17. Onmyouji Encounter
Siang hari itu tampak lebih terik. Kumpulan manusia berlalu-lalang. Ada yang masih bekerja atau menjaga toko―dengan peluh yang menetes dari berbagai sisi. Berkali-kali peluh diseka, berkali-kali pula peluh itu kembali muncul. Aktifitas di desa ini lebih padat dari biasanya.
Ini sudah waktunya makan siang. Jemari mungil tertunjuk pada bangunan kayu yang lumayan besar. Eksteriornya terlihat seperti bangunan kuno Jepang pada umumnya. Dengan seonggok sakura yang berdiri kokoh menghiasi bagian pinggir kanan halaman depannya.
"Ayo makan di sana!" Ryuusei dan kedua pemburu iblis itu menyusul Tsuki yang sudah lebih dulu berlari dengan di iringi riang khas bocah.
Suasana di dalam rumah makan tampak sedikit ramai―sebab ini jam makan siang. Quarduplet itu memilih tempat duduk di bagian pojok yang lebih sepi.
Setelah melihat-lihat menu, akhirnya panggilan di lontarkan pada pelayan sebab mereka ingin memesan. "Es serut dua mangkuk!" Si bocah bersuara.
"Heh―nanti kau sa―" ucapan Ryuusei di potong oleh adiknya yang tersenyum penuh muslihat. "Siapa bilang aku akan habiskan keduanya? Satu mangkuk lainnya untukmu 'tahu!"
Lengkung bibir Si Manik Laut Mati turun sebagian tanda agak sebal dengan kelakuan adiknya. "Kau ini..." adiknya nyengir tanpa dosa sebagai aksi selebrasi. "Hehe..."
Pemandangan di hadapan Sanemi terlalu hangat. Namun malah menghantarkan dingin pada perasaannya. Sebab, ia teringat pada adiknya―Genya. Ia ingat betul adiknya bersikeras ingin bergabung dengan kisatsutai agar bisa melindungi kakaknya.
Berbagai penolakan dan argumen per-tidak setujuan telah dilontarkan berkali-kali. Namun, itu tak dapat menembus dinding tekad Genya yang kokoh. Seakan ucapan penuh hina tanpa belas kasih itu hanya angin lalu.
Tidak. Sanemi tidak melakukan itu dengan niat jahat yang sesungguhnya. Ia hanya ingin melindungi adiknya. Ya, ia ingin adiknya menjalani kehidupan normal. Tentang iblis atau oni, ia yang akan mengatasinya. Sanemi tidak akan membiarkan satu oni 'pun mendekati―apalagi menyentuh adiknya.
Tangan pelayan yang dikibaskan di depan wajah Sanemi membuatnya tersentak. "Ha?!―"
"Tuan, anda mau pesan apa?" Saliva-nya ditelan kasar bersama dengan segumpal kegugupan canggung sebelum menyebut pesanan. "Aku pesan―"
"Seporsi ohagi." Bongkah permata kecubung menoleh dengan segumpal keterkejutan terpancar di dasarnya. Si Pemilik Lisan mengulangi perkataannya.
"Seporsi ohagi untuk orang ini dan seporsi [fav food] untukku." Nada itu mengalir acuh, namun Sanemi merasa manis mendengarnya. Si Pelayan beranjak. Hati abu-abu hampa Sanemi tercelup kedalam merah muda―dan warna itu mengisi lalu memenuhi hatinya hingga lumer. Warna itu ada yang naik―sedikit mewarnai pipi.
—Gadis itu masih mengingat makanan kesukannya...
Fakta itu terus terputar-putar dalam benaknya bagai kotak musik yang selalu mengulangi lagu klasik yang sama. Sanemi tidak akan merasa bosan dengan fakta itu, seperti bocah yang tidak merasa bosan mengulang kembali lagu yang sama dari kotak musik itu setiap saat.
Seulas senyum setipis benang dilengkungkan Sanemi. Ia merasa sedikit lebih senang―atau bahagia? Entahlah... intinya, perasaan ini terasa manis nan hangat, juga lembut untuknya. Hanya karena [name] masih mengingat makanan favoritnya ia sudah sesenang ini. Ya ampun...
Sanemi begitu menikmati perasaan ini. Perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan. Satu-satunya hal yang membuatnya bisa bertahan dan berdiri dengan ketegaran membara di hati. Mengabaikan tawa terkikik dari Tsuki dan kakaknya, ia hanya berusaha menyimpan dan menjaga perasaan dalam kotak istimewa di hatinya. Untuk sekarang dan selamanya...
Limabelas menit berlalu, mungkin salah satu menu pesanan mereka akan datang sebentar lagi. "Ryuu nee-chan, permisi."
Alis hitam bertaut membentuk kanji delapan. "Kau mau ke mana?"
"Cuci tangan." Itu adalah izin yang terlontar beberapa menit lalu. Jika Ryuusei tidak salah hitung―dan ia memang tidak pernah salah dalam menghitung, ini sudah sekitar sepuluh menit. Bocah bermanik hijau asam itu belum juga kembali. Rumah makan itu mulai sepi, orang-orang sudah kembali pada aktifitasnya.
Hanya tersisa quintruplet itu di sisi pojok―dan sepasang kekasih―euh... jika itu adalah kata yang tepat. Sepasang kekasih itu memiliki warna rambut dengan perbedaan yang cukup mencolok. Satu orang bersurai coklat, dan yang satunya lagi bersurai senada senja. Indah. Tapi, mereka barusaja beranjak. Kini hanya tersisa dua pemburu iblis itu dan dua bocah aneh dalam rumah makan.
"Kau!!!" Bentakan memancing segumpal penasaran dari kotak perasaan masing-masing orang itu. Terutama Ryuusei.
"Aduh... tumpah sedikit. Maaf 'ya..." suara bernada datar Tsuki terdengar dari kejauhan. Manik laut mati Ryuusei disipitkan sebagai upaya memperjelas pengelihatannya. Segurat keheranan yang tipis menambah ekspresi gadis itu. Sepertinya Tsuki tidak sengaja menabrak orang dan membuatnya menumpahkan sedikit ocha yang barusaja diisi ulang. Yah, memang di rumah makan ini gratis isi ulang ocha.
"Kau 'kan― ah, akhirnya aku menemukanmu, yokai sialan!" Gadis berambut hitam dikepang tunggal dengan manik senada berseru.
Seragam kimono berwarna putih dan celana hakama merah. Dari pakaiannya, kedua pemburu iblis itu berasumsi bahwa dia adalah gadis kuil―atau mungkin, seorang onmyouji seperti yang dikisahkan dalam dongeng masakecil mereka.
Heran berlebih tercetak di wajah Tsuki. "Kau bicara apa 'sih? Yokai? Itu 'kan mitos... bocah macam diriku saja tahu kalau yokai itu cuma mitos..."
"Heh― jangan mengelak. Ayo ikut aku, biar kubunuh yokai busuk macam dirimu!!!" Tarikan gadis kuil pada bocah berambut sewarna dengan surainya itu ditepis mentah-mentah.
Wajah bocah pucat itu terlihat bersungut-sungut. Ledekan dilontarkan―karena itu adalah kebiasaannya. "Kau bodoh 'ya? Mana mau aku ikut denganmu jika kau berkata mau membunuhku..!"
Bibir pucat mungil kembali melontarkan hinaan. "Tidak diancam 'pun aku tidak mau. Habisnya kau jelek 'sih... Miki―ah, maksudku Ishikawa-san..."
Rahang gadis kuil mengeras, tangan dikepal. Pitamnya benar-benar terpancing naik akibat 'bocah yokai' sialan ini. Benar-benar. "Tidak baik memanggil orang tua dengan nama depan, hehe... maaf maaf..."
"Tutup mulutmu, bocah brengsek!!!" Tangan diulur, meraih segumpal helai hitam Si Bocah, memancing pekik tertahan. "Aduh―lepas, onmyouji sialan!"
Tsuki tidak tinggal diam, tangannya meraih pergelangan tangan yang masih mencengram rambutnya. Kulit putih mulus ditarik hingga robek dan terlepas dari tempatnya. "Kubilang lepas 'ya lepas!!! Aku tidak suka diganggu!!!" Pekik lepas dari lisan onmyouji itu.
Ditariknya tangan dengan luka besar itu menjauh, lalu dilayangkan. Hendak menampar pipi Si Bocah dengan kencang. Namun, sebuah tangan menahannya. "Tsuki, kau kembali ke tempat duduk kita. Biar aku yang urus gadis kuil ini..." Ryuusei tersenyum lembut, membuat adiknya urung membantah sebab tak ingin mengusik teduhnya senyum itu. Ia kembali dengan langkah yang senantiasa dihentak bersama rasa sebal.
"Miki-chan, mengganggu orang itu tidak baik 'lho..." gadis pucat itu berbisik tenang disamping telinga gadis kuil. Panik membuncah di dada akibat adrenalin yang seketika menyebar ke seluruh tubuh.
"Lepas! Lepaskan tanganku!"
"Wah... teruskan! Aku suka melihat manusia meronta! Sebentar lagi pasti kau bisa lepas 'kok!" Kata-kata penyemangat diungkapkan dengan kelembutan yang setara dengan senyumnya, ia terkekeh pelan. Jika itu dilontarkan oleh seorang ibu pada anaknya dan dengan kalimat sedikit berbeda, mungkin nada itu akan memberi teduh nan hangat yang berhasil mendorong semangat.
Perih membakar tangan Si Gadis Kuil―Miki. Merah cair mengalir deras membasahi seragam onmyouji-nya.
Begitu sampai ke tempat duduknya, Tsuki meluncurkan keluhan dari lisannya. "Aduh... menyebalkan... huft―"
"Kau baik-baik saja?" Menoleh ke sumber suara, bocah pucat itu mendapati [name] yang tengah menatapnya dengan seonggok kekhawatiran.
"Rambutku rontok..." bibirnya cemberut sembari ia melepas hairpin bunga yang menjepit.
"Ah, pasti sakit... sini, biar kurapikan kembali rambutmu!" Tangan [name] diulurkan, merapikan helai rambut bocah berkimono hitam dengan kelembutan yang tertoreh di setiap gerakannya.
Demi setangkai ringo ame yang ia beri untuk [name] saat festival musim panas dulu— hasil dari jerih payahnya sendiri, Sanemi merasa manis melihatnya. Meskipun, ia bukan objek yang menjadi perhatian dari Si Gadis. Ia tetap merasa hangat hanya dengan melihatnya saja. Lengkung bibirnya tersenyum tipis.
[Full name] memang gadis idaman 'ya..? Kurasa dia akan jadi ibu yang sempurna untuk anak-anakku.
***
To be continued...
Fluff enough gk sih ini? Hati saia lagi nge fluff soalnya lol- meski fluff nya lebih ke pas ngebayangin double black sih \(;3;\)
Also- karena saya gabut makanya up :v
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro