Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Manuscript 8 : Questing 5

Mereka berlima berjalan di tengah kabut tanpa perlindungan kali ini.

Dorothea melirik ke sekitar dengan camggung. Sesekali menengok ke belakang jika mendengar suara sekecil apapun. Dari dulu, ayahnya selalu mengingatkan agar tidak pergi ke dalam kabut. Walaupun hanya untuk menjemur pakaian atau memetik bunga di pekarangan.

Sekarang dia malah terang-terang berjalan di dalamnya.

Untung saja, Harumi menepati janjinya. Kelima orang itu sampai ke tempat tujuan tanpa masalah besar.

"Uh, Dorothea-san, ini dimana??"

Dorothea tersenyum kecil dan mengetuk pintu bangunan besar di depan mereka.

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka—

Dan sebuah tangan langsung menariknya masuk.

"Dorothea Tuning! Apa kau sudah kehilangan akal!?"

Netra emas beradu dengan hitam. Laki-laki di depannya berkacak pinggang, menatap empat orang yang masih di luar.

"Kalian juga! Masuk!"

Mereka segera masuk dan menutup pintu. Setelah melihat reaksi Hikaru dan Dorothea dua hari terakhir, mereka bisa menebak sifat paranoid terhadap kabut ini cukup dominan di Vatleria.

Bangunan itu besar. Mungkin lebih besar daripada inn. Berisi banyak sekali rak yang penuh buku bersampul kulit tua. Serta gulungan-gulungan yang tampak menguning.

"Ini... perpustakaan?" bisik Midoriya.

"Arsip Desa Vatleria, tepatnya," koreksi seorang pria berambut hitam dengan nada lelah.

Anak itu tinggi, mengenakan setelan sederhana. Rambut dan matanya sewarna batu onix. Dan dia memandang mereka dengan ekspresi menghakimi.

Selagi Midoriya, Todoroki, Uraraka, dan Iida berdiri secara canggung. Pria yang menarik Dorothea memijit pangkal hidungnya. Pertanyaan tajam diarahkan ke gadis berambut merah itu.

"Kenapa kau di luar? Apa kau lupa kau bisa mati dalam kabut!?"

"Senang ternyata kau peduli Tanaka," balas Dorothea sembari meringis.

"Geez, setidaknya Eins bersamamu, kan?"

"Tentu! Dan, uh—dia berusaha membuatku berbalik. Tapi—"

Tanaka Kogoro hanya bersedekap dan merutuk pelan. Dorothea bisa mendengar namanya dan 'nekat' ada dalam satu kalimat.

Pada akhirnya, Tanaka menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Kemudian memberi gestur ke kelompok Midoriya dengan jempol.

"Dan mereka?"

"Kelompok yang sial tahun ini."

"Huh," gumam Tanaka. Matanya memperhatikan para pendatang itu satu-satu. "Kalian pengunjung Flowerpot?"

"Oh, ya. Err—Hikaru-san sangat ramah."

"Tentu saja, ini Hana yang kau bicarakan." Tanaka tersenyum kecil. Kemudian menggelengkan kepala untuk menyadarkan diri.

"Jadi, hal bodoh apa yang mendorong kalian keluar saat Periode Kabut?"

Kelima anak itu berpandangan. Akhirnya Dorothea maju dan menatap Tanaka lekat-lekat.

"Tanaka, apa kau pernah mendengar—em, atau membaca—soal Kitagawa Harumi?"

Sejenak, mata Tanaka membulat. Kemudian, kerutan muncul di dahinya.

"Darimana kau dengar nama itu?"

Oh, boy...

Dorothea menggaruk kepalanya. "Dengar, ini akan sangat—"

"Aneh," saran Eins.

"—aneh." Dorothea menelan ludah. "Tapi aku mau kau tidak menyelaku, oke?"

Setelah Tanaka mengangguk. Dorothea mulai bercerita. Dia mengulang pertemuannya dengan hantu di hutan sedetail yanh dia bisa.

Tanaka tampak terkejut. Begitu juga Midoriya dan teman-temannya. Sementara Eins 'menaruh' tangan dingin di pundak Dorothea sebagai simpati.

"Jadi... kau tahu sesuatu."

Anak di depannya mengerjap. Kemudian mendengus dan mengangguk.

"Tunggu sebentar."

Dengan langkah cepat, Tanaka meninggalkan kelima anak itu. Dan secepat dia pergi, dia kembali membawa sebuah buku yang tampak tua dan sebuah gulungan perkamen.

Cukup tua sampai sampul dari buku itu terlihat mau lepas dan membuat kertas di dalamnya berhambur keluar.

"Hati-hati!" pekik Tanaka ketika Dorothea meraih buku itu.

"Jurnal itu—aku tidak yakin berapa umurnya—aku menemukannya di dalam tembok. Sepertinya disembunyikan."

Tidak hanya tampaknya saja. Buku itu terasa tua. Disambung dengan tali sederhana. Halaman-halamannya sangat tipis dan hampir tembus pandang.

Dan bahasanya—

ðâs ðêod hangian wægn mêowle...

"Tanaka!" gerutu Dorothea. "Menurutmu kami bisa—!"

"Hehehe." Laki-laki di depannya mengusap kepala tanpa bersalah.

Cengiran yang ada di wajah Tanaka patut dihadiahi jitakan Dorothea.

"Ouch! Iya, iya! Ini terjemahannya!"

Midoriya yang mengambil gulungan dari tangan Tanaka. Langsung membukanya. Yang lain mengintip dari balik bahu anak itu.

"Kau menerjemahkan Bahasa Lama sendirian?" tanya Todoroki.

Tanaka terkekeh dan mengelus lehernya. "Yah, orang bilang aku agak berbakat dalam linguistik—oh, dan—"

Dia menatap anggota party itu dengan senyuman lembut.

"Terima kasih mau mencoba membantu Vatleria. Dan tolong jaga Dorothea di luar sana."

"Ah, tentu saja!" jawab Midoriya diikuti anggukan.

Tanaka melambai dan berlalu. Berkata bahwa dia masih harus mengurus arsip yang lain.

Kelima anak itu kembali fokus ke gulungan. Melihat tulisan kecil rapi Tanaka yang memenuhinya.

Midoriya membersihkan tenggorokan dengan batuk. "Baiklah..."

***

Mereka menggantung wanita itu pada saat matahari tenggelam.

Di tengah hutan yang gelap dan jauh dari desa. Di pohon tua dengan batang menghitam. Aku sendiri terkejut bagaimana pohon itu tetap berdiri dengan mayat tergantung di dahannya.

Mayat dengan mata yang akan menghantuiku untuk selama-lamanya.

Aku sendiri sebenarnya ingin tinggal. Tidak mau ikut campur tentang ini. Akan tetapi, semua orang berkata bahwa melewatkan eksekusi membawa nasib buruk. Aku terpaksa datang.

Seruan gadis itu memekakkan telinga.

Dan aku yakin aku akan dapat mimpi buruk tentang itu malam ini.

Harumi gadis biasa. Sejauh yang aku tahu. Pendiam. Tidak pernah bersapa dengan yang lain.

Dia tidak aneh. Namun tidak juga normal. Warga sering mendengarnya berbisik sendiri.

Awalnya itu bukan masalah.

Sampai wabah itu terjadi.

Ternak dan tumbuhan mati. Tanah mengering. Makanan menjadi sulit. Itu baru di pertengahan musim panas. Apa jadinya di musim dingin.

Dan ketakutan warga tidak mengenal logika.

Mereka menyalahkan Harumi.

Dan  ̶a̶k̶u̶ ̶t̶i̶d̶a̶k̶ ̶t̶a̶h̶u̶ ̶a̶p̶a̶ ̶y̶a̶n̶g̶

Aku tidak mau menulis lebih banyak soal ini.

Aku tidak tahu apa Harumi bersalah.

Tetapi, jika aku mengatakan ini, leherku yang akan ada di tali gantungan itu.

Mereka mengambil matanya. Karena mata itu pemberian iblis. Mereka memasukkannya di kotak kayu, dan menguburnya di bawah pohon oak. Lalu menanam semak rue di atasnya.

Itu cara agar jiwanya bisa tenang

Dan itulah akhirnya.

Aku hanya bisa berharap dia tenang di alam sana.

***

Dorothea terkekeh mendengar itu. Tawa yang kering dan datar. Tidak ada humor dalam suaranya.

Uraraka menggigit bibir dan mengelus pundaknya. Tahu pasti kenapa reaksinya seperti itu.

Begitu juga Eins yang 'memeluk' lehernya lebih 'erat'. Kalau hawa dingin di sekitarnya bisa menjadi indikasi.

"Ironis," bisik Dorothea. "Sungguh ironis."

Melankoli meliputi kelompok itu sejenak. Tidak ada yang bicara. Entah murung mengenai nasib tragis Harumi atau kebodohan generasi lalu.

Mungkin, keduanya.

"Baiklah," Dorothea yang angkat bicara. Dia mengusap matanya. Memastikan netranya itu tetap kering.

"Pohon oak."

"Dan rue," sambung Uraraka. "Tumbuhan itu dibilang bisa menangkal sihir jahat."

Dorothea mengangkat alis.

"Sayangnya, aku jarang pergi ke hutan bagian itu."

"Aku pernah."

Suara Eins membuat Dorothea melirik. Dia merasakan jari dingin Eins 'memainkan' rambutnya.

"Well, ini sebelum kita bertemu," ucap si hantu. "Saat aku baru sampai di Vatleria. Sisi baik menjadi hantu pengembara, kau tahu?"

"Kau tahu tempatnya."

"Yep, aku hanya pernah menemukan satu semak rue di sana."

Eins melayang ke samping Dorothea. Mata dingin melirik ke langit-langit. Selagi Eins melipat tangannya di dada.

"Di bawah sebuah pohon oak tua."

"Hmm, semak rue di bawah pohon oak tua," ulang Dorothea. Memastikan yang dia dengar benar. Dan agar yang lain mendengar juga.

"Itu terdengar cocok," timpal Midoriya.

Iida menurunkan tangannya seperti memotong. "Ya! Kalau begitu, tunggu apa lagi?"

Uraraka menggoyangkan tongkatnya.
Tangan mengelus dagu. "Kupikir tidak ada salahnya mencoba."

Pada akhirnya—setelah saling tatap dan bertukar anggukan—mereka setuju dengan si penyihir. Lagipula, tidak ada petunjuk lain yang mereka punya saat ini.

"Baiklah Eins," Dorothea menengok ke teman tak kasat yang melayang di samping.

"Tunjukkan jalannya!"

***

Mereka sekali lagi memasuki kabut. Dorothea merasa bersyukur ketika teman-teman barunya memposisikan dia di tengah. Entah sadar atau tidak sadar.Midoriya berjalan di depan, Uraraka dan Todoroki mengapitnya. Iida mengawasi belakang.

Itu membuatnya merasa aman.

Dia tahu kabut kali ini tidak akan melukainya. Namun, jika sejak kecil kau tumbuh dengan cerita makhluk buas yang memakan mata manusia di dalam kabut, ketakutan itu tidak akan langsung hilang. Meskipun itu tidak rasional.

Kelima orang itu berjalan dengan hati-hati memasuki hutan sebelah barat. Yang posisinya berseberangan dari hutan tempat Harumi berada.

Memang dulu ada kepercayaan, mata medium harus dikubur jauh dari tubuhnya. Katanya itu membawa kutukan iblis dan membuat jiwa yang bersangkutan tidak tenang.

Dan, yah, itu ironis.

Semakin jauh ke dalam hutan. Jalanan semakin sulit. Semakin banyak akar tanaman tinggi dan bebatuan. Dorothea harus mengikat roknya agar tidak tersangkut semak.

Beberapa menit kemudian. Eins berbisik di telinganya.

"Sudah sampai."

Benar saja, dari balik tabir putih kabut, Dorothea bisa melihat bentuk pohon oak yang tampak gagah. Mungkin yang terbesar yang pernah dia lihat. Ketika mendongak. Dia bisa melihat jalinan ranting dan batang yang tumbuh dari pohon itu. Seperti kanopi raksasa.

Eins benar. Oak itu tampak tua.

"Di sana," ucap Todoroki.

Tangannya menunjuk ke bawah pohon. Tampak semak kecil berbatang dan daun hijau ramping. Dengan bunga-bunga kecil bergerumbul berwarna kuning.

Rue.

"Baiklah! Ayo kita langsung gali!" seru Iida bersemangat. Mengangkat sekop yang dipinjam dari Tanaka.

Selagi ketiga laki-laki itu kerja kasar—agak mengejutkan karena ternyata Todoroki seorang pangeran, Dorothea hampir selalu ketinggalan berita—dua gadis berdiri dan mengamati dari samping.

Dan Dorothea memutuskan membiarkan angannya melayang. Tetapi tidak lama.

"Dorothea-chan? Kenapa kau murung?"

Panggilan Uraraka itu membuatnya tersenyum kecil.

"Yah, aku hanya—" Dorothea menunduk. Ada sesuatu yang berat di hatinya. Seperti lubang hitam kecil yang mengangguk.

"Kalau Harumi lahir di desa pada masa ini, dia pasti—"

Gadis itu merasakan tangan menggenggam pundaknya. Dia menoleh. Melihat Uraraka di sampingnya menggeleng pelan.

"Yang terjadi pada Harumi, memang sebuah tragedi," ucap Uraraka. "Akan tetapi, dunia sudah mulai berubah, kan?"

Dorothea memperhatikan Uraraka ketika dia menarik tangan untuk menggenggam tongkatnya. Penyihir itu tersenyum.

"Sekarang, aku bisa menggunakan sihirku untuk mencari uang. Dan desa  ink menerimamu. Itu langkah bagus, kan?"

Si rambut merah mengangguk. Senyuman Uraraka melebar.

"Aku tahu tidak semua orang bisa menerima sihir. Tapi, sedikit demi sedikit, kita bisa merubahnya—"

"—jadi fokus ke masa sekarang. Agar tidak ada lagi yang bernasib seperti Harumi!"

Sejenak, Dorothea terpaku memandang penyihir itu. Kemudian, kekehan kecil keluar dari bibirnya.

"Kau optimis ya, Uraraka-san?"

"Harus! Lagipula, perjalanan kami masih panjang." Tangannya terkepal. "Kalau tidak optimis, kami akan hilang semangat!"

Kekehan Dorothea berubah menjadi tawa. Rasanya senang ada orang di dunia ini yang tidak kehilangan kepercayaan pada konsep semangat dan kebaikan.

"Terima kasih, Uraraka-san."

"Ah, sudah terlihat!"

Kedua gadis sontak menoleh ke Midoriya yang baru melompat ke dalam lubang. Dia kembali naik dengan membawa sebuah kotak kayu yang tampak rapuh.

Mereka berlima berpandangan.

Tinggal satu hal lagi yang harus diselesaikan.

***

Mereka yakin hari sudah gelap saat mereka mencari mata Harumi. Namun mereka tidak tahu berapa jam yang berlalu setelah matahari terbenam.

"Sudah semakin dekat."

"Kau bisa merasakan auranya?"

"Ya, namun, kali ini dia lebih... tenang."

Dorothea mengangguk setuju. Dingin yang dulu dia rasakan juga tidak ada.

Beberapa langkah kemudian, Eins memberi arahan untuk mereka berhenti.

Kabut yang melingkupi mereka menepi.

Menunjukkan area terbuka dengan pohon menghitam di tengah.

Dan apparisi berambut panjang yang familiar, khusus untuk Dorothea.

Harumi membelakangi mereka. Rambut transparan berkibar tanpa angin. Melayang di sekitarnya seperti ular.

Untuk kali ini, Dorothea tidak merasakan kemarahan.

"Harumi-san." Dia mengambil satu langkah maju. "Kami menemukannya."

Hantu itu berbalik. Lubang mata yang kosong terarah pada Dorothea. Si gadis hanya tersenyum lembut. Mengulurkan kotak itu. Menjaga tangannya agar tidak bergetar.

Harumi meraih dan mengangkatnya. Dorothea tahu, bagi yang lain, kotak itu mengambang di udara.

"Kau—bagaimana—"

Dorothea tersenyum lembut. Melirik ke teman-teman petualang yang berjejer di kanan-kirinya.

"Aku dapat bantuan. Bahkan, tanpa mereka, aku tidak akan keluar dari rumah untuk mencarimu."

Gadis transparan itu kembali menjauh. Membelakangi mereka. Terdengar bunyi 'klik' kecil.

Beberapa detik, kotak itu dijatuhkan.

"Harumi-san?"

Hantu itu tidak berpaling. Hanya melayang stasis.

Dorothea menarik napas berat.

"Harumi-san, yang terjadi padamu—aku turut berduka."

Si rambut merah melirik ke Uraraka. Gadis itu memberikan anggukan mantap.

"Tapi aku janji, dunia sudah berubah. Sihir sudah mulai diterima."

"Dan kami akan pastikan tidak ada lagi yang akan bernasib sepertimu," sambung Uraraka.

Hantu Harumi tertawa. Tawa yang hanya bisa di dengar Dorothea.

Kemudian, tubuhnya berpendar.

Si hantu berbalik.

Dan dari suara terkejut para pengembara, Dorothea tahu—

Untuk saat itu, mereka juga bisa melihatnya.

Harumi menjadi korporeal.

Dua bola mata beriris dingin menatap mereka.

Mulutnya terbuka. Membisikan kata bergetar yang Dorothea tahu di dengar juga oleh yang lain.

"Terima kasih."

Cahaya berpendar.

Terang, terang, dan semakin terang.

Menembus celah pohon, kabut, membutakan.

Mereka berlima sampai harus menutup mata dan melindunginya dengan tangan.

Saat semua selesai.

Harumi menghilang.

Begitu juga dengan kabut yang dia bawa.

***

"Kalian berhasil!"

Ucapan Hikaru itu yang mengawali pagi Dorothea. Diikuti dengan si pemilik inn yang melompat dan memeluknya.

"Woaah, Hikaru? Dan Tanaka—dan seluruh desa!?"

Benar saja, kerumunan orang memenuhi halaman depan Dorothea. Gadis itu hanya bisa terperangah.

"Uh, aku mungkin secara tidak sengaja menceritakan kisahmu kemarin ke Kepala Desa," ucap Tanaka dengan cengiran tanpa dosa.

Dorothea merutuk. Seandainya Hikaru tidak memeluknya dengan erat, dia pasti sudah memukul kawannya itu.

"Jadi..." Hikaru melepaskan pelukan. Tetapi mencengkeram kedua bahu Dorothea. "Di mana yang lain?"

Si rambut merah melirik ke dalam. Semalam, dia menyuruh yang lain menginap karena rumahnya lebih dekat daripada Flowerpot.

Mereka mungkin masih tidur. Melihat hantu seperti Harumi pasti bukan pengalaman yang mudah dicerna.

"Aku akan coba bangunkan mereka."

***

Setelah yang lain berhasil dibangunkan, keempat tamu itu disambut ramah oleh warga Vatleria. Mereka dibawa ke alun-alun dimana sudah ada sarapan besar menanti.

Rasanya menyenangkan. Semua tertawa dan bercanda. Sesuatu tentang Periode Kabut paling singkat dalam abad ini.

Kemungkinan juga yang terakhir.

Midoriya, Iida, Uraraka, Todoroki, dan Dorothea diberi ucapan terima kasih oleh Kepala Desa.

Dan sebagai imbalan, keempat pengelana itu diberi persediaan dan uang untuk melanjutkan perjalanan.

Dorothea, Hikaru, dan Tanaka menawarkan diri untuk mengantar keempat anak itu ke ujung desa.

Jadi, di sinilah mereka. Di padang rumput ujung Vatleria.

"Kalian yakin tidak mau tinggal?" tanya Hikaru sembari menggiring kuda Todoroki yang sudah penuh dengan berbagai benda.

"Satu hari lagi untuk istirahat tidak terdengar buruk, kan?"

Midoriya menggeleng. "Terima kasih, Hikaru-san. Tapi kami harus cepat. Masih banyak misteri lain yang belum selesai."

Yang lain mengangguk tanda setuju. Tanaka terkikik kecil.

"Aku dengar ada seorang barbarian yang memiliki naga ganas di—ow!"

"Jangan dengarkan dia!" ucap Hikaru setelah menyikut sahabatnya itu.

"Hati-hati di jalan, kalian," ucap Dorothea. "Semoga beruntung dengan para Pahlawan yang hilang itu."

Mereka semua berjabat tangan. Sekali lagi mengucapkan terima kasih banyak. Sebelum ketiga anak Vatleria mengiringi kepergian kawan baru mereka dengan lambaian tangan.

"Sampai jumpa!"

"Jangan lupa mampir lagi di masa depan!"

"Dan ingat soal naganya!"

Dorothea tertawa. Lepas dan hangat. Mata emasnya terpaku ke langit yang biru cerah. Tanpa kabut menghalangi.

Semoga, kali ini untuk selamanya.

***
.

.

.

Manuscript 8 :
QUESTING

The End

***
.
.
.
.
.
.
.

A.N.:
Ini... agak weaksauce menurutku. Btw bahasa aneh dari jurnal yang diatas diambil dari Old English Translator di internet. Jadi tidak akurat. Terima kasih sudah membaca :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro