Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Hidup Itu

Siang itu cerah, langitnya biru dengan awan tebal melindungi dari terik cahaya matahari. Cuaca tidaklah panas, terasa cenderung hangat dengan semilir angin yang senantiasa menyejukkan. Dedaunan berjatuhan karenanya.

Hari yang cukup menenangkan—bagi sebagian orang, ditambah suara burung kecil, tentu saja begitu membubuh putih yang tenang di hati. Tapi, tidak bagi pemuda bermarga Shinazugawa itu.

Pilar angin dengan haori putih itu memanglah berjalan dengan nada yang terlihat tenang, berlawanan dengan raut wajahnya yang senantiasa garang. Seperti biasa, ia membawa sebungkus camilan—entah apa itu, ia memilihnya secara acak—untuk dibawa ke Rumah Kupu-kupu.

Dengan genangan iris ungu kelabunya yang senantiasa seolah menatap lurus ke depan, akan tetapi ialah jarak yang begitu jauh telah digapai-gapai oleh kereta benak. Seakan dalam hening-nya yang terlihat ditemani oleh keseriusan setia, gusar adalah iblis yang membayang sebab ia mencari akan sesuatu. Sebuah hal—atau mungkin keberadaan dari seseorang, mungkin-mungkin saja ia akan melakukan sesuatu seperti penagihan sebagai bayaran atas sesuatu bernama rindu kelu yang senantiasa membelot, merangkul erat dan begitu menyisa sendu.

Dehaman pelan lolos dengan ringan dari lisan pemuda Shinazugawa itu dikala bongkah amethyst nya menangkap sosok laki-laki yang lebih muda darinya, dengan tanda kobaran matahari di dahi. Sapaan mengalun dibubuhi hangat dalam nada itu dibalas dengan setara.

Mungkin Sanemi akan berbasa-basi barang sepatah dua patah kalimat—mengingat hal tidak mengenakkan pernah ia lakukan pada anak muda ini—Tanjiro Kamado. Lebih tepatnya pada adik kecilnya—Nezuko Kamado, sekelebatan memori menghampir, mengisi sejenak akan bagaimana ia memancing Nezuko dalam wujud iblis untuk menyerangnya dan meminum darah manusia.

Canggung ialah apa yang mengisi di antara celah-celah keheningan yang tercipta dalam mereka, dan itu terlukiskan jelas dari bagaimana guratan senyum diulas dalam air muka. Akan tetapi, semua itu seketika sirna setelah beberapa pembicaraan kecil—diinisiasi oleh Tanjiro demi mengganti canggung yang membelenggu.

Kini, hangat merah muda lembut adalah apa yang mengisi. Begitu penuh dan membanjiri, hingga membuat hati Sanemi tercelup warna indah dari storge. Ia tidak begitu menyangka—lebih tepatnya sesuatu bernama harapan sudah lama pergi beranjak dari hati tandusnya sebagaimana pada kala itu, adiknya tewas saat melawan iblis bulan atas pertama. Cinta keluarga adalah apa yang benar-benar pupus—setidaknya dalam lingkup persepsi pemuda berhelai putih itu.

Tangannya yang masihlah berbalut perban memang belum apik mencapai kesembuhan, tapi biar bagaimanapun jua seolah rasa keinginan menjelma menjadi benang dan Shinazugawa Sanemi ialah bonekanya untuk sementara waktu. Pada saat ini saja, ia mengelus pipi penuh dan lembut gadis bermanik merah jambu, dengan sendu yang menyorot dari violet keruh.

Senyumnya mengulas dengan kehangatan sewarna biru perpaduan rindu dan sendu sebab dikala bincang ringan Nezuko berkata bahwa ia "suka tidur". Pemuda dengan banyak bekas luka—yang pastinya itu bertambah karena perang besar melawan iblis, tidak bisa kalau-kalau sampai tetap berekspresi masam nan garang seperti biasanya.

Ah, ya .. perasaan ini .. nostalgia namanya, eh? Ini hampir-hampir terasa seperti orang itu. Sebungkusan camilan yang ia bawa diberikan dengan ketulusan bermekaran untuk Kamado bersaudara—diterima dengan kecanggungan manis khas Si Sulung Kamado, tentunya.

Sendu dan rasa manis semakin mengisi tatkala seonggok pohon sakura dapat ditangkap sepanjang jangkauan netra ungu keruh menelusur ke arah luar Kediaman Kupu-kupu.

"Seperti di kala itu 'eh?" Kali ini, benaknya seperti memerintah agar ia lagi-lagi berjalan ke sana, entah demi tujuan apa. Paling-paling sekedar bersantai belaka, menikmati hilir angin sepoi-sepoi atau mungkin sesekali berbincang ringan dengan pasien rawat Kediaman Kupu-kupu lainnya.

Seperti hari-hari biasanya, Sanemi tetap menurut. Sebab ia sesungguhnya memiliki tujuan cukup khusus yang bisa dibilang agak-agaknya personal—menunggu sesuatu. Atau lebih tepatnya sebuah kejadian, hal yang menjadi satu-satunya pegangan agar ia bisa terus melangkah maju, seperti hal yang dulunya malah membelenggu, ironis ataukah perkembangan—apapun itu, subjektifitas ada di dalamnya.

Juga, di dalam subjektifitas, ada kebebasan untuk berasumsi. Pada hari ini lagi, tolong biarkanlah pemuda dengan marga Shinazugawa itu bebas. Mencari dan meraih-raih apa yang bisa ia sebut harapan, untuk ia ubah itu menjadi alasan. Agar ia bisa tetap semangat melihat hari esok dan seterusnya. Supaya di hari-hari buruk sekalipun jua, ia tetaplah memiliki apa-apa yang diperlukan untuk membuatnya dapat merasai ketegaran dan tetap melanjutkan hidup.

Karena, hal-hal yang ia sayangi sudahlah pupus seiring ia menapaki jalan hidup. Kali ini saja, wahai dewa, wahai pohon sakura, atau bahkan wahai langit biru—Sanemi tidak peduli memohon pada apapun, asalkan apa yang menjadi isian doanya dapat terkabulkan. Jikalau ia yang ditunggui tidaklah kembali, setidaknya berikanlah Sanemi sesuatu berupa tanda bahwa orang itu tetap hidup bahagia dan sehat.

Atau setidaknya jikalau ia boleh merangkul yang namanya egoisme barang sejumput saja—dan mungkin boleh sebab ia manusia dan itulah sifat dasar manusia. Lagipula egoisme Sanemi harusnya menjadi sesuatu semanis madu dengan kilau-kilauan serupa. Satu kali saja, izinkan Sanemi menemui ia dan memeluknya sebegitu erat seakan tidak lagi mau melepaskan sebab egois sudah menjadi belenggu.

—tetapi, bukankah cinta itu semata-mata memang egois? Ah .. cinta 'ya?

Begitu pemikiran itu menetes jauh dalam benjana benak, merah muda manis yang indahnya setara dengan hamparan tulip merah itu tidak bisa ditahan, lalu menghias pipi. Ia jadi berdeham sebab gugup tidak jelas entah mengapa merangkul.

Ah .. dipikirkan lagi, bukankah egoisme manusia begitu indah? Wajar-wajar saja jika banyak dari mereka yang begitu terbuai, termanja olehnya. Karena gambaran yang diberi benak pemuda bermarga Shinazugawa sebagai buah dari egoismenya kali ini entah mengapa bisa sebegitu manis, namun terasa agak-agak bid'ah sebab bernadakan kekang.

Mengatakan secara langsung "aku mencintaimu" dengan cara lama dan klasik, mungkin terdengar bagus kalau-kalau ia benar-benar akan bertemu kembali dengan orang itu. Tapi mengenal bagaimana dia, tentu dia akan tertawa dengan alunan meledek dulu, mungkin. Jadi entah atas dorongan apa, Sanemi melatih dirinya tepat di hadapan pohon sakura dipenuhi merah muda. Seolah-olah itu betul-betul gambaran manusia yang faktual dan nyata adanya.

Mungkin-mungkin saja saat orang itu datang, pemuda dengan marga Shinazugawa itu bisa lebih fasih dalam mengucapkan pengakuannya—memang harus. Sebab tidak akan ada lagi kesempatan ke dua, ia sudah melewatkan begitu banyak. Harapan setipis benang ini ialah yang terakhir, dan yang paling ia pegang kuat-kuat jika boleh sedikit jujur.

"[Na .. me ..] aku- a-ku su .. ka .. kamu .." percobaan pertama memanglah tidak pernah bagus, maka dari itu ia mengulang-ulang dalam beberapa kali.

"[Name] a-aku suka .. ka .. k-kamu .." itu sudah jauh lebih lancar ketimbang percobaan pertama, iya? Tapi kepuasan belumlah ia raih. Beberapa percobaan berikutnya malah memburuk sebab-sebab fatamorgana benak menghampar sebuah imaji yang kelewat indah nan manis.

Bagaimana tidak, bayangkan [name] dengan surai [hair colour] nya disanggul rapi dan indah. Lebih-lebih lagi kalau tusuk konde berornamen bunga yang jadi hadiah dari Sanemi masihlah ia pakai. Lalu gadis itu seperti di masa kecil mereka, memakai kimono dengan desain sederhana yang tetaplah indah.

Sorot matanya sendu, selalu begitu dan tidak akan pernah berubah, lengkung senyumnya juga demikian tapi tetaplah dibubuhi manis. Lalu gais itu mengangguk dan mengiyakan—lalu mereka menikah dan punya dua anak laki-laki, jangan lupakan satu anak perempuan bungsu. Oh, atau mungkin sebaliknya, dua anak perempuan dan satu laki-laki bungsu—atau berselang-seling juga tampaknya bagus, seperti apapun yang [name] sukai nantinya Sanemi akan menurut-nurut saja.

Ah .. sesuatu yang terlampau indah begitu harusnya jadi pacuan, bukannya malah menghambat begini, jadilah ia menyerukannya dalam satu tarikan napas sebagai upaya lain dari latihan.

"[Name], aku mencintaimu!! Ayo kita menikah lalu punya keluarga yang bahagia!!" Sepasang netranya dipejam dengan merah menjalar hingga telinga nya. Napasnya dihembuskan perlahan, lalu diatur seakan debam jantungnya yang berisik akan ikut tenang.

"Ahahaha." Tawa itu begitu jernih, dalam nada dan intonasi yang diiringi familiaritas, Sanemi seakan didobrak di siang buta. Mungkin telinga-nya menipu untuk kali ini, sebab imaji yang terlampau nyata. Akan tetapi, asumsi itu terbantahkan sebegitu cepatnya karena kelembutan yang ia rasai di pucuk kepala.

"Baiklah, aku terima lamaranmu, Nemi." Panggilan itu, hanya ada dua orang yang menggunakannya. Tidak mungkin itu Genya, sebab suara ini adalah suara perempuan dan Genya sudah tiada. Itu artinya—

"[Name]?!?" Berdiri di hadapannya ialah orang yang telah Sanemi tunggu sepanjang tahun-tahun yang dilalui garisan hidupnya. Ia adalah [full name], dengan kelopak sakura di tangan yang ia ambil dari pucuk kepala berhelaian putih itu.

"Ah, ya ampun! Nemi-ku kenapa bernada begitu? Tidak suka 'kah aku kembali?" Kesalahpahaman yang sepertinya naik, membuat Sanemi ingin segera melibas itu seolah melibas iblis.

"Tidak! Tentu bukan begitu—maksudku .. ya .." dehaman penuh tanya dari Si Gadis menyerta setelahnya, dengan sorotan dari manik [eye colour] yang seakan mengunci pada sepasang bongkah ungu pemuda Shinazugawa.

Tengorokkan Si Pemuda dibersihkan walau tidak terasa kotor demi menelan mentah-mentah bulatan kegugupan. "Ya .. aku .. senang melihatmu .. ah, itu bahkan bukan apa yang tepat untuk menjelaskan 'sih .. mungkin, luar biasa adalah kata yang tepat. Iya, itulah yang kucari."

"Begitukah? Mengapa? Pastinya bukan sebab cuma-cuma melihat aku 'kan?" Gadis itu memincing mata dengan ulasan senyum meledek membuat merah kembali menjalari pipi Sanemi.

"Karena—"

"Ya?" Tatapan itu lagi-lagi mengunci, menunggu kelanjutan.

"Karena kamu .."

"Mhmmm .." senyum meledek itu semakin melebar, debaman jantung pemuda Shinazugawa itu semakin tidak aman.

"Karena kamu menerima lamaranku, puas?" Sorot ungu kelabu itu memanglah memincing seolah sebal, dan pipinya yang merah digembungkan sambil cemberut, tapi letupan kembang api bahagia di hatinya tidaklah berbohong. Itu terpancar melalui air muka.

"Tentu, tentu aku puas. Tapi, satu hal, tidakkah kamu mau tahu mengapa?" Penasaran dalam lubuk diri Sanemi dipantik, dan itu menyala-nyala sekarang ini. Jadi ia bertanya, "mengapa?"

"Karena .. kamu tahu bagaimana aku selama tahun-tahun terakhir ini berkelana dalam kembara. Untuk mencari apa tujuanku, apa yang sekiranya menjadi panggilanku sebagai pegangan hidup setelah ambisi terakhirku kala itu terpenuhi."

Dengan keseriusan yang tenang sebagaimana air tidak beriak, pemuda berhelai putih itu masih memperhatikan tiap-tiap kata dari lisan [name].

"Lalu dalam kembara itu aku menyadari, bahwa satu-satunya tujuan yang kumiliki sejak awal ialah kamu—Nemi-ku, yang betul-betul menjadi aspek besar dalam bagaimana aku menjadi manusia. Oleh sebab itu aku berusaha agar kita benar-benar bisa bertemu kembali, walau sekiranya hanya sekali."

Itu menyisip ingatan lain dalam benjana benak Sanemi. Tentang rumor di kala itu bagaimana [fullname] membantu Shinobu Kocho dan tim medisnya dalam meracik racun untuk perang melawan iblis.

Hati Sanemi lagi-lagi dibubuhi percikan warna-warna indah yang berkilauan. Lalu itu melebur dan menjadi hangat yang melingkup. Itu adalah perasaan seperti bahwa ia tidaklah sendirian—tidak lagi sendirian dan tidak akan pernah. Sebab [full name] akan selalu ada bersamanya, dengan jarak seperti apapun itu.

"Begitu .. kah?" Lisan pemuda itu agak-agaknya terkunci oleh kekaguman dan hangat yang manis, begitu indah merangkul, menjadi teman hati. Walau, sesuatu kembali mengganjal sedikit.

"Bagaimana dengan ia—kamu tahu, Si Tomioka itu .."

"Ah .. aku sudah lebih-lebih dulu menjelaskan ini sebenarnya, sebelum aku pergi, malah. Aku egois 'ya? Hehe .." tawa pelan manis di akhir itu tentunya semanis egoisme gadis itu selama ini. Bagaimana ia tidak mau menyakiti pihak manapun dan tidak mau kepergiannya menjadi belenggu siapapun—Shinazugawa Sanemi paham itu. Begitu paham hingga kata-kata tidaklah perlu untuk dilontarkan denga jelma penjelasan. Sebab itu akan menjadi retorika belaka tanpa makna tambahan apapun.

Tangan satu sama lain digenggam dalam kesadaran yang entah bagaimana kolektif dimiliki berdua. Di bawah pohon sakura lebat dengan merah mudanya yang manis dan indah, mereka saling menatap.

Itu adalah awal dari sebuah janji baru. Bahwa, mereka kini akan saling memiliki, saling menjaga dalam keadaan apapun. Juga sama-sama merajut hidup yang baru dengan penuh damai setelah lika-liku rentetan kejadian yang menjadi penghalang, serta perang dengan iblis.

Semuanya telah usai, akan tetapi itu menjadi arti bahwa awalan yang baru akan membentang. Mereka akan menelusuri jalan hidup baru yang indah, tapi tanpa kesendirian sebab mereka tidak akan pernah lagi melepaskan satu sama lainnya untuk alasan apapun jua.

"Ayo hidup bersamaku."

"Ayo mencari makna hidup denganku." Keduanya mengulas senyum bersamaan lalu tertawa dengan alunan manis.

***

"Nah, ini selesai. Tujuan kita juga semuanya tercapai walau sempat ada kendala 'heh?" Seringaian itu terlihat seperti senyum khas anak-anak yang agak meledek. Dibalas dengan senyum simpul dengan nuansa serupa oleh Si Mata Biru.

"Ya, kultivasi serta operasi percobaan pembuatan dunia dalam buku lalu menjebak salah satu onmyouji. Ini menyenangkan. Kamu bahkan sampai pakai nama palsu loh eheheh .. setelahnya mau kamu apakan buku itu?" Pertanyaan di akhir di jawab langsung oleh Si Mata Hijau dengan tindakan berupa pembakaran.

Buku itu dilempar begitu saja pada tungku perapian di salah satu sisi ruangan remang-remang dengan penuh rak dari berbagai macam bahan dan diisi oleh benda-benda aneh.

"Karena kisahnya sudah tamat dengan indah, biarlah ia tetap seperti itu dalam keabadian. Makanya aku bakar itu, biar tidak lagi terjadi hal-hal yang sekiranya di luar perkiraan." Antusiasme dalam aliran nada itu, menular.

"Wah, ide bagus! Ide bagus!"

***

End.

Yyyyeeeyyy akhirnya end ini book

Bonus gambaran aku hwhwh Nemi sama [name]✨

Jangan colong atau tak gedig palamu 🤧//emang ada? Moga engga wwww

Sebenernya ini dikit isi bukunya, cuma akunya aja yang nunda-nunda nulis LMFAO

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro