Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Manuscript 9 : Interweave

Ada semesta dimana hal-hal baik terjadi. Semesta dimana Pahlawan menang dan keberuntungan jatuh pada pihak yang baik.

Dan ada juga yang tidak.

Di satu semesta, Children of Earth menang melawan The Silent Hands. Menutup portal. Dan bubar.

Apa yang terjadi di semesta yang tidak?

Mengintip dari balik tabir itu, ada sebuah semesta yang berbeda.

Dimana banyak hal yang harusnya terjadi, tidak terjadi. Dan yang harusnya tidak terjadi, terjadi.

Kehidupan dua tokoh yang tadinya hanya saling melewati—

Kini terikat.

Terjalin dan tersulam menjadi cerita di sebuah skenario yang sangat aneh. Di semesta yang sama anehnya.

***

Semuanya dimulai saat umur Dorothea tujuh tahun. Di jalanan yang becek karena hujan.

Putrinya berjalan dengan linglung. Berlenggak-lenggok di antara genangan air. Jas hujan kuningnya tampak cerah diantara jalanan London yang dominan kelabu.

Avery tersenyum. Setelah perburuan sulit beberapa hari lalu, makan malam di luar dan melihat tingkah lucu Dorothea selalu bisa mengangkat semangat.

"Lihat little duckling kita," bisik Akira dekat di telinganya. Memegangi payung yang mereka bagi untuk berdua.

Avery tertawa. Suaminya benar. Cara jalan Dorothea itu mengingatkannya pada bebek. Jas hujannya juga membantu memberikan efek itu.

Dan pertanyaan sederhana terlempar dari mulut wanita itu. Dengan sedikit nada geli.

"Dorothea? Kenapa jalanmu limpung begitu?"

Putrinya langsung berbalik. Memiringkan kepalanya dengan heran. Gestur yang selalu sukses membuat Avery ingin mencubit pipi tembamnya.

Akan tetapi, yang keluar dari bibir kecil itu bukan jawaban yang dia inginkan.

"Aku tidak mau menabrak orang-orang Mom!"

Hening.

Jalanan itu kosong.

Untuk Avery, waktu seakan berhenti berjalan.

Jantungnya seperti ingin melompat. Instingnya menjerit.

Dan insting seorang ibu bukan hal yang ingin diabaikan.

"Apa yang—"

Kalimat Akira terputus. Avery melangkah maju. Keluar dari payung dan menggendong Dorothea ke pelukannya. Tidak peduli basah dari gerimis atau air di jas hujan anaknya.

"Akira, kita harus pulang, sekarang."

***

Dorothea kadang berbicara tentang 'orang' yang dia temui.

Yang tampak terlalu pucat. Hampir transparan.

Yang melayang.

Dan Avery tahu apa implikasi itu.

Akira bilang itu mungkin hanya teman imajinasinya. Anak umur enam tahun biasanya punya satu, kan?

Namun, logika itu tidak bisa diterima oleh Avery dengan mudah.

Dia kadang melihat putrinya berbicara pada ruang kosong. Dan cerita dari 'teman imajinasi'-nya sangat detail dan nyata. Terlalu nyata.

Avery merasakan hatinya mencelus. Dia tahu apa yang Dorothea bisa lakukan.

Dia tahu siapa anaknya. Gelar apa yang menempelinya karena kemampuan itu.

Jika saja perang mereka sudah berakhir, Avery pasti tidak akan mengungkitnya. Dia ingin keluarganya tidak terlibat. Dia ingin mereka hidup normal.

Akan tetapi—

Mereka masih ada di luar sana.

Demon, The Silent Hands, dan entah mimpi buruk apa yang merambat dalam bayang-bayang.

Gadis kecilnya dalam bahaya.

Jadi, malam itu—setelah Dorothea sudah mendapat dongeng pengantar tidurnya—Avery memanggil Akira.

Mereka duduk di kursi makan. Cahaya rembulan merambat dari jendela. Diam yang canggung memenuhi ruangan.

Dan dari pandangan cemas suaminya, wanita itu tahu wajah ragu dan sedih pasti ada di wajahnya sekarang.

"Dear, apa semuanya baik-baik saja?"

Avery menggigit bibir.

Tidak. Semua tidak baik-baik saja.

"Akira," desahnya. "Apa kau tahu— pekerjaanku?"

Laki-laki di depannya terdiam. Membenarkan kacamata sembari menatap bingung.

"Kau... pekerja kantoran, kan?"

Mulut Avery meringis. Jantung serasa melompat ke tenggorokannya. Rasa bersalah mencengkeram kuat-kuat hatinya.

Selama ini, dia berbohong pada suaminya sendiri. Dan setelah ini, rahasianya akan—

Avery menggeleng. Bukan saatnya untuk ragu-ragu.

Jaei jempol memutar cincin di jari manis tangan kirinya. Tanda janji suci mereka. Avery menarik napas.

I promise to be true to you in good times and in bad, right?

Baik susah ataupun senang?

"Akira, apa yang ingin aku ceritakan mungkin terdengar—gila," ucapnya.

"Tapi, kuharap kau mendengarkanku sampai akhir."

***

Dan Akira—Akira yang sangat baik, pria yang paling dia cintai di dunia—memutuskan untuk percaya.

Semudah itu.

Setelah ceritanya selesai, dua manik emas yang memesona Avery hanya berkedip sekali. Kemudian dia berkata—

"Jadi, apa yang harus kita lakukan?"

Kita.

Benar, sekarang mereka terlibat dalam ini bersama-sama.

"Aku—tahu siapa yang bisa membantu," ucap istrinya itu. "Dia sahabatku. Aku yakin dia bisa melatih Dorothea."

"Baiklah," bisik Akira. "Dimana dia tinggal?"

Avery menarik napas dalam-dalam. Ya, mereka akan baik-baik saja.

"Jepang."

***

Dengan mengerahkan semua koneksi yang mereka punya, butuh satu minggu untuk Avery dan Akira menyiapkan semuanya.

Pada umur 6 tahun, Dorothea Tuning pindah ke Jepang.

***

Dorothea sadar bahwa anak lain di taman kanak-kanak menjauhinya. Mengecapnya dengan julukan 'Gadis yang Sering Bicara Sendiri.'

Awalnya dia bingung, karena dia jelas punya lawan bicara.

Sampai dia sadar lawan bicaranya tidak kasat mata.

Gadis itu menceritakan itu pada gurunya. Yang hanya ditepis dengan label khayalan anak kecil.

Dan yang lain semakin menjauhinya.

Itu sebabnya dia tidak keberatan pindah sekolah.

Walaupun Jepang itu jauh. Dan kepindahan mereka terasa agak mengejutkan.

Jadi, di sinilah dia sekarang. Memperkenalkan diri di depan kelas barunya.

Avery mendaftarkannya ke Institusi Sekolah Mandaroa. Tempat banyak anak-anak anggota The Children yang lain disekolahkan. Mereka punya tingkatan yang lengkap. Mulai dari SD sampai SMA.

Kalau di Inggris, pada umur enam tahun, Dorothea harusnya masuk kelompok Tahun Kedua. Namun di Jepang, dia masuk di kelas satu Sekolah Dasar.

Gadis memperkenalkan dirinya. Kemudian, wali kelas mereka mempersilahkan teman lain untuk bertanya.

Murid lain dengan semangat mengangkat tangan. Menyerukan pertanyaan mereka.

"Kenapa pindah ke Jepang?"

"Hobimu apa?"

"London itu seperti apa?"

Antusiasme mereka bukan sesuatu yang Dorothea sangka. Dia menjawab satu-persatu sebisa mungkin.

Akan tetapi, dia menyadari satu hal yang aneh. Satu hal yang tidak sama dengan sekolah lamanya.

Mereka tidak bertanya soal quirk.

***

"Jadi... bagaimana hari pertama sekolahmu, Dorothea?"

Pertanyaan itu dilontarkan oleh Avery setelah makan malam. Dia sedang mencuci. Dorothea sendiri duduk di meja dapur dengan buku gambar.

"Mandaroa itu... berbeda."

"Berbeda? Berbeda kenapa?"

"Sepertinya tidak ada yang peduli soal quirk. Tidak seperti di London."

Avery tersenyum kecil. Menaruh piring yang sedang dia cuci di rak.

"Mungkin mereka ingin menilaimu apa adanya. Bukan dari quirk."

"Huh?" Dorothea memiringkan kepala dengan bingung.

"Hmm." Avery mengelus dagunya. Mencari cara untuk menjelaskan hal itu dengan tepat.

"Dorothea, menurutmu... apa ada yang namanya quirk penjahat?"

Putrinya terdiam. Menggoyangkan krayon merah yang dia pegang.

"Dulu di London, ada anak yang bisa mengendalikan darah orang," gumamnya. "Yang lain bilang, itu quirk penjahat."

"Apa kau setuju dengan itu?"

Dorothea diam lagi. Dia mewarnai kupu-kupu di bukunya dengan muka serius.

"Tidak. Anak itu tidak melukai siapapun. Jadi, dia bukan penjahat!"

Ibunya tergelak. Mengeringkan tangan dengan handuk lalu mengacak-acak rambut putrinya.

"Anak pintar," puji Avery. "Kau benar, jangan sampai kita hanya menilai orang dari quirk mereka, ok?"

Dorothea mengangguk setuju. Menurutnya itu masuk akal.

***

Pada hari berawan di umurnya yang sepuluh tahun, Keluarga Tuning berlibur ke taman kota.

Hari ini, mereka harusnya bertemu dengan seseorang di taman. Kata Avery, mereka akan bertemu teman lamanya.

Akan tetapi, Dorothea bosan. Teman Ibunya tidak kunjung datang. Jadi dia mengikuti capung yang terbang rendah ke tengah taman.

Dia tidak suka apa yang dia temukan di sana.

Tampak sekelompok anak berkumpul. Dorothea agak jauh dari mereka. Namun, dia bisa melihat mereka menendangi sesuatu.

Mata emasnya terbelalak.

Itu bukan sesuatu. Itu seseorang.

Sayang sekali, saat Dorothea berlari mendekat, kelompok anak itu sudah berlari menjauh dengan tawa keras.

"Hei!" Gadis itu menghampiri anak yang tergolek di tanah. "Kau tidak apa-apa?"

Dia mendengar suara erangan. Kemudian kepala berambut hijau terangkat dari tanah.

Mata emerald bersirobok dengan mata emas.

"Huh? Uh, iya, aku baik," gumam anak itu. "Temanku hanya bermain agak kasar."

Dorothea memandangnya khawatir. Dia yakin 'teman' tidak menendang satu sama lain. Dia membantu anak berambut hijau itu berdiri.

"Kau yakin? Lagipula, kenapa mereka menendangmu begitu??"

Sekejap, ada panik di mata emerald lawan bicaranya. Dorothea bisa melihat tubuh anak itu bergetar sedikit.

"Ah, itu—anu—" Si Mata Emerald tergagap. "Uh, itu karena—aku tidak punya quirk."

Alis Dorothea terangkat. "Hanya karena itu?"

Si Mata Emerald terlonjak kaget. Pandangannya jelalatan ke kanan kiri. Sepertinya tidak menyangka reaksi Dorothea.

"Eh, uh, iya."

"Itu bukan alasan bagus untuk menendang seseorang," dengus Dorothea. "Quirkless bukan berarti kau lebih rendah, kau tahu?"

Anak di depannya terkesiap. Mata terbelalak dan mulutnya terbuka. Seperti ikan yang keluar dari air.

Dorothea baru akan mengatakan hal lain ketika dia mendengar suara Akira memanggilnya.

"Ah, maaf! Aku harus pergi. Syukurlah kau baik-baik saja!"

Dan gadis kecil itu berlari menjauh. Meninggalkan si Mata Emerald yang masih terpaku.

***

Midoriya Hisashi kadang sangat membenci pekerjaannya.

Ya, dia tahu pekerjaan itu sangat penting. Dan dia tidak bisa serta merta meninggalkan kewajibannya begitu saja.

Namun, saat istrinya menangis menelpon tentang Izuku yang didiagnosis tanpa quirk—

Dia membenci dirinya sendiri karena tidak bisa pulang.

Dan serius, diagnosis? Mereka mengatakan itu seakan anaknya memiliki penyakit.

Quirkless bukan penyakit.

Dan dia tahu bahwa anaknya adalah anak paling hebat. Dengan ataupun tanpa quirk.

Jadi, dia berusaha keras menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin. Walaupun itu berarti jarang mendapat istirahat atau waktu senggang.

Dia hanya ingin pulang.

Pada akhirnya, doanya terkabul.

Dia sampai di Jepang di suatu hari berawan. Memeluk Inko yang menyambutnya di pintu. Dan dengan was-was menunggu Izuku pulang dari bermain di taman.

Dan ketika dia mendengar suara anaknya yang baru datang. Dia langsung berlari dan memeluknya juga.

Keluarga kecil mereka banyak sekali menangis. Itu hampir komikal.

***

"Otou-san, uh—"

"Ada apa Izuku?"

"I-itu," suara anaknya bergetar. "Menurutmu, seorang quirkless sepertiku, bisa menjadi Pahlawan?"

"Tentu saja."

Hati Hisashi mencelus melihat mata anaknya yang berbinar.

Berapa orang yang sudah kau tanya, nak?

Berapa banyak yang menjawab 'tidak'?

Hisashi mengelus rambut ikal putranya itu. Jika saja warnanya hitam, dia pasti mirip seperti Hisashi waktu kecil.

"Tapi... bagaimana jika ada cara lain untuk melindungi, selain menjadi Pro Hero?"

Kali ini, Izuku diam. Mata hijaunya mengikuti Hisashi yang berlutut. Menyejajarkan posisi kepala mereka.

"Izuku." Ayahnya meletakkan tangan di bahu sang putra.

"Apa kau pernah dengar soal..."

Jeda sebentar. Izuku menunggu dengan ekspresi penasaran. Hisashi berbisik ke telinganya.

"...Children of Earth?"

***

Nikky dan Monika adalah duo yang aneh. Sifat mereka bertolak belakang. Namun, mereka berdua bersahabat. Itu sangat mengherankan.

Dorothea memutuskan dia menyukai mereka. Walaupun aneh, mereka baik dan ramah. Monika selalu datang membawa pernak-pernik dan makanan ringan. Sementara Nikky punya banyak cerita yang fantastis.

Akan tetapi hari ini, ketika mereka berkunjung, ada aura yang berbeda.

Dorothea duduk di kursi makan. Sedang asyik melihat buku soal boneka kain yang baru dibelikan ayahnya. Sementara itu orang tuanya mengobrol dengan Nikky dan Monika di ruang tamu.

Beberapa menit kemudian, Dorothea dipanggil.

Dia merasakan aura tidak enak di ruang tamu. Frustasi bercampur takut.

"A-apa aku dalam masalah?"

Avery tersenyum lembut. Mengelus pelan rambut putrinya.

"Sebenarnya, kami berniat menunggu kau berumur 15 atau 16 tahun tapi—"

Ibunya menghela napas. "Dorothea..."

"Apa pernah kau berpikir di dunia ini ada hal yang sangat... aneh?" tanyanya.

"Bahkan lebih aneh dari quirk?"

***

Izuku bertemu lagi dengan anak berambut merah di taman saat umurnya 12 tahun.

Dia tidak pernah melupakan gadis itu. Kata-kata yang dia ucapkan akan selalu terpatri dalam pikirannya.

Dalam dua tahun ini, Izuku belajar soal The Children, apa yang mereka lakukan. Tentang demon. Tentang dunia di balik tabir yang sangat indah sekaligus berbahaya.

Dan yang paling penting, dia belajar cara bertarung di dunia itu.

Sang ayah menyemangati dan memberikannya arahan sepanjang jalan. Memastikan anaknya akan baik-baik saja.

Izuku kadang teringat dengan gadis berambut merah itu. Dia benar.

Quirkless bukan berarti lebih rendah.

Dan dia tidak menyangka akan berpapasan dengan gadis itu di lorong fasilitas Children of Earth.

Sayang sekali, walaupun mereka melihat satu sama lain, mereka sama-sama punya urusan. Jadi, keduanya hanya bertukar anggukan.

Izuku berharap bisa mengobrol dengan gadis itu lagi.

Dan jika dia akan menjadi anggota The Children juga, mungkin itu tidak akan lama.

***

"Siapa tadi, Dorothea?" tanya Nikky. Mereka baru menyelesaikan satu sesi latihan bersama.

"Oh, anak yang dulu kutemui di taman."

Kening Dorothea mengerut. "Setelah kupikir... aku tidak pernah tahu namanya."

"Eh, kalau dia di sini, mungkin salah satu keluarganya seorang anggota," tebak Nikky. "Kau pernah melihatnya di Mandaroa?"

Dorothea menggeleng. Tepat saat itu, salah satu pintu menjeblak terbuka.

"Monika-san!"

"Nikky! Lil' psychic!"

Gadis rambut merah itu langsung menghambur ke pelukan bibi keduanya.

"Heh, kau sudah kembali," ucap Nikky bersedekap. "Bagaimana misinya?"

"Gila. Salah satu pemasok mereka ternyata Pahlawan."

Kepala Dorothea terangkat dari pelukan Monika. Mata emas berkilat heran.

"Pahlawan? Bukannya mereka seharusnya baik?"

Dua wanita dewasa itu berpandangan sejenak. Kemudian, Nikky terkekeh kecil. Mengelus rambut Dorothea dengan lembut.

"Kit, dunia itu tidak selalu hitam putih. Itu akan jadi topik kita besok."

***

Hari ini terakhir di SMP, untuk Izuku bukan hari yang baik.

Katsuki meledakkan bukunya lagi. Lalu mengatakan hal yang Izuku yakin termasuk suicide-baiting.

Dan dari berita yang dia baca, ada penjahat berbentuk lumpur yang ditangkap di rute pulang biasanya.

Untung saja hari ini dia harus latihan di gedung The Children. Jadi dia tidak harus berpapasan dengan itu.

Harinya sudah tidak menyenangkan. Dia tidak butuh tambahan kesialan lagi.

"Kalau kau lelah, kita bisa lanjut besok," tawar Hisashi.

Izuku menggeleng. Tangan kiri memegang ponsel dengan laman berita. Sementara tangan kanannya memainkan butterfly knife.

"Aku baik-baik saja, Otou-san."

Hisashi mendesah. Tahu anaknya bisa keras kepala di saat-saat tertentu.

"Ngomong-ngomong, apa kau sudah memikirkan tentang SMA?"

Anak berambut hijau itu terpaku. Pisau berhenti diayunkan.

"Ya, aku ingin masuk U.A. Prodi Umum."

Hisashi tersenyum. Apa dia bilang soal keras kepala tadi?

"Bagaimanapun, itu sekolah impianku," gumam Izuku. "Rasanya sayang jika kulepaskan begitu saja. Lagipula, Prodi Umum mereka masih masuk yang terbaik."

Senyuman ayahnya melebar. Dia menepuk pundak Izuku dengan lembut.

"Itu pilihan bagus."

***

Dorothea mengalahkan arti-demon pertamanya hari ini. Keluarga Tuning merayakan dengan makan di luar.

Setelah kembali, Dorothea dan Avery duduk di sofa ruang tengah. Sementara Akira harus menerima telepon dari temannya.

"Kau benar-benar sudah besar, ya?" bisik Ibunya.

Suara TV yang tidak diperhatikan terdengar remang-remang.

Sang putri hanya mengangguk. Menyandarkan kepalanya ke bahu Avery. Berdehum dan menyamankan posisinya.

"Dan... sepertinya sudah saatnya Mom memberikan ini padamu."

Dorothea mengangkat kepala. Melirik ke benda berkilau yang diulurkan Avery.

Tusuk rambutnya.

Mata emas membulat.

"Wha—Mom! Tapi itu—"

"Ibuku memberikan ini padaku," sela Avery. "Dan dia mendapat ini dari Ibunya."

"Kupikir, sudah saatnya kau menerima ini."

Dorothea menatap tusuk rambut itu. Gagak hitamnya berkilat di bawah sinar lampu. Dia mengambilnya dengan hati-hati.

"Aku akan menjaganya, Mom."

"Tentu, aku percaya padamu," ucap Avery sembari terkekeh.

"Oh, dan... apa kau sudah memikirkan soal SMA? Apa kau akan lanjut di Mandaroa?"

"Ah, soal itu," Dorothea menggaruk kepalanya. "Sepertinya tidak. Banyak temanku yang lain juga memutuskan pindah. Mencari lingkungan baru."

"Yah... itu wajar," gumam Avery. Kemudian dia menjentikkan jari.

"Bagaimana kalau U.A.?"

Alis Dorothea menukik. "Bukannya itu sekolah Pahlawan?"

"Mereka punya Prodi Umum," ucap Avery.

"Di sana, akan ada banyak anak dalam berbagai bidang. Pahlawan, Support, Bisnis. Kupikir itu bagus untuk mencari teman."

Dorothea meringis. Mencari teman tidak masuk dalam daftar bakatnya. Tapi—

"Itu tidak terdengar buruk."

***

Gedung SMA U.A. itu besar dan tampak kokoh. Agak sedikit mengintimidasi. Cocok sekali untuk sekolah paling bergengsi di seluruh Jepang.

Dan Midoriya tidak percaya dia akan jadi salah satu siswanya.

Dia benar-benar berhasil masuk ke sekolah impiannya.

Memang hanya di Prodi Umum. Namun, sudah ada kebanggan tersendiri dalam hatinya.

Aku berhasil.

Dia mengambil langkah mantap. Berjalan ke arah gedung dengan masih terpana. Hendak bergegas ke kelas 1-C.

Sampai matanya menangkap sekelebat merah di sela lalu-lalang murid.

Tunggu dulu, itu

Tanpa komando, kakinya bergerak sendiri. Mengejar siluet yang melangkah santai di kerumunan.

Dan secara tidak sadar, Izuku sudah di belakangnya. Menepuk pelan pundak gadis yang familiar itu.

Dia berbalik.

Mata emas dan emerald bertatapan seperti bertahun-tahun lalu.

"Kau—!"

"Kamu—!"

Setelah rasa terkejut reda. Mereka berdua bertukar senyum.

"Midoriya Izuku."

Si anak berambut hijau mengulurkan tangan. Kemudian berbisik

"Calon Paladin Children of Earth."

Gadis di depannya terkekeh pelan. Menjabat tangannya.

"Dorothea Tuning."

Dan setelah diam sejenak, dia menambahkan.

"Sang Mata."

***
.

.

.

Manuscript 9 :
INTERWEAVE

The End

***
.
.
.
.
.
.
.

A.N. :
Lagi-lagi AU yang kubuat impulsif. Aku tidak tahu akan dibawa kemana ceritanya.
Jika kalian mau lebih banyak AU ini, kalian bisa komentar! As always, terima kasih sudah membaca!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro