18. Karel Untuk Fian
Hay semua.. update lagi nih.. cuma mau bilang juga, author adalah mahasiswi keperawatan semester 5 yang setiap harinya diwarnai tugas2. Jadi tolong banget harap maklum update lama, jangan marahin author yang polos ini karena telat update 😢
Next part akan lebih lama karena author sedang UAS ini aja lebih mentingin bikin cerita daripada belajar buat besok*gubrak. Setelah UAS ada uprak dan setelah uprak ada dinas di rumah sakit selama sebulan mungkin..
Langsung aja deh yaa happy reading.. ini 5000 kata lebih.. jangan kaget dengan isinya yg absurd yakk 😂😂😂
🍁🍁🍁
Author POV
Mata Fian menatap intens dress yang ada di hadapannya. Ini memang bagus dan cantik dan satu lagi, catatlah karena ini hal yang paling penting, dress ini mahal. Yaa dan Fian merasa tidak cocok menggunakan pakaian itu.
"Ini cuma acara makan malam biasa, gue bukan mau jalan di red carpet," tolak Fian.
Putri mengangguk, "iya bener juga.. yaudah kita cari yang lain aja," ajak Putri. Mereka berkeliling butik hingga akhirnya Fian menemukan dress yang pas.
"Salah nggak sih gue ninggalin Karel sama Rain?" tanya Fian saat dalam perjalanan kembali ke kantor.
"Salah menurut gue, tapi untuk saat ini cuma itu yang bisa lo lakuin, jangan terlalu buru-buru.. Pak Karel pasti butuh waktu,"
Fian mendengus, "butuh waktu apa? gue nggak nuntut dia untuk bales cinta gue, dia mau menjauh dari Rain aja gue udah bersyukur," keluh Fian.
Putri terdiam dan menghela nafas berat. "Gue nggak tau saran gue untuk lo itu benar atau salah, tapi karena udah sejauh ini mau gimana.." Putri memegang bahu Fian. "Apapun yang terjadi lo nggak boleh kalah dari Rain!! pertahanin pak Karel sekuat yang lo bisa,"
Fian mengerutkan kening bingung dengan ucapan Putri. "Lo kenapa Put?"
"Gue punya firasat baik dan buruk, yahh tapi udahlah.. gue bukan sesepuh yang firasatnya bisa dipercaya," jawab Putri dengan asal.
Tanpa terasa taxi yang mereka tumpangi sudah tiba di depan kantor. Fian dan Putri langsung turun dan bergegas ke bagian masing-masing.
Fian langsung masuk ke ruangan Karel tanpa mengetuk dulu. Matanya langsung jatuh pada Karel yang sedang duduk di sofa dengan Rain disampingnya.
"Ohh belum pulang juga toh," sindir Fian dengan halus.
Karel memijat keningnya, kedua orang ini selalu bersitegang jika disatukan. "Rain pulanglah, ini sudah jam anak-anak pulang sekolah,"
Rain tersenyum dan mengangguk, "oke.. aku akan mengabarimu nanti," Rain tersenyum dan berjalan keluar ruangan.
"Pergi sana jauh-jauh cicit gerandong," desis Fian dengan pelan namun bisa di dengar oleh Rain. Rain menoleh sedikit lalu lanjut berjalan tanpa mengucapkan apapun.
Karel menepuk sofa yang tadi diduduki Rain. Jelas Fian menolak, ia dengan lancang duduk di kursi kerja Karel.
"Sofa itu belum dibersihkan, aku takut alergi.. kulitku sensitif," jelas Fian dengan santai. Karel mendengus, jika itu bukan Fian maka sudah ia tendang karena berani menduduki kursi kesayangannya.
"Kamu ingin makan apa?" tanya Karel.
Fian menggeleng, "tadi udah makan sama Putri, kalau kamu ingin makan yaudah sana.."
"Dan kamu?"
Fian mengetuk meja sembari berfikir, "tidur mungkin.. aku sedikit ngantuk,"
"Aku sudah bilang semalam," ucap Karel mengingatkan saat semalam ia menyuruh Fian tidur tapi gadis itu justru minta ditemani nonton film horror hingga larut.
"Yaa yaa.. aku salah." Karel hanya menghela nafas dan pergi membeli makanan.
🍁🍁🍁
Fian mengerjapkan mata, pandangannya jatuh pada Karel yang sedang memasang wajah serius memandangi laptop. Fian yakin Karel yang memindahkannya ke sofa karena tadi dirinya tidur di kursi kerja Karel.
Kepala Fian ada dipangkuan Karel dan jas Karel menyelimuti Fian. "Hooamm, jam berapa sekarang?" tanya Fian.
Karel menunduk dan menatap wajah Fian yang baru bangun dari tidur siangnya. "Jam tiga," jawabnya.
Fian terduduk dan merapikan rambutnya. "Huahh segarnya.. okee lanjut kerja, bye bos." Fian berdiri tapi tangannya di tarik oleh Karel hingga ia kembali duduk. "Apa sih?"
"Pekerjaanmu sudah beres, Yuki tadi kemari. Sekarang duduk disini dan makanlah," Karel memberikan plastik berlogo tempat makan favorit Fian.
Mata Fian berbinar senang, "asik.. thank you Karel.." senyum Fian begitu tulus hingga terlihat sangat manis untuk Karel.
"Hemm," balas Karel dengan salah tingkah karena tadi tidak berkedip karena melihat Fian tersenyum. Karel kembali fokus pada laptop dihadapannya.
Pulang kantor mereka langsung menuju rumah orang tua Karel. Fian bersenandung riang di dalam mobil. Suara Fian melantun indah di telinga Karel.
Tidak butuh waktu lama untuk mereka tiba di kediaman orang tua Karel. Beberapa pekerja langsung menyapa keduanya saat pasangan ini lewat.
"Aku masih selalu takjub dengan rumah ini," gumam Fian.
Karel menoleh dan tersenyum, "apa yang membuatmu takjub? ini terlihat biasa,"
"Biasa apa? rumah ini besar Karel! kamu bisa sangat amat puas bermain petak umpet disini, ohh bayangkan lelahnya membersihkan rumah ini." Karel tertawa dan melangkah santai meninggalkan Fian.
Di dapur Mariska sedang sibuk memerintah koki kepercayaannya. Fian menghampiri mertuanya itu. "Sore Ma.. sibuk banget kayanya,"
Mariska tersenyum lebar dan langsung memeluk Fian. "Sayang.. Mama dengar kemarin kamu tinggal di rumah baru sendiri yaa.. kenapa nggak kesini saja?"
"Hehe Fian belajar masak Ma sama bi Peni dan Meri," jelas Fian. Mariska mengusap kepala Fian dengan penuh kasih sayang.
"Aku ingin ke kamar," pamit Karel sembari mencium pipi Mariska dan Fian. Jelas itu membuat wajah Fian merona.
"Apa Karel baik sama kamu?" tanya Mariska setelah Karel pergi.
Fian mengangguk, "dia jail tapi itu yang membuat rumah kami ramai," jelas Fian sembari tersenyum bahagia.
"Haha anak itu, dia beruntung memiliki istri secantik dan sebaik kamu,"
"Hemm menurutku aku yang beruntung memiliki dia," jawab Fian.
🍁🍁🍁
Malam ini Fian nampak cantik dengan dress hitam selutut dan rambut yang bergelombang yang tergerai bebas. Matanya berbinar saat bicara.
"Kamu cantik Ki.." puji Fian pada Kinan.
Kinan tersenyum kecil, "Kakak lebih cantik," balasnya. Kinan mendekatkan dirinya pada Fian lalu berbisik. "Kak Karel terlalu beruntung bisa memiliki Kakak padahal sifat kakakku itu sangat menyebalkan,"
Fian dan Kinan tertawa bersama hingga terdengar suara mobil berhenti. "Itu pasti Mas Satrio," seru Kinan dengan ceria. Kinan dan Fian turun bersama untuk menemui Satrio dan keluarganya yang sudah menunggu di ruang tamu.
"Wahh ini siapa yang namanya Kinan? dua-duanya cantik," gumam wanita paruh baya yang berdiri di samping Satrio.
Karel mengamati Satrio, dan dalam beberapa menit ia tau mata Satrio tidak lepas dari Fian sejak tadi. Pria itu tidak cocok untuk adiknya.
"Ehemm, yang menggunakan gaun hitam itu ISTRI saya, saya kakaknya Kinan," jelas Karel dengan menekankan kata istri untuk menyindir Satrio. Fian tersenyum dan langsung menghampiri Karel. Karel menyambut Fian dengan merangkul pinggang Fian dengan posesif.
Acara berlangsung cukup lama hingga Satrio dan keluarganya pamit setelah makan malam berlangsung. Karel yang sudah menemukan keputusannya langsung mengajak Kinan dan keluarganya bicara.
"Aku tidak setuju dengannya," ucap Karel to the point.
"Kenapa? dia pria baik Kak.. dan aku.. aku mencintainya,"
"Kamu tadi siang memintaku untuk menilai kan? dan sekarang aku sudah menilai dia tidak cocok denganmu,"
"Tapi kenapa?? apa alasannya?" tanya Kinan dengan pandangan mata tajam. Fian meneguk ludah melihat ketegangan di sekitarnya.
"Karena.." Karel ingin memberitau bahwa sejak tadi Satrio memandangi Fian tapi ia takut menyakiti hati adiknya. "Ck, aku sudah menilai jika kamu percaya padaku maka jauhi dia jika tidak itu terserah padamu karena ini pilihanmu," tegas Karel sebelum berbalik dan pergi ke kamarnya.
Fian menghela nafas, "biar aku yang bicara dengan Karel," ucap Fian.
Karel terduduk di ranjang dan menggulung kemejanya hingga siku. Pintu kamar berderit dan Fian muncul di baliknya. Melihat mata itu Karel tau pasti bahwa gadis itu sedang bingung.
"Apa yang ingin kamu tanyakan?"
Fian duduk di samping Karel dan mulai melepas aksesoris yang ia gunakan. "Aku hanya ingin tanya kenapa kamu begitu? harusnya kamu memberi Kinan penjelasan, aku yakin penjelasanmu bisa diterima Kinan,"
Karel menghela nafas, ia melepaskan kemejanya hingga saat ini perut sixpacknya terlihat jelas. Fian yang awalnya selalu marah-marah sekarang sudah terbiasa dengan pemandangan itu.
Dengan cekatan Karel mengambil t-shirt dan memakainya. "Pria itu memandangimu terus sejak kamu muncul," jelas Karel.
Fian mengerutkan keningnya bingung. "Lalu? apa salahnya? mungkin dia hanya penasaran karena tidak pernah melihatku,"
Karel mendengus karena jawaban Fian yang terlalu polos cenderung bodoh. "Jika masih berani melihat wanita lain dengan tatapan lapar apa masih bisa bicara bahwa Satrio itu mencintai Kinan?"
"Hah? maksudmu Satrio.."
Karel mengangguk, "aku tidak akan memberikan adikku pada pria brengsek seperti dia, yahh aku tau aku juga pria brengsek, tapi tetap saja aku ingin Kinan memiliki suami yang baik,"
Fian terdiam, kalau begitu dirinya menikah dengan pria brengsek. Betapa sedih nasib pernikahannya. "Bagaimana dengan Kinan?" tanya Fian mencoba kembali fokus pada masalah ini.
"Aku sudah mengingatkannya, keputusan tetap ada di tangan Kinan." Fian merebahkan diri, masalah dirinya dengan Karel saja belum selesai sudah ada masalah baru lagi. "Ganti dulu bajumu baru tidur," ucap Karel.
🍁🍁🍁
Pagi ini suasana ruang makan nampak sunyi. Tidak ada yang membuka suara, yang ada hanya suara sendok beradu dengan piring.
Karel dengan santai memakan sarapannya lain dengan Fian yang hanya menatap roti tawar tanpa selera. Bosan roti terus..emang gue bule, gerutunya dalam hati.
Semua masih memikirkan kejadian semalam yah kecuali Fian yang sibuk dengan gerutuan menu sarapannya.
"Karel.." panggil Mariska yang akhirnya buka suara. Karel hanya membalasnya dengan dehaman. "Apa kamu yakin dengan keputusanmu?"
Karel menghela nafas, "aku tidak akan menarik ucapanku, sekarang semua terserah Kinan karena dia yang menjalani," Karel bangkit dan menarik lengan Fian. "Ayoo berangkat," ajaknya.
Fian masih tetap diam dan menatap jalanan sejak Karel menariknya untuk berangkat. Karel melirik Fian sekilas dan kembali fokus pada jalanan di depannya. "Apa kamu marah dengan keputusanku?"
Fian menoleh dan mengerutkan kening, "marah apa?"
"Yaa marah, sejak tadi kamu diam, biasanya kamu selalu bicara tanpa ada jeda,"
Fian menghela nafas, "aku lapar.." keluh Fian.
Kali ini Karel yang mengerutkan keningnya, "kenapa tadi kamu tidak menyentuh sarapanmu?"
"Huhh aku bosan dengan roti.." Fian mengerucutkan bibirnya karena kesal. Karel ternganga, ia pikir ini karena masalah semalam tapi ternyata ini sama sekali tidak berhubungan.
Karel tertawa dan mengacak rambut Fian. "Ingin makan apa?" tanya Karel dengan lembut. Fian terdiam berfikir dan langsung berteriak girang menyebutkan tempat makan yang selalu jadi favoritnya.
🍁🍁🍁
Hari terus berjalan, Fian semakin terbiasa dengan sikap Karel yang terkadang jail dan terkadang cuek karena pekerjaannya.
Setiap hari Fian selalu berdebat dengan Karel hanya karena masalah sepele. Jika Fian menunjukan tanda-tanda akan menangis maka Karel akan meminta maaf dengan wajah memelas yang lucu bagi Fian.
Karel selalu memperlakukan Fian dengan baik. Apapun yang Fian minta akan ia turuti karena memang gadis itu tidak pernah meminta hal-hal aneh.
Seperti hari ini, Fian sibuk menatap kalender yang ada di kamar mereka. Ada tanggal yang dibulati dengan spidol merah permanent.
Tanggal 20 dari setiap bulan mulai dari bulan Juni sudah Fian tandai. Itu tanggal pernikahannya dengan Karel, dan hari ini adalah lima bulan tepat pernikahan absurd mereka.
"Udah lama juga yaa.." gumamnya. Ini hari minggu jadi ia bebas bersantai di rumah. Lima bulan tanpa perkembangan berarti. Yahh memang Karel sangat perhatian tapi Fian merasa itu perhatian yang lebih dari kakak untuk adiknya.
"Sedang apa?" tanya Karel yang baru saja selesai mandi.
Fian terduduk dengan rambut yang masih acak-acakan karena baru bangun. "Ini tanggal 20, kamu sadar kita sudah menikah selama lima bulan?"
"Oh ya? tidak terasa," jawab Karel.
Ketukan pintu kamar membuat keduanya menoleh. "Tuan, ada Non Sesilia di bawah." Karel mengerutkan kening, dalam hati ia bertanya untuk apa sepupu rusuhnya itu datang.
Karel turun diikuti Fian yang belum mandi dan masih berantakan. Di bawah Sesil sedang menunggu bersama kedua anak kembarnya.
"Levin, Rara..." panggil Fian dengan ceria. Ia langsung berlari menuju dua anak yang menggemaskan itu.
"Aunty..." panggil keduanya dengan suara lucu mereka. Fian berjongkok dan menciumi kedua pipi bulat Levin dan Laura.
"Kenapa kalian baru kemari? Aunty kangen," keluh Fian.
Levin tertawa dan memeluk Fian, "Levin juga kangen Aunty," ucapnya dengan girang.
"Lele gantian dong.. Rara juga mau peluk Aunty Fin.." rengek Laura.
Karel menggelengkan kepala, kedua keponakanya itu sangat akrab dengan Fian meski baru bertemu sekali saat hati pernikahannya. Karel menggendong Laura yang sibuk menarik Levin. "Heyy apa kamu tidak kangen Uncle?" tanya Karel.
Laura menggeleng, "Rara kangennya sama Aunty.." Mendengar itu semua tertawa geli kecuali Karel yang hanya bisa mendengus. Sepertinya dirinya tidak pernah bisa mengambil hati anak kecil. Bahkan keponakannyapun menolak.
"Hihi uncle Karel jelek ya?" tanya Fian dengan terkikik geli.
Laura tertawa dan merangkul leher Karel. "Maaf uncle.." ucap Laura saat melihat wajah kesal omnya itu.
"Ada apa kalian kemari?" tanya Karel seperti biasa dengan sikap tidak suka basa-basi.
Sesilia menyeringai jail dan menghampiri Fian yang masih sibuk bicara dengan Levin. "Aku ingin menitipkan mereka," ucapnya dengan santai.
Karel mengerutkan kening, sepupunya ini memang gila. Dia pikir ini adalah tempat penitipan anak. Dan ayolah kedua keponakannya ini adalah anak nakal. Karel tidak terlalu suka anak kecil apalagi anak kecil itu nakal.
"Tidak bisa, kalian mengganggu waktuku dan Fian. Kau tau kami baru menikah kan?" tanya Karel.
"Aku tidak masalah," jawab Fian dengan enteng. Berbeda dengan Karel, Fian sangat suka dengan anak kecil. Apalagi Levin dan Laura adalah anak-anak yang aktif dan menggemaskan. Karel melotot pada Fian namun gadis itu hanya tersenyum tanpa dosa.
"Nahh kalau begitu masalah beres, sayang-sayangku.. Mama dan Papa akan pergi dan besok kami akan menjemput kalian, tunjukan sikap baik kalian pada Mom dan Daddy yaa.." ucap Sesilia dengan semangat.
"Apa? Mom dan Daddy?" tanya Karel dengan menyipitkan mata.
Mata Fian berbinar bahagia bahkan berkaca-kaca. "Karel!!! aku jadi Mommy.." teriaknya dengan girang.
"Haha yaa terdengar keren kan? sekalian untuk belajar jadi orang tua.." kekeh Sesilia. Dari dapur Azka muncul dengan segelas jus jeruk di tangannya. Benar-benar tamu yang kreatif.
"Hey lihat kelakuan istrimu," adu Karel pada Azka.
"Sesil benar, kau harus belajar menjadi ayah," jawab Azka dengan enteng.
Levin dan Laura berteriak girang, "yee.. mommy daddy.." teriak Levin.
"Oooohh manisnya anak mommy.." gemas Fian mencium pipi Levin lagi. Karel mengacak rambutnya, beginilah nasib jika tinggal disekitar orang-orang yang abnormal.
Sesilia merangkul Karel dengan dramatis. "Jaga anak-anakku ya.." wajah memohonnya yang lucu hingga membuat Karel mendengus.
"Menggelikan, pergilah!" ketus Karel. Pasangan suami istri itu pergi satu jam setelahnya. Mereka menitipkan satu koper keperluan sikembar. Karel heran karena meski menginap sehari bawaan sikembar sudah seperti ingin menginap seminggu.
"Oke sayang.. sekarang Mom akan memasak makanan untuk kalian," ucap Fian dengan semangat empat lima.
"Asikk..." teriak si kembar.
Karel tersenyum sinis, "kalian tidak lihat aunty kalian belum mandi.. biarkan dia mandi dulu."
"Ahh haha aku hampir lupa, oke mom akan mandi dan kalian baik-baik yaa dengan daddy," Fian mengedipkan satu matanya dan berlari ke atas.
Levin menghampiri Karel dan ikut duduk di sofa. "Daddy apa kita akan pergi bermain?"
"Uncle, Levin.. jangan panggil Daddy," jawab Karel dengan malas.
Levin menggeleng cepat, "Daddy.." tegasnya.
"Uncle!" balas Karel.
"Daddy apa kita boleh menonton tv?" tanya Laura dengan wajah polos.
"Ohh astaga.." keluh Karel sembari memijat keningnya. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa. "Jangan panggil aku Daddy.. ayolahh aku bukan ayah kalian, panggil Uncle!"
"Daddy!" tegas keduanya.
Karel mendengus, anak dan orang tua sama saja. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Kelakuan si kembar sama menyebalkanya dengan Sesilia dan Azka.
Fian turun dengan wajah segar, dengan rambut dicepol asal wajahnya terlihat lebih manis meski tanpa make up.
"Hai.." sapanya pada si kembar dan Karel yang sedang duduk di sofa depan televisi. Fian duduk disamping Karel, "Karel tolong jaga si kembar yaa.. aku akan masak," pinta Fian.
Karel melirik sekilas dan kembali fokus pada televisi di hadapannya. "Kamu yang ingin mereka disini, urus saja mereka sendiri,"
Fian berdecak kesal melihat tingkah Karel. "Ayolah.. Bi Peni barusan pergi ke pasar dengan Meri, apa kamu tega mereka main di dapur? itu bahaya," rengek Fian. Fian mendekat pada si kembar dan berbisik, "bantu mom membujuk daddy.. kalian ingin makan kue kan?"
Karel yang terganggu dengan rengekan Fian menoleh dan mendapati Fian, Levin dan Laura sedang menatap dirinya dengan tatapan memelas. Sial apa-apaan ini, gerutunya dalam hati. "Ck yaa ya pergilah! aku akan jaga dua anak tuyul ini," gerutu Karel.
"Hey mereka anak-anakku," jawab Fian.
"Huuhh oke, aku akan menjaga anakmu. Sekarang pergilah," ucap Karel dengan nada sabar yang dibuat-buat. Ini hari minggu yang rencananya akan menjadi hari santai jika kembar ini tidak datang.
Fian hanya bisa tertawa geli melihat wajah frustasi Karel.
Satu jam Fian sibuk berkutat di dapur. Ia membuat sup dan ayam goreng, nanti setelah semua sarapan baru ia akan membuat cupcake untuk si kembar. Setiap hari minggu Fian memang sengaja menyuruh Bi Peni dan Meri untuk tidak memasak karena khusus hari itu Fianlah yang bertugas membuat sarapan.
"Heyy makanan siap!" teriak Fian dari arah dapur.
Karel menoleh sekilas, "kalian dengar? Aunty kalian sudah masak.. ayoo," ajak Karel. Laura merentangkan tangannya.
"Gendong Daddy.." pinta gadis kecil itu. Karel mendengus tapi tetap menggendong Laura. Tangan kiri Karel terulur pada Levin.
"Ayoo," ajak Karel. Levin tersenyum polos dan menggandeng lengan Karel.
Fian melihat Karel yang sedang menggendong Laura dan menggandeng Levin. Senyumnya mengembang, senang dan sedih. Ia ingin seperti ini dengan Karel tapi apakah bisa, melihat sampai saat ini belum ada perkembangan dari hubungannya. Ia ingin Karel menjadi miliknya, Karelnya bukan Karel Rain. Satu tetes air matanya jatuh tapi Fian segera menghapusnya.
"Wahh kalian terlihat akur," sapa Fian dengan riang.
Karel mendudukan Laura di kursi meja makan. Saat akan duduk ia melihat Levin yang kesusahan untuk duduk di kursi karena kursi itu lumayan tinggi. Karel tertawa kecil dan membantu Levin duduk.
"Hati-hati sayur ini lumayan panas," ucap Fian sembari menyediakan nasi untuk semua.
"Mommy.. aku ingin disuapi," rengek Levin. Fian terkekeh dan pindah di kursi Levin untuk memangku bocah itu.
"Daddy apa aku boleh menyingkirkan wortelnya?" tanya Laura.
Karel yang awalnya ingin menyuapkan nasi ke dalam mulut langsung terhenti. Bahkan waktu makanpun ia diganggu. "Wortel bagus untuk matamu," jawab Karel dengan cuek.
"Daddymu benar honey, lihat Levin, dia lahap sekali,"
"Uhh Lele memang pemakan segalanya," keluh Laura.
"Rara makanlah, aunty.."
"Mommy dad.." potong Levin.
Karel menghela nafas, sabar-sabar. "Yaa ya mommy sudah masak untukmu," koreksi Karel. Laura menghela nafas dan mulai makan sedikit demi sedikit.
Fian tersenyum dan mengusap kepala Laura. "Rara pintar, nanti siang kita buat cupcake yaa." Mendengar itu wajah Laura langsung ceria dan makan dengan semangat.
Sesuai janji Fian, ia membuat cupcake dengan berbagai bentuk dan warna yang lucu untuk si kembar. Levin tampak senang dan memilih cupcake bergambar karakter kartun kesukaannya.
Sore ini Fian dan Karel pergi ke mall karena si kembar merengek ingin bermain di wahana permainan yang sering mereka kunjungi. Sejak masuk di mall sudah banyak tatapan pria maupun wanita yang iri melihat Karel dan Fian.
"Mommy aku ingin main ini.." pinta Laura.
"Yahh udah punya anak," keluh beberapa remaja yang berada di dekat Fian. Mendengar itu Fian hanya mendengus cuek. Memangnya kurang jelas, padahal dirinya sejak tadi menggendong Levin dan ada Karel disampingnya.
"Oke.. sebentar yaa," Fian melambai pada Karel yang sibuk menjaga Levin. "Sayang.. ajak Levin kemari," ucap Fian. Karel mengerutkan kening, pasti Fian risih dengan gerombolan pria di dekatnya hingga gadis itu memanggil dirinya sayang.
Karel menggendong Levin dan menghampiri Fian. "Ada apa?" tanya Karel sembari merangkul pinggang Fian.
Fian tersenyum dan mencium pipi Karel, "jaga anak-anak yaa.. aku ingin ke toilet." Fian berjalan cepat sembari memegang dadanya. Debar jantungnya begitu keras, ini pertama kalinya ia mencium Karel dan rasanya ia sangat bahagia.
Karel memegang pipinya yang baru saja dicium Fian. Senyumnya mengembang, biasanya ia yang akan mencium Fian di tempat umum agar semua tidak curiga dengan pernikahannya.
"Daddy.. apa kau sangat bahagia karena dicium Mom?" tanya Levin.
Karel menunduk, "biasa saja, memang kenapa?"
Levin terkekeh kecil, "Daddy sejak tadi tersenyum sendiri.. hihi lihat, gadis-gadis itu terpesona karena Daddy tersenyum,"
Karel mengerutkan keningnya, apa iya dirinya sejak tadi tersenyum. Matanya memandang sekitar dan benar ada beberapa gadis yang sengaja mendekat.
"Hai Nona-nona cantik.. dia daddyku jangan ganggu dia kalau tidak ingin dicakar mommy, lebih baik dengan aku saja.." ucap Levin dengan mengedipkan mata dengan genit. Karel ternganga, sejak kapan bocah kecil itu berjalan kesana. Anak Sesilia benar-benar ajaib, Karel segera menghampiri Levin dan membekap mulut kecil itu.
"Maaf, anakku hanya bercanda," ucap Karel dengan datar.
"Wah... anak sama bapaknya sama-sama ganteng, goals banget..." pekik salah satu gadis di gerombolan itu.
Fian datang dengan wajah bingung, "kenapa kamu membekap mulut Levin?" tanya Fian.
"Karena anak ini sepertinya sudah diajarkan untuk menggoda wanita," jawab Karel sembari melepaskan tangannya.
Fian mengerutkan kening, "siapa yang mengajarimu menggoda wanita sayang?"
Levin menunjuk Karel, "Daddy yang mengajariku Mom," jawabnya dengan wajah polos. Fian mendelik pada Karel.
"Hey itu bohong," bantah Karel tidak terima. Levin dan Laura tertawa puas dan mereka berdua menarik lengan Fian untuk meninggalkan Karel.
🍁🍁🍁
Fian membaringkan Laura dengan hati-hati di ranjang sedangkan Karel masih menggendong Levin yang sedang merengek dalam tidurnya.
"Ssstt," Karel menimang Levin agar bocah itu kembali tenang. Setelah anak itu tenang Karel membaringkan Levin disamping Laura.
Fian yang sudah lelah langsung membaringkan tubuhnya di sofa yang ada di kamar ini. Karel mendekat dan mengusap pipu Fian perlahan, "bangunlah, kita tidur di kamar samping saja," ucap Karel. Yahh disamping kamar mereka ada kamar yang rencananya akan menjadi kamar Fian.
Bukannya menjawab Fian justru merapatkan matanya hingga Karel gemas sendiri. "Hey.." seru Karel sembari mencubit pipi Fian.
"Hemmm kita tidur disini saja.. aku lelah.." rengek Fian tanpa membuka mata. Karel menghela nafas, untung sofa ini luas dan muat untuk dua orang.
Karel berbaring di samping Fian yang nafasnya sudah teratur. Dalam hati ia mendengus, gadis ini benar-benar lelah. Karena tidak ada bantal Karel menggunakan lengannya untuk bantalan Fian dan ia pun ikut memejamkan mata sembari memeluk Fian.
Jarum jam bergetak cepat, pagi datang dengan matahari dan langit jingga. Fian bergerak gelisah hingga kedua matanya perlahan terbuka.
Mata yang awalnya sedikit terbuka langsung melebar saat dihadapannya ada wajah Karel yang sedang tertidur pulas. Hangat nafas Karel menggelitik kulit Fian.
"Karel.." gumamnya.
Karel yang mudah terganggu dengan suara di sekitarnya saat tertidurpun bergumam kecil. Matanya perlahan terbuka dan langsung bertatapan dengan mata coklat Fian.
Fian menggigit bibir bawahnya karena gugup. Karel memandang bibir tipis itu, ia tidak pernah memperhatikan Fian saat sedekat ini.
Karel meneguk salivanya, dalam hati ia menggerutu karena Fian begitu menggoda meski dengan wajah bangun tidur. Jujur ia penasaran dengan rasa bibir Fian yang selalu manis dengan warna pink natural itu. Dan entah setan mesum mana yang merasukinya pagi ini Karel sudah mendekatkan diri pada Fian dengan terus menatap bibir itu.
Jelas Fian hanya bisa membatu dengan mata melebar, ini pasti mimpi yaa mimpi indahnya dimalam hari. Jadi ia tenang-tenang saja dan justru memejamkan mata dengan pasrah. Tenang Fian ini cuma mimpi, batin Fian.
Karel yang tidak mendapat sinyal penolakan dari Fian langsung melanjutkan aksinya, ia menarik tengkuk Fian agar mendekat dan mengecup bibir istrinya itu. Beberapa kali kecupan hingga mereka berdua tersentak dengan suara si kecil Levin.
"Ohhh kata Mama dan Papa aku harus siap dengan pemandangan ini karena mom dan daddy baru menikah," ucap Levin sembari menutup kedua matanya dengan telapak tangan.
Karel langsung menjauh dan naas yang dia tempati hanya sofa jadi saat bergeser bokongnya dengan mulus membentur lantai.
Fian membuka matanya, beberapa kali matanya mengerjap polos. "Ini bukan mimpi?" tanya Fian lebih untuk dirinya sendiri.
Karel mengerutkan kening, jadi Fian menganggap ciuman tadi hanya mimpi, hebat sekali gadis ini. Karel bangkit dengan salah tingkah. Ia menggendong Levin dan mengacak rambut bocah itu.
"Kau harus dapat pelajaran," gumam Karel dengan kesal karena pengganggu kecil ini.
Levin terkikik geli karena Karel menggelitiki perut Levin di ranjang. "Ampun Daddy hahaa.."
Fian masih diam di sofa, berfikir apa yang sudah terjadi. Jika ini bukan mimpi berarti ini nyata. Jika nyata bebarti Karel, Fian melebarkan matanya. Ia menyentuh bibirnya dengan jari. Karel menciumku, batin Fian girang.
Wajahnya memanas, pasti sekarang sudah memerah. Ia kembali membayangkan rasa saat bibirnya bersentuhan dengan bibir Karel. Ini ciuman pertamanya dan ia mendapatkan itu dari seorang Karel Gibran Rajendra.
Karel melirik jam, sudah jam tujuh dan ini hari Senin. Karena Sesilia dan Azka belum menjemput si kembar mungkin hari ini ia dan Fian akan datang terlambat.
Fian menghampiri Karel, Levin dan Laura yang ada di ranjang. "Levin mandi dengan daddy sana! Mom akan memandikan Rara," Fian menggendong Laura yang sudah merentangkan tangannya.
"Yahh.. aku ingin ikut Mom.." rengek Levin.
Karel bersykur Fian tidak membahas tentang ciuman itu. Ia langsung menggendong Levin, "heyy jagoan! kau laki-laki, ayoo aku akan memandikanmu," ucap Karel dengan nada geli.
Setelah mandi si kembar langsung berlarian di ruang keluarga. Bi Peni menyuapi keduanya dengan sabar. Fian sedang duduk di meja rias. Memoles make up tipis sedangkan Karel sibuk memasang dasi.
Fian melihat Karel dari pantulan kaca, senyumnya mengembang. Ia berdiri dan mengambil alih dasi yang tadi ada di tangan Karel.
Dengan teliti Fian memasangkan dasi untuk Karel. "Ehh? hem terima kasih," ucap Karel dengan canggung.
Fian tersenyum kecil, "lain kali jangan mencari kesempatan saat aku belum sepenuhnya sadar," ucap Fian sembari merapikan kemeja Karel.
"Apa?"
"Kamu menciumku saat nyawaku belum terkumpul semua, bodoh.." gerutu Fian. "Itu ciuman pertamaku dan kamu mencurinya."
Karel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, baru kali ini ia salah tingkah hingga begini. Ini semua karena otaknya tidak beres pagi tadi. "Maaf, kamu boleh marah padaku," ucap Karel.
Fian menggeleng, "aku tidak marah.. itu hakmu, bagaimanapun aku istrimu. Kita sudah berjanji kalau pernikahan ini bukan kontrak," Fian mengambil satu langkah maju hingga semakin dekat dengan Karel. Jangan kira Fian serius bicara sedewasa itu, ia hanya ingin menjaili Karel yang sejak tadi sepertinya menghindari kontak mata dengan Fian.
Fian memejamkan mata, dalam hati ia terkikik geli. Pasti sebentar lagi Karel akan menjitak kepalanya.
Bukan jitakan seperti yang ia duga, tapi justru sesuatu yang lembab menempel dibibirnya. Mata Fian terbuka dan melebar kaget karena Karel menciumnya LAGI.
Karel berheti sejenak, "jangan salahkan aku karena kamu yang menggodaku," bisik Karel tanpa menjauhnya bibirnya. Kembali Karel mencium Fian, lengan kanan Karel meraih tengkuk Fian sedangkan lengan kirinya melingkar di pinggang Fian.
"Kenapa diam?" ledek Karel disela ciuman mereka. Ia tau pasti kalau saat ini Fian sudah lemas.
Mulut Fian terbuka ingin bicara namun Karel kembali menyerangnya. Ternyata Karel mengambil kesempatan itu untuk memperdalam ciuman mereka dan merasakan mulut Fian yang sejak tadi tertutup. Manis, rasa strawberry ini pasti dari permen yang selalu disediakan Fian di dekatnya.
"Tuan, Nyonya.. orang tua si kembar sudah datang, ehh ohh maaf," ucap Meri yang tadi berteriak sembari lari langsung kikuk melihat pemandangan di depannya.
Karel berdecak, lagi-lagi ada pengganggu. Ia menjauh dari Fian dan tersenyum pada Meri. "Nanti kami ke bawah," ucapnya dengan santai. Yahh sejak tadi pintu memang terbuka, lagipula siapa yang merencanakan untuk berciuman.
Meri mengangguk dan langsung pamit dengana wajah bersalah.
"Ayo kita turun, apa aku harus menggendongmu?" tanya Karel. Fian mendelik, sial sekali padahal ia tadi berniat untuk menjaili Karel tapi kenapa sekarang terbalik.
🍁🍁🍁
Di bawah Levin dan Laura sedang menceritakan semua pada Sesilia hingga wanita itu beberapa kali tertawa lebar. Karel mendengus, pasti Levin sudah cerita tentang kejadian pagi tadi.
"Maaf mereka mengganggu moment kalian," ucap Sesilia dengan wajah tanpa dosa.
Karel mendengus, "sudah kubilang kalau aku butuh banyak waktu untuk berduaan dengan Fian," jawab Karel dengan ketus. Fian langsung mencubit pinggang Karel dengan keras. Bikin malu saja Karel ini, batin Fian.
Sesilia yang sudah biasa dengan ucapan ketus Karel hanya bisa tertawa puas menanggapi adik sepupunya itu.
"Tapi tadi Levin tutup mata Ma.. Levin benar kan??"
Sesilian mengacungkan dua jempol. "Anak Mama pintar.. sekarang ayo kita pulang karena mom dan daddy kalian harus ke kantor,"
Azka menggendong Levin dan menghampiri Karel. "Thank you brother." Sesilia mencium pipi Fian dan Karel lalu ikut menyusul suaminya dengan Laura digendongannya.
Karel dan Fian langsung berangkat ke kantor dan selama diperjalanan Fian terus memasang wajah kesal. Tiba di kantorpun Fian langsung turun dari mobil dan meninggalkan Karel hingga orang-orang di lobby memperhatikan Fian dengan bingung karena ini pertama kalinya Fian berjalan tanpa Karel setelah mereka menikah.
Karel berjalan dengan santai dan bertemu dengan Cakra. "Pagi pak, tumben nggak bareng istri?"
Karel tertawa kecil kecil, "dia sedang merajuk," jawabnya dengan santai. Cakra ikut tertawa dan wanita yang mendengar ucapan Karel hanya bisa meleleh. Fian beruntung sekali.
Tiba di depan ruangannya Karel melihat Fian yang sedang sibuk merapikan berkas. "Marah?" tanya Karel sembari menyandarkan tubuhnya di pintu ruangannya.
Fian melirik Karel, "kenapa kamu menciumku lagi?" tanya Fian.
Karel mengerutkan keningnya, "bukankah kamu yang memintaku melakukannya?"
"Ihh tadi aku hanya bercanda.." rengeknya.
Karel mengangkat bahu acuh. "Salahmu sendiri, jangan menggoda seorang pria jika tidak ingin diserang," ucap Karel sembari mengedipkan mata. Ia kemudian masuk ke ruangan sebelum Fian melemparinya dengan sepatu.
Siang ini Karel rapat dengan beberapa atasan yang ada di kantor ini. Mereka selesai rapat saat jam istirahat sudah berakhir. Mau tidak mau Fian makan di ruangan Karel. Fian makan tanpa banyak bicara tidak seperti biasa.
Ponsel Karel bergetar dan nama Rain muncul di layar. Karel menggeser layar berwarna hijau.
"Yaa Rain," jawab Karel.
"Gawat Karel.. Fatar melihat kita sedang jalan minggu kemarin, tadi dia bertanya padaku tapi aku bingung menjawabnya, aku sudah terlalu banyak bohong padanya,"
Karel terdiam, "biar nanti aku yang bicara padanya,"
"Kebohongan apa lagi yang akan kamu buat? aku takut.. Fatar sahabat kita, aku takut membuatnya sakit,"
Karel mengepalkan tangannya, ia tau kalau dirinya benar-benar jahat. "Nanti ku telfon lagi," Karel langsung memmatikan telfon itu dan melempar ponselnya ke meja. Fian mengerutkan kening, wajah Karel sekarang tampak suram.
Pintu ruangan diketuk dan tanpa menunggu jawaban muncul Fatar dengan senyuk cerianya seperti biasa.
"Ckck pasangan baru makanpun nggak mau terpisah," ledek Fatar.
Karel menundukkan kepala sekilas lalu kembali mendongak. "Tumben nggak ngabarin, ada apa?"
Fatar duduk di hadapan Karel, "main doang.." jawabnya. "Ohh mau nanya juga, minggu kemarin gue liat lo sama Rain di cafe deket kantor sini, tumben pergi nggak ngajak gue,"
Fian terbatuk heboh, ia mengambil minuman yang diulurkan Fatar meski Karel juga mengulurkan minum.
"Pelan-pelan Fi.." ucap Fatar dengan geli.
"Jadi kenapa kalian pergi? ada rencana buat ngerjain gue ya?" tanya Fatar dengan wajah penasaran.
Karel tertawa palsu, "bukan.. Rain cuma minta diantar mencari sepatu, katanya dia nggak mau merepotkanmu jadi dia merepotkanku," jawab Karel.
Fatar menggeleng geli, "harusnya dia tau kalau lo udah punya istri dan nggak bisa direpotin kaya dulu,"
"Ck yahh Fian nggak masalah karena dia tau aku dan Rain bersahabat," ucap Karel sembari tersenyum.
Nggak masalah kepala lo bolong, lo bohongin gue Karel, lo bilang minggu kemaren mau pergi ke rumah Mama, gerutu Fian dalam hati. Pantas hari itu Karel pergi seharian.
Fatar tersenyum melihat wajah kesal Fian, "gue ngerti tentang persahabatan kita, tapi gue rasa udah saatnya kita sadar status. Banyak rumor tentang perselingkuhan lo dan Rain yang gue denger dan itu pasti buat Fian risih," Fatar menghela nafas, "gue percaya banget sama lo dan Rain, kalian nggak akan ngehianatin gue, jadi gue sih cuek sama rumor itu, masalahnya sekarang ada di Fian,"
Fian terdiam, rasa bersalahnya muncul sangat kuat hingga membuatnya sesak. Fatar begitu memperhatikan perasaanya, sedangkan dirinya bersekongkol dengan Karel untuk membohongi Fatar sejahat itu.
"Sorry aku harus keluar," Fian melangkah pergi namun sebelum membuka pintu Fian membalik tubuhnya. "Karel.. pikirkan kata-kata Fatar, dia benar. Kamu beruntung mempunyai sahabat yang sangat percaya padamu," ucap Fian ambigu. Fatar mengerutkan keningnya bingunf sedangkan Karel hanya bisa mengepalkan tangannya.
🍁🍁🍁
See you in the next chapter guys..
Inti cerita mungkin sudah dimulai *evilsmile
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro