Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Karel dengan Sifat Jailnya

Hay semuaaa... ada yang kangen Fian? ada yang kangen Karel? apa ada yang kangen Rain?? Wkwk

Baru bisa update karena kuliah padet banget belum lagi aku juga sempet nggak enak badan ouucchh 😂

Nggak enak badan nggak enak hati yahh curhat deh.. buat mommy2 masak dulu yaa baru baca.. buat ade2 gemes sekolah dulu yaa baru baca hehe

Happy reading guys 😉😉!!!!

🍁🍁🍁

Author POV

"Fian.. kamu pernah dengar orang tewas karena tersedak?" tanya Karel. Fian yang sejak tadi tidak bisa diam langsung bungkam. Mutulnya terbuka lebar dan matanya memandang Karel dengan tatapan horor. Karel ingin tertawa melihat reaksi Fian tapi ia menahannya. "Ada apa? aku salah?"

Mata Fian memelototi Karel, "nyebelin banget sih.." gerutunya dan pecahlah tawa Karel.

"Buka mulutmu," perintah Karel sembari mengulurkan sesendok nasi dengan lauknya.

"Kenyang," Fian melipat lengannya dan membelakangi Karel.

Karel tertawa dan mengusap kepala Fian, "kamu sudah ngambek dua kali, bagaimanapun suamimu ini baru pulang, mana sikap istri yang baik? setidaknya berikan senyuman,"

Fian berbalik dan langsung mencubit pinggang Karel karena gemas. Bagaimana tidak, Karel berlaku seolah pernikahan ini normal. "Sejak kapan kamu sebawel ini? cepat suapi aku lagi.." Karel tersenyum geli dan lanjut menyuapi Fian.

Sore hari Karel gunakan untuk beristirahat, ia merebahkan diri di ranjangnya dan memejamkan mata. Beberapa menit cukup untuk beristirahat karena semalam ia tidak tidur. Sedangkan Fian masih sibuk di depan televisi, menikmati film kesukaannya.

"Nyonya.. koper Tuan mau langsung dibawa ke kamar atau di taruh di depan kamar aja?"

Fian mengerutkan keningnya, "emm taroh di depan kamar aja deh Ri, Karel lagi tidur soalnya.. ntar biar aku yang beresin kopernya,"

Mari menganggukkan kepala, "yaudah, saya keatas dulu."

Fian tersenyum dan mengucapkan terima kasih sebelum kembali fokus pada film di hadapannya.

🍁🍁🍁

Karel menuruni tangga, wajahnya sudah segar dengan rambut sedikit basah dan mengeluarkan aroma sampo yang segar. Matanya mencari sosok Fian.

"Ri.. kemana Fian?" tanya Karel saat melihat Meri lewat.

"Nyonya di belakang Tuan." Karel mengangguk dan langsung ke belakang menyusul Fian.

Di sana, di pinggir kolam renang, Fian duduk sembati membaca novel ditemani segelas jus strawberry kesukaannya dan setoples cemilan. Ujung kakinya dicelupkan ke kolam renang.

"Bersantai?" tanya Karel sembari mengambil tempat di samping Fian.

Fian menoleh dan tersenyum cerah, "kenapa sudah bangun? kamu baru tidur sebentar,"

"Sudah cukup,"

Fian mendengus dan menutup novelnya, "mana bisa begitu? Karel.. kamu bukan robot, kamu butuh istirahat, pikirkan kesehatanmu juga.. jangan pikirkan pekerjaanmu terus,"

Karel tertawa dan mengacak rambut Fian, "siap Nona.." ucap Karel.

"Aku serius Karel.." Fian menyelipkan rambutnya kebelakang telinga. "Ohh iya, karena kamu sudah kembali berarti aku akan pindah kamar, dimana kamarku nanti?"

Satu alis Karel terangkat, "kupikir kamu sudah terbiasa sekamar denganku, kenapa harus pindah?"

Fian menunduk, sebenarnya sih ia senang-senang saja sekamar dengan Karel tapi bukankah dirinya harus sedikit menjaga jarak.

"Memangnya kamu tidak rindu denganku? aku sudah pergi sebulan loh," Karel menaik turunkan alisnya dengan senyum menggoda. Jelas Fian membuka mulutnya lebar, sejak kapan Karel jadi genit begini. "Yahh aku rela kalau kamu ingin memelukku semalaman, jadi.. yakin ingin pindah kamar?" mata Karel mengedip hingga Fian semakin bingung.

Wajah Fian memanas dengan sendirinya, "aku tidak merindukanmu Karel, jangan terlalu percaya diri,"

Karel tertawa dan menyubit pipi Fian, "lain kali kalau bohong kompromi dulu dengan pipimu,"

"Apa? memang pipiku kenapa?" tanya Fian dengan kesal.

"Blushing,"

"Ck dasar pipi penghianat," gerutu Fian pelan namun Karel masih mendengarnya.

Karel tertawa dan meminum jus Fian hingga habis. "Jus ku.." lirih Fian dramatis.

"Apa?" tanya Karel tanpa dosa dengan wajah polosnya.

"Kenapa dihabiskan??" rengek Fian.

"Ohh.. haus," jawabnya dengan santai. Fian gemas dan langsung menghujani Karel dengan cubitan.

"Itu strawberry terakhir.. pokoknya aku nggak mau tau, kamu harus beliin aku strawberry yang banyak!!"

"Aww.. oke-oke cukup Fi, sakit.." Karel berusaha menghindar dari Fian.

"Biarin! abis ngeselin banget sih!!" Fian masih terus mencubit lengan dan pinggang Karel.

Karel menyeburkan diri ke kolam renang untuk menghindari Fian. Gadis ini benar-benar sadis kalau sedang kesal. "Turunlah, airnya segar," ajak Karel.

Fian menggelengkan kepala, "berenang saja sendiri," ketus Fian. Ia hendak berdiri namun lengannya ditarik Karel hingga ikut jatuh ke dalam kolam.

"Karel!!" jerit Fian sembari memeluk erat leher Karel.

Karel tertawa dan mengusap kepala Fian untuk menenangkan gadis itu. "Takut?" tanya pria itu dengan menyebalkan.

Fian masih menyembunyikan wajahnya dileher Karel. "Aku tidak bisa berenang," cicitnya. Karel tersenyum geli merasakan tubuh dipelukannya ini gemetar.

"Kamu tidak akan tenggelam, aku memegang pinggangmu." Fian tetap tidak peduli meski ia merasakan Karel memeluk pinggangnya. Dirinya benar-benar takut. "Percaya padaku Fian,"

Ragu Fian mengangkat kepala tanpa melepas rangkupan lengannya pada leher Karel, matanya terpejam dan perlahan terbuka. Senyum Karel menyambut Fian dengan hangat.

"Tidak terlalu burukkan?"

Fian mengerucutkan bibirnya dan memukul pelan dada Karel. "Aku benar-benar takut," gerutu Fian. Fian mengerutkan kening melihat Karel terdiam. "Apa?" tanya Fian.

"Ehh emm bajumu," ucap Karel.

Fian menunduk dan seketika ternganga, ia tadi mengenakan kaus putih dan celana pendek. Sekarang kaus putih itu terlihat menerawang, memperlihatkan dalaman yang ia kenakan. "Aaaaa Karel!!" Fian segera menutup mata Karel dengan lengannya. "Jangan liat!"

Karel tersenyum miring, "terlambat," jawabnya.

Fian membuka mulutnya tapi ia menutupnya lagi, bingung ingin bicara apa. "Emm ya.. jangan lihat lagi kalau gitu! awas yaa kalau berani!" ancam Fian.

"Oke kalau begitu kita tetap disini sampai besok," tandas Karel.

"Kenapa?"

"Kalau kamu menutup mataku begini bagaimana kita bisa naik ke atas Fianku sayang?" tanya Karel dengan nada gemas. Ia tidak sadar kalau memanggil Fian dengan panggilan itu.

Fian menelan ludahnya, pasti Karel hanya bercanda, batinnya. Fian menarik tangannya dari mata Karel. "Bantu aku naik!" Karel tersenyum dan mengangkat pinggang Fian hingga gadis itu duduk di tepi kolam renang.

Fian memandang wajah Karel yang benar-benar tampan ditambah rambut yang basah sepersi sekarang. Aishh kalau gue sampe ileran jangan salahin gue yaa ni orang pesonanya kuat banget, batin Fian menggerutu.

Tangan Fian tergerak untuk merapikan rambut Karel yang acak-acakan. "Jangan melihatku begitu!" protes Fian karena Karel masih saja mengejek Fian lewat tatapan. "Ayo naik! kamu bisa masuk angin kalau di dalam air terus,"

"Hitam? hemm bagus juga,"

Fian mengerutkan keningnya, bingung dengan ucapan Karel. "Apa yang hitam? apa yang bagus?" Karel langsung naik dan duduk di samping Fian. Tangannya menunjuk tepat di dada Fian.

Fian mengikuti arah tunjukan Karel, "Haaaaa!!! Karel!!!!" Karel tertawa dan berlari meninggalkan Fian. "Awas yaa!! dasar mesum!!" teriak Fian sembari mengejar Karel yang masuk ke dalam rumah.

"Loh loh ini apa toh.. kok basah-basahan begini!" tanya bi Peni dengan wajah bingung.

"Bi!! tangkep Karel dong bantuin Fian.." rengek Fian.

Karel menggeleng dan bersembunyi di balik Bi Peni yang memang sepantaran dengan Mariska Ibu Karel. "Jangan Bi.." bisik Karel. Karena sejak kecil Bi Peni ikut mengurus Karel jadi Karel sudah menganggap Bi Peni seperti ibunya begitupun sebaliknya Bi Peni menganggap Karel anaknya.

Bi Peni tersenyum geli, "Tuan dan Nyoya sudah dewasa tapi tingkah laku masih seperti anak-anak, sudah sana mandi dan ganti baju! Bibi buatkan teh hangat.."

Karel tersenyum miring dan bersedekap, "sana! aku akan ganti baju setelah kamu." Fian diam ditempat dan masih memandang Karel dengan kesal. "Apa? kamu ingin ganti baju denganku? aku sih oke saja," lanjut Karel. Ia senang melihat ekspersi Fian saat dirinya menggoda gadis itu.

Fian ternganga, "kamu itu kesambet apa sih?? pergi ke ustadz sana! biar dirukyah, aku nggak mau yaa serumah apalagi sekamar sama jin," gerutu Fian.

Karel mengerutkan keningnya bingung, "sembarangan!! aku baik-baik saja,"

Fian mendengus pelan, "biasanya kamukan irit banget kalau ngomong, ini baru pulang kerjaannya ngejailin aku terus," gerutu Fian.

Karel terkekeh kecil, "aku bebas melakukan apapun. Sudah sana!!" Karel mendekat pada Fian dan mendorong pelan bahu Fian agar gadis itu berjalan. "Cepat yaa ganti bajunya!"

"Iyaa bawel.." gerutu Fian. Sampai di tengah-tengah tangga Fian berbalik. "Ngomong-ngomong kamu buta warna yaa.. aku pakai dongker bukan hitam..wee.." Fian memeletkan lidahnya dan berlari ke atas. Karel tertawa dan duduk di kursi pantri menunggu Fian.

Fian menuruni tangga dengan piyama tidurnya yang lucu. Rambut panjangnya ia cepol asal dengan anak rambut bebas di pipinya. Ia duduk di kursi samping Karel dan meminum teh hangatnya.

"Bersiap tidur?" tanya Karel dengan heran.

Fian mengangkat bahunya acuh. "Malas ganti baju lagi," jawabnya. Karel kembali fokus pada cangkirnya. "Hey.. tadi kamu menyuruhku cepat, sekarang aku sudah selesai kenapa kamu tidak ke atas?" tanya Fian dengan kesal.

Karel mengikuti gaya Fian, ia mengangkat bahu. "Malas," jawabnya.

"Hey jangan macam-macam yaa.. sana ganti bajumu!" Fian mendorong Karel dengan kesal.

"Tidak mau," kekeh Karel. Pria itu justru berjalan ke ruang televisi meninggalkan tetesan air dari pakaiannya.

"Karel!!! itu airnya kemana-mana.. kamu nggak kasian sama Bi Peni!! Astagfirullah istigfar dehh gue.." Fian berlari mengejar Karel yang sedang sibuk mencari sesuatu. "Cari apa sih?"

"Ponselku," jawab Karel masih menyibak bantal-bantal yang ada di sofa. 

Fian berkacak pinggang dengan kesal, "hey ponselmu ada di kamar, mau kamu acak-acak satu ruangan ini yaa nggak akan ketemu.."

"Kenapa baru bilang?" Karel berjalan melewati Fian dan langsung menaiki tangga.

"Dasar! kamu kan baru ngasih tau kalau kamu nyari ponsel!!" teriak Fian. Rumah ini berubah ramai sejak Karel pulang.

Karel terhenti dan berbalik, posisinya persis saat Fian tadi mengatakan kalau ia mengenakan dalaman dongker. "Warnanya hitam, aku tidak mungkin salah,"

Fian mengerutkan kening, "ehh apa?"

"Bukan dongker tapi hitam, jangan bohong," lanjutnya hingga Fian mengerti.

Fian berdiri salah tingkah, ia merutuki sikap Karel yang sekarang hobi menggodanya. "Hitam dan dongker hampir sama.. wajar kalau kamu salah, aku pakai dongker," kekeh Fian.

"Hitam,"

"Dongker Karel!"

"Hitam Fian!"

"Huhhh oke-oke iya bener!!" pasrah Fian. Karel memang tidak bisa dibohongi semudah itu.

"Kenapa bohong?"

Fian mengerucutkan bibirnya, "aku malu.."

Karel memutar matanya, "aku pernah melihat lebih dari itu, ingat saat malam pertama kita menikah?" tanya Karel mengingat saat Fian menggunakan lingeri di malam pertama mereka sekamar.

"Ehh ohh maaf Tuan, Nyonya saya permisi dulu," Meri yang awalnya ingin ke dapur langsung berbalik karena tidak sengaja mendengar sesuatu yang tidak harus dia dengar.

Oke awkward moment in here. Meri salah paham dan Karel Fian salah tingkah. Fian langsung kembali ke ruang tv dengan wajah merah padam sedangkan Karel langsung ke kamar dengan wajah memerah.

🍁🍁🍁

"Ini semua gara-gara Karel! malu banget gue..." decak Fian sembari memegang kedua pipinya sendiri. Saat ini ia memilih pergi keluar rumah menunggu tukang sate langganannya.

Meri melambai dari depan pintu rumah. "Nyonya ngapain? masuk yuk.. di cari tuh sama Tuan,"

Fian menggeleng tegas, "aku mau nungguin sate Ri.."

Meri menghela nafas dan berjalan mendekati Fian, "nanti biar saya yang beliin, Nyonya masuk aja sekarang,"

"Nggak mau.. udah sana kamu aja yang masuk, bilang sama Karel kalau aku lagi nunggu sate, ohh iya itu tadi yang kamu denger.. jangan salah paham yaa,"

Meri mengerutkan keningnya bingung dengan ucapan majikannya itu. "Maksudnya? salah paham apa yaa?"

"Itu lohh yang kamu denger tadi itu enggak kaya apa yang kamu pikirin," jelas Fian.

Meri tersenyum, "emang apa yang saya pikirin?"

Shoot, Fian terdiam dengan wajah yang semakin memerah. "Ihh pokoknya jangan mikir yang enggak-enggak yaa,"

"Haha Nyonya ini gimana sih, kan kalian udah suami istri jadi wajar dong.." Meri mengedipkan matanya. Fian mengerucutkan bibirnya, semuanya karena Karel.

"Ck Karel bener-bener bikin malu," gerutunya.

Meri kembali tertawa dan menggelengkan kepala. "Yaudah saya masuk dulu ya.." pamitnya sebelum berbalik masuk ke dalam rumah.

Fian menyandarkan tubuhnya di tembok pagar rumah. Sebentar lagi pasti tukang sate itu akan lewat.

Tidak ada sepuluh menit gerobak yang Fian kenal muncul di depan gang. Seperti biasa, Fian langsung melambaikan tangan dan tersenyum cerah.

"Ehh mbak Fian udah nunggu.." sapa Johan dengan ramah saat tiba di depan Fian.

"Hehe iya dong.. bentar yaa saya ambil piring dulu." Fian segera berlari masuk ke dalam rumah.

Lari Fian yang grasak grusuk membuat Karel yang sedang duduk di pantri dengan laptopnya terganggu. "Hey! ada apa?"

Fian mengabaikan Karel dan sibuk mencari piring. "Ri.. tempat piring yang gede dimana ya?" tanya Fian sedikit berteriak.

Meri dengan cepat menghampiri Fian dan membuka lemari teratas. "Nyonya kenapa nggak teriak aja biar saya yang ambilin?" tanya Meri.

Fian meringis dan terkekeh sendiri, "nggak mau ngerepotin.. ohh iya Ri, kamu mau sate nggak?"

Meri menggeleng, "saya makan nasi aja.." Fian mengangguk dan langsung berlari keluar.

"Fian! jangan lari, kamu bisa jatuh!" teriak Karel.

Meri tertawa pelan, "biasa Tuan.. Nyonya itu orangnya energik banget,"

Karel mendengus, Fian memang selalu begitu. Seenaknya dan ceroboh tingkat tinggi. Karel menutup laptopnya dan pergi menyusul Fian ke depan.

"Mbak Fian cerah banget wajahnya.. lagi seneng ya?" ledek Johan.

Fian terkekeh geli, "sok tau kamu.. ehh bumbunya jangan pedes-pedes yaa.."

"Siap mbak.." Johan hormat dengan tubuh tegak dan kembali tertawa dengan Fian.

Ehemm, dehaman itu membuat Fian dan Johan menoleh. Johan mengerutkan keningnya. "Mas itu siapa mbak?"

"Suami aku, hehe baru balik dari tugas.."

Johan tersenyum dan mengangguk pada Karel. "Pantes ceria banget dari tadi," bisik Johan.

Fian mencibir dan memukul bahu Johan. "Apaan sih? orang biasa aja.." jawab Fian sedikit munafik.

Karel berdiri di dekat Fian dan merangkul bahu gadis itu. "Jadi kamu memilih tukang sate daripada aku?" bisik Karel.

Fian melirik sinis, "apaan sih! udah sana tunggu di dalem aja," usirnya. Karel mencibir, Fian terlihat akrab dengan Johan yang terluhat masih muda dan bertampang lumayan.

"Pantas tadi sampai lari-lari begitu." Karel menggerutu sembari berjalan mendekati pos tempat Ucup berjaga.

"Karel tu kenapa si," keluh Fian.

Johan tertawa geli, "cemburu itu mbak,"

Fian menaikan satu alisnya, "jangan ngaco! suamiku itu nggak punya perasaan sesentimentil itu.." ucapnya dengan geli.

Johan memberikan satu piring sate pesanan Fian. "Makasih ya.. mudah-mudahan hari ini kamu jualannya lancar.."

Johan mengangguk, "makasih mbak.. yaudah permisi dulu salam buat suami mbak hehe,"

Fian berbalik dan melangkah masuk melewati Karel yang masih bicara dengan Ucup.

"Kamu terlihat akrab dengan orang itu," Karel ternyata ikut masuk saat Fian melewatinya tadi.

"Yahh gitu deh, dia ngingetin aku sama Aldo." Fian melipat kakinya dan mencari posisi nyaman di sofa. Karel ikut duduk di sampingnya. Mata Karel tidak lepas dari wajah Fian yang berubah murung. "Jadi inget dulu kalau ada masalah apa-apa aku pasti cerita sama Aldo, dia adik yang bisa diandalkan.."

"Aku bisa menemanimu ke Solo kalau kamu merindukannya,"

Fian tersenyum, ia mengambil satu sate dan mengulurkannya pada Karel. "Buka mulutmu, ini enak.." ucap Fian dengan yakin. Karel membuka mulut dan Fian menyuapinya.

"Johan itu seumuran dengan Aldo, ohh iya apa di kantor ada lowongan untuknya?"

Karel menggeleng, "aku tidak bisa menerimanya hanya karena dia akrab denganmu,"

"Hey dia punya keahlian, kamu tau? dia itu kuliah juga, dia dapat beasiswa dan untuk menyambung hidup disini dia harus jualan sate.. dia hanya dapat sedikit uang karena usaha sate itu bukan miliknya," Fian menghela nafas. "Aku cuma membayangkan kalau Johan itu Aldo," lanjutnya dengan lesu.

"Suruh dia untuk datang ke kantor besok," ucap Karel.

Fian mendongak, matanya berbinar senang. "Serius??? aahhh kamu memang baik.." Fian memeluk Karel, bosnya ini sebenarnya memang baik meski kadang galak.

Karel terdiam, ia merasakan hangat tubuh Fian yang menempel padanya. Wangi lemon segar khas Fian membuat Karel nyaman. Perlahan lengan Karel tergerak mengusap kepala Fian yang masih memeluk Karel.

🍁🍁🍁

Pagi ini Fian masih tertidur pulas sedangkan Karel sedang tergesa-gesa mengenakan kemeja. Orang ini memangnya sudah lupa kalau harus kerja, batin Karel.

Semalam mereka tidur pukul satu malam karena Fian minta ditemain nonton film horor. Alhasil pagi ini Karel harus terburu-buru karena bangun pukul setengah tujuh.

Ketukan pintu mengambil alih pikiran Karel. "Tuan ini sudah jam tujuh, sarapan sudah siap di bawah," suara bi Peni.

Karel berjalan cepat ranjang, tangannya menepuk pelan pipi Fian. "Hey bangunlah, ini sudah siang,"

Fian bergumam kecil, "lima menit lagi,"

"Ini sudah jam tujuh,"

Mata Fian yang awalnya tertutup rapat langsung terbuka lebar. "Jam berapa?" tanya Fian untuk memastikan pendengarannya. Karel menarik Fian agar gadis itu duduk dan melihat jam tangannya. "Yakk!! gawat!!! bisa diomelin bos nihh.." Fian langsung meloncat dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi.

"Hey! kalau kamu lupa, aku bosmu," ucap Karel dengan geli.

Fian menghentikan rutinitas sikat giginya. Ia menepuk keningnya sendiri. Bodohnya dia yang lupa kalau sekarang bosnya adalah suaminya sendiri.

Sepuluh menit cukup untuk Fian membersihkan diri. Ia segera bersiap-siap dan turun ke bawah. Di ruang makan Karel sudah duduk sembari memakan roti tawar dengan selai coklat.

Fian menarik roti tawar yang ada di genggaman Karel lalu memakannya dengan santai. "Kamu bikin lagi aja yaa hehe.." dengan cepat ia kabur keluar. Karel hanya menggelengkan kepala dan mengambil roti tawar tanpa selai untuk dirinya.

Fian sibuk menyisir rambutnya. Matanya terus menatap kaca di hadapannya. Perlahan ia memoleskan bedak tipis untuk wajahnya.

"Apa?" tanya Fian saat Karel sesekali melirik ke arahnya meski saat ini pria itu sedang menyetir.

"Apa aku perlu berhenti?"

Fian menggeleng, "aku sudah biasa begini setiap bangun kesiangan." Sebelum menikah Fian memang sering make up di dalam taxi karena takut datang setelah Karel datang.

Tiba di kantor Karel dan Fian langsung masuk dengan diiringi tatapan dari para karyawan yang berada di lobby.

Setelah masuk di lift kusus Fian langsung berkacak pinggang. "Mereka kenapa sih? emang ada yang aneh sama wajahku?" sewot Fian.

Karel mengangkat bahu cuek, terserah mereka ingin melakukan apa selama itu tidak mengganggu dirinya dan Fian.

Sebelum masuk ruangan Karel berhenti di meja Fian. "Nanti sebelum makan siang ke ruanganku dulu," pesan Karel sebelum masuk.

"Kamu mau minum apa?" tanya Fian.

"Pak, ini di kantor."

Fian mendengus, "oke sorry bos, Bapak ingin minum apa?"

Karel tersenyum kecil, sedikit geli melihat wajah terpaksa Fian. "Apa saja yang dibuatkan oleh istri tercinta," canda Karel.

Fian ternganga sebentar. "Wuekkk mual.. udah sana masuk!" usir Fian dengan wajah memerah. Karel terkekeh geli dan langsung masuk ke ruangannya.

Tidak butuh waktu lama untuk Fian tenggelam dalam pekerjaannya. Seluruh data yang Karel butuhkan besok sedang ia kerjakan dengan teliti.

"Kak Fian.." panggil seseorang.

Fian mendongak, "lohh Kinan.. ko kesini nggak bilang?" tanya Fian kaget.

Kinan tertawa dan duduk di sofa yang berada di depan ruangan Karel. "Nggak boleh yaa Kak? aku kangen sama Kakak,"

Fian tertawa, "baru juga satu bulan nggak ketemu.. ohh iyaa Mama gimana kabarnya?"

"Baik Alhamdulillah, ohh iya Kak Karel ada di dalam?"

"Ada tuh, mau Kakak panggilin? atau kamu mau masuk aja?"

Kinan mengetuk jarinya di dagu, "kira-kira ganggu dia nggak yaa?"

Fian tersenyum, "nggak akan, emang ada apa sih? jadi penasaran,"

"Hehe aku mau ngenalin pacar ke kak Karel." Kinan tersenyum cerah, "Kakak ku itu selalu bisa nilai orang, jadi aku mau minta pendapat aja sama dia,"

"Hemm yaudah ayok masuk," Fian mengajak Kinan masuk ke ruang Karel. Di sana, di kursi kebanggaannya Karel sibuk memandangi laptopnya. "Misi Pak, ada yang ingin bertemu Bapak," ucap Fian.

Kinan terkekeh geli, "kalian apaan sih, udah suami istri masih aja seformal itu,"

"Hehe tuh Kakak kamu yang nyuruh, katanya ini di kantor," dengus Fian.

Karel ikut mendengus, ia bangkit dari kursinya dan merangkul pinggang Fian. "Ada apa kamu kemari?" tanya Karel pada adiknya itu.

"Aku mau kenalin pacar aku ke Kakak, nanti malem Kakak sama Kak Fian dateng ke rumah yaa.." pinta Kinan.

Karel mengerutkan keningnya, "pacar atau calon suami?"

Kinan terkekeh, "yaa ya bisa dibilang calon suami,"

Seperti biasa Karel bisa menebak pikiran adiknya. Karel menghampiri Kinan dan mengacak rambut adik kesayangannya itu. "Iya kakak datang, sekarang pulanglah siapkan semua untuk calon suamimu itu."

"Siap Kak, thanks yaa.." Kinan mencium pipi Karel dan langsung pergi meninggalkan Karel dan Fian.

"Nanti kita langsung ke rumah Mama saja," ucap Karel.

"Loh bajuku di rumah,"

Karel menghela nafas, ia kembali duduk di kursinya. "Duduk," suruh Karel.

Fian duduk di kursi yang berada di depan meja Karel. "Apa?"

Karel mengeluarkan dompetnya dan mengambil kartu kredit platinum dan menyerahkannya pada Fian. "Gunakan sebaik-baiknya untuk kebutuhanmu dan kita," ucap Karel.

"Ehh apa ini? aku punya uang sendiri,"

"Uangmu adalah milikmu, uangku adalah uang kita, terserah kamu mau menggunakan uangmu untuk apa, tapi kebutuhanmu dan rumah tangga kita adalah tanggung jawabku,"

Fian terdiam, "okee tapi jangan salahkan aku kalau kamu bangkrut,"

Karel tersenyum kecil, "kalau aku bangkrut kamu akan ikut jatuh, sudah sana istirahatlah, cari gaun untuk malam ini ajak Putri kalau kamu tidak ingin sendiri,"

"Loh pekerjaanku?" tanya Fian dengan bingung.

Karel mengibaskan tangannya, "itu bisa diurus Yuki," ucap Karel yang sudah kembali sibuk dengan pekerjaannya.

Fian menghela nafas, sepertinya sejak jadi istri Karel pekerjaan yang dilimpahkan padanya dikit padahal dulu sebelum menikah pekerjaan rasanya tidak berhenti datang.

Kaki Fian melangkah dengan pasti menuju bagian Putri bekerja. Senyum ramahnya mengembang untuk para karyawan yang menyapa dirinya.

"Oh Bu Fian.. mau panggil Putri ya?" tanya atasan Putri.

Fian mengangguk, "tadi udah izin Karel, ehh Pak Karel," koreksinya. Aissh tau begini lebih baik gue panggil Pak Kerel juga kalau di rumah, gerutu Fian yang sudah biasa memanggil Karel tanpa embel-embel Pak.

"Haha susah yaa manggil suami dengan sebutan Pak?" Fian hanya tersenyum menanggapinya. "Sebentar yaa Bu.. saya panggilkan dulu Putrinya,"

Lima menit berlalu hingga Putri datang menghampiri Fian. "Ngapain lo?" tanya Putri penasaran.

"Hehe temenin gue nyari gaun buat ntar malem," Fian menarik lengan Putri dan mereka berjalan menuju lift.

"Bos udah balik ya?"

"Yoi.. lo harus tau, sifatnya berubah seratus delapan puluh derajat," celoteh Fian.

"Maksud lo?"

Fian tersenyum geli, "dia hobi gangguin gue.. geregetan sih tapi bagus lahh daripada dia kaya patung,"

Putri tertawa dan menoyor kepala Fian, "sembarangan lo!! bagus lah siapa tau itu sinyal,"

"Cihh sinyal apa? nggak ada sinyal-sinyalan.. lagi pending,"

"Haha bego! otak lo tuh yang pending," ledek Putri.

Mereka berdua keluar dari lift dan berpapasan dengan Rain yang sedang bicara santai dengan Cakra.

"Ehh tu cewek uler ngapain deket-deket doi gue??" tanya Putri dengan emosi.

Fian mengikuti arah pandangan Putri. "Ehh iya tu cewek! emang nggak ada otaknya tu orang!!"

Putri menoleh pada Fian, "sesama nggak punya otak jangan saling ngehakimin,"

Fian mengerucutkan bibirnya, "jahat lo.."

"Ck lo usir gih Fi.. lo kan bu bos," suruh Putri.

Fian menggeleng kuat, "nggak berani gue.. bisa ditempeleng nanti kalau Karel tau gue ngusir si pujaan hati," keluh Fian.

"Lo takut?" tanya Putri.

Fian mengangguk polos, "badan gue kalah jauh sama Karel, kalau berantem nggak bakal menang, emang lo berani?"

Putri menggeleng, "nggak sih hehe gue juga takut." Fian langsung menjitak kepala Putri.

Rain menoleh karena ada keributan, matanya menatap teduh Fian dan Putri. "Hay," sapanya.

Hay-hay gigi lo copot, batin Fian. "Hemm, ada apa Rain?" tanya Fian to the point malas untuk berbasa-basi ria.

"Ohh ada keperluan sama Karel, Karel ada kan?" tanya Rain.

"Ada sih, tapi kayanya tadi sibuk banget," jawab Fian dengan cuek.

Cakra mengangguk setuju, "Pak Karel memang sibuk, perusahaan di Bengkulu butuh perhatian khusus,"

Fian tersenyum kecil, keadaan mendukungnya. "Kan bener, lo kalau mau ketemu Karel besok-besok aja deh," ucap Fian pada Rain.

Putri mengangguk, "bener Bu, kasian bos kalau lagi pusing kerja diganggu," tambah Putri yang memasang wajah pura-pura serius. Fian mengangguk setuju.

Rain tersenyum kecil, "hanya sebentar, aku yakin Karel nggak akan terganggu.. yaudah aku langsung ke atas yaa." Rain berjalan melewati Fian begitu saja.

"Woy lo kenapa diem aja?? sono susul!" teriak Putri. Fian mengerjapkan mata, ia langsung berlari mengikuti Rain.

Cakra mengerutkan keningnya, "kamu ini kenapa Put?"

Putri menoleh pada Cakra, ia baru sadar kalau sekarang hanya berduaan dengan pria itu. "Ehh itu Pak, sa-saya emm sayaharusketoiletpak.." Putri bicara cepat tanpa jeda dan langsung kabur ke toilet karena salah tingkah.

Fian pontang-panting mengejar Rain. Ia heran, kenapa Rain bisa berjalan secepat itu. Apakah karena kaki Rain panjang dan kaki Fian pendek.

Nafas Fian berkejaran, ia mengatur nafasnya sebelum masuk ruangan Karel. Tangan Fian terhenti di handle pintu. Dirinya tidak tau apa yang ada di balik pintu ini, apakah Karel sedang berpelukan, berciuman atau bahkan lebih.

Kepala Fian menggeleng keras, ia menghela nafas sekali lagi dan langsung membuka pintu dengan memejamkan mata.

"Fian?"

Fian membuka matanya perlahan dan mendapati kedua orang di hadapannya memandang dirinya dengan wajah bingung.

"Ehh.. hay," sapa Fian dengan canggung.

Karel menggelengkan kepala, ia mengambil sapu tangan di kantungnya dan mengusap kening Fian. "Kamu lomba lari dimana?" sindir Karel.

"Aku abis ngejar maling, bukan lomba lari," jawab Fian dengan ketus.

Karel menyentil kening Fian hingga gadis itu mengaduh. "KDRT!!" teriak Fian.

"Mulutmu itu.." gemas Karel menyubit pipi Fian. "Sudah sana suruh OB siapkan minum untuk Rain,"

Fian menggeleng, "malas, aku harus pergi ke butik.. kamu suruh saja yang lain,"

Karel tersenyum miring, "terus kenapa kamu di sini?"

"Aku cuma mau mengingatkan, kalau kalian berduaan nanti yang ketiganya setan, udah gitu aja cukup sekian dan terima kasih," Fian langsung berbalik dan kabur tanpa menutup pintu.

Otak Fian terus berfikir yang tidak-tidak. Sebenarnya ia ingin tetap di sana dengan Karel tapi ia takut kalau Karel menjadi risih. Perkembangan hubungan dirinya dengan Karel sudah bagus dan ia tidak ingin merusak itu hanya karena Rain.

Putri melihat Fian yang sudah keluar dari lift. "Woy sini.." panggil Putri.

Fian menghampiri Putri dengan lesu. "Ayo Put," ajak Fian.

"Ck udah.. jangan lemas gitu, nanti malem lo harus make up yang cantik biar bos klepek-klepek. Oke??"

Fian terkekeh pelan, "oke-oke," untung ia memiliki sahabat seperti Putri. Meskipun kadang menyebalkan tapi Putri selalu bisa membuat Fian terhibur.

🍁🍁🍁

See you in the next chapter guyss 😉😘😘



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro