28. Derniere Danse
Guratan warna hitam menghampir, melapisi langit sepanjang netra bisa menangkap. Pertanda malam lagi-lagi sudah muncul seperti pada umumnya dengan dingin yang lagi-lagi melingkup.
Sepasang mata dengan semburatan hijau menyala dalam gelapnya lingkup bayang-bayang pepohonan sedikit menyipit. Jika memfokuskan netra sejenak, seguratan rembayang cengir bodoh akan tampak, itu ditujukan untuk ia yang kini ada di sebrang dengan jarak kurang dari satu meter. Dengan sepasang bongkahan safir menyala yang juga menyipit sebab senyum tertutup, dua insan itu sedikit tertawa.
"Nah .. Ryuu .. menurutmu ini bakal jadi bagaimana? Bagaimana??" Si Mata Hijau bersuara. Memancing tawa kecil megalun dari lisan Si Mata Biru.
"Apa kamu jadi mengajak aku taruhan?? Taruhan 'kah ini??" Antusiasme dua orang itu ganjil, walau menyisip fakta bahwa mereka memanglah aneh dan eksistensi mereka dalam hutan cuma-cuma menambah keganjilan dan rasa gelisah belaka bagi sesiapapun yang menjumpa.
"Bukan taruhan, tapi perkiraan, Ryuu," Yang mata hijau mengkoreksi, dengan cengir yang tentu melebar begitu sepasang netra masam menangkap bahwa yang ditunggu-tunggu tiba.
***
Sepasang kaki dengan sepatu hitam itu melangkah, menyusuri rumput setinggi betis. Dengan netra [eye colour] yang menerawang, menelan apa-apa yang bisa ditangkap dalam genangan iris walau cahaya malam memanglah membatasi.
Toh, memangnya [name] peduli apa? Selama ia adalah manusia dan masihlah menjadi manusia, maka ia akan tetap begini. Sebab itulah bagaimana ia hidup, bagaimana gadis itu mengambil genggam akan gambaran diri sendiri dan berpegang kuat padanya.
Manusia—mungkin, sesuatu yang bisa disebut insan atau apa yang dianggap sebagai gambaran diri murni dari seseorang, tentunya dalam benjana lautan benak orang-orang dalam skala mayoritas, ialah mereka-mereka yang bisa berpegang kukuh akan sesuatu dan tidak melepasnya barang sedetik pun jua.
Oleh sebab itu, tidak peduli dinding atau apapun yang menghambat, gadis dengan surai [hair colour] indah tersanggul itu akan tetaplah menerobos. Biar ia menjadi apa yang dikata bagai pendosa cela sekalipun, atau mungkin dia akan jadi Yang Matir 'pun, [name] akan membuang semua peduli entah dalam hampa manapun.
Asalkan, ia bisa merasai kembali bagaimana dan apa itu jadi manusia setelah jiwanya agak-agak remuk redam dalam ruang hampa di kala itu. Katakanlah bahwa kini, di tanah lapang dengan rerumputan belasan sentimeter ini, sebuah ajang pembuktian akan [name] bangun. Sebuah pembuktian terhadap benak yang gila itu sendiri bahwa ia ada dan memang selalu begitu dengan gambaran yang kukuh tiada pernah remuk redam.
Kalau-kalau ia berhasil menerobos—balas meremuk redam dengan raungan dendam pada apa yang jadi penghalang di depannya kali ini, ia akan kembali jadi manusia. Setidaknya begitulah janji mereka di kala semburat senja menyingsing dan ia baru saja menolak tawaran untuk jadi hashira.
Jadi, oleh karena itu, sumpah kepada rembulan yang kini bertengger dengan purnama merahnya. Malam ini saja, biarkan [name] kembali kehilangan diri sebentar, melakukan sesuatu yang bisa disebut sebagai bunuh diri dalam bentuk metafora. Biarlah Si Surai [hair colour] kehilangan diri sendiri, melepas bagian dari dirinya yang akan jadi parasit.
Izinkanlah pada kali ini, dalam detak jantung kali ini, [name] akan membuang apa yang disebut sebagai empati. Sebab ia tidak lagi mau menangis seperti sebelum-sebelumnya. Terutama tatkala benjana genangan [eye colour] itu menangkap figur ia.
Luka lama kembali menganga, dengan taburan garam yang jadi pelengkap sebab figur yang paling tidak [name] harapkan malah muncul dengan balutan kimono modifikasi warna putih. Bibir merah jambu itu membuka, lisannya meloloskan sebuah nama.
".. Rushi .." entah mengapa atau mungkin saja figur dengan rambut merah dan manik sewarna darah itu menganggapnya sebagai sapaan. Rushi memasang air muka kaku, tapi balas menyapa dengan seribu tenang. "Lama tidak berjumpa, [name] .."
"Tapi, kenapa—" belum sempat [name] menyelesaikan apa yang ingin ia tanyakan, Si Rambut Merah menerjang dengan berang beserta jurus semacam tombak api. Rasa benci pahit bisa dirasai dari genangan merah pada iris itu, berputar-putar seperti pusaran, menelan Si Gadis Manusia. Tentunya ia akan keluar, akan selamat sebab—[name] melompat mundur agak memutar, mencipta jarak secara fisik.
"Ayo, kita selesaikan ini. Aku tidak suka ada penghalang buat tujuanku." Rushi tetaplah menghajar dengan tombak api-nya. [Name] menangkis dalam repetisi.
"Setidaknya jawab aku—" lagi-lagi tanya yang mengalun dari lisan itu terpotong sebab gadis oni dengan kimono putih itu berhasil menerjang bagian bahu [name] dengan tombaknya. Perih agak panas itu diabaikan, walau luka bakar terbentuk karenanya. Toh, api penyembuhan akan jadi berkat bagi Si Gadis. "Mengapa— kau begitu membenciku?"
Pertanyaan yang berhasil dialunkan dan ditangkap lisan Rushi membuat samudera benaknya yang tenang kembali mencipta spiral. Berputar jauh kembali pada hari-hari itu. Hari bagaimana rasa pahit senama benci mulai bergumul dan tumbuh. Di kala orang-orang di rumah [surname] yang selalu membandingkan keduanya. Bahkan pelayan sekalipun punya lisan yang tajam saat itu, padahal yang anak adopsi itu [name].
"Karena engkau." Jawab singkat dengan es mengalir begitu jernih dari lisan itu ke telinga [name].
"Kenapa ..? Karena .. aku adalah .. diriku??" Heran yang berputar-putar dalam benjana genangan warna [eye colour] dan air wajah polos itu benar-benar skeptis nan tolol dalam pantulan merah darah Rushi.
"Ya! Karena kau—aku jadi kehilangan segalanya. Ayah—ah .. mengapa harus kau??" ekspresi tangguh yang mati-matian dipasang entah demi apa, begitu berlawanan dengan air hangat yang menggenangi pelupuk mata Rushi. Namun itu tidaklah mengguratkan rasa macam apapun jua dalam [name] selain dobrakan seberkas terkejut yang tentunya membuat sepasang [eye colour] itu membulat.
"Tapi, tidakkah kamu tahu, Rushi?" Tanya menggantung dari lisan [name] yang betul-betul penuh polos, penuh ketidaktahuan—sungguhlah terasa macam penuh ketololan menjengkelkan bagi telinga Si Iblis merah. Jadi kini dengan menggertakkan gigi, ia mengangkat tinggi-tinggi tombaknya. Demi mengacungkan satu hentakan dari apa yang telah ia simpan, kapasitas kemampuan yang sesungguhnya hingga [name] ada pada posisi terjatuh dengan Rushi di atasnya.
"Tahu apa??" Yang menjadi pembuka jawab setelahnya ialah sendu. Sorot nanar dari sepasang bongkah [eye colour] itu menjangkau, menusuk-nusuk begitu jauh dalam lautan merah rubi Rushi. Macam belenggu kurang ajar yang bisa-bisanya membuat ia tertegun dan menunggu jawab selanjutnya.
"Bahwa sebenarnya aku begitu mengagumimu sejak awal. Sangat kagum hingga .. aku ingin jadi sepertimu .." kini giliran Si Rambut Merah yang membulatkan netra, bibir pucatnya sedikit membuka, lalu ia bertanya dengan es yang kini sudah meleleh dalam lisan. "Tapi mengapa ..?"
Oh, sungguh sumpah demi rembulan merah! Sebenarnya tanya itu lebih terdengar seperti sebuah tangis anak kecil yang agak-agaknya memohon. Sesuatu seperti "tolong beritahu aku apa yang baik tentang diriku!" Dari lubuk hati yang menjerit sebab perih usang. Atau bisa diasosiasikan seperti permintaan pertolongan dari kelembaman jauh, sebuah panggilan penuh harap agar seseorang akan datang dan mengambilnya hingga ia bisa kembali bergerak maju dengan tegap.
Sebab biar bagaimanapun jua ia ingin bisa mengasosiasikan dirinya kembali dengan hal-hal yang baik dan nyata adanya .. agar hatinya bisa merasa lega dan aman ..
Sebab, biar bagaimanapun jua ia ingin diberitahukan bahwa ia sebenarnya cukup.
Walau itu terdengar sebagai permintaan yang melemahkan dan memuakkan. Sangat-sangat memuakkan hingga ia begitu mau lari.
'ya .. sebuah pelarian. Sebab biar Rushi tampak-tampaknya menjual jiwa agar terikat pada Sang Iblis itu sendiri, sebuah destinasi agar ia bisa kehilangan diri sendiri dikarenakan benci dan jijik pada gambaran diri yang ia tangkap dalam persepsinya.
Tentunya, gadis dengan surai [hair colour] itu betul-betul mengetahui akan apa yang ada dalam Rushi.
Begitu akur dengan bagian rembayang yang ingin dibuang jauh-jauh itu hingga ..
Ia melengkungkan senyum dengan penuh lembut, lalu melontarkan kalimat yang hangatnya setara dengan harap agar itu mencapai hati Rushi. "Sebab aku bangga padamu .. kau itu kuat, berani, pintar .. tidak seperti aku yang dulu sedikit mudah menangis .."
"Setidaknya, kupikir Rushi begitu. Rushi yang kuketahui adalah ia yang tegap dan seakan mampu menghadapi apapun. Sampai .. kamu merusak persepsi yang ada dalam gambaran benakku .. di kala itu, kamu kabur tanpa alasan yang diketahui .. lalu kembali sebagai iblis penghancur .."
Substansi bening yang hangat jadi meleleh dalam pipi Rushi dengan kilauan pantulan cahaya dari api. "Begitu .. kah? Bohong .. kamu pasti berbohong karena tidak mau kubunuh!"
Ah .. lagi-lagi, Rushi hanya berlari. Sebab realitas terkadang menyebalkan dan hanya membawa sakit belaka. Karena, pada kenyataannya perluasan kehampaan dalam sepasang [eye colour] itu tentunya bukti akan kebenaran mutlak. Pada kenyataannya [name] tidaklah seberhasrat itu untuk meraih genggam pada yang namanya kehidupan.
Akan tetapi, sebuah pukulan yang dilayangkan hingga Rushi terpental mundur seakan jadi kontradiksi. "Aku tidak tahu bagaimana cara buat meyakinkanmu, yang terpenting ialah aku sudah jujur 'kan .. Rushi?" Nada itu masihlah lembut. Menjengkelkan. Sungguh memuakkan.
"Lalu— apa yang mau kamu lakukan?" Kali ini lisan Si Manik Rubi yang bertanya.
"Entahlah .. tapi, kurasa aku punya satu tujuan hidup .. sesuatu yang tidak akan pernah aku lepaskan mau apapun yang terjadi. Bahkan jika disuruh menjual dunia dengan harga separuh sen demi berpegang padanya, aku akan menjual dunia ini." Keteguhan aneh yang muncul dalam lisan ini begitu asing di antara kelembutan nada. Terasa begitu janggal. Rushi menyiapkan kuda-kuda dan mengeratkan pegangan pada tombak.
"Oh? Dia 'kah? Apa kamu masihlah menyimpan rasa cinta masa kecil bodoh itu?"
"Entahlah, tapi .. apa menurutmu? Cobalah sedikit menebak." [Name] juga ikut berpegang kuat pada nichirin nya.
Keduanya maju, saling menerjang mampus tanpa menyadari eksistensi dua orang yang sedari tadi menonton dalam hening. Dengan sembunyi-sembunyi sedikit, mereka tersenyum aneh.
".. yaaa .. kamu siap? Inilah saatnya, Ryuu .."
Lalu, di kala cahaya api Rushi melingkupi serta ledakan hujan dari nichirin [name] sebab teknik pernapasan cabang hujannya yang ke dua puluh dihujamkan, kembar aneh itu maju demi membubuhkan sedikit sentuhan akhir. Seakan-akan mereka menunggu momen puncak demi memeriahkan pesta dengan tawa polos macam anak-anak—walau mereka kelihatannya macam remaja.
***
Kemilau kuning keemasan mentari dengan seberkas hangat menghambur masuk dari jendela. Menyirami wajah [name] hingga ia sedikit terusik lalu terbangun. "Oh ..?"
Sorot netranya menelusur, menganalisis singkat pada sekitaran hanya untuk mendapati bahwa ia sudah sampai di rumahnya sendiri secara tidak diduga-duga.
"Selamat pagi!" Nada yang agak tinggi dengan antusiasme mengangkat itu membangun sebuah asumsi. Netra yang mencari sumber suara agar bisa membuktikan, tentunya mendapati ia. Si kulit pucat dengan manik hijau yang sekarang tersenyum tipis agak-agak polos macam tiada terjadi apapun. Ia malah menyeruput brutal sup miso sebagai sarapan.
"Bagaimana rasanya?" Pertanyaan ambigu begitu tentunya punya banyak arti. Ditambah, [name] baru saja siuman dan sudah diajak berpikir sedikit. "Eh ..?"
"Bagaimana rasanya kembali jadi manusia?" Tidak menjawab, benak itu justru mengawang jauh, mencoba memutar kembali gulungan ingatan akan apa yang terjadi di kala itu. Saat cahaya meletup dari jurus masing-masing, ada sensasi hangat menjalar di dekat jantung. Lalu, semuanya gelap.
".. menurutmu sendiri?" [Name] malah balas kembali bertanya.
"Ya tidak tau .. makanya aku bertanya 'kan?"
Tidak ada kesalahan dalam pernyataan Ren Takamiya, tapi tetap saja itu tidaklah menjawab barang sedikitpun jua. Malah, pertanyaan baru jadi naik ke atas benak. "Memangnya kau itu apa?"
Senyum Si Manik Zamrud selalu aneh, tapi kali ini terasa berbeda. Lebih ganjil, lebih tidak mengenakkan seolah ada yang menggelitik dan agak menekan di hati. "Memangnya kau mampu paham?"
"Nah, daripada berpikir aku ini apa, lebih baik kamu bangun dan bersiap. Lalu kita sarapan bersama!!" Antusiasme itu tetaplah berkilau-kilauan bagai jajaran bintang di langit malam yang sepi. Maka dari itu [name] menurutinya saja dengan damai. Hingga ..
"Oh [name], pria bermata biru yang jadi kolegamu menitipkan ini padaku .." itu adalah secarik surat dengan amplop berornamen keemasan yang indah. Isinya perihal pemuda Tomioka yang ingin menemui [name] di dekat danau terdekat.
Lisan itu tetaplah diam, tapi gadis dengan surai [hair colour] itu mengangguk pelan. Lalu cepat-cepat menyelesaikan sarapannya agar yang menunggu tidak kelamaan.
***
"...." Lisan Si Gadis yang bergeming setelah pernyataan perasaan itu bukanlah hal yang bagus. Tentu saja Tomioka Giyuu tahu itu. Tapi .. dia bisa apa? Dia mau apa?
Sebab pada dasarnya rasa cinta yang indah ialah yang tidak dipaksakan. Sebuah rasa yang jadi misteri suci nan agung dan sebaiknya biarkanlah ia begitu. Pemuda dengan marga Tomioka itu berjanji pada dirinya sendiri bahwa, rasa suka ini janganlah sampai menjadi beban atau mungkin hutang yang hingga membuat [name] merasai sebuah paksaan.
Cinta bukanlah sebuah obligasi. Perasaan merah muda itu tidak boleh jadi sebuah tuntutan, apalagi kekangan hingga ia yang jadi Sang Kasih tidaklah bisa maju untuk kedepannya. Apapun yang jadi jawaban [name], Giyuu akan menerimanya. Biar ia menggantung tanya itu sekalipun. Itu tidak masalah.
Sebab cintaku yang indah adalah melepaskan dan membebaskan ..
"Maaf .." jawaban itu memang sudah diperkirakan sejak hening yang melanda sepersekian menit. Tapi tentunya jika tidak memberi konteks lebih, akan terasa keji buat [Name].
"Aku masih ingin mencari alasan hidup yang lain. Aku akan hidup, berdiri tegak dengan kedua kakiku, lalu melangkah maju pada jalan apapun yang aku tentukan sendiri." Lisan itu menorehkan lembut yang lebih daripada biasanya sebab, biarpun penolakan adalah pedih—selalu begitu, itu harus diminimalisir sebaik mungkin.
"Kamu mungkin jadi membenciku karena ini 'ya .." sendu dalam genangan [eye colour] itu membuat Giyuu jadi agak canggung, dan itu tidak mengenakkan. Maka dari itu ia cepat-cepat membuangnya.
"Tidak. Kenapa begitu? Manusia bebas memilih apa yang dia inginkan 'iya?" Tanpa disadari, seulas senyum samar itu tergurat dalam air muka Tomioka.
"Aku senang kamu mengerti. Sebab setelah ini, demi menuju makna hidup lain yang aku cari, aku akan berhenti dari kisatsutai lalu pergi jauh .."
"Eh?" Senyum tipis yang jadi balasan dari [name] tidaklah membantu dalam mengusir bingung yang melanda.
Bertanya sesuatu seperti kapan kau akan kembali? Akan terasa seperti membubuhi beban dalam seberkasan jiwa [name] yang tampaknya sudah dibentuk ulang sedemikian rupa. Giyuu tidak mau itu. Tapi, untunglah wanita memang peka.
"Aku tidak tau mau pergi sampai kapan, tapi aku pasti kembali .." entah mengapa, itu terdengar seperti sesuatu yang serasa janji. Juga, sebuah jaminan bahwa, mereka akan bisa bertemu lagi suatu saat nanti. Biarpun jalan hidup mereka tiada lagi sama.
"Lalu, bagaimana dengan Sanemi?" Lisan Giyuu kembali ia tutup rapat-rapat sebab rasanya ia tidak sengaja meloloskan satu belenggu agar [name] tidak jadi pergi. Seolah bentuk keegoisannya mengambil wujud dan secara implisit tidak mau Si Gadis menjauh.
"Nemi 'ya .." genangan dalam [eye colour] itu jadi lebih sendu, dengan guratan dari belah bibir yang tersenyum sama sendu nya. ".. aku tidak mau menyakitinya lebih jauh dengan keberadaan maupun ketiadaanku .."
"Jadi, aku rasa-rasanya egois .. bisakah kamu menjaga dia untukku, Giyuu-san? Seperti yang kubilang, aku akan kembali. Dan di saat itulah, aku akan menemuinya lalu mengajukan maafku .."
Ah, tentu .. sebongkah egoisme kuat itu pastinya diterima Tomioka Giyuu. Sebab yang memberi ialah [fullname]. Bagaimana bisa ia menolak? Toh, egoisme nya indah berkilau-kilauan seakan cahaya memantul dari sana. Terasa begitu berharga, hingga selain mengabulkan, pemuda Tomioka itu akan menjaganya dengan sebaik mungkin.
***
To be continued ..
Yyyyeeeyyy bentar lagi ending ✨✨✨ ini work agak terbengkalai cuz i'm a bit busy LMFAO
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro