Special Chapter. Ringo Ame
Ditemani sepi dan sunyi, Shinazugawa Sanemi berjalan menelusuri kota. Tampaknya sedang ada sebuah festival— yah wajar saja, toh ini tanggal tiga puluh satu Desember. Hari ini adalah hari tahun baru. Itu juga alasan mengapa ia mendapat libur dari misi-misi melelahkan dan memuakkan.
Namun, ia tidak peduli. Rasa tahun baru sama saja setiap tahunnya. Hambar. Keramaian hanya akan mengingatkannya pada fakta bahwa kali ini ia masih akan merayakannya sendirian. Hanya ditemani oleh dua aspek yang selalu melekat dalam hidupnya, warna dari sepi dan kehampaan tak berujung.
Sebenarnya, jika ia mau ia bisa saja menghabiskan malam tahun barunya dengan sesama pilar. Sekedar mengobrol sambil melihat kembang api dari kejauhan, atau sambil makan manisan dan beragam masakan enak lainnya yang hanya bisa dinikmati di akhir tahun.
Selalu ada Kochou Kanae yang senantiasa mengajaknya untuk melihat kembang api bersama. Juga, selalu ada tolakan mentah-mentah yang menanggapi.
Toh, semua itu tidak berhasil menarik sejumput 'pun hasrat atau semangatnya untuk merayakan tahun baru yang selalu berulang. Untuk pemuda berhelai awan itu, semua terasa membosankan dan tidak ada gunanya.
Semua terasa memberi nuansa skala abu-abu yang membosankan. Tak ada secercah 'pun warna lain yang berhasil tertoreh dalam hati hampa-nya.
Sebenarnya, adik Sanemi— Shinazugawa Genya, selalu mengirimkan surat dalam jangka waktu tertentu untuknya. Namun, semua itu tidak pernah mendapat balasan apapun.
Hari ini juga, surat itu datang padanya tadi pagi. Lalu berakhir dengan dicampakkan disudut kamar pemuda itu. Membacanya hanya akan menoreh perih tambahan. Bagai menggosok-gosokkan garam diatas luka lama-nya yang dibuka paksa.
Sepi adalah warna dari tahun baru Sanemi kali ini, jika— ia tidak bertemu dengan sepasang bongkah [eyecolor] penuh hidup.
Beberapa tahun lalu adalah tahun pertamanya sebagai pilar. Menjalani tahun baru ditemani sepi yang mencabik seperti biasa seolah itu adalah ritual tahunan, Sanemi memutuskan menyusuri jalan tanpa tahu tujuan. Toh, ia hanya sekedar ingin mencari angin dan melihat keriuhan festival di tempat lain— tanpa ada niatan bergabung. Tampaknya, ia terlalu terbiasa dengan sepi yang menemani— hingga ia terlalu setia dan tak kuasa mengusirnya. Haha...
Warna dari malam tahun baru itu— dan tahun baru seterusnya adalah sepi dan hampa tak berujung. Jika ia tidak bertemu gadis itu secara tidak sengaja. Ia ingat betul bagaimana pertemuan pertama mereka.
Terjatuh tersungkur, itu adalah seorang gadis berkulit pucat dengan kimono warna [favcolor] yang indah. Bunga-bunga dan sulur-sulur tanaman yang menjadi motif memberi keindahan tersendiri. Topeng rubah— atau yang biasa disebut kitsune terpasang di samping kepala gadis itu. Helai [haircolor]nya terikat rapi dalam sanggul rendah.
Mengulurkan tangan sebab ia yang bertanggung jawab atas jatuhnya gadis itu, ia bisa merasakan betapa halusnya permukaan kulit yang membalut otot-otot tipis serta tulang kokoh didalamnya, beserta pembuluh darah hangat itu.
Mengucap maaf sebab ia yang menabrak dengan begitu keras, pemuda bertubuh kekar dengan banyak bekas luka itu sedikit cemas dengan keadaan gadis yang ia tabrak. Belum lagi, fakta bahwa ia membuat Ringo ame dalam genggaman gadis itu terjatuh dan kini dinodai oleh tanah kotor.
"Kau baik?" Manik lavender buram itu sedikit memperlihatkan percik ketertarikan. Apakah gadis yang ditabraknya ini akan menarik secercah hasrat hidup beserta semangat dalam lautan abu-abu hampa tak berujung? Entahlah...
"...ya, maafkan aku juga..." Ya, ampun! Suaranya mengalun begitu lembut! Sanemi seakan mendengar suara malaikat manis yang mendayu— walau ia belum pernah bertemu secara langsung dengan malaikat.
Lalu, kini adalah puncaknya. Puncak di mana secercah hasrat dalam dirinya tertarik keluar secara keseluruhan. Begitu membuncah dan menggelora di dada.
Sepasang [eyecolor] indah itu menatap langsung, tembus dalam manik ungu yang menyirat kehampaan tak berujung itu. Lalu lengkung bibir merah manis dengan riasan tipis itu memberi senyum canggung.
"Tapi Ringgo ame-ku jatuh, Tuan— uh..." tawa-nya begitu lembut nan cerah, memperlihatkan deretan gigi putihnya. Canggung mengiringi gadis itu sebab ia tidak mengetahui nama pemuda yang menabraknya— dan ia tidak tahu mau memanggilnya bagaimana.
Entah atas dasar apa, lisan Sanemi begitu lancang memperkenalkan diri pada seseorang yang barusaja ditemuinya dan belum tentu akan bertemu kembali. Yah, mungkin ia hanya ingin mengusir kabut pengganggu suasana bernama canggung. Si Gadis berhelai [haircolor] menatap Sanemi dengan pancar hangat yang tidak pernah Sanemi tahu bahwa itu benar-benar ada pada manusia selain Ibunya. Bibir ranum itu melengkungkan senyum setipis benang sutera yang lembut.
"Aku [fullname]." Entah mengapa, bibir manis itu terlihat begitu menggetarkan hingga ke tulang belakang. Ia ingin mengecapnya lalu terbuai dalam candu berasa manis.
Sepasang pipi dengan rona alami itu, ah— Sanemi ingin menaruh kecup lembut diatasnya. Lalu membuat rona merah mekar lebih banyak di sana.
"Sanemi-san...? Kau baik?" Panggilan bernada lembut itu sejenak menarik Si Pemuda kembali pada realita.
Hening yang ada tidaklah memberi jawab untuk sepintas tanya itu. Gamitan lembut pada tangan halus [name] justru menambah tanya di benak.
"Ayo, ikut aku." Kalimat itu menghantarkan mereka ke depan kedai Ringo ame. Tangkai makanan manis itu diterima dan diberi sambutan berupa senyum hangat yang memabukkan serta ucapan terimakasih yang menumpahkan sesuatu yang lain.
Sesuatu yang membuat jantung pemuda itu berdesir— seakan terhenti sesaat lalu berdegup anarkis. "...uh... Yah, terimakasih kembali— kurasa..."
Sejak saat itu, pemuda berhelai putih sebersih awan dengan banyak bekas luka— baik batin maupun fisik selalu datang ke tempat pertemuan pertama mereka setiap tahun baru. Mengulang kejadian yang sama setiap tahunnya seolah itu adalah ritual wajib yang begitu khusus— serta sakral yang harus dilakukan.
Berpura-pura seakan ia tidak sengaja menabrak gadis berhelai [haircolor] itu. Lalu menawarkan bantuan dan menggantikan ringo ame nya yang terjatuh. Mereka berjalan beriringan dengan jemari bertaut yang memberi hangat disela-sela udara dingin menuju kedai makanan manis itu.
Namun, tahun baru untuk tahun ini berbeda. Yah, satu tahun lalu memang ada kejadian yang membuat tahun baru itu— serta seterusnya berbeda. Kulit pucat dari [fullname] terlihat jauh lebih pucat serta diiringi dingin yang menjalar ke sekujur tubuhnya.
Tidak ada lagi hangat dalam tubuh itu. Namun, Sanemi tetap menyukainya. Ia menerimanya. Sorot [eyecolor] itu masih memberi sensasi hangat saat menerima ringo ame.
Tapi itu malah memancing perasaan sendu bagi Si Pemuda. Menoreh lembut di atas puncak kepala berlapiskan helai [haircolor] dengan beberapa usapan, Sanemi mengajukan tanya. Sebuah pertanyaan yang sama seperti yang ia beri setahun lalu— saat tahun baru, di sebuah jembatan sepi.
"Aku takut kau membenciku." Air muka [name] terlihat tenang, namun menyimpan sejuta sendu. Ia menatap pada riak sungai di bawah mereka.
"Kenapa begitu?" Pertanyaan berintonasi biasa itu menyirat keterkejutan, juga butir-butir sedih. Sepasang iris [eyecolor] itu menatap pada sepasang ungu buram, dengan berlapis kehangatan.
"Karena, dulu kau pernah bercerita— kau benci iblis." Ada dua kesimpulan berbeda yang bisa diambil dari wajah terkejut pemuda disamping gadis itu.
Pertama, bisa diasumsikan sebagai keterkejutan atas dasar kesadaran. Yah, ia sadar akan statusnya sebagai pilar dalam organisasi pemburu iblis. Ia juga sadar ia membenci mahkluk berspesies iblis. Selalu. Yang satu ini menimbulkan segurat tanya dengan diawali kata 'mengapa'. Pertanyaan itu menuntun pada dugaan kedua.
Kedua, bisa diasumsikan sebagai keerkejutan atas dasar perasaan. Ia menyadari desir aneh yang menyebar sensasi asing bernama gugup saat didekat gadis itu— dan ia tahu apa nama dari perasaan itu. Tapi, mereka belum diizinkan untuk memiliki status sebuah hubungan yang khusus.
Memalingkan wajah, Sanemi memberi tanggapan setelah memakan waktu sepuluh detik untuk berpikir. "Ya— yah... kau berbeda... kau tidak memakan manusia 'kan..? Itu artinya kau berbeda, kau tidak sebusuk iblis lain."
Memang benar, gadis iblis satu ini hanya perlu berdiam diri dalam tempat dengan gelap total maka energinya akan terisi dengan sendirinya.
"Tapi, tetap saja aku iblis, Sanemi-kun..." kali ini suara itu diiringi sendu yang mencabik hati.
Ya, Sanemi tahu itu. Iblis tetaplah iblis— dan harus dibinasakan bagaimanapun juga. Tapi, persepsinya tentang yang satu ini mengatakan bahwa masih ada iblis baik di luar sana. Terbukti dari pertemuan pertama mereka tahun lalu— dengan [name] yang telah menjadi iblis.
Gadis itu tidak menyerang barang segores 'pun. Ia terlihat menyerahkan diri, dengan senyum yang merobek hingga ke dasar hati sedalam samudera milik Sanemi.
"Ayo bunuh aku, Sanemi-kun!" Ia ingat gadis itu mengajukan permintaan. "Jika kau yang membunuhku, aku ikhlas!" Kalimat itu membuat tangan kekar dengan banyak bekas luka itu lunglai. Ia menjatuhkan nichirin hijau-nya. Membiarkannya tersentuh tanah kotor.
"Aku sudah menunggumu... untuk datang dan membunuhku, Sanemi-kun! Maka, tolong jangan buat aku menunggu lebih lama!" Tidak. Ia tidak bisa. Kedua kakinya lemas dengan lutut menghantam tanah. Keputusasaan diekspresikan dengan bulir bening menuruni pipi.
"Siapa yang melakukan ini padamu?!" Bahkan, sampai sekarang 'pun pertanyaan itu masih mengalir dingin dengan arus kemarahan yang kentara.
Bedanya, kali ini gadis itu memberi jawab. "Entahlah... dia punya tiga pasang mata dan membawa sebilah pedang. Sama seperti milikmu. Ia membunuh seluruh keluargaku dengan alasan yang tidak kuketahui."
Penjelasan itu bukannya memberi secercah tenang seperti yang diharapkan [name], namun malah menimbun lebih banyak amarah dan dendam yang bergumul hitam. Di sisi lain, dinding kokoh bernamakan tekad telah tercipta dalam dasar hati Sanemi.
"Akan kubunuh dia agar dendammu terbalaskan." Bukannya menunjukkan senang, air muka gadis itu malah menyorot sedikit sedih dan segan.
"...entahlah... sejujurnya aku tidak dendam pada siapapun— atau apapun yang telah membunuh keluargaku dan menjadikanku seperti ini..." kalimat itu menunjukkan betapa putih hati seorang [fullname]. Betapa manis dan candu lautan hati gadis itu untuk diselami.
"Tapi aku dendam." Kalimatnya terdengar tegas dan menujukkan tekad. Itu semakin menenggelamkan [name] dalam lautan warna biru sendu yang membuat ekspresinya kentara akan sedih.
"... jadi... kau tidak suka aku yang seperti ini 'ya..." ah, tatapan itu. Sangat jauh berbeda dari yang biasanya. Kali ini tidak terlihat seperti hutan hujan yang penuh kehidupan dan senantiasa memberi teduh di sanubari.
"Ti— tidak!! Bukan begitu!! Hanya saja..." balasan cepat itu mengundang torehan penasaran. Ekspresi itu tetap kukuh, meminta lanjutan dari kalimat yang menggantungkan [name] dalam kabut bingung dan sedikit takut.
"Aku tidak suka kau bersedih karena keadaanmu yang sekarang." Hendak memberi sanggahan namun dengan cepat gadis itu menerima tepisan.
"Aku tahu kau sedih. Salah satu penyebabnya adalah, kau tidak lagi menikmati ringo ame yang kuberi seperti tahun-tahun sebelumnya..." kali ini, suara itu berintonasi penuh kelembutan. Sungguh hal yang langka dari seorang pilar angin bernama Shinazugawa Sanemi.
Ya, memang benar. Sejak kejadian itu, ringo ame telah kehilangan manisnya. Kini terasa begitu hambar— bahkan, cenderung pahit. Namun, ia tetap berusaha menikmatinya. Demi pemuda yang selalu menemuinya setiap malam tahun baru. Demi pemuda yang tidak berpaling setelah mengetahui keadaannya yang sekarang.
"... maaf..." hanya itu yang bisa diucapkan gadis itu. Memang, apalagi yang bisa ia ucapkan?
"Tidak apa. Namun, satu hal yang pasti." Lagi-lagi ia menggunakan kalimat yang membuat [name] terombang-ambing dalam lautan penasaran. Yah, mau bagaimana lagi? Sanemi terlanjur candu akan setiap ekspresi yang dibuat gadis itu— bahkan setelah ia menjadi iblis.
"Aku akan berusaha mengubahmu kembali menjadi manusia." Kejut memenuhi kabut dalam pusaran [eyecolor] itu.
"Lalu aku akan menikahimu." Semu merah muda pekat nan manis yang menjalar dari pipi hingga telinga itu menandakan betapa dalam hatinya tercelup dalam lautan merah muda kasih sayang. Membuat [name] berdebar-debar mendengarnya.
"Eh?!" Tawa se-ringan permen kapas menjadi respon yang diberi oleh Sanemi. Lalu ia melumat habis belah bibir tipis Si Gadis membuat merah itu menjalari telinga gadis itu.
"Sungguh, aku tidak bercanda. Sejak dulu aku ingin menikah denganmu— dan itu adalah salah buktinya." Napas dihela demi memberi tenang sejenak pada jantungnya yang berdebam anarkis sebab kelakuannya yang bisa terbilang cukup nekat. "Jika saja aku lakukan itu lebih cepat... ini tidak akan terjadi."
"Maka dari itu, resolusi tahun baruku adalah mengubah [fullname] kembali menjadi manusia lalu menjadikannya milikku!!" Impian besar secerah bintang yang diucap dalam lantang memanglah tidak dapat membelah hamparan gelap langit malam yang kejam. Namun itu sudah cukup untuk menerangi— memberi hangat untuk sepasang jiwa itu. Membuat Si Gadis kehabisan kata-kata. Ia bergeming dalam hening, berusaha menenangkan debam jantungnya.
Rengkuh hangat menjadi hal yang bukannya memberi secercah tenang— seperti pada umumnya, namun malah membuat debam jantungnya semakin tak karuan. Seakan tubuh [name] dialiri air lautan yang kontras, tidak memberi dingin namun hangat.
Posisi kepalanya yang didekap dalam dada kokoh itu membuatnya bisa mendengar detak jantung pemuda itu yang tidak jauh berbeda dari miliknya. Sama-sama anarkis, namun menyalurkan kehangatan.
"Selamat tahun baru, [name]— ah, maksudku... calon istriku..!" Ia menggoda, memancing semu lebih pekat di pipi gadis berhelai [haircolor] itu. Lalu memberi kecup singkat sebagai penutup.
***
End...
Yah... ini sebenernya special chap buat tahun baru. But... saya mager ngepost nya. Jd baru terealisasikan hari ini. Ini cuma oneshoot. Ga ada nyambungnya ama kelanjutan fic ini.
Moga aja ini cukup manis :V//ga—
Yea... i know i know. This ain't fluffy but rather cringe :v toh ide ini dadakan yang cuma direvisi satu kali. Buat ganti adegan endingnya aja wkwk. Tadinya mereka nonton kembang api bareng dipinggir danau trs nemi kissu reader-chan— pas awal" ketemu. But meh... siapa sih yg main kissu ama org yg baru kenal. So i think ide nya bodoh. Makanya diganti walau tetep agak aneh-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro