12. Honeymoon in Bali
Hayy guys.. maaf baru bisa update karenaa yahh begitu lah, terima kasih yang udah setia nunggu fian dkk :D
Langsung aja yaaa happy reading ^^
**********
Fian POV
"Apa?" tanyaku dengan mengubah wajah takutku menjadi wajah sepolos mungkin agar Karel tidak mengamuk. Yang kuharap sekarang adalah Karel menghajar Gavyn.
Karel menghela nafasnya, ia menarikku hingga sekarang aku berada di belakangnya. Yahh baguslah, akukan tidak ingin berada di tengah dua orang yang ingin berkelahi. Bukan apa-apa, badan mereka berdua itu besar, sedangkan aku? huhh bisa-bisa aku tidak sengaja terinjak. Ohh my god, apa-apaan aku ini, fokus Fian fokus. Aku menggelengkan kepala berkali-kali seolah sedang mengusir lalat yang berada di dekatku.
"Kamu kenapa?"
"Ehh?" tanyaku dengan gaya yang asli, pasti sangat terlihat bodoh.
"Itu kenapa kamu menggelengkan kepala terus? apa kepalamu masih pusing?" Karel mengerutkan keningnya semakin dalam. Heyy kenapa dia memperhatikanku, bukankah tadi dia ingin bertengkar dengan pria gila itu.
Aku nyengir bodoh di depannya. "Emm tadi ada lalat, yaa.. lalat," mataku berputar seolah mencari lalat yang sebenarnya hanya ada di khayalanku saja.
Karel masih menatap curiga padaku tapi setelah itu dia kembali memfokuskan diri pada pria gila yang saat ini sedang tertawa geli melihatku. Yaa yaa wajar, aku memang terlihat bodoh tadi. Tapi itukan semua karena pria itu.
"Jangan ganggu istriku, aku sudah memperingatkannya semalam. Apa kau tuli?" tanya Karel dengan suara dingin yang membekukan sekitar. Aku saja merinding mendengar kata-katanya.
Pria gila alias Gavyn itu justru tersenyum sinis seolah tidak takut mati. "Lebih tepatnya hanya tamengmu! Fian bukan istrimu." Telak, kata-kata itu menamparku dengan kencang. Rasanya aku ingin mencincang pria ini.
Aku maju dengan berani, mendorong bahu pria itu dengan sekuat tenaga. Yahh bisa ditebak hasilnya pria itu hanya tergerak ke belakang sedikit.
"Kau ini siapa heh?? aku tidak mengenalmu jadi tolong jangan ganggu kami!" teriakku tepat di depannya.
Teriakan itu membuat kami menjadi pusat perhatian. Hah aku sudah tidak peduli dengan respon orang-orang. Mataku menatap tajam pria ini tapi pria gila ini memang sepertinya tidak punya otak. Sekarang yang ia lakukan hanya tersenyum padaku. Cihh dia pikir senyuman itu manis, aku justru muak melihat senyumnya.
"Fian, jangan terpancing!" bisik Karel yang ternyata sudah berdiri di sampingku. Aku melirik kesal pada Karel. Siapa yang tidak terpancing, harga diriku terasa diinjak saat Gavyn mengatakan aku hanyalah tameng yahh meskipun itu benar.
"Saya rasa Anda mendengarnya, istri saya sudah menolak Anda berkali-kali jadi tolong pergi dan jangan ganggu dia," dengan suara lantang dan tegas namun santai Karel mengucapkan itu. Aku yakin orang-orang yang berada di sekitar kami bisa mendengarnya dengan jelas.
Wajah Gavyn terlihat sedikit memerah. Ia mengangguk menyapa orang-orang yang menatap sinis padanya. Hampir saja aku tertawa melihat reaksinya. Karel jenius, tanpa harus mengeluarkan tenaga ia memukul habis Gavyn.
Karel kembali merangkul pinggangku untuk berjalan menjauh. Dari balik punggung Karel. Aku berdada ria untuk meledek Gavyn.
"Fian.." geram Karel saat melihat tingkahku. Aku tersenyum dan langsung bersandar manja pada Karel.
Perjalanan yang singkat, hingga kami berdua menginjakan kaki di pulau dewata. Bali tempat ini selalu memiliki daya tarik sendiri untuk menarik orang-orang agar mengunjunginya. Semua sudah dipersiapkan dengan baik oleh ibu mertuaku. Resort indah dan mewah dekat pantai yang kujamin harga sewanya pasti memiliki banyak angka nol dibelakangnya. Oh membayangkan untuk menginap di tempat sebagus ini saya tidak pernah.
"Wahh.." gumamku. Terserah orang mau berpikir aku kampungan atau apalah. Toh aku memang kagum dengan tempat ini. Aku bukan orang kaya yang akan menghabiskan uang hanya untuk berlibur dan menyewa tempat sebagus ini. Jika memiliki uang banyak maka aku akan lebih memilih menabung untuk keperluan sekolah adik-adikku.
"Masuklah, aku harus menelpon seseorang," ucap Karel sembari membuka pintu untukku. Huhh pasti dia akan menelpon Rain. Aku hanya mengangguk dan segera menyeret koperku ke dalam.
Di luar sangat indah dan di dalam tidak kalah indah. Nuansa romantis sangat kental di kamar ini. Ibu mertuaku memang benar-benar mertua idaman.
Aku berjalan untuk melihat-lihat kamar ini.
"Istirahatlah, satu jam lagi kita akan makan,"
Suara Karel membuatku menoleh, ia sedang duduk di ranjang dan menggulung kemejanya hingga siku. Aku tersenyum, mengingat saat kami sedang berada di apartemenku dan saat itu aku sangat terpesona olehnya ohh sekarangpun aku masih terpesona dengan gayanya yang cool itu.
"Menelpon Rain?" tanyaku sembari duduk di kursi meja rias yang tak jauh dari ranjang.
Karel menoleh, ia menghembuskan nafasnya. "Bukan, aku tadi mengabari Mama kalau kita sudah sampai." Kepalaku mengangguk, sejenak ada rasa lega yang aku tidak mengerti.
Kami terdiam canggung hingga aku memilih untuk menatap wajahku sendiri di cermin. Meneliti apakah penampilanku masih rapi.
"Karel.." aku bergumam masih dengan memandang pantulan wajahku.
"Hemm,"
"Apa selama seminggu di sini kita hanya akan berdiam diri di kamar?" tanyaku.
"Apa yang kamu mau?" pertanyaan Karel membuatku mengerutkan kening bingung.
"Maksudnya?"
Karel memutar matanya, wajahnya terlihat sedikit kesal. "Apa yang mau kamu lakukan selama di sini Fian Airish Bella???"
"Ehh? emm aku ingin jalan-jalan di pantai, melihat sunsetsan sunrise, melihat bintang, makan malam dengan nuansa yang yahh romantis, berbelanja, berfoto, dan.." aku menggigit bibirku sejenak, mencoba untuk berfikir.
"Cukup. Kita lakukan apa yang ingin kamu lakukan, sekarang istirahatlah. Kamu tidak akan menghabiskan waktu seharian untuk berkaca kan?" mulutku ternganga. Dia bilang apa tadi? melakukan apa yang aku inginkan? apa tadi saat menelpon mama dia membentur pohon besar di luar, atau pohon besar itu memiliki jin dan merasuki Karel.
Apapun itu entah terbentur atau kerasukan aku harus berterima kasih. Setidaknya Karel tidak secuek biasanya dan aku terbebas dari ancaman berdiam diri di kamar selama seminggu. Bayangkan saja, memangnya aku mau mencari ilham.
Satu jam berikutnya Karel mengajakku pergi ke restoran yang berada di pinggir laut, suasananya sangat nyaman disini. Angin sore ini berhembus menerpa halus wajahku. Rambutku yang tadinya tersisir rapi kini sudah berantakan.
Karel terlihat serius memilih menu makanan disini.
"Aku mau kepiting asam manis, udang bakar madu dan.." aku melihat-lihat lagi buku menu yang ada di depanku. "Cumi cabe hijau deh, minumnya.. emm apa yaa.. jus jeruk sama es kelapa,"
Saat mendongak kulihat Karel menatap geli kearahku, lohh memang ada yang salah dengan pesananku.
"Tenderloin Steak dan espresso,"
"Steaknya ingin rare, medium atau well done?" waiters itu terlihat berbinar melihat Karel. Cihh memangnya dia tidak melihat ada aku di dekat pria ini.
"Medium well done," singkat dan datar. Haha rasakan, memangnya enak.
Gadis muda itu menunduk lesu dan pamit tapi kurasa Karel tidak peduli atau memang tidak sadar. Ohh yaa Karel memang selalu cuek dengan sekitar. Aku lupa mengenai fakta itu. Iya fakta bahwa Karel adalah si pria datar.
Tidak lama pesanan kami datang, mataku berbinar melihat makanan yang begitu menggiurkan. Perutku rasanya lapar sekali. "Terima kasih," ucapku dengan semanis mungkin. Setelah itu tanpa banyak bicara aku langsung melahap makanan di depanku.
Semua makanan ini enak, yahh tapi sayang harganya mahal. Jika bukan dengan Karel aku tidak akan mau makan disini.
"Emm udangnya enak," aku mengulurkan udang yang masih tertusuk rapi seperti sate pada Karel. "Coba.."
Karel mengerutkan kening sekilas namun tanpa bicara ia membuka mulutnya. "Enakkan??" tanyaku setelah Karel mengunyah udang itu. Karel mengangguk dan lanjut memakan makanannya.
"Karel aku mau itu.." pintaku sembari menunjuk steak milik Karel.
"Pesan saja lagi," jawabnya dengan santai dan datar. Gubrak, dasar sekali datar tetap saja datar.
Aku menarik kursi agar lebih dekat dengan Karel. "Coba sedikit aja, cuma penasaran," aku memasang wajah semanis mungkin agar Karel mengabulkan permintaanku.
Karel menghela nafas mungkin dia kesal, ia memotong steak itu dan menyuapiku. Wow, saat mengunyah aku merasakan rasa steak ini pecah. Ini benar-benar enak, aku mau ini.
"Emmm enak-enak.. Karel aku mau ini, kamu yang itu saja yaa.." aku menunjuk makanan yang tadi kupesan. Aku memasang wajah puppy eyes, biasanya ayah dan ibu akan luluh karena wajahku ini.
Karel menggeleng pelan, ia memotong-motong steaknya lalu menggeser tempat makan itu di depanku.
"Makanlah," singkat hanya itu tapi aku tersenyum lebar. Meski irit bicara tapi sikapnya ini sangat manis. Pantas Rain tidak ingin melepas Karel yahh meski sikapnya itu sangat salah karena menghianati suami dan anak-anaknya.
Usai makan kami berjalan-jalan sore di tepi pantai. Di sini banyak pasangan bulan madu seperti kami tapi yahh tentu saja bulan madu asli, melihat wajah bahagia keduanya.
Mataku menatap iri pasangan yang sekarang sedang berjalan di depan kami. Tangan mereka yang bertautan, si pria yang tidak bosan mengusap kepala si wanita. Huhh jika aku merangkul lengan Karel mungkin aku akan ditendang olehnya. Ini bukan di Jakarta tempat kami berpura-pura sebagai pasangan romantis.
"Kenapa wajahmu begitu?" tanya Karel.
"Hah?" memangnya kenapa dengan wajahku. Aku meraba wajahku sendiri. "Memangnya kenapa dengan wajahku?"
Karel mengulurkan iphone milikinya padaku, di layar ponsel itu terlihat wajahku yang cemberut berat melihat pasangan di depan kami. Aku melirik kesal Karel, sempat-sempatnya dia mengambil fotoku, kenapa tadi aku tidak sadar. Aku menarik nafas kemudian menggeleng pelan, tidak mungkin aku bicara jujur padanya.
Kami berhenti berjalan, Karel memandang hamparan air berwarna biru dengan langit yang mulai mengeluarkan gradiasi berwarna orange. Aku ikut menikmati pemandangan indah di depanku, senyumku mengembang sempurnya. Mataku terpejam menikmati angin yang mengusap lembut wajahku.
"Pesan apa yang dikirim Gavyn untukmu?" Aku menoleh kaget, kupikir dia sudah lupa. "Kamu tidak berpikir kita tidak akan membahas ini kan," lanjutnya dengan tenang. Karel memasukan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana. Ohh pemandangan yang sangat indah perpaduan dari alam dan manusia ini.
Rambut Karel tergerak ditiup angin, matanya tenang memandang pantai. Mata itu, selalu sulit untuk aku membacanya. Karel tiba-tiba menoleh membuatku sedikit terkesiap, "emm ehh cuma pesan iseng, kamu tau Gavyn itu gila.."
"Apapun itu berhati-hatilah, Gavyn bisa menjadi monster yang menyeramkan jika dia mau," penjelasan itu membuatku mengerutkan kening bingung tapi tidak bicara apapun. Yahh aku memang harus hati-hati dengan pria itu.
Sisa waktu kami habiskan dengan menikmati sunset. Tidak seperti yang dibayangkan, berpelukan mesra sembari melempar senyum. Kami hanya berdiri berdampingan, menikmati sang mahkota langit hilang menuju peraduannya.
Sebenarnya aku bosan, hanya diam tanpa bicara apapun tapi yahh aku hanya bisa menerima tanpa banyak protes.
"Ayo.. aku ingin istirahat," ucapku dengan lesu. Kepalaku menunduk lemas, berjalan menuju resort yang tidak jauh dari sini.
"Bukankah kamu ingin melihat bintang?"
Siapa yang mau berdiam diri seperti patung sembari melihat bintang. Aku butuh teman untuk bicara juga. "Besok, kalau aku sudah punya teman," ketusku.
-----
Kami tiba di kamar dan aku langsung memutuskan untuk mandi. Yahh setelah itu mungkin tidur adalah aktivitas terbaik.
Tidak lama, hanya 30 menit aku sudah rapi dengan piama tidurku. Aku melangkah ke ranjang berukuran king size itu lalu merebahkan diri. Nyaman sekali, sepertinya tidak butuh waktu lama untuk tertidur di ranjang senyaman ini.
Aku bergulung di selimut putih yang lembut ini. Tersenyum menikmati aroma ruangan ini yang segar.
"Geser,"
Ehh, aku menoleh ke sumber suara. Karel berdiri tegak dengan laptop di tangannya. Aku baru menyadari kalau aku sudah menguasai ranjang luas ini sendiri.
"Kamu tidur di sini?"
"Ya.. sofa itu sama kecilnya dengan yang kemarin," ohh kurasa tubuhnya yang terlalu besar.
"Tapi.."
"Apa? aku suamimu aku berhak tidur seranjang denganmu bahkan lebih." Wajahku langsung memanas mendengarnya bicara begitu. Kulihat senyum tipis diwajahnya, ohh tentu dia sedang menjailiku. "Tenang, aku tidak akan melakukan apapun,"
Aku bergeser, lebih baik tidak banyak bertanya jika orang itu Karel. Lagipula yahh diluar ucapan jailnya itu sebenarnya dia benar. Dia berhak untuk tidur bersamaku.
Karel duduk dan bersandar di sandara ranjang ini, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard laptop di hadapannya.
"Laporan bagian produksi minggu kemarin baik," gumamku yang ikut duduk di samping Karel sembari menatap layar laptop miliknya.
"Yaa, semua baik. Entah satu minggu kedepan saat mereka lepas dari pengawasanku," Karel memijat keningnya.
"Semua pasti baik-baik saja Karel, kamu harus belajar mempercayai mereka seperti mereka percaya kamu,"
Karel menoleh padaku dengan tatapan bertanya.
"Jangan bilang kalau kamu tidak sadar?" aku tersenyum mengejek saat wajah bingung Karel langsung kembali berubah datar. "Perusahaan kamu bukan perusahaan yang asal menerima karyawan begitu saja, setiap ingin masuk mereka harus melewati seleksi ketat dengan pesaing berat yang berotak cerdas. Mereka bisa saja melamar pekerjaan di perusahaan lain yang lebih mudah, tapi tidak.. mereka memilih perusahaan milikmu. Karena apa? karena mereka percaya perusahaan itu dipimpin oleh seorang yang hebat bernama Karel Gibran Rajendra, mereka percaya bahwa kamu bisa menjalankan perusahaan dengan baik hingga mereka menggantungkan hidup di perusahaanmu,"
Karel diam, ia mengusap rambutnya yang tadi berantakan karena angin. "Bisa saja mereka memilih perusahaan kita karena gaji,"
Perusahaan kita? maksudnya aku juga adalah pemilik perusahaan besar itu? oh sudahlah tidak penting. "Pikiran negativ, Karel.. di dunia ini tidak semua tentang uang. Percuma kamu mendapat gaji besar tapi tidak nyaman saat bekerja. Kamu tau? kamu memang datar dan dingin tapi selama aku menjadi sekretarismu aku belum pernah mendengar kamu membentak atau menghina pekerjamu, kamu selalu menghargai jeri payah mereka apapun hasilnya, mungkin itu juga yang membuat mereka nyaman bekerja denganmu,"
Karel tersenyum padaku dan mengangguk. Setidaknya saat ini meski Karel dingin kepada orang lain tapi dia bisa bersikap hangat padaku.
"Istirahatlah, aku ingin mandi. Setelah itu kita makan malam,"
"Karel.." panggilku. Karel kembali padaku dengan mengangkat alis tebalnya. "Emm makan malam di kamar saja ya.. aku malas keluar," pintaku dengan senyuman.
Karel balas tersenyum dan mengusap kepalaku sekilas sebelum pergi menuju kamar mandi. Aku tersenyum sembari memegang kepala yang tadi diusap Karel. Aishh orang itu, kenapa dengan perilaku sepele begini bisa membuat orang jatuh ke pesonanya.
Kepalaku menggeleng berusaha mengusir pikiran aneh diotakku. Aku segera menyambar ponsel yang berada si nakas dekatku untuk menghubungi Putri.
"Yaa Hallooohaa ibu boss.." suara nyaring itu menyambutku di sebrang.
"Putri.. gimana kabar kantor?" tanyaku untuk pertama kali.
"Cihh gue kira lo nelfon buat nanya kabar gue.." nada sebal di sebrang membuatku terkikik geli.
"Udah nggak usah sok kesel gitu, ehh lo kenapa nggak dateng ke resepsi kemaren?" tanyaku yang baru menyadari fakta menyebalkan itu.
"Hehe sorry honey.. gue nggak bisa soalnya lagi pulang ke Semarang, satu hari sebelum resepsi gue juga udah di Semarang, kakak gue juga nikah,"
"Ohh pantes.. yaudah salam buat kakak lo.. selamat, terus bilang juga sama kakak lo buat nasehatin adeknya yang jomblo terus biar cepet nyusul nikah."
"Yee sembarangan, mentang-mentang udah nikah lo ya!! ehh ehh iyaa gimana? bulan madu sama si boss lancar? hari ini gue mulai kerja, ternyata di kantor lagi heboh gosip lo ama si boss.. mereka iri gitu sama lo,"
Aku tersenyum miris, mereka mau menjadi tameng menggantikan posisiku, kalau iya silahkan saja. "Yaa lancar-lancar aja, biarin aja mereka ngomong apa selama itu nggak ganggu gue." Karel kelur kamar mandi dengan t-shirt dan celana selutut. Penampilannya terlihat santai, dengan rambut yang masih basah. Mataku hampir tidak berkedip melihat pemandangan di depanku.
"Kenapa?" tanya Karel yang sudah berdiri di dekatku.
Aku mengedipkan mata dan langsung membuang muka.
"Halo.. halooo.. kemana si ni anak.."
"Put udah dulu yaa.. Karel udah selesai mandi, kita mau makan.. bye.."
Aku meletakkan kembali iphone ku di nakas. "Aku menelfon Putri, boleh kan?" tanyaku.
Karel mengerutkan kening, ia duduk di sampingku dan kembali bersandar di sandaran ranjang. "Kamu bebas menelfon siapa saja, kecuali Gavyn,"
Aku tertawa dan menganggukkan kepala. "Siapa yang mau menelfon pria gila," ucapku di sela tawa geli karena teringat wajah malu Gavyn. Karel tersenyum, mungkin ia juga ingat reaksi Gavyn tadi.
"Kamu ingin makan apa?"
Emm karena tadi cuaca lumayan dingin kupikir enak makan yang hangat. "Sup jagung dan banana cake," dengan semangat aku mengucapkan menu yang sejak dulu jadi favoritku. "Minumnya jus buah naga yaa,"
Karel segera menelfon bagian staf resort ini dan kami tinggal menunggu makanan datang.
Kami menunggu menu makan malam datang dalam diam. Aku memperhatikan Karel yang sibuk dengan iphonenya.
"Karel nanti di rumah barumu.."
"Kita," ralat Karel. "Rumah itu juga milikmu,"
"Yaa rumah baru kira, aku boleh menggunakan dapur?" tanyaku dengan semangat.
Karel meletakkan iphonenya di meja dan sekarang fokus menatapku. "Kamu bebas melakukan apapun di rumah kita," jawabnya dengan santai.
Mataku berbinar ceria, "okee berarti aku bisa masak untuk kita," aku tersenyum dengan puluhan masakan yang ada di otakku.
"Kamu bisa masak?" nada Karel bertanya seolah dia sedang meledekku.
Aku mencibir pelan. "Belum.. tapi aku akan belajar, jangan salahkan aku yaa jika nanti kamu akan jatuh cinta padaku karena masakanku yang enak, dan memohon agar aku memasak untukmu setiap hari," jawabku dengan nada yakin dan sedikit mengangkat dagu agar menampakkan keanggunanku. Hehe yaa aku tau itu terlalu narsis tapi tidak papa lahh sekaligus untuk mencairkan suasana.
Karel terdiam sedikit lama hingga kemudian tersenyum manis padaku. "Belajarlah, aku akan menunggu waktu itu tiba,"
Kali ini aku yang terdiam dan bingung ingin menjawab apa.
********
See you in the next chapther guyss ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro