Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Dinner (Repost)

Happy reading 😉😉😉

🍁🍁🍁

Saat ini Karel sedang menemani Fian berbelanja untuk keperluan nanti malam. Di butik terkenal ini Fian hanya bisa tercengang melihat koleksi pakaian-pakaian dengan harga yang fantastis, ada banyak anggka nol yang berjejer disana.

Fian sama sekali tidak berniat membantu Karel karena permintaan itu gila. Pura-pura menjadi kekasih Karel, siapa yang akan menolak tapi bukan itu masalah utamanya. Jika semua berlanjut pada tahap selanjutnya itu yang Fian takutkan, terlebih Karel ingin memperkenalkan dia dengan orang tua pria itu.

Pura-pura menikah, maaf-maaf saja tapi Fian tidak mau, dosa kata ayahnya. Lagipula dia juga tidak betah berdampingan dengan pria sedingin Karel. Fian adalah tipe orang yang tidak bisa diam jadi berdekatan dengan Karel membuatnya takut akan menjadi patung es berjalan. Membayangkannya saja sudah membuat Fian merinding.

Cukup lama Karel memilih hingga akhirnya pria itu mendapatkan apa yang dia mau. Sebuah gaun berwarna pastel dengan gaya simple sepanjang lutut yang sangat indah, iya indah pula harganya. Fian menerima gaun itu dengan ragu dan masuk ke dalam ruang ganti.

Gaun itu sangat nyaman dipakai, saat Fian menatap pantulan tubuhnya di cermin decak kagum keluar dari bibirnya. Ternyata gaun mahal bisa merubah seseorang. Kalau berpakaian seperti ini terus setiap hari mungkin dirinya bisa mendapatkan pria seperti Karel. Fian menggelengkan kepalanya, tidak boleh ada pikiran macam-macam. Dia segera keluar untuk meminta pendapat Karel karena ini memang acara pria itu.

“Emm Pak,” panggil Fian pada Karel yang sedang sibuk dengan ponsel.

Karel mendongak dan terdiam menatap penampilan Fian, matanya dengan intens menilai higga membuat Fian salah tingkah. “Cari aksesoris yang pas untuk gaun itu,” perintah Karel pada pegawai butik ini. Tidak ada satu pun pendapat yang keluar dari bibir pra itu.

Setelah semuanya selesai Karel langsung mengajak Fian pergi ke rumahnya, dari kabar yang Fian dengar rumah utama keluarga Rajendra itu sangat besar. Fian tidak berani membayangkan besarnya rumah itu. Selama di dalam mobil Fian hanya diam sembari menatap keluar jendela. Mobil itu memasuki pagar besar dan melewati jalanan panjang hingga sampai pada halaman utama.

Fian membuka mulutnya lebar-lebar, jadi ini rumah bosnya. Rumah dengan gaya eropa yang megah ini membuat Fian takjub. Bagaimana cara membersihkan rumah sebesar ini. Pastilah membutuhkan banyak orang untuk mengurus rumah ini.

Karel langsung keluar lalu memutari mobil, pria itu membukakan pintu untuk Fian. Sandiwara telah dimulai, Fian memasang senyuman manisnya karena mereka telah disambut oleh beberapa orang.

“Selamat malam Tuan muda, Bapak dan Ibu sudah menunggu di ruang makan,” ucap salah satu pria sembari menundukan kepalanya. Karel hanya berdeham dan tanpa diduga, lengan itu merangkul pinggang Fian dengan santai.

Fian melebarkan matanya, dia berusaha melepaskan lengan Karel. “Bapak, bisa tolong lepas? saya risih,” pinta Fian sembari berbisik. Dia tidak nyaman jika harus sedekat ini dengan Karel. Bisa dirasakan panas tubuh pria ini menempel pada tubuhnya.

Karel menoleh dengan pandangan elangnya, nyali Fian langsung menciut. Fian memilih untuk bungkam dan mengikuti semua permainan Karel. Dalam hati dia berdoa, semoga ada gaji bonus untuk pekerjaan menyusahkan ini.

Karel melepas rangkulannya saat mereka telah tiba di ruang makan. Dia langsung menghampiri orang tuanya.

“Ohh sweet heart!! Mama pikir kamu sudah lupa dengan rumah,” omel wanita itu sembari memeluk Karel. Fian bisa menebak kalau wanita cantik itu adalah ibu dari Karel.

Karel hanya mendengus kesal dan kembali pada Fian yang sejak tadi hanya menonton. “Dia Fian, Fian ini orang tuaku,” ucap Karel.

Fian mencoba untuk tersenyum sebisa mungkin, mungkin jika ada cermin maka dia bisa melihat betapa aneh wajahnya sendiri. “Malam Om, Tante,” sapanya.

“Maa aku besok harus pergi ke-” ucapan perempuan yang baru saja datang itu terhenti. Dia Kinan, perempuan yang tadi bertemu dengan Fian di kantor. “Loh Mbak Fian?” sapa Kinan.

“Hay Ki,” balas Fian dengan canggung.

Ibu Karel mengerutkan keningnya, “kamu kenal sama Fian?” tanyanya.

Kinan menganggukan kepala. “Mbak Fian ini sekretarisnya Kakak,” jelasnya.

Fian menoleh pada Karel tapi pria itu sepertinya masih santai tanpa takut sandiwaranya terbongkar. “Eh iya aku sekretaris Karel, kami-” Fian ingin melanjutkan ucapannya tapi dia bingung harus bicara apa.

“Ahh Mama mengerti, cinta lokasi right? atau sebenarnya Fian sudah lama pacaran dengan Karel sampai anak ini menyuruh Fian untuk jadi sekretarisnya?” tanya ibu Karel dengan wajah bersemangat.

Fian menanggapinya dengan tawa aneh, untung ibu Karel tidak bertanya apapun karena jujur saja jika ditanya macam-macam sudah pasti dia akan sulit menjawabnya. Kalau salah menjawab maka sudah pasti pula dia terkena amukan Karel.

“Cantik sekali anak ini!! panggil aku Mama yaa sayang, kalau kamu memanggilku Tante Mariska, semua tidak akan tahu kalau gadis cantik ini adalah calon menantu Mama,” kekeh Mariska. Shoot, sudah Fian duga akhirnya akan seperti ini. “Karel setuju kan? Papa juga kan?” tanyanya.

“Terserah Mama saja,” jawab Karel. Pria ini sama sekali tidak membantu Fian.

“Papa setuju, Fian cantik sekali. Kalau sudah ada Fian, Papa tidak perlu khawatir kau bermain dengan istri orang,” ucap pria yang seumuran dengan ayah Fian.

Perkataan itu membuat Fian terdiam, apa maksud dari ucapan itu. Kenapa mengarah pada Karel yang mencintai istri orang lain. Pria perfect seperti Karel tidak mungkin mau menyukai seorang wanita yang sudah bersuami. Ada banyak wanita di dunia itu, dan Fian sangat yakin hanya dengan menunjuk Karel bisa mendapatkannya.

Karel menarik kursi untuk Fian. “Duduklah,” ucapnya.

Fian mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum duduk. Di depan Fian, Kinan terus memperhatikan pasangan itu dengan pandangan curiga.

“Fian sayang, kamu ingin makan apa?” tanya Mariska.

Fian tersenyum manis, ibu dan ayahnya hangat tapi kenapa Karel bisa sedingin beruang kutub. “Biar Fian ambil sendiri yaa Tante,” ucapnya.

Mariska mengerutkan keningnya. “Kenapa masih panggil Tante, panggil Mama toh sebentar lagi kalian akan menikah,” protesnya.

Fian langsung menoleh pada Karel dengan wajah memelas, kali ini Karel harus membantunya bicara.

“Kita tidak ingin buru-buru Ma,” ucap Karel sembari mengambil makanan.

“Kenapa tidak? bukankah kalau sudah menikah itu lebih enak, kalian bisa terus sama-sama. Iya kan Fian?” cecar Mariska.

Ayah Karel dan Kinan hanya tersenyum menyimak ketidak sabaran nyonya besar rumah ini.

Fian tergagap mendapat serangan tiba-tiba, dia hanya bisa tersenyum canggung. “Emm iyaa tapi emm yaa Fian ingin fokus pada karir dan Karel juga begitu, menikahnya nanti-nanti saja,” jawabnya.

"Fian sayang, kalau kalian menikah Mama yakin Karel tidak akan menyuruhmu berhenti bekerja. Ayolah, kalian harus segera menikah. Mama ingin menggendong cucu.” Mata Mariska penuh dengan harapan, Fian jadi semakin merasa bersalah karena sudah melakukan kebohongan ini.

“Menikah bukan perkara mudah, berikan Fian waktu untuk berpikir,” ucap Karel.

“Karel benar Ma, sudahlah jangan membuat calon menantu kita risih,” tambah ayah Karel dengan menahan tawanya.

Mariska cemberut kesal, “huhh aku ingin cepat menggendong cucu,” keluhnya.

Suasana makan malam berlangsung hangat, Fian benar-benar dianggap sebagai bagian dari keluarga ini. Hanya Karel yang tetap diam dan makan dengan tenang tanpa memperdulikan lingkungan sekitarnya.

“Fian,” panggil Karel.

Fian menoleh dengan pandangan bertanya, dia sedikit kaget saat lengan Karel meraih dagunya. Karel mengusap noda di sudut bibi Fian.

“Ehh acak-acakan yaa?” tanya Fian dengan polos. Bukannya menjawab, Karel justru tersenyum geli dan kembali fokus pada makanan di depannya. Melihat senyum itu lagi-lagi Fian dibuat terpesona, seandainya bosnya ini sering tersenyum.

Selesai makan malam Fian langsung pamit untuk pulang tapi Mariska menahannya. Mariska ingin malam ini Fian menginap, wanita itu bahkan meminta Karel untuk membujuk Fian. Pada akhirnya disinilah Fian, dia duduk bersama di ruang keluarga yang besar ini.

“Emm Ma Fian bisa keluar sebentar? ingin lihat-lihat,” ucap Fian.

“Ohh bisa dong, ini nanti akan jadi milik Fian juga kan,” kekeh Mariska.

Fian hanya bisa meringis kecil, pemikiran ibu Karel sangat panjang.

Halaman belakang rumah ini sangat luas, ada lapangan basket dan lapangan golf mini disana. Fian menapaki jalan berbatu yang mengarah pada kolam renang. Di sana ada gazebo yang terlihat nyaman.

Fian duduk disana, matanya menatap langit yang disinari oleh bulan. Malam ini hanya ada sedikit bintang yang terlihat. Dia menghembuskan nafas, matanya terpejam menikmati hembusan angina yang menerpa wajah.

“Terima kasih,” ucap suara Karel. Fian langsung membuka matanya, dia tidak menyangka kalau pria ini mengikutinya kemari. “Tetaplah berpura-pura sampai saya bisa menyelesaikan urusan saya,” ucapnya.

Fian mengangguk pasrah. “Semoga Bapak bisa menyelesaikan semua secepat mungkin, saya juga tidak ingin membohongi semua orang lebih lama.”

Karel menoleh pada Fian, “Karel, panggil saya Karel setelah jam kantor berakhir.”

“Kenapa?” tanya Fian bingung.

“Agar tidak ada kesalahan penyebutan nama,” jawab Karel dengan santai.

Fian mengangguk mengerti, “kalau begitu bisa pakai aku dan kamu?” tanya Fian. “Yahh agar tidak terlalu canggung.”

Karel menganggukan kepalanya. “Not bad,” ucapnya dengan senyum tipis.

Dua kali, hari ini Fian mendapatkan senyum itu sebanyak dua kali setelah lima bulan dia hanya mendapatkan wajah datar. Rejeki macam apa ini.

Mereka kembali terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Fian sibuk memainkan kukunya sampai dia teringat bagaiamana besok dia akan berangkat. “Emm besok bagaiamana aku harus pergi ke kantor? kalau dengan kamu nanti pasti akan ada banyak gosip yang tidak enak.” Jujur saja memanggil Karel tanpa tambahan bapak masih sulit untuknya, rasanya segan tapi dia harus terbiasa.

“Itu yang ingin kutunjukan pada semua,” jawab Karel. “Semua orang harus tahu kalau kamu adalah kekasihku.”

Fian melebarkan matanya tercengang. “Apa??” tanyanya dengan takjub. Kejutan apalagi yang Karel buat untuknya. “Apa itu tidak masalah? maksudku bagaimana dengan kekasihmu?” tanya Fian.

Raut wajah Karel menggelap hingga membuat Fian takut. Mungkin dirinya sudah terlalu banyak bicara sampai membuat pria itu marah. “Ehh yaa memangnya kamu tidak punya kekasih?” tanya Fian lagi.

“Dia yang memintaku begini,” jawab Karel. Fian berusaha mencerna penjelasan singkat Karel. Apakah ada perempuan yang tidak ingin diakui, ini sangat aneh.

Kata-kata ayah Karel kembali terbayang di otak Fian. Mencintai istri orang lain, kalau itu jawaban Karel barusan masuk di akal. Mungkinkah pria seperti Karel mau dijadikan selingkuhan, atau jangan-jangan pacar Karel adalah laki-laki. Fian menggelengkan kepalanya. Pikiran macam apa yang ada di otaknya saat ini.

🍁🍁🍁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro