22. Biarkan Benci yang Menjadi Pegangan.
Gadis itu termenung dengan muka muram, melihat kearah ujung sepatunya sendiri. Ia bisa merasakan tatap dari mahkluk hologram di sebelahnya. Nampaknya, mahkluk itu menangkap sorot sendu dari [name] sebagai sesuatu yang merendahkan. Juga, menganggap 'usahanya' tidaklah memiliki arti.
Kini mereka berada di ruang yang jauh lebih antah berantah. Dengan warna tidak tetap, konstan berubah disertai percik spektrum warna lain yang menimbulkan kombinasi absurd. Beberapa persegi panjang membentang di sekeliling mereka. Menimbulkan gambar bergerak hitam putih. [Name] tahu apa itu. Tak lain tak bukan adalah lembar demi lembar ingatannya yang membentang. Memori lain kembali terputar, satu ingatan akan kesempatannya untuk meraih sebuah hidup kedua saat dirinya berada di ujung tanduk.
Dalam ruang putih kosong bagai tempat penghukuman narapidana berat, kristal itu—berkilauan indah dengan pancaran cahaya harap. Walau warna sesungguhnya adalah hitam yang kelam, akan tetapi cahaya berbagai warna dapat terpantulkan. Kejadian itu terasa seperti mimpi, dan bukannya realita sebab itu sangatlah diluar nalar.
"Kau... Mengingatnya?"
Gadis hologram itu memaksudkan akan memori yang sedang ditatap [name]. Awal mula kelahiran kembali Si Gadis demi menemui satu-satunya orang yang ia sayangi. Sebab orang itu adalah satu-satunya tempat harap dapat berpegang, agar ia bisa melanjutkan hidup dengan senyum saat badai petir menerpa seonggok takdirnya. Satu-satunya tempat yang akan ia jadikan sandaran saat lelah menyapa.
"Ya... Dan aku sudah mencapainya. Alasanku untuk bertahan hidup dengan sangat putus asa waktu itu adalah untuk bertemu dengannya." Tatapnya sendu, mengguncang empati—jika mahkluk itu memang memiliki sesuatu yang sangat identik dengan manusia seperti itu. Walaupun nadanya tetap menyiratkan sejumput kecanggungan di hati 'sih...
"Kau butuh alasan lain?" Walau gadis hologram itu transparan, Si Helai [haircolor] dapat merasakan tepuk hangat yang mendarat di bahu-nya. Seakan memberi afeksi berdasar hal yang murni dan berkilauan bernama empati.
Tanpa kembali menimbulkan gangguan seperti sebelumnya, sebuah tanya kembali berputar-putar dalam pusaran [eyecolor] itu. "Entah..? Maksudmu?" Nadanya seakan ia telah akur dengan Si Hologram. Mungkin metode tepukan itu berhasil 'eh?
"Kita akan beralih pada memori lain," lubuk hati [name] seakan didobrak oleh dorongan yang tidak diketahui. Ia sedikit mual sebab firasat buruk tiba-tiba menyerang. Gadis itu merasa seakan ia bisa melihat seringai penuh licik dari entitas di sebelahnya. Juga sedikit tanda dari perasaan menang, seakan 'memori lain' yang dimaksudkan memang merupakan tujuan dari mahkluk di sebelahnya.
"Kau nampaknya membutuhkan hal yang lebih kuat. Yang lebih membara, gadis manis." Tidak ada pertanda emosi apapun, seakan ditutup dengan sangat rapat. Tapi, hati [name] dapat merasakan keburukan yang akan kembali dijumpai.
Terserahlah.
Jikapun ia akan mati di sini karena pikirannya rusak, ia tidak peduli. Sebab itu tidaklah berarti apa-apa lagi. Sejujurnya, ia sudah tidak bisa mencapai sejumput pun makna dan tujuan dari hidup sebagai manusia.
Rasanya seperti perasaan abai yang begitu kuat, hingga jikapun tubuh itu disayat puluhan pedang, ia akan diam saja tanpa seutas 'pun usaha perlawanan semu. [Name] menatap gamang pada tengah perutnya, bergantian pada pedang di pinggangnya. Benak melalang buana, memikirkan upaya mengakhiri hidup tanpa rasa sakit. Sebuah paradis berbentuk istirahat damai abadi membentang, berada dalam jangkauannya. Ia mungkin bisa meraihnya dengan satu atau dua tusukan bertubi-tubi di perut. Atau sebuah tebas dengan teknik pernapasan pada lehernya.
Mati itu.. seperti apa?
Akankah kedamaian abadi yang dijanjikan itu bisa kuraih?
Benarkah itu sebuah kenyataan? Bukan surga palsu nan semu seperti tujuan hidup sementara yang diproyeksikan orang-orang?
Aku tidak lagi mengharap akan sejumput bahagia, aku menginginkan sebuah kedamaian abadi...
Sebuah jentik tangan terdengar cukup nyaring, menggema disekitaran ruang aneh itu. Tanpa memekakkan telinga. Tapi, sanggup menarik [name] dari pikiran untuk bunuh diri—atau sebuah tindak aborsi terlambat yang dilakukan oleh janin itu sendiri. Haha...
Kali ini ruang itu dipenuhi nyala terang. Warnanya dominan merah dan kuning. Tenggorokan Si Gadis seakan digelogok segenggam debu beracun, ia terbatuk agak keras. Sepasang kelopak pucat menutup kuat, membuat tetes bening hangat turun sedikit. Matanya terasa perih.
Pahit berduri melilitnya, menariknya begitu jauh. Ia tahu memori apa ini. Awal mula kelahiran kembali serta sebab mengapa ia kehilangan segalanya. Namun, ini sedikit berbeda dari ingatan dimana ia menerima kristal hitam itu.
Ini adalah kejadian saat ia berlari demi secercah cahaya diujung lorong gelap bernama jalan keluar. Seakan memori kali ini tidak berfokus pada [name], gulungan memori itu menyorot salah satu siluet.
Bayangan seorang gadis dengan helai merah api dengan potongan tidak rata mencapai lutut. Sorotan itu memperjelas sekaligus memperbesar hingga menunjukkan dengan jelas siapa gerangan gadis berwajah pucat itu. Matanya merah seakan menyala oleh bara api benci. Seringai itu seakan menunjukkan bahwa ia merasa benar-benar memenangkan sesuatu.
Tangan pucat berkuku panjang hitam itu mengelus pondasi dinding dari kayu jati dengan tetap mempertahankan senyumnya yang tenang bagai air dalam. Api menyala nyalang dari usap lembut itu. Wajah itu terlihat tidak asing. Begitu dekat, juga begitu jauh. Walau familiar, gadis itu tidak bisa menemukan siapa nama pemilik wajah manis itu dalam tumpukan ingatannya seberapapun dalam ia menggali.
Tepuk pelan kini berpindah. Mendarat pada kepala dengan helaian [haircolor] yang disanggul rendah. Tepukan kembali berubah menjadi usapan. Terasa begitu mengerikan, namun membawa tenang naik dalam hati. Sedikit hangat terbentuk, semakin membara.
Awalnya begitu nyaman, begitu menenangkan. Akan tetapi, itu berubah menjadi semakin menyesakkan. Mencekat napas, gadis bermanik [eyecolor] sendu itu agak tersengal. Tangan pucatnya mengepal hingga buku-buku jarinya memerah. Gerakan itu dilanjutkan hingga tangannya memutih tanda hanya sedikit suplai darah yang lewat.
"Kau mengenalnya?" Nada lembut itu menarik maut, menenangkan akan tetapi menghanyutkan. Jawab singkat dengan nada agak bergetar dilontarkan.
"Ya..." Usap dipuncak kepala masih berlanjut.
"Jika mencari Sang Awal Mula, maka dialah orangnya." Pernyataan itu disampaikan dengan begitu kokoh seakan berdasar bukti faktual tak terbantahkan oleh apapun jua. Yah, memang buktinya membentang dihadapan mereka 'eh?
"Dia 'lah yang membuatmu menderita seperti saat ini, dia 'lah yang membuatmu kehilangan semuanya." Kalimat itu memancing sebuah tekad terbentuk di hati secara perlahan. Tekad yang kuat nan kokoh, akan tetapi begitu beracun.
"Maka, kejarlah dia... Dan bunuh 'lah dia..." Tawa rendah licik dari entitas itu diakhir kalimatnya tidaklah mengganggu ketimbang perasaan kuat nan dingin yang meletup-letup dalam hati. Ini sebuah sensasi yang baru. [Name] tidak pernah merasakan ini pada siapapun jua. Benar-benar pengalaman pertama.
"Buat gadis oni itu terbakar jadi abu, dan kau akan terbebas dari segala sesak. Itulah tujuan hidupmu, gadis manis."
Badai petir rasa benci mengguncang bilah sampan kecil kewarasannya. Sebelum sampan itu tersambar dan tenggelam, nalarnya sempat memberi tanya. "Jika aku sudah membunuhnya, apalagi yang akan kulakukan?"
"Wah.. wah... percaya diri sekali. Tapi kuakui kau gadis yang cukup pintar!" Tawa lembut itu kembali mengalun. "Yah kau bisa mati dengan tenang, bunuh diri sendirian atau bunuh diri ganda."
Entitas berbentuk hologram gadis muda itu sadar jawabannya tidaklah memberi kepuasan pada pemburu di sebelahnya. Maka, ia melanjutkan. "Atau, kau bisa mencari tujuan hidup baru. Tujuan lainnya seperti manusia pada umumnya."
"Seperti apa?" Tanya itu mengalun dengan lembut, tanda [name] sudah bisa mengendalikan emosinya. Ia harus meredamnya, menjadikannya ranjau bom waktu yang akan meledak saat waktunya tiba nanti.
"Huh?!" Nadanya terdengar begitu sinis. "Ya, itu terserah padamu. Aku hanya membantumu saat ini saja." Gadis manusia itu merasa ditatap langsung hingga kedalam jiwa.
"Atau jika kau mau, aku bisa membantumu lagi. Bayarannya adalah jiwamu!" Sekilas gadis itu terhentak, terdiam dengan pernyataan itu. Apakah ia sedang berbicara dengan Akuma?
Tawa terdengar agak meledak ketimbang tawa lembut yang sudah-sudah. "Bercanda—jika kau tidak menyadarinya! Ayo, saatnya kau kembali. Wujudkan 'lah tujuan hidup barumu, gadis manis!"
Senyum itu kini benar-benar dapat dilihat dengan mata fisik. Terukir agak lebar, cenderung menaikkan rasa ngeri di hati. Tapi [name] tahu, jauh di dalam, itu adalah senyuman yang tulus. Dorongan diberi hingga ia terjatuh.
Tidak. Jatuh itu berlangsung dengan perlahan hingga rasa damai menyerta. Tidak ada sensasi terguncang, sampai ia kembali pada kesadaran dunia nyata. Rasanya seperti didobrak— didorong dengan keras hingga menabrak sesuatu yang agak keras.
***
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro