3. Girls' Talk
Suasana penginapan yang diinap para anggota klub voli Karasuno sudah remang karena malam menjelang.
Kamar laki-laki dan perempuan dipisah di lantai berbeda. Jika para anggota voli berada di lantai atas, maka pelatih dan manager perempuan berada di kamar lantai bawah. Satu kamar bisa diisi dengan 5 orang, jadi para perempuan jadi satu kamar.
"Ehh??? Kalian benar-benar teman masa kecil?"
Di kamar itulah, ada Kiyoko, Yachi, dan Navira tengah bersantai di sebuah kasur berukuran besar-cukup untuk menampung ketiganya yang duduk melingkar.
Navira mengangguk perlahan, memeluk bantal di dekapan. Membeberkan fakta pada keduanya saja sudah membuat dirinya malu. Apalagi kalau nanti ditanya para anggota lainnya. Mukanya menahan untuk memerah secepat ini.
Kiyoko mulai menopangkan dagu. "Tapi sungguh kebetulan sekali. Kalian berdua bisa mengenal dan bertemu lagi."
"Iya! Dan secara kebetulan dia adalah kapten tim lawan!" Yachi mengutarakan pendapatnya, menyambung kalimat sang kakak kelas.
Kedua gadis tersebut tahu kalau Navira mengencani para kapten di sekolah-sekolah lain karena tantangan nyeleneh kemarin, malahan tidak kenal secara personal. Makanya mereka kaget kalau ternyata Navira mengenali si pemimpin kelompok rubah.
Sejujurnya, gadis itu juga tidak menyangka akan begini jadinya. Lagipula, dari dulu Navira tidak tahu kalau ternyata Shinsuke mengira kalau mereka berdua saling membenci.
Aneh memang, tapi begitulah pernyataan dari kedua manusia itu sendiri. Yang satunya ditinggal dan dikira dibenci, satunya lagi meninggalkan dan dikira akan dibenci pula. Benar-benar pemikiran yang terlalu berlebihan.
Mengingat itu lagi, malah membuat Navira jadi geli sendiri karena terlalu berburuk sangka.
"Tapi karena sudah begini, maka kami setuju untuk saling tukar pesan." Mengeratkan komunikasi persahabatan yang putus merupakan pilihan terbaik untuk saat ini.
Mendengar itu, Yachi terlihat lega. "Baguslah."
"Setidaknya kalian perlu menjalin komunikasi yang baik." Kiyoko menambahkan.
Navira menyetujui, memainkan bantal yang dipeluk. "Begitulah. Aku ingin terus berhubungan dengannya meski jauh. Mungkin dengan saling mengirim pesan, kami bisa seperti dulu lagi."
"Benar juga. Dari Miyagi ke sana itu jauh, bukan? Mungkin bertukar email dan pesan memang jalan kalian untuk berteman lagi." ujar Yachi dengan senyuman ramah.
"Tapi tolong jangan beritahu yag lainnya dulu. Aku belum siap."
"Tenang, rahasiamu dijamin oleh kami. Ya 'kan, Hitoka-chan?"
Yachi mengangguk. "Ya! Ai-chan bisa mengandalkan kami."
Bahunya rileks mendengar mereka berdua, lega untuk sementara.
Selama hampir sedekade lebih, keduanya tidak berbicara sampai tadi sore. Kadang Navira berpikir, kalau Dewa mempermainkannya dan hubungannya dengan orang-orang terdekat. Tapi inilah hidup; sesuatu yang tak bisa ditebak kecuali jika yang diatas menghendakki.
"Kalau memang kalian teman masa kecil, berarti kau tahu Kita Shinsuke dari sejak masih kanak-kanak, bukan?"
Navira mengangguk saja.
"Berarti kau mengetahui kelemahan dan kekuatannya juga, dong?"
Hal itu membuat Navira terdiam sebelum terkaget akan pemikirannya sekarang.
"M-Maksudnya, aku jadi mata-mata, begitu?!"
Kiyoko menahan tawa geli sementara Yachi terkekeh garing. "Senpai... Jahilnya keluar lagi."
"Aku bercanda, Ai-chan. Jangan diambil hati," Gadis kelas tiga tersebut terkekeh dan mengelus kepala salah satu adik kelasnya, "tapi kalau kau tahu dia dari dulu, berarti kau tahu apa yang dia suka dan tidak, bukan?"
Perkataan itu terngiang di pikiran gadis bermanik giok sampai mereka tidur bersama malam itu.
Entah mengapa, Navira meragukan perkataan tersebut meski menyangkal kalau dirinya tahu semua hal tentang Shinsuke.
Tak terasa, pagi telah tiba dalam sekejap tutup mata.
Selama mereka pergi menuju SMA Inarizaki, Navira terus ditanyai mengenai soal kemarin dan tetap menolak untuk menjawab, sebelum dijelaskan oleh Kiyoko kalau itu privasinya sendiri. Ingin sekali rasanya cium tangan pada sang kakak kelas.
Tentu saja ia akan menceritakannya jika hatinya sendiri sudah siap untuk menanggung malu. Tapi bukan saatnya.
Hari kedua telah dibuka dengan pemanasan di gedung olahraga Inarizaki. Setelah pemanasan berjamaah, kedua tim sudah siap untuk bertanding lagi.
Tapi kali ini, ada yang lain.
Karena Shinsuke maju sebagai starter team set pertama.
Ukai terdiam. "Anak itu maju menggantikan Ginjima lagi. Tumben."
"Mungkin mereka mau mencoba hal baru. Inarizaki susah untuk ditebak selain serangan Miya Kembar." komentar Takeda yang duduk di sampingnya. Strategi kemarin memang sedikit oleng, tak menyangka kalau susunan tim depan dan belakang set pertama akan sedikit berubah.
Navira juga sama terdiamnya sebelum menatap kepada yang bersangkutan.
Tidak ada yang terlalu mencolok pada sang pemuda berambut dwiwarna. Secara keseluruhan, penampilannya saat ini prima meski hanya pertandingan skala kecil.
Rasanya Shinsuke terlihat siap untuk mengalahkan Karasuno seperti kemarin, memimpin para rubah cerdik di belakang komandonya.
Tak sengaja, kedua mata mereka bertemu sepersekian detik.
Sontak, Navira mengalihkan pandangan dan berusaha bersikap biasa saja. Sementara Shinsuke sudah kembali fokus pada pembicaraan dengan Sawamura untuk mengatur siapa yang serve terlebih dahulu.
Peluit ditiupkan, dan dimulailah pertandingan di hari kedua.
Tidak banyak yang berubah, selain formasi dan teknik saling diandalkan oleh masing-masing tim. Reli panjang, pukulan tajam mengambang, dan penerimaan yang sampai membuat kebas tangan, semuanya lengkap di pertandingan kecil diantara gagak dan rubah.
"Noya-san, nice catch!"
"Follow!!"
Pertahanan Inarizaki cukup stabil saat komandannya masuk lebih awal, tapi penyerangan jadi sedikit sembrono saat setelah memimpin beberapa poin. Mau tak mau, Inarizaki terlihat seperti mencoba teknik yang sangat acak; apalagi kelinci percobaannya adalah dengan Karasuno.
Mungkin ini pengamatan yang terlalu dilebih-lebihkan, tapi gadis berambut gelombang tersebut merasa kalau Shinsuke ingin memamerkan kemampuan Inarizaki.
Tapi untuk apa?
Pikiran itu tak diindahkan Navira sambil mencatat skor akhir pada saat sudah mencapai di set kedua.
Angka kedua tim mencapai seri ketika waktu telah habis.
Akhirnya ia berdiri membantu kedua manager lain untuk menyebarkan minuman pada anggota tim.
"Otsukare."
"Ah, sankyuu!" Tanaka menerima botolnya dan meminum dengan santai, "Kau tidak apa-apa, bukan?"
"Eh?"
"Kau terlihat lesu. Sakit, bukan?" tanyanya, disambut gelengan singkat.
"Tidak apa, Tanaka-san. Aku baik-baik saja, kok."
"Alah, palingan kepikiran soal kemarin."
Navira menoleh saat Tsukishima yang lewat, menyinyir saat akan duduk di bangku.
Kedua tangannya berada di pinggang, kesal dan gemas. "Kepo banget jadi orang. Lagipula kami cuma bicara saja di luar. Tidak ada yang lebih."
Tanaka seperti baru ingat dan menggodanya. "Oho? Jadi memang benar rumormu ditembak itu benar adanya?"
"Hah? Eh, beneran??" Noya menyambung, di samping Tanaka dengan penasarannya.
"Haa?? Tidak benar—"
Navira hendak membantah tapi Tsukishima menyeringai sinis. "Siapa yang tahu? Aku cuma bilang soal kemarin, bukan soal konteks pembicaraanmu."
Muka gadis itu makin menahan amarah pada si tiang listrik. "Kau..."
Tepukan tangan dari Sawamura yang meminta perhatian dari semuanya membuyarkan pembicaraan. "Ayo, semuanya cepat minum dan berkumpul!"
Setelah briefing singkat dan evaluasi, Karasuno mulai membereskan barang bawaan dan berkumpul dengan tim Inarizaki. Ada pelatih mereka hari ini, dan terlihat senang karena bisa melihat latihan tanding tadi.
"Terima kasih sudah mau ke tempat kami, Pak Ukai, Pak Takeda."
"Ah, justru kami yang berterima kasih. Ini bisa jadi pengalaman belajar tim kami!" Takeda menunduk sopan.
"Kita akan bertemu jika sudah masuk kualifikasi seperti kemarin."
Ketiga pria berjabat tangan sebelum kedua tim memberi hormat bersama.
"TERIMA KASIH BANYAK!!"
Sedari tadi Navira hanya menunduk saja, tidak berani melihat orang-orang dan melihat lantai gedung saja. Tapi saat berjalan untuk keluar gedung, matanya terasa gatal untuk memandang ke arah tim lawan.
Serasa ada yang memandangi, akhirnya sang gadis gagak menolehkan kepalanya.
Ternyata Shinsuke benar-benar menatapnya lagi.
Tapi kali ini dengan senyuman tipis.
Langsung saja, Navira tertegun dan membuang muka ke depan. Poni rambutnya menutupi sebagian wajah.
Tidak mungkin ia memperlihatkan wajahnya yang mendadak merona.
Bersamaan dengan itu juga, latihan tanding Karasuno melawan Inarizaki berakhir di hari yang kembali berjingga.
.
.
.
To Be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro