santai sampai Heni memanggilnya. "Ada apa Hen?"

"Di cari sama pak Karel, Ibu nggak ketemu? soalnya tadi saya bilang mungkin ibu ada di cafe deket sini,"

Fian terdiam memikirkan Karel. "Aku nggak ketemu, hem mungkin tadi papasan tapi nggak liat. Yaudah makasih Hen, aku ke atas dulu," pamit Fian. Kalau benar Karel menyusulnya berarti Karel melihat Gavyn dan pasti akan ada keributan tapi ini tidak.

Fian menggelengkan kepala, mungkin Karel tidak pergi ke cafe. Pasti pria itu bertanya pada Heni hanya untuk pencitraan.

Sorenya Fian mampir ke mini market untuk membeli susu ibu hamil dan setelah itu dia pergi ke kedai ice cream yang ada di dekatnya. Sejak siang tadi dia ingin ice cream grean tea tapi belum sempat.

Pukul tujuh petang Fian baru pulang ke rumah. Bi Peni menyambutnya dengan hangat. "Nyonya.. Tuan sudah pulang," infonya. Baru disebut Karel sudah keluar dengan pakaian santainya. Sepertinya dia ingin pergi.

Mata Karel bertemu dengan mata Fian. Fian kenal tatapan itu, itu tatapan yang Karel berikan saat pertama kali beremu dengan Fian. Datar tanpa ada satu ekspresipun hingga mata hitam itu terlihat dingin.

"Hay.. ingin pergi kemana?" tanya Fian dengan senyum kecil.

"Pergi dengan teman," jawabnya. Karel membenarkan letak jam tangannya. "Ada yang ingin kamu tanyakan lagi? aku harus pergi,"

Bi Peni tau ini situasi dingin, lebih dingin dari yang kemarin-kamerin. Fian terdiam, menikmati wajah Karel yang membuat ribuan kupu-kupu terbang diperutnya. "Apa kamu mencariku tadi?" tanya Fian msih dengan menatap wajah Karel.

"Ya, tapi kurasa kamu terlalu sibuk."

Fian tersenyum kecil, "ada apa?" tanya Fian lebih seperti bisikan karena terlalu lirih.

"Ingin memberimu sesuatu, tapi besok saja kalau kita bertemu. Bye Fi." Karel berbalik dan langsung pergi meninggalkan Fian. Seperti biasa, Fian hanya bisa diam.

"Sabar yaa sayang, ada Bunda yang selalu sama kamu," lirih Fian. Lelah, jangan ditanya. Sakit, sudah pasti karena dia sudah jatuh berkali-kali. Sabar, selalu. Menyerah, dia tidak tau kapan kata itu akhirnya akan diputuskan. Mungkin setelah anak ini lahir.

🍁🍁🍁

Yeyyy see you in the next chapter guys 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro