25. Sebuah Kesepakatan
Malam itu tidaklah begitu gelap, sebab lentera beraneka warna menggantung menerangi dengan berbagai warna indah. Juga, bintang-bintang bertaburan dengan manis pada lembar langit malam.
Tapi, apa bedanya semua itu? Riuh ramai dari festival serta cerahnya malam tak dapat menarik secercah 'pun ketertarikan dari hati [name] yang putih sebab dilingkupi oleh hampa. Hanya ada merah dari benci mencabik yang melingkupi.
Jika saja gadis hologram itu tidak memberikan racun lain berupa warna benci pada hatinya, sudah pasti ia akan menjadi individual yang nihilistik. Manusia tanpa hasrat maupun dorongan keinginan, sama saja dengan mayat.
Kini, hidupnya hanya berorientasi pada satu hal itu semata. Ia menjadikan benci itu sebagai tempat bertumpu-nya harap, sebagai alasan untuk terus melanjutkan hidup hingga hari penentuan. Hari di mana ia akan menebas kepala Si Iblis Api, saat itulah warna merah dari bara benci-nya akan sirna. Ia mungkin bisa bunuh diri dengan tenang, atau lanjut mencari alasan hidup lainnya seperti manusia kebanyakan. Terus diiringi oleh rasa keinginan yang menuntut, mencekik sepanjang napas berhembus.
Kakinya terhenti di hadapan sebuah kuil yang cukup ramai. Warna bahagia mengapung di udara sekitarnya. Tangan Si Gadis mengambil secarik kertas dari saku rok seragam, lalu menatapnya dengan mata kosong setengah tertutup kelopak mata. Terlihat macam orang mengantuk berat.
"Inikah tempatnya?" Manik ungu Sanemi menyorot pada gadis disebelahnya. Tanya itu tidak dibiarkan mengambang di udara tanpa sebuah jawab membalas. Hanya ada deham dan angguk pelan, akan tetapi itu sudah lebih dari cukup.
Menurut denah yang digambar dengan pensil pada kertas lusuh itu, inilah tempat yang dijanjikan oleh Ryuusei dan adiknya. Ibu jari mengusap sebuah lambang di sudut kertas yang memanggil satu kenangan masakecil dari bilik ingatan yang rapi.
Satu buliran kenangan akan dirinya dan gadis enigmatik bermata hijau asam menyusupi dalam pikiran dan kembali terputar. Di halaman berumput hijau keemasan sebab terpaan mentari pagi, gadis aneh itu mengguratkan sesuatu di tanah dengan sebilah ranting.
Saat ditanya "gambar apakah itu?" Eren memberi senyum aneh dengan sesuatu yang lain-yang tidak bisa dijelaskan. Juga dengan sorot mata berkabut yang menutupi tujuan sebenarnya. [Name] memang tidak pernah bisa memahami orang itu.
"Jika aku memberimu surat dengan lambang ini, itu artinya aku ingin bertemu dan membicarakan hal penting denganmu." Saat itu [name] menganggapnya benar-benar aneh. Mengapa pakai sesuatu semacam sandi? Memangnya mereka akan terpisah atau semacamnya? Ya, ampun...
Tapi, apa yang dikatakan saudari angkatnya itu menjadi nyata-sepertinya. Membuat ombak gusar menghantam hatinya berulangkali.
"Kau tunggu saja di sini, aku akan menemui mereka. Belilah pernak-pernik atau manisan untuk dirimu sendiri." Ketenangan dalam nada itu adalah penutup dari kegusaran yang meletup-letup jauh di bawah, di dalam lubuk hatinya. Namun, mau ditutupi bagaimanapun jua tetap saja Sanemi dapat melihat sedikit kegelisahan dalam kabut manik itu. Tidak ingin memperkeruh suasana, ia memilih tutup mulut dan menanyakan hal lain.
"Adakah yang kau inginkan?" Kali ini, pertanyaan itu dibalas dengan penolakan melalui lisan.
"Tidak ada." Itu adalah kata terakhir sebelum [name] melangkah ke arah belakang kuil, semakin menghilang ke area yang lebih gelap.
***
"Woah-" nada bicara itu tampak dibuat-buat agar menunjukkan kekaguman yang kentara. Gadis pucat dengan kantung mata hitam dan kemeja putih lengkap dengan celana pendek hitam itu-Tsukiyami Eren, menoleh dengan tubuh terbalik. Ia sedang berbaring di atas batu besar tidak simetris. Jika ditanya apakah itu nyaman, tentu saja manusia normal akan berkata tidak. Tapi, anak ini-sejujurnya, sejak dulu [name] ragu apakah sebenarnya ia manusia, tampaknya begitu nyaman seakan baru mencapai pembaringan empuk setelah berkelana jauh.
"Lama tak jumpa, [name]-chan!!" Sapaan ceria itu tidaklah mengusir atmosfir berat yang melingkupi. Gadis dengan helai [haircolor] itu berusaha menjawab dengan nada setenang mungkin. Binar antusiasme di bongkahan iris hijau se-asam belerang itu tidaklah memantul secercah 'pun jua pada bongkahan [eyecolor] gadis itu yang tampak begitu redup.
Dengan ketenangan yang sama, ia menghampiri gadis yang masih berbaring dengan posisi kepala di bawah itu. Dengan sorot kosong tak bercahaya, ia mengutarakan sebilah tanya secara langsung. "Ada apa?"
"Mau makan manju? Aku tadi beli dengan Ryuu-chan." Dengan senyum manis, bungkus kain cokelat itu disodorkan, tetapi dibalas penolakan singkat. Dari pernyataan diakhir kalimat, kesadaran menghentak [name]. Si Gadis Mata Biru-Ryuusei tidak ada di sana.
"Oh, tidak lapar 'kah? Coba saja satu, untuk perayaan pertemuan kembali." Manju itu diterima dengan genangan air muka pasrah, [name] tidak mau terlalu repot.
Ia bangkit dari posisi rebahannya, mengambil benda panjang yang menjadi salah satu tujuan [name] datang menemuinya. "Omong-omong ini pedangmu. Tidak nyaman dipakai ternyata..."
Mengabaikan kalimat terakhir yang sejujurnya agak mengusik di hati, [name] mengambil apa yang menjadi miliknya. Lalu mengutarakan isi pikirannya secara langsung dengan nada setenang awan di langit. "Apa yang ingin kau bicarakan denganku?"
Letupan kesenangan terlihat jelas dari lautan hijau zamrud itu diiringi senyum yang semakin melebar. Namun, gadis bersurai [haircolor] itu dapat merasakan rasa lain yang tidak enak tergoreskan pada permukaan hati. "Oh, itu! Ada seseorang yang ingin menemuimu!"
Sebelum [name] sempat bertanya, suara yang menandakan hadirnya entitas lain di antara mereka. "Lama tidak berjumpa, ohime-sama..."
Kedua manik [eyecolor] membesar saat bertemu dengan sepasang manik lautan darah. Senyum lembut di belah bibir tipis pemuda itu menandakan suatu muslihat. Suatu tujuan terselubung yang tidak ia ketahui. Itu sebabnya ia reflek bersiap dengan kuda-kuda dan nichirin ditangannya. "Kau..." berusaha mengatur napas yang sedikit tidak beraturan sebab hatinya seakan tertimpa beban panas yang lalu melumeri, berbagai strategi menyelinap dalam rak pikiran [name].
"Tenanglah, Ohime-sama... Urusan utama-ku dengan Tsukiyami." Kalimat itu tidaklah menjadi peredam dingin untuk hati yang menggebu dengan rasa benci. Sebab orang-lebih tepatnya iblis berhelai malam di hadapannya ini adalah akar dari semua masalah yang menerpa jalan hidupnya.
Mata merah itu tampak berkilat di bawah terpaan sinar bulan. Begitu pula dengan manik hijau enigmatik itu. "Setelah sekian lama, akhirnya kau mau menemuiku, Tsukiyami." Senyum se-lembut permen kapas manis yang dikerahkan menarik sejumput ingatan pada Eren yang ia tepis mentah-mentah. Guratan senang yang terlihat tenang itu memang mirip dengan milik ayahnya, tetapi yang ini memiliki muslihat busuk.
"Tapi aku punya urusan denganmu!" Ucapan gadis itu mengalir dengan segumpal benci kentara yang dapat dirasakan oleh dua orang dihadapannya, memotong percakapan sepele dengan tajam.
"Aku tahu, aku tahu! Ini asik, makanya aku membawamu juga, [name]. Nanti akan kuberi kau kesempatan menyerangnya."
Tawa khas anak-anak polos diujung kalimat itu diutarakan seolah Eren sedang bercanda. Seolah situasi yang ada hanya candaan dan sebuah mainan anak-anak. Benar-benar tidak membantu menjernihkan suasana, ia dihujam oleh dua pasang tatap tajam sekaligus.
"Ya, ampun... Agar lebih seru, bagaimana jika kita pindah tempat saja, Muzan-chan?" Ia melirik pada pria bermata merah yang tampaknya tak mempermasalahkan suffix yang kedengarannya bodoh itu.
Gadis berhelai [haircolor] dengan jepit mawar itu tertegun sebab apa yang baru didengarnya.-Muzan..? Yang benar saja? Kibutsuji Muzan yang itu?
"Jika itu mau-mu." Belum sempat [name] memberi sanggahan lalu mengajukan tanya, satu getaran suara sampai pada telinga. Lalu mereka berpindah tempat.
***
Kelopak pucat membuka, menampakan sepasang [eyecolor] mati yang agak berputar, rasa sakit meremat tubuhnya sebab ia terjatuh begitu keras menghantam lantai-tadinya ia pikir begitu. Sampai, maniknya menangkap sesuatu yang begitu mengganjal.
Ini bukanlah lantai, melainkan sebuah langit-langit. Bisa dilihat dari lampu yang bertengger dengan pose aneh sama-sama terbalik. Ditempat yang seharusnya merupakan langit-langit malah tertutup oleh tatami dan bantalan duduk.
Oh, tidak. Jangan dimensi antah berantah lagi. Jangan entitas aneh-aneh lagi. Napasnya dihela, ada hal penting lain yang harus [name] cari. Ya, saudarinya yang kini kembali terpisah. Entah ada dibagian mana gadis itu terjatuh.
Nichirin-nya ditebas ke belakangnya, empat oni pangkat rendah tercincang menjadi beberapa bagian. Dari apa yang ia lihat [name] menarik satu benang kesimpulan bahwa dimensi ini adalah buatan pria itu-yang juga oni.
Rombongan oni dari beberapa arah lain menghampiri dengan kelaparan kentara dan kecepatan lumayan tinggi. Tebasan yang diberi itu bukan hanya sebuah upaya perlindungan diri, tapi juga upaya melepas gumpal kesal yang mulai naik ke hati sebab ia baru menyadari bahwa ia tidak tahu apa yang sedang benar-benar terjadi. Bahwa ia telah masuk dalam satu permainan aneh saudari angkatnya.
***
Sebuah pedang tipis berputar di udara, mencincang tangan pucat Si Pria. Gagang dengan bentuk tsuba berupa sedikit ornamen diraih, lalu pedang berhenti bergerak. Terdiam pada posisi tetap seakan tidak pernah digerakkan sedikitpun jua.
"Baiklah baiklah... Ayo main! Ayo main!" Helai hitam poni-nya ikut bergerak saat ia mengangkat kepalanya demi menunjukkan senyum culas menantang. Ia tahu selain senyum rendahnya, Si Raja Iblis di hadapannya benar-benar terusik oleh kehadiran pedang dalam pegangannya.
Sebuah pedang yang dapat memotong apa saja, objek istimewa yang menuruti keinginan pemiliknya-saat disuruh membelah diri sekalipun. Dipanggil dengan salah satu nama iblis (akuma) <Astaroth>, pedang yang hampir membuat Muzan ikut terbunuh dalam kebakaran rumah keluarga [surname]. Untungnya, ia hanya tercincang menjadi potongan-potongan kecil dan bisa menyatukan tubuhnya kembali.
"Mau buat perjanjian? Pasti mau 'kan?" Kali ini manik darah menatap langsung pada dua zamrud keruh yang agak tertutup poni panjang berantakan itu dengan sebuah tanya tidak santai. "Kuberi kau bunga lili laba-laba biru, sesuatu yang sejak dulu kau inginkan dariku, dengan satu syarat."
"Ah?" Perjanjian itu tampak terlalu menggiurkan untuk menjadi kenyataan, setelah beberapa tahun gadis itu menghindarinya, akhirnya ia datang sendiri membawa penawaran surgawi dengan senyum. Keterkejutan sedikit mengentak dirinya tadi hingga ia agak lengah, pedang itu kini berada persis di depan tengorokkannya, sedikit saja dorongan, kepalanya akan terpenggal. "Mau tidak???"
"Apa persyaratannya? Adakah jaminan kau tidak menipuku, Tsukiyami?" Sorotan mata hijau menyipit sinis dan bibir yang ganti melengkung mencibir dengan sebuah decih kasar menjadi balasan. Eren merogoh sakunya dan mengeluarkan dua bunga.
Mata lautan darah itu berkilat dengan cahaya hasrat, tangannya hendak meraih apa yang menjadi tujuan sepanjang hidupnya. Tapi terhenti sebab pedang yang menembus masuk di tenggorokannya.
Wajah sinis itu berubah datar, tenang bagai laut mati. Tetapi, uap yang berkepul dalam manik hijau kosong itu tidaklah membawa ketenangan. "Ada syaratnya."
"Apa?"
"Ya, ya... Jadi begini, aku mengerti tekadmu itu. Sebab aku juga memiliki motivasi yang rela kukejar dalam sepanjang waktu hidupku. Tapi aku tak yakin kau bisa memenuhi syaratku." Tawa khas bocah itu menggema. Lawan bicaranya mengencangkan gigi sebab rasa menggebu dalam hati, ia sudah tidak sabar menggapai tujuannya.
"Cepat beritahu saja apa yang kau inginkan untuk pertukaran ini!!"
Ketenangan kembali naik pada permukaan wajah pucat Si Gadis, dengan gurat bibir yang rata lisannya bersuara. "Beri aku dokumen tentang Si Iblis Api yang menjadi bawahanmu, Rushi. Aku tahu kau memberinya pengawasan lebih. Tiga bulan ke depan, suruh dia menemuiku di suatu lokasi, akan kuberi tahu nanti."
"Kenapa meminta itu? Aku tidak punya-" Pertanyaan itu adalah buah dari keterkejutan lain sebab permintaan yang diluar dugaan. Cecaran dengan nada datar menerpa Muzan. "Banyak omong, aku tahu kau punya. Bisa berikan 'tidak? Jika tidak yah kumakan saja bunga ini," ia berdecih sinis menyinggung.
"Tunggu!" Seruan itu terlontar dengan kecepatan tinggi, mencegah Si Gadis dengan rambut se-siku itu memasukkan dua bunga setara dengan harga jiwanya ke dalam mulut. "Akan kuambilkan."
Pria itu pergi menuju suatu deretan laci di ujung sisi kiri. Lalu kembali dengan map coklat di tangan. Pedang itu menghilang, menyatu dengan udara tanda Eren menurunkan penjagaannya sebelum berjalan mendekat agar ia tidak terlihat mengancam. "Kemarikan. Biar aku periksa apakah ini dokumen sungguhan."
Tangannya di angkat tinggi ke udara, membuat gadis itu-yang lebih pendek darinya melompat untuk meraihnya. Namun, kegagalan menjadi buah dari upayanya itu. "Berikan bunga-nya padaku, Tsukiyami..."
"Tidak mau!" Ia melepas dehaman tajam lalu menggembungkan pipi macam bocah merajuk. "Kau bisa saja menipuku, setelah bunga itu kuberi, kau akan menyuruh iblis pemetik biwa untuk mengeluarkan aku-mungkin dengan [name] dari tempat ini."
"Dasar, berburuk sangka!" Pria dengan kulit pucat macam porselen mencibir sebal. Tapi, apa yang dilakukannya berbanding terbalik, ia memberi map itu pada Si Gadis. Yah, mau bagaimana lagi, jika tidak diberi itu artinya ucapan gadis itu benar. Bisa-bisa kegagalan akan menjadj buah dari upaya-nya mendapatkan bunga itu.
"Sudah selesai memeriksanya?" Pertanyaan bernada sinis itu dilontarkan setelah lima menit diisi keheningan sebab Eren sibuk membaca dan meneliti otentikasi dokumen.
"Ya, ya bagus... Karena bunga-nya ada dua, boleh aku minta satu syarat lain?" Ia tersenyum jahil penuh muslihat yang menarik segumpal pitam naik dalam hati Si Pria. "Mau apa lagi?!"
"Tenang-tenang... Kau juga diuntungkan dalam hal ini." Senyum polos itu tampak meyakinkan Muzan bahwa ada hal lain yang akan benar-benar menguntungkannya walau secercah noda kecurigaan belumlah hilang. "Aku menawarkan mu seorang pilar untuk dibunuh... Yah seperti, aku membayarmu untuk membunuh seseorang. Hehe..."
"Jika kau malas turun tangan, minta saja anak buahmu yang maju. Mudah 'eh?" Ia mengucapkannya dengan begitu ringan bagai mengelap debu dengan kain basah. "Setelah selesai, aku akan menemui-mu di lokasi, kita bicarakan soal Rushi." Kekehan pelan macam ibu-ibu yang berbicara buruk tentang tetangganya mengakhiri kalimat bodoh itu.
Napas dihela, Muzan tampaknya mulai disambangi lelah berhadapan dengan mahkluk satu ini yang seakan menurunkan harga dirinya sebagai pemimpin oni. Untung saja bawahannya tidak ada yang menginterupsi sebab berpikir mereka dalam urusan penting. "Baiklah."
"Karena kau juga diuntungkan dalam permintaan itu..." Raut berpikir itu seakan mensugesti Muzan untuk mengeluarkan tentakelnya segera dan menusuk tembus dalam torso gadis di hadapannya. Benar-benar banyak mau, macam bocah tengik. Tch...
"Suruh bawahanmu yang memakai biwa itu untuk mengeluarkan aku dan [name] dari rumah-mu ini..."
Muzan mendecih dengan segumpal kekesalan yang mulai memuncak akibat permintaan aneh-aneh dari Eren. "Suruh saja sendiri!!"
"Eh, ayolah... Kami tetiba didatangkan kesini tanpa persiapan, aku tidak bawa ongkos tambahan 'kau tahu?" Bungkusan kain coklat tadi kembali dikeluarkan lalu dibuka sedikit tali-nya. "Aku cuma bawa manju sisa tadi... Sudah agak lumat pula."
Ia menyodorkan kue manis dengan tampang yang sudah tidak indah itu. Menjijikan, terlihat macam kotoran sapi. Mungkin tertekan saat ia terjatuh dalam dimensi itu.
"Kau mau ini 'kah? Kukira iblis tidak suka kue manis..."
Raut agak bodoh hasil kesengajaan itu benar-benar membuat pitam Muzan naik ke puncak, tetapi ia harus menahannya sebisa mungkin. Salah-salah ia tidak akan mendapat bunga lili itu. "Tidak usah!! Kemarikan bunga-nya dan aku akan suruh Nakime mengembalikan kalian. Kemarikan bunga-nya!!"
"Oke, oke... Bersenang-senanglah dengan bunga bodoh-mu!" Ejekan itu tidak ditanggapi begitu bunga lili laba-laba biru diraih dalam genggaman, lalu struktur ruangan berubah setelah satu alunan petik biwa terdengar.
***
To be continued..
Ntah kenapa ini chapter berasa paling nyeleneh bin bodoh. Yak bentar lagi arc ini kelar.
Spoiler, itu bukan bunga lili laba-laba asli 'kok ahaha..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro