24. Promise and Change
Ruangan itu tampak diwarnai keremangan. Diisi oleh keheningan yang mencekat. Terasa begitu menenangkan namun dapat menghanyutkan dalam pusaran rasa takut.
Sekilas, mungkin orang-orang akan berpikir itu adalah ruangan bergaya Jepang klasik dengan interior terbuat dari kayu, dilengkapi beberapa lentera bercahaya remang yang menambah nilai estetika.
Namun, jika kau adalah tipe orang yang memperhatikan sekitarmu dengan cukup jeli, kau akan menemukan bahwa ruangan itu terdistorsi. Kau tidak akan mampu membedakan mana langit-langit dan yang mana lantai.
Jika kau tidak terbiasa dengan suasana hening, maka atmosfer tempat ini akan jadi lebih mencekik untukmu. Ditambah, kehadiran pria bersurai senada dengan gelapnya malam yang sedang berdiri tegak di samping sebuah rak buku.
Tangan pucatnya memegang tumpukan kertas- yang sepertinya adalah dokumen berisi data penting. Kau bisa melihat betapa serius gurat wajahnya saat membaca kertas tebal membosankan itu.
Tinta di atas kertas itu melampirkan data tentang seseorang. Mulai dari profil- berupa foto dan informasi dasar, hingga riwayat hidupnya. Kedua alis pria itu membentuk kanji delapan, menekuk dengan tajam serta gurat bibir tipisnya menunjukkan bahwa ia tidak senang saat membaca kalimat di barisan akhir.
-Mayat atau sisa tubuh [fullname] tidak ditemukan. Bersamaan dengan saudari angkatnya yang juga menghilang.
"Tuan." Suara seorang gadis mengintrupsi, memancing ekspresi kesal yang teramat sangat. Gadis berambut merah dengan kulit pucat dan kimono putih itu bergeming dengan ekspresi datar yang kaku. Tak tersentuh sedikitpun takut yang mungkin akan menggoyahkannya. Ia bahkan tidak bersimpuh di hadapan pria itu seperti yang dilakukan pesuruh lainnya.
"Oh, Rushi. Katakan, untuk apa kau kemari." Nada tanpa emosi yang meluncur datar itu seharusnya tidaklah terdengar berat. Namun, suara yang dihasilkan oleh lisan pria ini seakan dapat menggetarkan ruangan- atau mungkin sanggup menghancurkan bagian yang mereka pijak.
"Anda benar, Tuan." Kalimat ambigu itu memancing sorot tajam yang membelah jiwa. "Tidak perlu berteka-teki dan membuang waktuku! Beritahu saja infonya secara keseluruhan!"
"Anda benar soal perkiraan bahwa... [fullname] masih hidup." Detik berikutnya diisi oleh hening. Manik pria itu berkilat oleh keterkejutan yang menyambar-nyambar di irisnya yang sewarna darah.
"Tuan, jika anda mau saya bisa-" hendak menawarkan bantuan namun ditolak mentah-mentah.
"Tidak usah! Biar aku sendiri yang akan menyelidikinya!" Entah hatinya salah persepsi atau bagaimana, yang jelas Rushi merasakan senang yang berombak di lubuk hati Tuannya.
Lalu hatinya dipenuhi perasaan tidak enak. Rasanya, ia ingin menjejak-jejakkan kakinya pada kayu yang ia pijak hingga berlubang. Atau jika bisa, ia ingin merobohkan seluruh tempat itu. Astaga...
-kenapa orang-orang memperlakukannya seakan ia lebih daripada aku..?
***
Setelah gadis itu kembali dari bentangan fatamorgana kenangan manis, hologram perempuan itu menjentikkan jarinya. Membuat seluruh tempat hitam itu hening. Tak ada lagi suara yang mengumandangkan kalimat-kalimat tidak mengenakkan.
"Terserah apa yang kau katakan, namun tetaplah hidup- walau kau merasa hidupmu tidak berguna sekalipun!"
Setelah hening, mahkluk itu berucap demikian pada [name]. Gadis berhelai [haircolor] itu termenung lalu melontar sebuah tanya.
"... Untuk apa..?" Sorot mata mahkluk berbentuk perempuan itu berubah menjadi pendar yang tidak diketahui maknanya. Senyum simpul itu terlihat begitu tipis dan tajam- seakan bisa mencincang jiwa gadis bermanik [eyecolor] kosong itu lalu mengobrak-abrik isinya.
"Yah... Kau bisa hidup untuk satu tujuan. Kau bisa hidup untuk dendammu..."
Kepalanya ditelengkan, [name] berdeham tanda sedikit heran mewarnai hatinya. Tidak memberi penjelasan, [name] kembali pada tubuhnya dan merasakan sakit diluar batas yang bisa ia tahan. Ia bahkan tidak bisa mengeluarkan sepatah teriakan 'pun. Atau untuk sebuah gerak kecil seperti menekuk jari telunjuk, ia tidak bisa. Otot-ototnya mati rasa dengan sakit yang merayapi setiap sel saraf nya. Untungnya, itu hanya sesaat.
Sebuah panggut manis mengejutkannya dan membuat api kehidupannya kembali menyala. Nyawanya terselamatkan, namun setelahnya gelap kembali membentang.
Ia tak sadarkan diri- entah berapa lama. Lalu cahaya terang menelannya bulat-bulat sebelum berubah menjadi warna merah dari pembuluh darah dikelopak yang menutup bongkah [eyecolor]-nya. Mengingat sekilas kalimat wanita itu, ya dia menyetujuinya. Mulai saat ini, tidak akan ada warna merah muda kasih dan sayang dalam hidupnya. Hanya akan ada warna dari kekelabuan dendam.
Ia terhenyak sebab geli yang menyapu pipi kanannya. Mengerang perlahan sebagai respon sebelum kelopak pucat memperlihatkan sepasang [eyecolor].
"Akhirnya kau sadar." Nada itu terdengar penuh kelegaan. Setelah cahaya yang menusuk-nusuk retina, adalah sepasang amethyst berkabut hangat tanda segurat bahagia dan hilangnya beban di hati.
Senyum lembut pemuda berhelai putih itu menjadi sambutan. Sadar akan apa yang terjadi, bukannya memberi perlakuan sama- gadis itu malah menepis tangan yang sedari tadi membelai pipi dengan torehan hangat.
Belum usai kebingungan yang melanda Sanemi, gadis itu berkata dengan nada tanpa se-bercak 'pun noda emosi. Seakan pertarungan terbaru telah menyerap habis seluruh jiwanya, menyisakan cangkang hampa. "Jangan menyentuhku."
Hasrat ingin bertanya mengapa ia tahan sebab gadis itu yang lebih dulu memberi tanya. "Ini masih di penginapan?" Menilai dari sekitarnya, itu adalah kamar yang mereka sewa beberapa hari lalu. Pemuda berhelai awan lembut mengangguk singkat sebagai jawaban.
Pintu geser dibuka, menampilkan dua gadis yang mereka temui beberapa waktu lalu dengan dua porsi bubur kepiting. "Wah, sudah sadar? Mau makan?"
"Berapa lama aku pingsan?" Pertanyaan terus terang itu diberi jawaban yang juga terus terang oleh Si Bocah. "Dua hari."
"kau tidak usah cemas soal biaya sewa. Kami yang bayar. Itu tidak seperti kami khawatir dengan uang yang kami keluarkan atau semacamnya, haha..." kali ini Ryuusei yang angkat suara sambil mempersiapkan meja kecil. Kalimat terakhir itu dimaksudkan bahwa ia tidak menagih bayaran─ tidak menganggap bahwa biaya itu merupakan sebuah pinjaman. Agar lebih meyakinkan ia menyusun kalimatnya agar mereka terdengar seperti orang-orang berkantung tebal dengan uang tidak terbatas sehingga mereka tidak pernah khawatir akan biaya hidup.
"... Terimakasih untuk itu. Sekarang, ayo kembali," kalimat dengan nada seperti orang yang berniat mati itu diabaikan nada-nya. Sorot tidak rela begitu menusik dari Si Bocah. Mahkluk kecil itu menahan lengan [name] dengan pendar sedih di balik lembaran iris matanya.
"Tidak bisa 'kah kau di sini sedikit lebih lama? Paling tidak makanlah dulu makanan yang kami siapkan..."
Napas dihela dengan berat tanda ia sedikit tidak tega, [name] memberi tolakan secara halus. "Maaf, tidak bisa. Kami harus kembali dan melaporkan misi secepatnya. Sekali lagi, terimakasih untuk segalanya." Nada itu, terdengar seperti orang yang memiliki beban hidup segudang.
Jika biasanya gadis itu akan bersikap lembut dan tidak tega pada wajah polos beriak niat baik yang tulus, kali ini berbeda. Mata itu. Kehampaan mengisi ruang iris [eyecolor] Si Gadis secara keseluruhan. Tidak ada celah untuk sesuatu bernama cahaya kehidupan.
Ini aneh. Ini tidak bagus, dan tidak akan pernah menjadi bagus. Perubahan perilaku yang terjadi pada [name] menarik segumpal kecurigaan kelabu dalam hati Sanemi. Apa mungkin ini efek dari teknik darah iblis semalam? Meneliti dari sepanjang karirnya sebagai kisatsutai, tidak ada teknik darah iblis yang bertahan se-lama ini.
"Baiklah..." ucapan bernada pasrah itu kontras dengan ekspresi tidak rela dalam wajah Tsuki. "Tapi kau harus kembali nanti malam. Akan ada festival, karena panen desa ini subur. Kau ingat aku terpisah dari kakakku beberapa waktu lalu? Yah... itu karena rombongan orang-orang rusuh yang membuatku terjepit dan terombang-ambing. Mereka adalah warga yang ingin merayakan panen raya."
"Yah... jika kalian berkenan, kalian boleh memenuhi permintaan adikku. Ini tidak seperti kita akan bertemu dua kali atau semacamnya 'kan? Tapi, jika kalian tidak mau 'pun tidak apa. Kami tak memaksa, hehe..." wajah dengan sepotong kepedulian itu kontras dengan nadanya yang acuh.
Ah, tapi Ryuusei berusaha persuasif dengan menambahkan kalimat berupa perkiraan dalam kalimat terakirnya, sebagai usaha untuk memancing rasa bersalah atau rasa iba dari kotak besar perasaan bernama empati. Juga kini, sepotong kepedulian itu sedikit berubah menjadi rasa biru, warna dari emosi bernama sedih.
"Sebenarnya bukan keduanya 'sih... Aku cuma mau menghabiskan waktu dengan [name] nee-san. Hitung-hitung memantau perkembangannya." Batin Sanemi seakan terdobrak, ia begitu tertohok sebab bocah yang seakan mengucilkannya secara tersirat. Oh, tenanglah Sanemi, ucapan Tsuki ada benarnya. Haha...
"Jika mau, kau boleh ikut untuk festival nanti." Ucapan Ryuusei ditujukan pada pemuda berhelai awan, belum sempat dijawab ia sudah melanjutkan dengan peringatan yang mengalun bagai ancaman halus. "Tapi kau tidak boleh mengganggu waktu pemeriksaan."
Gadis berhelai [haircolor] itu mengangguk pasrah, menyetujui dengan nada yang sama-sama acuh. "Baiklah..."
Nada itu memancing perasaan tidak enak dalam lubuk hati pemuda berhelai awan membuatnya semakin termenung. Seorang [fullname] tidak pernah melontarkan nada bertema acuh dengan se-dingin itu pada orang lain. Bahkan saat sedang marah sekalipun- ia akan berusaha tetap terlihat tenang dan baik-baik saja tanpa perubahan perilaku yang kentara. Melontarkan kata-kata dengan halus dan penuh kelembutan tanpa unsur kelam bernama amarah.
"Oh, tunggu." Tindak pencegahan yang dilakukan Si Bocah membuat dua orang itu berhenti tepat di ambang pintu dengan tanya yang berputar-putar pada dua pasang lembar iris.
Kaki-kaki kecil itu menghampiri dengan begitu terburu-buru seakan jika ia terlambat sedikit saja, dua orang itu akan pergi dengan begitu jauh.
"Sebelum itu, kemarikan pedangmu. Anggap saja sebagai jaminan agar kau benar-benar kembali. Karena, pedang ini berharga 'bukan? Hehehe..." Bocah itu berucap dengan gelembung kepolosan dalam larutan hijau asam dalam irisnya.
"Tsuki-chan, bagaimana [name]-san akan menjaga dirinya jika pedangnya kau sita?" Ryuusei berucap dengan arus kekhawatiran, kontras dengan wajah datarnya.
Seringai dengan sejuta kelicikan tak terduga itu tergurat mengerikan di wajah bocah berhelai kelam. Melepaskan kekehan ringan yang justru memancing beban dalam atmosfer, bocah pucat itu berkata dengan senyum yang tak pudar. "Hehehe... Nii-san 'kan ada! Hehehe lagipula ini siang, tidak akan ada oni karena mereka tidak tahan sinar matahari, Ryuu nee-chan!"
Ryuusei terdiam, kali ini adiknya telah berhasil menyudutkannya. Namun, diamnya itu bukanlah sebuah deklarasi kekalahan, melainkan untuk sebuah siasat serangan balasan. Seruan acuh dari [fullname] membuat semua netra menoleh padanya.
"Baiklah. Tapi, tolong dijaga baik-baik 'ya..." Ia memberikan pedangnya pada Tsuki yang diterima dengan sangat baik─terlihat jelas dari seringainya yang semakin lebar.
"Tapi, [name]─" Si Helai Awan kembali angkat suara, hendak menyanggah perilaku gadis itu. Namun, sebuah kalimat hambar tanpa rasa dari emosi membungkam lisannya.
"Tidak ada waktu untuk perdebatan. Lagipula anak itu benar. Ayo kita kembali dan melapor misi..."
Memilih menurut dan melenggang pergi ditemani keheningan dan dinding baru kecanggungan yang begitu dingin seakan membatasi diantara mereka, segurat tanya besar naik di hati maupun pikiran pemuda bermanik lavender itu.-walau dugaannya meleset jauh. Lucunya.
Apa dia marah sebab aku menciumnya?
***
To be continued...
Muuu-moga besok bisa apdet lagi. Mau cepat" kelarin book ini setelah Hiatus sebulan :')
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro