Manuscript 8 : Questing 4
"Baiklah—" Dorothea menelan ludah.
"Ini lebih buruk daripada yang aku kira."
"Apa yang kubilang!"
Dorothea merutuk di balik napasnya. Sebelum membisikkan maaf untuk Eins.
"Setelah dipikir lagi, ini ide yang cukup bodoh—"
Suara menggeram terdengar di sekitar mereka. Kali ini lebih keras. Menggema dari sela pepohonan.
"Ralat. Ini ide yang sangat bodoh."
Perisai sihir Uraraka bergetar. Udara di sekitar jatuh. Dorothea bergidik.
Itu dingin yang sama setiap kali hantu menembus melewatinya. Atau saat Eins melingkarkan tangan untuk 'memeluk'-nya.
Dingin itu familiar.
Akan tetapi, kali ini rasanya tidak menyenangkan.
Mereka semakin dekat.
"Aku punya perasaan buruk soal ini."
"Kita semua juga," balas Todoroki. Mata heterokrom memandangi putih di sekitar dengan waspada.
"Tapi sudah sejauh ini—kembali bukan pilihan." Midoriya ikut menimpali.
Dorothea menghembuskan napas berat. Dia melirik ke Eins yang masih melayang di dekatnya. Sama seperti mereka semua, si hantu malah tampak lebih tidak nyaman.
Tubuh spektral Eins berkedip dari waktu ke waktu. Gerakannya patah dan tidak fokus. Mata dingin menatap jauh keluar dari perisai sihir dengan ragu. Kabut yang mengitari terasa semakin pekat.
"Eins, ini tinggal lurus, iya kan?"
"Yeah," bisik si hantu. "Sebentar lagi."
Dorothea tidak tahu hantu bisa terdengar gugup. Dia tidak suka mendengar Eins yang gugup.
"Kau boleh kembali kalau—"
'Pelukan' dingin di sekitar lehernya mengerat.
"Aku tidak meninggalkanmu."
Dorothea tersenyum kecil mendengar itu. Menggumamkan terima kasih kecil di balik napas.
Uraraka yang berjalan di sebelahnya mengamati dengan penasaran. "Hantumu ini... kau bilang kau berteman dengannya?"
"Ya. Eins dan aku teman."
Dan aku sangat bersyukur memilikinya.
"Wah, aku jarang bertemu medium sepertimu! Yah, walaupun secara teknis tidak banyak yang—"
Kalimat Uraraka berhenti. Walaupun begitu, sepertinya semua sudah tahu apa kata selanjutnya.
Tidak banyak yang tersisa.
Pada saat magic-ban—zaman dimana penyihir ditenggelamkan ke sungai dan digantung—medium adalah yang paling banyak diburu.
Kemampuan melihat mereka yang sudah mati dianggap pemberian iblis.
Dorothea merasa sangat beruntung dia lahir jauh setelah zaman itu berakhir.
"Yeah." Gadis itu mendesah kecil. "Tapi medium tidak sebanding dengan—"
"AGH!"
Uraraka menjerit. Tongkat hampir terlepas dari tangan.
Di sekitar mereka, perisai sihir menggila.
Berdenyar dan memercik. Mengirim kilatan energi biru. Bergetar hebat.
"Apa yang—!"
"Sesuatu menyerang!"
Mereka menyerang.
Eyesnatcher.
Midoriya berseru. "Terus ke depan!"
Kelompok itu berlari. Selagi sihir Uraraka meliputi mereka. Bergejolak dan berpendar. Semakin tipis.
Ini buruk.
"Sedikit lagi!"
"Uraraka bertahanlah!" pekik Dorothea.
Mereka berlari. Udara dingin seakan menusuk tulang. Napas memburu. Perisai sihir semakin goyah.
"Aku—" Napas Uraraka tersendat. "Tidak—kuat—"
"Uraraka!"
Dan tongkatnya terlepas.
Gelembung pelindung pecah.
Memercikkan cahaya biru selagi penyerang tak kasat mata mereka menerjang.
Lalu gelap.
***
Saat Dorothea membuka mata, dia pikir dia sudah mati.
Yang terbesit di benaknya adalah—
Maafkan aku, Dad.
Lalu—
Hei, setidaknya aku dan Eins sama sekarang.
Akan tetapi, kepalanya pening. Dorothea yakin hantu tidak bisa sakit kepala. Dan dia masih bisa merasakan tanah tempat dia duduk. Dia masih hidup.
Hal itu membuatnya menarik napas lega.
Dia bangkit. Masih memegangi kepala yang terasa berat. Rambut merah jatuh berantakan. Tusuk rambut burung gagaknya miring. Mata emas memandang sekitar dengan nanar.
Dia duduk di bagian hutan yang terbuka. Tampak tunggul-tunggul pohon yang sudah dibabat. Sementara yang mengelilingi gadis itu kering dan tua. Seperti penjara terbuat dari kayu dan ranting.
Kabut putih menyelimuti pohon-pohon itu. Tapi area yang terbuka tampak jernih. Seperti tenang dalam mata angin topan. Dorothea bisa melihat dengan jelas.
Dan dia melihat satu-satunya pohon yang ada di area bukaan itu. Tampak rapuh dan menghitam.
Ada seorang wanita berdiri di depannya. Menatap ke pohon. Dorothea hanya bisa melihat punggungnya.
Tembus pandang dan melayang.
"Kau sudah bangun?"
Suara itu membuat Dorothea tercekat. Nadanya dingin dan jelas. Serasa seperti dentingan es.
Gadis itu merasakan dingin merambat di bawah kulit. Rasanya seperti tercekik.
"Tenang saja, kau aman di sini."
Aman?
Dorothea melirik ke kanan dan kiri. Semuanya tenang. Sepi.
"Yang lain—Eins—?"
"Mereka hidup," jawab si hantu. "Aku baru sadar mereka bukan dari Vatleria. Mereka aman."
Ada jeda pendek di sana.
"Untuk sekarang."
Dorothea menghembuskan napas pendek. "Dan—Eins? Hantuku?"
Jeda lagi.
Kali ini lebih panjang. Wanita hantu berkedip-kedip. Tubuh abu-abu tembus pandang terdistorsi.
"Jadi... kita memang sama huh?"
"Uh—em—aku tidak paham—"
"Kau bisa melihat 'mereka', kan? Kau bisa melihatku?"
Dan hantu itu berbalik.
Dorothea berkedip.
Hantu itu di depannya.
Dorothea merasakan tubuhnya membeku. Tidak bisa bergerak barang satu senti.
Wajah transparan di depannya terlalu polos. Terlalu dekat.
Hantu itu tidak punya mata.
Hanya dua lubang menganga di wajahnya.
Tangan spektral terangkat. Jari-jari dingin 'mengelus' pipinya. Seakan meninggalkan bunga es.
Ini tidak sama dengan dingin yang diberikan Eins. Dingin yang membuat Dorothea merasa tenang dan terikat ke kenyataan.
Dingin ini... berbeda.
Menusuk ke dagingnya bagai jarum yang membeku. Dingin yang sama ketika kau terlalu lama memegang salju.
"Ternyata kita memang sama."
Si hantu mundur. Dorothea melepaskan napas yang tertahan.
Hening lagi.
Yang terdengar hanya sayup suara angin diantara pohon-pohon mati.
Dorothea dan si hantu tidak bergerak. Hanya diam. Mengamati satu sama lain. Entah menunggu apa.
Sampai si rambut merah angkat bicara.
"Siapa kau?"
Pertanyaan itu disambut tawa getir.
"Apa para tetuamu tidak pernah menceritakan tentangku?"
Mata emas hanya memandangnya dengan bingung. Si hantu mendesah.
"Tentu saja tidak."
Seringaian muncul di mulut wanita itu. Dan Dorothea benar-benar tidak paham apa yang terjadi.
"Tentu 'mereka' tidak menurunkan kisah anak polos yang mereka bunuh, hmm?"
Dia menyepahkan kata itu bagai racun.
Dorothea mengeluarkan suara tersedak dan beringsut mundur. Netranya mengamati si hantu yang melayang dengan malas di udara.
"Namaku Harumi, Kitagawa Harumi," ucapnya. Suara dingin sekarang terdengar serak.
"Dan sama sepertimu—"
"Aku dulu seorang medium."
***
Midoriya bangun dan tidak percaya bahwa dia tidak mati.
Namun, dia bisa merasakan rasa sakit di tubuhnya. Indikasi yang bagus jika dia masih hidup.
Anak itu mengusap kepala. Mata hijau berusaha fokus ke sekitar. Satu persatu anggota party-nya terbangun. Uraraka, Iida, Todoroki—
Di mana Dorothea?
Anak berambut semak itu bangkit. Melirik dan berputar ke sekitarnya.
"Dorothea-san!?"
Tidak ada jawaban.
Sial.
"Apa yang terjadi?" tanya Uraraka sembari mengusap kepala.
Iida mengerang. "Sepertinya sihirmu gagal, Uraraka-kun."
"Hei, dimana Dorothea?"
Midoriya menggeleng sebagai jawaban. Ketiga temannya bangkit. Uraraka menutup mulutnya dengan tangan. Mata si penyihir melebar.
"Apa dia—?"
"Entahlah," sela Midoriya. Kepalanya tengadah. Kabut pekat masih menyelimuti tempat itu.
Akan tetapi, kali ini, kesunyian juga.
Tidak ada suara geraman.
"Ayo kita cari dia."
***
"A-apa yang terjadi?"
"Kau sepertinya sudah bisa menebak," ucapnya. "Kau tahu apa yang mereka lakukan pada kita."
"Mereka—"
Dorothea menelan ludah. Lidahnya kaku. Kalimat berhenti di tenggorokan yang kering.
Si hantu mengangguk.
"Pohon ini tempat mereka menggantungku."
Tangan pucat menunjuk pohon busuk yang berdiri sendiri.
Harumi mengangkat tangan ke wajah. Menutupi lubang mata yang masih terlihat dibalik kulit abu-abu tembus pandangnya.
"Dan mereka mengambil mataku."
Dorothea tercekat. Tahu kemana ini mengarah.
"Jadi kau mengambil mata mereka."
Suara Dorothea tidak lebih dari bisikan.
"Kau yang menaruh kutukan itu."
Si hantu diam. Diikuti dengan anggukan.
"Kenapa—"
"KARENA AKU TIDAK BISA PERGI TANPA MATA!"
Dorothea tersentak mundur. Apparisi di depannya berkedip hebat.
"Aku—itu urusanku yang belum selesai."
Si hantu mendesah. Kepalanya menunduk.
"Tanpa itu, aku tidak bisa menyebrang."
Sang hantu 'duduk' di tanah. Membenamkan kepala pada tangan-tangan pucat.
Dorothea terpaku. Tidak yakin apa yang harus dia lakukan.
"Menurutku aku mau seperti ini?"
Itu bukan nada marah.
Itu suara frustasi.
Dan walaupun Dorothea tidak bisa menjustifikasi apa yang sudah dia lakukan, Dorothea masih merasakan simpati.
Lagipula, Dorothea tidak tahu rasanya menjadi hantu.
"Umurku enam belas tahun waktu itu. Hanya baru enam belas tahun..."
Dorothea masih tidak bisa berkata apapun. Akan tetapi, dia menggeser posisi duduknya.
"Aku... turut berduka."
Harumi terkekeh. Kecil dan kasar. Terdengar seperti ejekan.
"Yeah, kau tidak bisa melakukan apapun."
Setidaknya, dia lebih terdengar seperti remaja sekarang.
Dorothea menggigit bibir.
"Aku... bisa mencarikan matamu?"
Diam.
Dorothea bersumpah bahkan angin berhenti berhembus.
Harumi menengok ke arahnya. Mulut sedikit terbuka. Dua lubang kosong terarah padanya.
"Kau—"
"Dengar, aku tidak janji," ucap Dorothea sembari berdiri. Membersihkan tanah dari baju dan membenarkan rambutnya.
"Tapi aku bisa mencoba."
Hantu itu diam. Masih memandang Dorothea. Mungkin 'memandang' bukan kata yang tepat. Mengingat dia tidak punya mata.
Melihat tidak ada reaksi. Dorothea melanjutkan.
"Tapi, tolong janji kau tidak akan mengutus Eyesnatcher-mu padaku. Atau orang yang membantuku."
"Dan kalau kau gagal?"
Dorothea berhenti sebentar. Berpikir.
"Kita cari cara lain. Sampai berhasil."
Ini kali pertamanya Dorothea berani mengatakan hal seperti itu.
Tetapi dia tidak berani menjanjikan hal lain.
Harumi terdiam. Kemudian tertawa. Kali ini lebih lembut. Ada senyuman kecil di wajahnya.
"Baiklah."
Apparisi itu mengibaskan tangannya. Sekumpulan kabut diantara pepohonan menepi. Membuat jalan setapak.
"Ikuti jalan itu. Kau bisa berkumpul dengan teman-temanmu lagi."
Dorothea mengangguk. Beban berat di hatinya seperti terangkat. Dia tidak mengira Harumi akan langsung setuju.
Sebelum dia sempat melangkah pergi, suara sedingin es memanggilnya sekali itu.
"Eyesnatcher itu tidak ada, kau tahu?"
Dorothea berbalik. Mata emas melebar.
Harumi tergelak. Menemukan humor dalam keterkejutannya.
"Semua serangan, kabut, suara geraman. Semuanya aku."
***
Baru beberapa langkah keluar dari hutan, namanya kembali dipanggil.
"DOROTHEA!!"
Dan kali ini, dingin yang lembut dan familiar melingkupinya. Eins 'memeluk' gadis itu selagi merutuk lega.
"Kemana saja kau!? Ada satu area hutan yang aku tidak bisa—"
"Aku, uhm, bertemu dia."
Kocehan Eins langsung berhenti. Dia bersedekap dan merutuk lagi.
"Oh, astaga. Tentu saja!"
"Namanya Harumi," ucap Dorothea. Dia melirik sekitar yang masih dilapisi kabut putih.
"Ayo cari yang lain. Aku sudah tahu—"
"Dorothea-san!!"
Ah, panjang umur!
Empat siluet yang dia kenal bergerak dari dalam kabut. Akhirnya dia bisa melihat wajah familiar party Midoriya yang mendekat.
"Kami sangat khawatir!"
"Kau baik-baik saja, Dorothea-kun!?"
"Aku seharusnya lebih hati-hati!"
"Syukurlah kau hidup."
Dorothea mendesah. Kemudian menyunggingkan senyuman lelah. "Aku baik-baik saja, dan..."
"Aku tahu apa yang harus kita lakukan."
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
Aku separuh membuat Manuscript ini : sadar kalau ceritanya punya kesamaan dengan ParaNorman :"v
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro