Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Tabula Rasa

"...ini..?" Bingung sedikit menghampiri [name] saat ia berhenti terjatuh dalam gelap tak berujung. Lalu ia berakhir dengan melayang. Tubuhnya terasa begitu ringan, dan ia tidak merasakan apapun. Sekelilingnya hanya ada hitam yang membentang. Ia merasa seperti sehelai bulu putih yang melayang dalam gelapnya malam.

—oh, bukan. Bukan gelap.

Memang tempat antah berantah itu dikelilingi hitam semata, namun gadis berhelai [haircolor] itu masih bisa melihat anggota tubuhnya. Perlahan, suara bernada rendah yang lembut tertangkap oleh pendengarannya.

Menutup sepasang bongkah [eyecolor] sesaat demi menajamkan fungsi indera-nya yang lain, [name] menyadari suara itu bukanlah suara perempuan maupun laki-laki.

Benar-benar ambigu. Ia sedikit penasaran, mahkluk androgini[1] seperti apa yang membuat suara-suara itu. Mencoba melangkahkan kaki demi merobohkan dinding penasaran yang mulai terbentuk, ia bisa mendengar suara-suara itu menjadi lebih jelas.

—atau, suara itu memang menjadi lebih kencang.

Lama kelamaan suara itu terdengar menjadi lebih banyak. Begitu runyam— namun terdengar harmonis bernada. Seolah [name] tengah mendengar lantunan sebuah nyanyian. Atau mungkin sebuah do'a..?

Entahlah. Yang pasti, ia memutuskan untuk terus berjalan— meski ia tidak tahu ingin ke arah mana. Ia hanya membiarkan sepasang tungkai-nya menentukan arah sesuka mereka sementara telinga-nya fokus mendengarkan. Sekarang, suara ricuh itu menjadi lebih jelas...

"Selamat datang di tempat ini! Di sini kau akan menemukan siapa jati dirimu yang sebenarnya!" Lalu tawa melengking menyerta. Anehnya, tawa itu tidaklah menusuk pendengaran barang satu hentak 'pun jua.

Kalimat itu membuat tertegun. Jati diri..? Sesuatu yang ambigu seperti itu sesungguhnya hampir mustahil untuk ditemukan. Hanya segelintir orang yang mendapat kesempatan untuk menemukan seperti apakah lembar takdir akan otentikasi dirinya yang akan dijalani sepanjang hidup hingga ujung gerbang akhir.

Dibutuhkan begitu banyak aspek, mencakup riwayat hidup selama beberapa saat. Juga aspek lain seperti aspek psikologis, sosial, budaya, dan lingkungan bagi individu itu untuk tumbuh dan berkembang. Semua bagai benang tipis transparan yang dipilin— ditenun menjadi satu lembar utuh bentangan takdir.

Itu semua tetap tidaklah memberi jawaban pasti. Maka para tetua mengatakan bahwa sebaiknya manusia tidaklah menggali terlalu dalam. Cukup memiliki rasa penasaran dalam takaran wajar untuk hal duniawi saja. Bukan hal tentang sebuah eksistensi atau semacamnya. [Name] adalah manusia normal, yang tidak akan memikirkan hal sejauh itu. Ia hanya akan menyerahkan tali kendali atas semuanya pada genggaman nasib.

Melangkahkan kaki, sepertinya [name] merasakan suatu benturan. Dari tekstur yang dirasa, itu adalah sesuatu yang padat dan berkayu, seperti... sebuah rak buku. Kali ini seakan cahaya mulai menelusup dari beberapa sisi, tempat itu dapat terlihat dengan jelas. Namun, bukanlah warna-warni normal yang terlihat, justru absurditas skala abu-abu yang membanjiri sinyal retina.

Bentangan rak-rak buku tanpa warna apapun selain skala abu-abu mulai terlihat semakin jelas, dan gadis itu tidak bisa berhenti begitu saja. Perjalanannya harus dilanjutkan, ia harus menemukan jalan keluar dari tempat aneh ini. Semakin ia berjalan, bukanlah cahya harap dari sebuah jalan keluar yang ditemukan. Melainkan kesadaran akan realita bahwa ia berada dalam labirin rak-rak buku.

Skala abu-abu sialan yang mewarnai benar-benar semakin menyesatkan. Gadis dengan surai [haircolor] itu sudah tidak mengenali ke mana ia melangkah, sampai—

—sebuah buku dengan satu-satunya sampul berwarna menarik atensi netra-nya.

Dengan sampan penasaran yang sedikit diwarnai rasa takut, ia memberanikan diri meraih buku dan membukanya. Berusaha mengarungi isi buku itu, mengharap akan sebuah jawab untuk satu jalan keluar.

Harapan memang jarang sinkron dengan realita. Bukan sebuah tata cara untuk keluar, namun buku itu malah memberi pertanyaan lain yang tidak biasanya terpikir oleh manusia.

jika manusia menyebut bahwa iblis adalah entitas jahat karena merampas dan membunuh, kenapa manusia juga berbuat demikian keji dan melontarkan segala argumen justifikasi perbuatannya? Bukankah mereka justru jadi terlihat jahat karena seluruh pembenaran itu?

Mengerang pelan lalu menyangga kepala dengan tangan, tubuh [name] terasa limbung. Benaknya banjir oleh pertanyaan yang meluap-luap tentang kemanusiaan. Bagaimana mereka berbuat dan mengapa demikian. Benar-benar menjengkelkan. Alan tetapi, sepasang betis ramping itu tetap dipaksakan berjalan, dengan lentera harap yang membimbing intuisinya akan kemana ia melangkah.

Kali ini langkahnya terhenti sebab ia yang terpeleset sesuatu. Kepala ber-ornamen mawar putih itu ditolehkan, hanya untuk mendapati satu buku lain yang berwarna. Warna biru merupakan warna yang normal, tetapi memancing secuil takut dalam hati kecil [name].

Seakan terpanggil, dan tak dapat kembali, tangannya meraih buku itu dan membuka tiap lembar seenaknya. Mempercepat proses membalik halaman, namun tetap saja tak berhasil. Itu seperti mantra kuat telah ditanamkan, isian buku itu mengalir cepat dalam benak tak peduli mau disangkal bagaimanapun jua.

Usaha penyangkalan yang ada hanya mendapat kesia-siaan belaka sebagai buah pahit. Kali ini satu pertanyaan dominan lain menyusul dalam antrian pertanyaam terbesar yang ingin ia tuntut sebuah jawab.

jika pada akhirnya aku akan mati, untuk apa semua perjuanganku ini? Semua hanya kesia-siaan belaka...

Sebuah disosiasi terjadi, gadis itu merasa melayang, ujung jemari— baik tangan maupun kaki, terasa tertusuk dingin tajam. Jantungnya berdebar lumayan kuat dan tubuhnya limbung, agak sulit untuk melangkah lebih cepat. Pandangannya berbayang, seolah ia perlahan tersedot ke dunia lain dari tempat yang juga antah berantah ini. Fase derealisasi dan depersonalisasi 'eh? Hehe...

Hatinya memanggil entah siapa, menggantungkan harap agar ada seseorang yang datang dan menyelamatkannya dari jurang neraka pertanyaan akan alam semesta. Setidaknya seseorang yang memberi jawab memuaskan untuk salah satu pertanyaan yang membebani.

Tubuh dengan seragam kisatsutai itu ambruk dengan pandangan buram yang tak lagi menangkap gambaran apapun jua. Telinganya berdengung, hanya dapat menangkap debam jantunh yang kian anarkis. Ah, mungkin ini waktunya haha... ia akan mati di sini. Jiwanya akan tertelan, lalu berkelana demi sepatah jawaban untuk memuaskan dahaga hati dan benak.

—ya, itu akan terjadi jika tidak ada suara lain yang mengintrupsi.

Untungnya, bukanlah suara lantunan doa dari entitas androgini yang menyapa. Melainkan suara seorang gadis— yang diperkirakan berusia sekitar tigabelas sampai limabelas tahun.

"Wah wah... pengunjung." Tangan entitas itu dingin mengangkat pipi, dan [name] tak bisa melihat wujudnya sebab pandangan yang masih buram. Namun, sepertinya entitas itu dengan baik hati berjongkok, menyetarakan posisi tubuh.

".... si... a.... pa....?" Ucapan yang bernada bisikan itu terpatah-patah sebab keadaan seperti lumpuh itu mengekang tiap-tiap ototnya.

Tidak memperkenalkan diri, entitas itu malah mengajukan tanya. "Menurutmu? Ah... tempat ini luar biasa 'kan? Maukah kau minum teh lalu berdiskusi?"

".... manu... sia...?" Sebenarnya gadis pemburu itu menyebut kata 'tentang' untuk pengawalan pertanyaannya. Tapi, tidak terdengar sebab lemahnya frekuensi suara itu. "Ya, jika kau berkeinginan begitu." Oh, sepertinya entitas gadis lawan bicaranya mengerti. Baguslah, haha...

"Ada yang mau kau tanyakan, Nona?" Angguk lemah nan samar itu menjadi jawaban.

"...adakah tujuan... dari semua ini...? Tujuan sejati... dari kami... para manusia..?" Entah [name] sudah bisa melihat dengan jelas atau belum, yang pasti, kelopak mata entitas humanoid itu turun seperdua bagian.

"Kutanya balik padamu, bagaimanakah dunia ini tercipta? Apakah yang menjadi awal mula penciptaan? Mengapa terjadi?" Nada itu agak naik, sepertinya pertanyaan [name] begitu mengiritasi hati dengan segores kemarahan— kekecewaan mungkin?

"Pertanyaan seperti itu, tidaklah memiliki jawaban pasti, Nona. Itu pertanyaan subjektif." Setelah jawaban itu mengalir, [name] memperbaiki posisi duduknya 'pun gadis itu juga. Lantai itu tidaklah dingin, tidak juga terlalu hangat. Suhunya lebih seperti menduduki rumput yang disirami hangat mentari pagi walau terbuat dari sesuatu seperti keramik.

"Lalu... biar kusederhanakan pertanyaanku..." dehaman dari lawan bicara adalah tanda bahwa [name] didengarkan. "Aku tidak tahu apa tujuanku yang sesungguhnya. Aku tidak tahu ingin jadi apa diriku ini untuk setelahnya... yah, setelah tempat ini membuatku memikirkan hal semacam itu..."

Walau keadaan [name] sudah membaik—Dinilai dari aliran bicaranya yang sudah lamcar, tetap saja ia tidak bisa melihat entitas bersuara gadis di hadapannya. "Hmm... spesiesmu, manusia sepertinya 'eh?"

Jeda tiga menit itu tampaknya dihabiskan untuk berpikir akan jawaban yang hendaknya memuaskan hati. Juga, cara penyampaian yang layak dan cukup diterima untuk mengisi relung kosong dalam jiwa. Atau lebih seperti menjadi tempat bersinggah untuk jiwanya yang tersesat.

"Biasanya alasan hidup manusia itu hanya... hal-hal yang disukainya, keluarganya, atau materi. Kira-kira yang mana punyamu..? Adakah seseorang yang kau sayangi?" Pertanyaan itu menjerumuskan Si Gadis dalam pundung biru kelam.

"Ya, tapi aku berniat menyerah saja. Dia milik orang lain sepertinya..." ada jeda lima detik sebelum pertanyaan lainnya dilontarkan. "Tapi kau masih menyukainya 'kan? Selama belum benar-benar ada sinyal mundur dari orang itu, seharusnya manusia tidak menyerah..."

"Kurasa tidak..." entah embun subuh apa yang menerpa hingga membuat [name] berkata demikian. "Oh, fall out love?" Pertanyaan dalam bahasa yang tidak dipahami serta nadanya yang memancing curiga naik ke permukaan hati, membuat insting dalam diri menyuruh [name] kembali menoleh.

"Baiklah, biar kuberi satu hadiah." Setelahnya cahaya menelusup dari segala penjuru perpustakaan monokrom abu-abu dan menelan mereka. Sesuatu seperti sebuah mimpi itu mekar bagai bunga mawar putih dengan embun pagi segar. Indah dan berduri.

Oh, dasar entitas terkutuk.

***

To be continued...

Yah sebenernya ini scene mau kupake buat orific. Tapi cocok juga buat disini, jadi yaudah lah.

Androgini artinya gapunya jenis kelamin :'v

Tabula rasa, kalo dari Gugel tuh artinya semua manusia dilahirkan macam kertas atau kanvas kosong. Netral. Bisa diajarkan jadi baik atau buruk. Tergantung pengalaman dan lingkungannya kek gimana. Wkwk yah paham kan ntar nya reader-chan bakal gimana?

Gils ini draft dah lama bgt kesimpen tp malas post njir wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro