5. Ready to Aim, and Fire!
Bel sekolah mendering di seluruh penjuru area, dan berhamburannya murid adalah tanda kegiatan dalam sekolah berakhir. Tapi itu tidak menjadikan yang mengikuti ekstrakulikuler untuk pergi.
Setelah keluar dari gedung, Shinsuke berjalan ke dalam lorong terbuka menghubungkan bagian lainnya. Di tangannya, benda elektronik tengah jadi perhatian.
Saking tidak fokusnya, ia baru bisa sadar ketika tepukan pundak terlayangkan.
“Hei, bengong saja!”
Ia menoleh saat agak berhenti karena tindakan tadi. “Ah, Aran.”
Pemuda berambut hitam rapi tersebut baru pakai jaket olahraga dengan tas menggantung di tubuh atas.
“Tumben. Lihat apa kau memangnya?”
Mata Aran tidak bisa memastikan saat gerakan cepat rekannya itu langsung memasukkan ponsel pintarnya ke dalam saku celana. Seakan-akan tidak boleh dilihat oleh siapa pun.
Tapi bisa dipastikan itu sesuatu yang privasi. Mana ada yang umum kalau ada sekilas tulisan ‘Shin-chan’ di dalamnya?
“Bukan apa-apa.” Shinsuke membalas, lalu mulai berjalan terlebih dahulu, malah bergegas untuk cepat ke gedung olahraga.
Aran angkat tangan dan mengalah.
Hari itu latihan terus berjalan seperti biasanya. Tidak ada yang ganjil—kalau dikatakan hal biasa itu adalah tradisi kembar berbaku hantam, Rintarou merekam aib para anggota, dan senior yang pusing kepala gegara urusan junior bermasalah—maka bisa dikategorikan itu normal di klub mereka.
Tapi sekarang, bahkan di tengah istirahat latihan pun Shinsuke pergi ke luar gerbang gedung dan menyendiri. Sambil menatap ke arah ponselnya, ia duduk saja di atas tangga seperti berharap balasan dari seseorang.
“Aran, kau lihat tidak kelakuannya?”
Ia menolehkan kepalanya dan menatap Atsumu mendekatinya. Muka agak berantakan karena habis berantem soal onigiri buatan ibunda.
“Aku tidak buta, kali. Kenapa kau risau, sih?”
“Bukan begitu! Tapi ini sudah melebihi batas. Sudah seminggu, lho!”
Hampir sudah tujuh hari berturut-turut perilaku aneh kapten mereka jadi begitu. Si kembar—lebih ke Atsumu, sih, sampai kelimpungan dan geli melihat sikap Shinsuke. Dari situlah, beberapa anggota juga mulai tak nyaman setelah mengetahui kalau kapten mereka dekat dengan seseorang saja sampai sebegitunya.
Bukannya mereka tidak suka, tapi ini mengganggu penglihatan dan latihan mereka karena hendak ingin fokus ke Interhigh.
Tapi sepertinya ini akan sulit.
“Kau saja kerepotan. Hidup jangan dibuat ribet. Janganlah dia kau libatkan.” Rintarou mendatangi keduanya sambil membawa keranjang bola untuk didistribusikan. Mendengar itu, Atsumu semakin kesal.
“Hei sialan, kau tak ingat waktu kemarin, hah?! Bicara sekali lagi, kau?!!”
Ia berhenti, menoleh dengan muka penuh datar. “Maaf, siapa, ya? Nggak kenal.”
“Bangsa—‘Samu, lepaskan aku, biar kupukul dia!!”
Osamu menahannya dengan perasaan capek sambil melirik ke arah Aran yang menatap malas juga akan tingkah mereka.
Samar suara vibrasi ponsel terdengar. Dilihat oleh mereka layaknya anakan rubah, Shinsuke menatap layar benda itu dan tersenyum tipis.
Mereka berempat bingung harus berkata apa.
Peluit tanda selesai istirahat dibunyikan pelatih.
“…Lebih baik kita kembali latihan. Kita rundingkan nanti saja.”
Ujaran Osamu yang tumbennya bijak pun disetujui ketiganya dan lari pontang-panting ke lapangan saat si kapten mulai berdiri pertanda istirahat selesai.
***
Suasana setelah latihan tadi cukup normal—yah, sebenarnya dibuat normal karena mereka ingin membahas yang terjadi pada kapten mereka.
Beruntung, pelatih pergi lagi dan Shinsuke pulang terlebih dahulu karena mau mengurus kediaman yang ditinggal neneknya untuk pergi ke onsen bersama komunitas lansia di sekitar rumah.
Dengan begitu, mereka lesehan di dekat pinggir lapangan dan mendiskusikan apa yang telah terjadi.
“Ini tidak bisa dibiarkan, aku tidak tahan lagi, ‘Samu!!!”
“Tenanglah, blegug.”
“Bagaimana bisa? Kita-san bukan seperti yang kita kenal! Yang mulia, dingin, dan perkasa!”
Rintarou ingin menampar mulutnya dengan casing besi ponsel pintar.
Sang pemuda bermarga Ginjima hanya bisa menggaruk kepala dan menjawab seadanya, “Yah, mau bagaimana lagi, Miya-senpai… Kapten sama seperti kita, ‘kan.”
Tidak bisa dipungkiri; mereka masih SMA. Masa muda membara di kehidupan. Harusnya bersenang-senang di luar dan dapat pacar itu lumrah terjadi.
Bukannya malah meningkatkan keringat di tubuh dan sibuk memastikan nilai minimal supaya bisa ikut turnamen.
Bagus kalau menang, setimpal. Tapi kalau kalah, hanya kekecewaan dan tambahan non-akademis untuk disebutkan dalam portofolio kerja.
Walau bagaimana pun, mereka hanyalah remaja yang pubertasnya menuju fase akhir untuk berkembang.
Ren juga berusaha menyahut, “Bukannya bersyukur kalau dia jadi lebih baik?”
“Mana ada kalau sampai jatuh bobrok begitu! Aku tidak tahan, Oomimi-san!~~~”
Semprotan si kembaran membuat Osamu menggelengkan kepala dan menatap mereka semua. “Tapi mungkin kita bisa lihat, sekarang bahkan kinerja latihan tadi kurang maksimal. Beberapa hari ini kalian juga merasa aneh, bukan?”
Para junior melirik ragu sebelum ada yang menyahut juga.
“Mungkin, sejak hari itu, sih… Kami heran saja kalau Kapten jadi berubah, senpai…”
“Berarti kita harus cari cara agar dia kembali seperti semula.” Ren mengutarakan gagasan yang orang-orang inginkan.
Dengan begitu banyak hal yang terjadi, Shinsuke seperti orang kasmaran.
Bagi anggota voli Inarizaki, Kita Shinsuke yang irit bicara dan dingin itu hal wajar. Tapi kalau sampai senyam senyum seperti orang gila tiap kali istirahat aktivitas klub di depan ponsel, bukankah ini terlalu kontras?
Dari panglima perang jadi penggila romansa.
Begitu kontradiktif.
Satu usulan menyahut memecah keheningan.
“Aku sarankan, kita harus ke Karasuno dan menemui gadis bernama Ainamida itu!”
Tak disangka-sangka, Hitoshi mengangkat tangan.
“Benar, itu terjadi setelah para kakak kelas menguntit mereka, ‘kan? Kita harus melakukan sesuatu.”
“Jadi benar dia ada hubungannya dengan Kita-senpai?”
Pengaruh Navira begitu kuat, bahkan kecurigaan mereka semua tentang perasaan kapten mereka pada gadis Karasuno itu menghadirkan berbagai spekulasi.
“Apakah dia main-main dengan perasaan suci Kita-san?!” Atsumu dengan dramatiknya berkata begitu, menghasilkan getokan keras dari Aran yang sudah mengubah haluan topik lagi.
“Sekarang, kita coba polling dulu. Kalau mau kita menemui Ainamida untuk memberitahu soal kapten, tunjuk tangan.”
Kebanyakan para anggota voli angkat tangan, bahkan Rintarou juga.
“Itu mungkin solusi terbaik. Tapi kalau kita satu grup ke sekolah Karasuno, bisa-bisa dianggap tawuran. Jadi kusarankan cari nomor dari manajer atau kapten sana—dan tidak, Atsumu. Kau tidak perlu pakai koneksimu.”
Lagi-lagi, Ren langsung mencegah Atsumu yang sudah mau angkat tangan.
“Tapi aku mau ikut misi ini!” protesnya seperti rengekan anak kecil.
“Palingan kau buat masalah menambah fangirl lagi.” Rintarou menimpali.
“Salah mereka kenapa perlu menyukaiku. Aku tahu aku ganteng, tapi berisiknya minta ampun kalau menggangguku, malesin~”
Aran sudah masa bodoh, menggeleng capek dan menoleh. “Jadi, siapa menurutmu yang bisa mencari tahu nomornya?”
Ren berpikir sejenak dengan melihat lantai kayu licin tempat mereka lesehan, lalu melirik ke dua orang yang ada di lingkaran mereka.
Kepalanya sudah mengangguk, dengan mereka semua yang menatap balik penasaran.
“Baiklah, kau yang kami andalkan,” diputuskannya dengan telunjuk kanan, “hubungi nomor terkait dan tanyakan soal Ainamida. Lebih cepat lebih baik.”
***
Penginapan tersohor mengalami banyak aktivitas selama beberapa hari belakangan ini. Pesisir Yokohama menjadi tempat terbaik dalam field trip musim gugur yang disewakan oleh pihak akademi Shiratorizawa.
Dengan kegiatan outbound, latihan dasar, dan tari api unggun berakhir, semuanya berpesta santai di aula hotel berbintang lima tersebut. Banyak stand makanan dan minuman yang telah tersedia. Siswa dan guru bersenang-senang dan bercengkerama ria di hari yang mendingin.
Pada jam larut, akhirnya para pelajari memasukki kamar masing-masing untuk beristirahat, sementara panitia guru beserta OSIS mulai berpatroli untuk pengamanan agar tidak ada lagi orang yang berkeliaran di jam malam.
“Ushijima-senpai, saya duluan, ya!”
Pemuda itu mengangguk pada adik kelas sebelum berjalan koridor lain untuk memantau keadaan di lorong bersama para guru pembimbing.
Dengan instruksi untuk menyebar seperti tadi sore, ia berjalan menuju arah aula yang mulai dibersihkan oleh para pekerja hotel mewah tersebut.
Setelahnya, ia memastikan keadaan dan tidak ada siswa yang berkeliaran dan membelot.
Tapi merasakan sensitifitasnya naik akibat sinar malam, matanya mengalihkan pandangan ke arah lain. Terdengar suara sandal sepatu yang bukan kepemilikannya.
Wakatoshi menoleh sepenuhnya dan baru melihat kalau di sisi lain ternyata ada seorang pemuda berambut karamel keluar dari lorong samping.
Familiar di mata, itulah si adik kelas di klub volinya berpakaian hangat sama sepertinya namun tanpa syal. “Kau tidak ke kamarmu.”
“Maaf. Tadi saya harus ke toilet.” Kenjirou memperhatikannya sebelum bertanya lagi, “Patroli?”
“Ya. Sudah jam malam, lebih baik kau segera tidur. Besok kita sudah harus kembali.”
Si adik kelas mengangguk saja sebelum terlihat agak ragu berdiri di situ. “Anu…Saya mau beritahu sesuatu.”
“Hmm?”
“Sebaiknya Anda jauhi gadis itu, Ushijima-san.”
Wakatoshi yang memeriksa balkon pun hanya menatapnya sejenak tanpa kata, lalu mengalihkan pandangan pada pemandangan pelabuhan jauh di sana yang gelap. Angin semilir menerpa.
“Apa maksudmu?”
Merasa kelepasan bicara kasar, ia mencoba mengkoreksi penyampaian sejelas mungkin. “A-Ah, bukan! Maksud saya, berhubungan dengan gadis Karasuno itu, sepertinya itu tidak bagus untuk Anda dan klub kita.” Apalagi setelah kekalahan kala itu.
“Kenapa? Dia gadis yang sopan, aku tidak melihat kesalahan kenapa tidak bisa beteman dengannnya. Karasuno dan Shiratorizawa bisa bekerja sama dengan baik meski hanya kalah satu kali.”
Tanpa sadar, penekanan kata ‘kalah’ hampir refleks membuat Kenjirou menggigit pipi dalam.
“Tapi dia mengganggu dan memaksa Anda dengan tantangan waktu itu. Latihan Anda pasti terganggu!”
“Aku tidak terganggu. Lagipula, Satori bilang jadwalnya tidak padat, kami juga melakukannya saat akhir pekan dan latihan tetap berjalan dengan lancar. Semua itu juga sudah selesai.” jelasnya dengan penuh kesadaran diri dan ketenangan.
Mendengar itu, Kenjirou tidak ada celah lagi untuk menyela. Dengan menunduk, kepalanya juga mengangguk singkat. “Baiklah, saya mengerti…”
Wakatoshi mengangguk kembali dan menyuruhnya kembali. “Tidurlah sekarang. Besok pagi kita harus bangun untuk berkemas. Latihan minggu depan juga padat karena Interhigh.”
“Baiklah, Ushijima-san… Saya permisi.”
Meliriknya yang pergi, Wakatoshi beranjak ke area selanjutnya untuk patroli. Tidak menyadari kalau balasan logisnya telah membakar mesin bara dalam merapi puncak.
Sementara di sisi lorong dalam, seorang gadis berambut hitam lurus tengah memegang tas peralatan mandi dan tiba di lantai peralihan—di mana sisi bangunan hotel kanan untuk laki-laki dan sisi kiri untuk perempuan.
“Ugh, dinginnya… Habis mengantar Hoshino-chan, aku akan mandi air hanga—Hmm…?”
Terlihat ada seseorang berjalan berlawanan arah keluar dari lorong lantai lain.
‘Bukannya itu Shirabu-san? Aneh…’
Hendak ia sapa, tapi terasa ada nuansa angkara menyeruak jadi tak ia lanjutkan. Kepalanya terus melirik meski Kenjirou melewatinya dan berlalu seperti tidak merasakan eksistensi orang lain.
“Mukanya seperti barongsai, apa ada sesuatu… Ah. Sudahlah. Bukan urusanku juga.”
Ichiira memasukki lorong perempuan, tak tahu kalau ia baru selamat dari amarah si anak kelas dua yang memendam kejengkelan tiada tara.
***
Mall Miyagi terlihat ramai seperti biasanya di akhir pekan. Apalagi di siang hari yang terik—cukup langka dalam pertengahan musim gugur tahun ini.
Di salah satu bangku taman depan kompleks pusat perbelanjaan tersebut, sudah ada Navira yang menanti sang sepupu kembali dari wilayah lain. Dengan baju v-neck putih berlengan panjang, syal dan jaket tebal warna coklat sudah ia pakai. Celana panjang jeans hitam, sepatu sneaker polos warna merah melengkapi set pakaiannya untuk hari yang berangin meski terik.
Selagi menunggu, ia bercakap ria di aplikasi obrolan dengan tiga teman sejawatnya.
~
@arisa_grace: gaes, pakai kutek french manicure atau yang red maroon?
@smiles.risa: arisa-chan, kau tahu kami tidak pakai kutek…
@sasakimuffins: aku lebih suka polosan warna krem saja, sih.
@arisa_grace: ah, kalian ini! aku tengah di spa, jadi minta tolong bantu pilihkan.
You: klub no kutekan menyimak.
@arisa_grace: duh, rasanya mau gila. aku malah dilemma pilih warna hijau neon atau pastel pink, nih!
@sasakimuffins: hmm, coba kau lihat bentuk kukumu dan testimoni favorit dari pelanggan lain. siapa tahu ada yang cocok denganmu.
@arisa_grace: aku sampai lupa soal itu! thanks, babe~ off dulu, mau luluran coklat. udah dipanggil pegawainya ke ruangan, nih.
~
Navira hanya menggeleng maklum percakapan mereka sebelum mematikan layar dan mendongak ke arah depan.
Tak jauh dari sana, seorang gadis muda berambut hitam lurus panjang dengan gaya low ponytail. Dengan midi-dress sederhana dengan warna hitam, syal abu-abu, dan jaket tebal bertudung warna coklat selaras bersama sepatu ankle boots tengah menghampirinya.
“Nee-chan, maaf lama.”
Ichiira Akaiwara—atau biasa dipanggil dengan Ichiira atau ‘si embul’—adalah adik sepupu Navira dari pihak ibu. Dia juga merupakan teman sepermasa kecilan dengan Shinsuke dan dirinya.
Navira berdiri setelah mengantongi ponsel pintar di saku celana dan berekspresi cerah. “Tidak apa, cuma menunggu saja, kok.”
Seakan ingat, gadis itu memberikan sekantung plastik berisikan sesuatu. “Ini, oleh-oleh dari Yokohama.”
“Wah, akhirnya! Trims, Ichiira-chan. Arigatou chuu~”
“Emoh. Mulutmu bau jigong!”
Navira tertawa singkat karena tidak berhasil merangkulnya seperti waktu kecil dulu sebelum berujar, “Ya sudah, ayo masuk. Kau pasti lapar.”
“Tentu saja, aku mau makan manis-manis setelah kekenyangan seafood.”
Dengan santai, mereka bergandengan lengan masuk ke dalam pusat perbelanjaan tersebut. Sebelum itu, cuci mata dulu lalu di beberapa lantai dan menuju lantai courtfood.
Setelah memilih salah satu kios brand ternama yang menyajikan kue dan cemilan, keduanya duduk di kursi masing-masing dekat jendela toko.
Mereka berbincang sejenak tentang life update masing-masing, apalagi karena berada di sekolah yang berbeda.
Menelan cheesecake di kunyahan, Ichiira menatap santai si sepupu dengan garpu menunjuk sekilas kepadanya.
“Jadi? Sudah berapa lama kalian komunikasi?”
Garpu tadi langsung menembus cheesecake dan sudah meluncur masuk ke dalam mulut si penanya.
Sementara yang ditanya pun hanya bisa tersenyum santai di kursinya. Tangan kanan memegang iced vanilla latte sambil memikirkan bagaimana jenis percakapan mereka berdua di pemikiran.
“Baru satu minggu ini, mungkin mau dua minggu. Tapi, aku tidak menyangka kalau dia sangat aktif membalasku, hehe…”
Navira kira kalau Shinsuke akan sibuk dan tidak membalasnya. Mereka berbeda jabatan dan menjadi kapten seperti Sawamura Daichi bukanlah hal yang mudah.
Tapi setiap saat, jam, bahkan tidak sampai satu menit saja sudah dibalas. Bahkan kalau ia tidak sempat atau lupa membalas karena suatu hal, akan ada pesan kedua menanyakan dirinya tengah senggang untuk balas atau tidak.
Antara harus senang karena dapat kontak masa kecil atau terganggu karena ditanya terus menerus.
Tertarik, Ichiira kembali bertanya. “Boleh kulihat obrolannya?”
Navira memberikan ponsel pintarnya yang menampilkan layar obrolan mereka berdua di aplikasi chat.
Sapaan pagi, sore, malam, sekolahan, tugas, dan latihan.
Terlihat biasa, tapi ini terlalu klise.
Dan Ichiira merasa percakapan mereka sangat membosankan.
Kepalanya menatap dengan tampang mirip ‘seriously? right in front of my salad?’ atau sebagainya. Nada kalemnya pun seakan bertanya sarkas akan suatu hal.
“Sungguh? Hanya ini saja?”
Navira heran, kenapa muka sepupunya ini malah seperti tidak puas?
“Memangnya apa lagi, Ichiira-chan? Kami cuma bercakap keseharian setelah tidak ketemu lama. Kau berharap apa??”
Ichiira hanya bisa geleng kepala sembari menatap sepupunya yang ‘geblek’ ini.
Walau mereka dibilang sangat dekat, tapi tetap saja jalan pikiran mereka sungguh beda.
Lalu suara pemberitahuan notifikasi masuk muncul.
Ichiira mengembalikan ponsel sang sepupu. “Nih.” Lalu mulai makan lagi.
Gadis bermata giok itu menerimanya dan tertegun sejenak saat tahu pengirimnya.
“Oh, dari Nametsu-chan.”
“Hihaha (Siapa)?” Ichiira bicara dengan mulutnya yang penuh.
“Manajer dari Datekou. Dia minta aku mengantarkan perbandingan soal manajemen klub antar sekolah. Aku juga sudah janji dengannya hari ini.”
Ichiira menelan makanan dulu lalu mulai diam, berpikir selogisnya. “Kenapa bukan kakak kelasmu saja yang kasih? Hitoka juga ada, bukan?”
“Shimizu-senpai sedang persiapan ujian dan Yacchan sedang pergi dengan ibunya ke luar kota untuk pemakaman kerabat. Jadi mereka minta tolong padaku untuk mengantarkannya sekalian bertemu denganmu.”
Hanya ‘oh’ singkat, padat, jelas dari mulutnya yang sudah kosong dengan makanan dan menyeruput smoothie coklat.
“Kalau mau, kau bisa ikut denganku ke sana.”
“Boleh deh. Gabut, nih.” Ichiira membuka menu lagi. “Oh, aku mau pesan lagi. Sepertinya ada varian baru. Kejunya Parmesan atau apa, ya…”
“Seperti biasa, tetap maniak makan, ya.”
“Cheese, chicken, and all food is life.”
Iyain saja, deh...
“Sudah, makan dulu. Habis ini kita ke Datekou.”
Tak sampai belasan menit, dua sepupu ini membayar di kasir dan bertolak ke sekolah yang akan dituju.
Seperti yang dibayangkan, bangunan klub olahraga masih ramai karena banyak yang berlatih untuk kompetisi.
Dengan Navira yang menuntun jalan, Ichiira menyusulnya dari belakang.
Beberapa menit masuk ke area, ternyata ia mendapati kalau ada beberapa kakak kelas yang berkunjung juga. Mereka berbasa-basi sejenak sebelum seorang gadis bermuka manis dengan jaket olahraga sekolah mengusir halus alumni supaya mereka kembali ke gedung.
Nametsu Mai, si gadis manajer klub voli, menoleh riang dan menghampirinya. “Ainamida-chan, kau datang—Oh? Siapa ini?”
“Ini sepupuku. Sekalian dia ingin melihat-lihat klub voli Datekou. Ichiira-chan, ini Nametsu-chan, manajer di klub voli.” ujarnya mengenalkan Ichiira yang membungkuk sopan.
“Ichiira Akaiwara. Salam kenal.”
Mai melakukan hal yang serupa. “Nametsu Mai, salam kenal, Akaiwara-chan! Oh, ya.” Lalu dia menoleh lagi, “Kau sudah bawa bukunya?”
Navira mengangguk dan menyerahkan sebuah buku yang terlihat banyak coretan dari tas totebag miliknya.
“Maaf kalau lama. Semuanya sedang sibuk sendiri-sendiri.”
“Tidak apa-apa, ilmu sesama manajer harus saling bermanfaat, bukan? Ayo di dalam saja, anginnya dingin!”
Tawa jernih Mai membuat suasana ceria sebelum mereka beranjak masuk ke dalam gedung olahraga.
Beberapa anggota tengah mengurus latihan lompat, blocking, dan sprint seperti biasanya.
Navira dan Mai berjalan sambil membahas buku catatan yang dibuka.
“Survei untuk latihan efektif harus dilakukan dengan optimal. Kalau ada anggota yang baru sembuh dari cedera, harus ada penanganan khusus. Benar, bukan?”
“Tapi kalau nanti hanya pemulihan saja kurang cukup, jadi harus ditambah lagi waktu lebih untuk teknik lain supaya mereka ikut optimal…”
Sementara mereka berdiskusi, Ichiira yang di belakang hanya mengobservasi ke segala arah dengan santainya.
Dia tidak perduli jika ada yang meliriknya, yang penting Ichiira ada kerjaan dan pergi ke mana yang diinginkan.
PR sudah selesai sebelum studi ke Yokohama, dan yang penting tidak rebahan di rumah sebelum energinya habis.
“—ra-chan. Ichiira-chan?”
“Hmm?”
Yang dipanggil langsung menoleh pada sahutan sepupunya.
“Kau tak apa? Capek?”
“Tidak. Cuma cuci mata saja.”
Navira mengangguk saja, paham dengan tingkahnya dan mereka berjalan menuju ke sudut ruangan, di mana ada seorang anggota yang tengah istirahat menyender di dinding.
Mai menghampirinya seraya menyahut, “Hei, kita kedatangan tamu.”
Futakuchi yang mengelap muka dengan handuk pun berdiri dari lesehannya saat tahu ada Navira. “Oh, ternyata kau.”
“Lama tak bertemu, Kenji-kun.” katanya santai dan saling membungkuk hormat singkat, lalu ada yang datang juga dengan handuk di bahu.
Ichiira tertegun memperhatikannya sembari Mai bertanya kalem pada pemuda tinggi yang ikut mendekat.
“Aone-kun, dari toilet?”
“Mmn.” Tipikal balasannya.
Mai mengangguk dan menjelaskan, “Perkenalkan, ini Futakuchi Keiji dan Aone Takanobu. Mereka adalah Kapten dan Wakil Kapten dari tim Datekou. Yah, maaf saja kalau mereka membuat Aikawara-chan takut karena tinggi semua di sini, hahaha!”
Karena tidak mendengar suara sang sepupu, Navira kembali menoleh padanya.
“Ichiira-chan, kau baik-baik saja?”
Sang gadis mungil hanya menatap pada Aone tanpa mengalihkan pandangan sama sekali. Mereka berempat malah jadi bingung. Terutama pada sang raksasa Datekou yang heran ditatap seperti itu.
Seperti sedang terpaku memandang dengan arti tertentu.
Tapi bukannya ekspresi takut, malah semburat di kedua pipi tercipta.
“…”
Mengetahui sikapnya, Navira menyunggingkan senyum malas garing layaknya detektif fandom sebelah yang terkenal dengan logika jeniusnya.
Mampus. Sepertinya anak ini kesambet.
***
“Ta da!~ Lihat hasilnya!”
Sepuluh jari lentik gadis bermata kucing itu dipamerkan di depan ketiga kawannya. Warna polesan kutek kuku menjadi perhatian mereka sekarang.
Jam istirahat kedua mengudara dan keempatnya bercakap ria di sekitar lorong sekolah yang dihinggapi belasan murid lain. Yang tengah berjalan santai pun nampak sebagai latar.
Risa memperhatikan lebih dekat. “Warna ungu? Tapi seperti darah.”
“Bukan, maroon ungu, ya?” Sasaki berpikir dengan memegang pipi sendiri.
Arisa memutar bola mata malas seraya membalas, “Beda! Ini namanya burgundy, kalian tahu harusnya beda dari bahannya juga!”
“Kukira kau pakai neon hijau.” Dengan sedikit nada goda ejek, Navira menimpali dan disambut dengusan Arisa.
“Warnanya menyala tapi tidak elegan, nanti aku didamprat Nenekku.”
Mengingat akan hal itu, Sasaki bertanya juga. “Oh, iya. Bagaimana kabar beliau? Operasinya lancar?”
“Iya. Tapi ayahku menangis seperti anak bayi selama menemaninya di Seoul, padahal cuma operasi tumor kecil.” jelasnya sambil menopang dagu di pinggir jendela.
“Dia anaknya, jadi wajar saja.” Risa terkekeh kalem.
“Syukurlah dia membaik…” Sasaki lega mendengarnya.
Gadis berbando merah itu menghela nafas. “Yah, syukurnya begitu. Aku harus langsung kembali ke rumah setelah pulang sekolah nanti untuk mengurus kepulangan. Maaf tidak bisa bantu banyak di bahannya, padahal topik ekonominya seru!”
“Setidaknya kau sudah sumbang 1 halaman sugesti dan hadir jadi penekan tombol di presentasi Powerpoint.”
Sarkas gadis berponi kuda itu membuat Arisa tersenyum licik.
“Pilih sini, mau dicakar atau dijambak, hmm?”
“Nggak mau—Kyaa!! Ampun, woi! Kukumu tajam!!”
“Kyahaha!~ Mampus!”
Kedua pipinya dicubit dan menghasilkan erangan sakit.
Arisa mendengus puas dan kembali ke posisi, lalu ia teringat lagi akan satu hal penting.
“Eh! Bagaimana perkembanganmu dengan para kapten?”
Navira yang mengelus pipinya sendiri pun cuma bisa seadanya saja. “Ya begitulah.”
“Begitulah apanya?”
“Yah, cuma itu saja. Aku sudah jelaskan seperti kemarin-kemarin!”
Arisa menatapnya dengan sinis sedangkan Risa malah bingung.
“Kau tidak suka dengan siapa pun? Sungguh?”
“Mereka tampan, tinggi, karakternya unik. Kau tidak suka mereka semua dalam percintaan romansa?”
Bahkan Sasaki mengatakan hal artifisial yang umum dijadikan penentu.
Navira memutar bola matanya dan menatap mereka bertiga. “Tidak ada soal ‘bawa perasaan’ di dalam sebuah tantangan kencan.”
Sudah seharusnya begitu!
Lagipula, mana bisa Navira suka pada mereka? Takkan mau ia macam-macam dengan karakter ‘unik’ yang pastinya akan bertabrakan dengan sifatnya sendiri.
Membayangkan untuk pacaran dengan mereka sama saja seperti bunuh diri secara sukarela…
“Aku cuma menuruti hukuman dari Arisa-chan dan harga diriku sebagai anggota klub voli, jadi kulakukan tugasku secara profesional! Apa salahnya?”
Sasaki melirik ke arah Arisa yang masih menatapnya curiga.
“Sungguh? Tak satu pun?”
“Tidak. Aku lebih baik cari laki-laki normal—”
“AI-CHAN!!!”
Sahutan nyaring itu menyela perkataannya dan buat atensi mereka—dan beberapa anak yang mendengar menoleh ke arah sumber suara.
Yachi berlari sebisanya menghampiri. “Akhirnya! Ai-chan!”
Gadis beraksesoris jepitan di rambut tersebut berhenti dengan pegangan di lutut sembari mengambil oksigen.
“Yacchan, ada apa ini? Kenapa kau terengah-engah?”
Navira membantunya untuk berdiri lagi dan memperhatikan ekspresinya.
“Kau terlihat kacau…”
“Aku butuh bicara padamu… Ah.” Yachi menoleh kepada kawan-kawan sang rekan.
“Maaf, aku mengganggu, ya?”
Sasaki menggeleng dan lambaikan tangan santai. “Tidak, tidak. Silakan kalian bicara. Navira-chan,”
“Eh, ya?”
Sasaki mengangguk padanya, Arisa dan Risa juga memerhatikan.
Navira mengerti dengan isyaratnya dan mulai beralih pada Yachi. “Ayo, aku ikut denganmu.”
“Baiklah. Ah, minna, aku pinjam Ai-chan sebentar, ya!”
Arisa menggodai, “Bawa saja, Hitoka-chan! Kami ikhlas!”
“Hei!”
Sasaki terkekeh geli selagi mereka berdua menjauh, sebelum melirik pada Risa yang hanya tersenyum kalem tapi penuh makna.
“Jadi, menurutmu ada apa ini?”
“Entahlah, tanya saja. Arisa-chan?”
Yang bersangkutan sudah bersender lagi di pinggir jendela dan bertopang dagu lagi. Arahannya keluar melihat dua gadis tadi tengah bicara serius dan penuh dinamika.
Senyum ambigu terpampang selagi menyipit penuh kemenangan.
“Yah, bisa jadi kalau pedang bermata dua teman kita itu akan menusuk dirinya sendiri.”
***
Setelah mereka berada di lorong depan tempat loker sekolah yang sepi, keduanya bicara lebih intens lagi. Tepatnya ingin mengambil ponsel Navira dari loker.
“Kau tidak bohong, bukan?”
“Mana ada! Duh, jantungku rasanya mau copot.”
Setelah tenang, Yachi mengambil sesuatu di saku roknya dan memberikan ponsel pada Navira.
“Itu bukannya ponselmu?”
“Iya, tapi lihat dulu isinya.”
Navira menerima dan mengecek seksama, terlihat ada e-mail masuk sebelum terkejut bukan main pada Yachi.
“Tunggu, siapa yang mengirimkan ini?”
“Itulah yang aku tak tahu!” Bahkan Yachi panik bukan main selagi Navira memperhatikan nama, logline, dan jam pengirimannya.
“Bahkan sampai missed call. Kau sudah bilang ke Shimizu-senpai?”
“Aku tidak berani karena pesannya benar-benar menanyakanmu. Nanti mengganggu dia juga, sih.”
Benar. Kalau Kiyoko ada di sini, mereka akan disuruh untuk terus terang menghadapi.
Ditunjuknya dekat layar dengan jari, dan memang itulah yang layar ponselnya tunjukkan.
[ Hai. Telepon nomor yang tertera setelah memberikan pesan ini pada asisten manajer kalian yang bernama Ainamida. Aku perlu bicara dengannya. Trims, manajer Karasuno. ]
Astaga. Kenapa kesannya kasar sekali? Dan siapa dia, berani-beraninya mengirim teks begini?!
“Kau tahu siapa yang mengirimkannya?”
Yachi menggeleng.
“Aku tidak berani juga bertanya, karena sepertinya orang ini ingin kau bicara dengannya.”
Sial.
Navira menelan ludah sesaat. Hampir saja berkeringat dingin walau udara musim mulai mendingin hari itu.
“Baiklah, kirim ke alamatku dan aku akan bicara padanya sendiri.”
“Tapi kalau ini orang aneh, bagaimana?”
“Blok alamatnya setelah pulang. Aku akan bicara pada senpai tentang ini. Kalau sampai menerormu lagi, laporkan pada kami.”
Yachi mendesah lelah dan mengangguk, paham akan tujuannya selagi Navira membuka lokernya sendiri dan mengambil benda miliknya.
Mereka bertukar pesan dan Yachi harus kembali karena ada pelajaran penting di jam selanjutnya.
“Kalau nanti dia meneror, bilang, ya!” sahut Navira saat Yachi mulai pergi menjauh dan hilang berbelok di koridor, sebelum mendesah capek.
Ia menunduk ke layar berisikan pesan forward dari si manajer muda.
Entah mengapa, Navira merasakan firasat buruk.
***
Ponsel pintar bermelodi lagu populer mengudara di dalam loker saat kedua tangan lelaki bermata sayu tersebut baru selesai mengikatkan tali sepatu olahraganya di bangku ruang loker.
“Oi, bunyi, tuh.”
Sahutan dari salah satu kakak kelas di loker samping membuatnya mengalihkan fokus.
Benda elektronik tersebut memancarkan sinar—tanda kalau ada pemberitahuan masuk saat dibuka.
Suna merogoh untuk mengecek ponsel tersebut sebelum terdiam.
Osamu baru saja datang—kembarannya tengah piket kelas jadi dia duluan—dengan santainya menyapa beberapa orang di ruang loker dan mendekati loker.
Melihat Suna yang terpaku begitu membuatnya bingung.
“Mukamu aneh begitu. Kenapa?”
Suna meliriknya dan memberikan tampilan layar.
[ Halo. Ini nomor asisten manajer yang kau cari. Telepon aku secepatnya di nomor ini jika kau ada waktu. Trims.
-Ainamida Navira- ]
“Uwah.”
Hanya itu yang bisa diucapkannya.
Seperti yang dibilang, gadis ini cukup berani.
“Dia minta bicara sekarang, aku akan izin ke taman dulu.”
“Tidak di depan gedung saja?”
“Kau mau nanti dia mendengar soal ini?”
Benar juga.
“Ya sudah, sana. Aku akan bilang kau telat karena sakit perut.”
Suna mengangguk dan pergi keluar dari ruangan tersebut.
Butuh sekitar tujuh menit sebelum pemuda itu menemukan bangku batu di bagian sepi taman sekolahnya.
Kedua jemari mengetik dan bertingkah cepat di atas layar sambil menggerutu dengan nada datar.
“Merepotkan sekali.”
Jujur saja, ini benar-benar membebaninya. Makanya masalah omong kosong begini harus cepat selesai.
Tapi demi bicara dengan yang berkaitan, bisa apa lagi selain jadi anggota klub yang baik dan berguna?
Oomimi dan yang anak-anak lainnya mengandalkan kemampuannya saat ini.
Kalau kapten mereka rapuh, nanti yang lainnya bisa terjatuh.
Ponsel di saku celana olahraga bergetar pelan dengan rontaan teratur, tanda kalau harus direspon secepatnya.
Navira mengecek sebelum terkejut bukan main dan langsung minta permisi keluar dari gedung.
“Maaf, permisi!”
Setelah keluar dari gedung menuju tengah lorong perbatasan antar gedung yang sepi, ia mengambil nafas sebelum menekan tombol dan menjawab sebisanya.
“Halo..?”
“Halo. Ini benar nomor Ainamida-san? Si asisten manajer Karasuno?”
Suara laki-laki, mungkin diatasnya. Sedikit asing.
“Iya, benar. Aku sendiri. Dengan siapa?”
“Suna Rintarou. Aku salah satu anggota voli klub Inarizaki. Kau mungkin tahu dengan kapten kami, dia bilang kalau kalian berdua adalah teman masa kecil.”
Navira terkejut bukan main.
Anak SMA Inarizaki. Harusnya ia tahu. Tapi untunglah, mungkin Yachi tidak akan diteror lagi.
“O—Oh… baiklah. Tapi kalau boleh tahu, kenapa kau bisa dapat nomor manajer kami, ya?”
“Kami mendapatkannya dari informasi latihan tanding kemarin, jadi kukira aku bisa meminta informasi dari salah satu manajer.”
Dan ternyata sang mangsa sendiri yang lebih cepat merespon umpan, pikir Suna sambil santai duduk.
Matanya mengikuti pergerakan beberapa siswa yang berjalan menuju gerbang dari kejauhan.
“Jadi kuharap kau tidak keberatan.”
Navira hanya mengiyakan, tapi sedikit waspada. “Memangnya ada perihal apa harus bicara denganku?”
“Baiklah, aku langsung saja ke intinya.”
Mendengar nadanya, Suna tahu kalau tidak perlu berbasa-basi sama sekali.
“Kami ingin kau mengembalikan kapten kami seperti semula.”
Hening menggema beberapa sekon.
…
Hah?
Navira sedikit melirik ke ponselnya sendiri, seakan perkataan tadi hanya omong kosong belaka yang didengar saat ini.
Sambil menggeleng untuk menyadarkan diri, ia bicara lagi di sambungan.
“T-Tunggu, aku tidak mengerti maksudmu… maksudnya apa, ya, Suna-san???”
Navira sungguh tidak paham dengan tonjokan realita ini.
Kembalikan Kita seperti semula? Memangnya dia bukan manusia, tapi objek?
“Aku hanya mengatakan fakta yang terjadi di lapangan. Semenjak Ainamida-san pulang, dia jadi berbeda dan tidak seperti biasanya.”
“B-bisakah lebih spesifik lagi? Berbedanya seperti apa, ya?”
Giliran Suna yang sekarang bungkam.
Ingin sekali mulutnya seperti Atsumu yang lancar dan ember—kalau Kita telah menjadi seorang yang tidak mereka ketahui sifatnya lagi.
Kalau bahasa kerennya mungkin inilah yang dibilang ‘OOC’ dalam video games.
Tapi ia urungkan. Nanti takut tambah dosa. Tidak level.
“Intinya, aku hanya ingin memberitahukan kalau dia menjadi gila. Kalau ini terus berlangsung, klub voli kami dalam bahaya.”
Suna menegaskan di akhiran, yang membuat gadis itu mulai panik.
“Sebagai asisten manajer, Ainamida-san tahu soal penting itu, bukan?”
Navira meneguk ludah sesaat, tahu betul dengan arti itu.
Pilar terpenting yang menopang bersama anggota ialah kapten itu sendiri.
“…Jadi, kau ingin minta tolong padaku untuk melakukan apa?”
“Buat dia normal kembali seperti biasanya. Hanya itu yang kami minta. Dia sudah seperti lem dengan ponselnya semenjak kalian berhubungan kembali.”
Itu artinya hubungan mereka sudah benar-benar merepotkan semua orang.
Suna hanya mendengar keheningan dari sisi lain, menghela nafas singkat.
“Aku tidak bermaksud kasar… tapi kuharap kau mengerti situasinya sekarang.”
Navira tertegun dengan fakta yang diutarakan, diam saja selama beberapa saat selagi angin menerpa lembut badannya.
“Tidak apa… aku berterima kasih kau memberitahukan ini semua, Suna-san.”
Kalau tidak, ia mungkin takkan tahu apa yang sebenarnya terjadi dan rasa bersalahnya akan semakin menggumpal.
“Harusnya kami yang berterima kasih. Kami mengandalkanmu di sini. Tolong, bicara dengannya. Karena…”
Suna menatap angkasa sesaat. Mendung.
Waktunya bermalasan kalau bukan hari ini tidak latihan.
Matanya terpejam sejenak sebelum mantap berkata, “Kau yang paling bertanggung jawab karena membuatnya berubah.”
“!”
Navira terpaku di sambungan bahkan setelah Suna pamit untuk kembali latihan dan memutuskannya.
Hanya ada suara statis tanda panggilan telah berakhir.
Bagaikan pertanda kalau pembicaraan mereka benar-benar mengindikasikan ini bukanlah hal sepele.
Navira sedikit menekuk alisnya sambil menatap layar ponsel tersebut.
“Aku benar-benar harus bicara pada Shin-chan.”
.
.
.
To be Continued
***
Hai gaes! Saya kembali untuk mengobrak-abrik kehidupan protag kita satu ini. Gyahahhahahaha! /ketawajahat
Yah, walau memang sudah janji untuk rajin update, but life happens. So yeah, here we go. Saya masukkan intro OC anak baru kita, Ichiira! Yay~ Dia akan jadi sedikit penting di dalam cerita ini, so stay tune saja untuk kejutan kedepannya, ehe~ Nggak mau banyak omong, soalnya memang lagi nggak ada yang mau diomongi selain PENGEN HAIKYUU RILIS SEASON 5 SECEPATNYA HIKS :"""
Lama2 masuk genshin fandom kalau begini—tapi nggak paham game nya saya, duh. Tokyo Revengers pun cuma tahu karakter yang dihusbuin kawan2 saya. Okay, enough ranting.
Anyway, see you later! Votes and Comments are bonus for me, but if you enjoy it even if it's just a little, then I am happy! Best of luck!
.
.
.
~*~
Preview
~*~
"Selamat tidur. Mimpi indah."
.
"Biar kutebak. Kau ingin mengincarnya?"
.
"Aku bukan konsultan cinta, jadi percuma kau bicara padaku soal ini."
.
"Bayangkan saja. Raut cemburunya keterlaluan sekali, tapi masih terlihat manis di mataku! Argh, rasanya aku mau gila!!!"
.
"Katakan ada apa."
.
.
.
See you on the next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro