Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Manuscript 8 : Questing 3

"Cepat masuk!"

Keempat orang itu terlonjak. Segera meringsek maju melewati pintu. Dorothea langsung membantingnya tertutup.

Tangan gadis itu terkepal di atas kayu. Sebelum dia berbalik ke orang-orang yang sekarang ada di dalam rumahnya. Matanya menyipit.

Sial, apa nasihat ayah soal membiarkan orang asing masuk?

"Siapa kalian?"

"Ah—uh, itu—" Si Rambut Hijau memulai dengan terbata-bata. "Namaku, uhm, Midoriya Izuku—dan, uh, Hikaru—"

"Hikaru?" Dorothea membeo. "Hikaru yang mengirimmu kemari?"

"Eh? Ya. Ehm, itu—"

Dorothea mendesah. Tangan memijit pangkal hidung. Tentu saja, pastilah Hikaru yang pertama kali mereka temui.

Keluarga Hikaru adalah malaikat pada Periode Kabut. Membantu orang asing tanpa pandang bulu. Tidak heran jika mereka sudah masuk ke Flowerpot.

"Kalian duduk dulu, aku akan ambilkan sesuatu untuk diminum," ucap Dorothea. Wajahnya mengernyit.

"Dan sepertinya teman penyihirmu sudah mau pingsan."

***

Pada akhirnya Dorothea tidak hanya menjamu mereka dengan air. Ada sepotong honeycakes dan keju di lemarinya. Dia memberikan itu ke gadis penyihir—Uraraka, itu namanya—dan langsung disambut dengan serangkaian kalimat terima kasih.

"Menggunakan sihir sangat melelahkan!" ucap Uraraka. "Mantra tadi membuatku kehabisan energi. Terima kasih, Dorothea-san!"

Dorothea mengangguk dan tersenyum simpul. Gemas melihat pipi Uraraka yang mulai menggembung seperti hamster.

Tangan dingin Eins yang menariknya kembali ke situasi.

"Jadi... apa ada yang bisa kubantu?"

"Ah, iya!"

Anak berambut hijau tadi mulai menjelaskan situasi mereka. Suaranya pelan. Seperti bergumam. Kadang kala Dorothea meminta Midoriya untuk mengulang kalimatnya karena dia berbicara terlalu cepat.

Sesekali, kesatria dan pangeran yang duduk di sampingnya—Iida dan Todoroki—ikut berkomentar dan menambahkan. Dorothea menyelingi dengan anggukan.

Dan di akhir penjelasan mereka, gadis itu tercekat.

"Kalian ingin mengangkat kutukan?"

"Ya," balas Midoriya mantap. "Dengan begitu kami bisa pergi dari sini!"

"Tunggu dulu!" sela Dorothea. Tangannya terkibas.

"Apa tidak ada cara lain? Maksudku, kalian sampai ke rumahku dengan selamat, kan?"

"Mantra pelindung tidak bertahan lama," sahut Uraraka. "Aku hanya bisa menahannya beberapa menit sampai aku harus masuk fase istirahat."

"Begitulah kerja sihir," bisik Eins di telinganya. "Tidak seperti kemampuan psych-mu. Sorcerer atau wizard butuh tenaga."

Dorothea menggigit bibir. Desa mereka agak luas. Beberapa menit tidak akan cukup untuk sampai keluar perbatasan.

"Dorothea-san, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Midoriya sopan.

"Sudah berapa lama kutukan ini ada?"

Gadis di depan mereka terpaku. Kepalanya agak mendongak ketika mengingat-ngingat pelajaran sejarah dari para tetua.

"Lama sekali, sebelum aku lahir. Bahkan mereka bilang sudah ada saat sihir masih dianggap ilegal."

Uraraka bergidik mendengar itu. Ya, Dorothea juga. Jika mereka berdua hidup di masa magic-ban, mereka mungkin sudah digantung.

"Itu... lama sekali."

"Yah, mungkin itu sebabnya kami terbiasa."

"Tapi kalian harusnya tidak terbiasa dengan hal buruk terjadi!"

Dorothea mengerjap. Suara Midoriya terdengar keras. Sekilas ada kilatan determinasi yang terpancar dari dua manik hijau di wajahnya.

Alis gadis itu terangkat.

"Huh, kalian tahu kalian tidak perlu ikut campur, kan?"

"Ya. Tapi kami tetap ingin membantu kalian. Kadang ikut campur itu penting!" ucapnya lagi.

Dorothea sadar. Eins terdiam di sampingnya. Yang lain juga diam. Akan tetapi, Iida, Uraraka, dan Todoroki memaparkan senyum simpul memandang temannya.

Apakah ini hal biasa?

"Benar, Dorothea-san," Iida angkat bicara. "Kami tidak akan membiarkan desa ini terus menderita."

Huh.

Jujur saja, itu tidak terdengar buruk. Memang warga Vatleria terbiasa dengan Periode kabut, tetapi bukan berarti mereka suka.

Terkurung dalam rumah. Diliputi rasa takut dan ketidakpastian. Ayahnya tidak bisa keluar dalam Periode Kabut. Dan tidak bisa kembali seperti saat ini. Warga yang lain tidak bisa berdagang atau mengurus ladang mereka.

Ditambah lagi, perassan khawatir mayat siapa yang akan muncul tanpa mata setiap hari.

Warga desa sudah berusaha, namun tidak banyak yang berhasil. Mereka kebanyakan hanya petani dan pedagang. Tidak terbiasa menghadapi sihir dan supernatural. Pada akhirnya, tidak ada lagi yang mau maju dan mencoba.

Kelompok kecil ini, mereka punya dua ahli pedang, seorang kesatria, dan penyihir. Dan mereka jelas lebih punya keberanian daripada warga Vatleria.

Mungkin mereka bisa berhasil.

"Lagipula, itu—itu—"

Midoriya menahan napas. Mata emerald bersirobok dengan netra emas.

"Itu adalah yang Pahlawan lakukan!"

Mulut Dorothea sedikit terbuka. Mata memperhatikan anak di depannya dengan hati-hati.

"Heh, aku suka anak ini!"

Komentar Eins membuat bahu Dorothea menjadi lebih rileks.

"Baiklah..." gumam Dorothea. "Sepertinya kalian tidak punya maksud buruk."

"Jadi... kau ikut?"

Dorothea tersenyum. "Apa rencanamu?"

"Uhm, itu—" gumam Midoriya. "Pertama-tama kita harus mencari orang yang menaruh kutukannya!"

"Hantu, dia sudah mati," ralat Dorothea.

"Ah, kemudian—"

"Kami berharap kau bisa berbicara dengannya!"

Uraraka menyela Midoriya. Membuat mereka menengok ke gadis berambut cokelat itu. Setelah sadar, dia menunduk. Pipinya memerah. Tongkat tergenggam di tangannya.

"Maaf, hanya... mediasi—psych—itu jenis sihir yang langka. Tidak banyak orang bisa melakukannya. Aku agak bersemangat melihatnya langsung!"

Penjelasan Uraraka disambut kekehan pelan dari Dorothea.

"Aku hanya bisa melihat orang mati. Tidak sehebat membuat perisai pelindung!"

Merah di pipi Uraraka semakin dalam. Kali ini, tawa Dorothea agak lebih keras.

"Dorothea-san." Suara Todoroki membuatnya berhenti tertawa.

"Apa kau tahu di mana hantu ini berada?"

Gadis itu menelengkan kepala.

"Tidak juga, tetapi—"

Dorothea melirik ke samping. Bagi yang lain, tidak ada apapun di sana.

Akan tetapi, mata Dorothea bertautan denga iris dingin yang mati.

"Tapi temanku bisa."

***

Keempat petualang—plus Dorothea—melintasi bagian hutan yang selalu dihindari oleh penduduk Vatleria. Tempat itu gelap dan lembab. Pohon-pohonnya tampak kering dan tidak berdaun. Batang mereka menghitam.

Dorothea bisa membayangkan suara ayahnya yang kecewa karena dia tidak mengindahkan bahaya hutan itu.

Bahaya yang tidak pernah ada yang tahu secara pasti apa.

Namun, tempat itu memberikan aura buruk. Dan kabut yang mengelilingi mereka, Eyesnatcher yang mungkin mengincar, memperburuk keadaan.

Ada alasan kenapa para tetua menyuruh mereka menjauhi area terlarang hutan.

Rasa tidak enak dan intimidasi mengikat tempat itu.

Sangat sesuai untuk hantu yang mengutuk sebuah desa.

"Tempat ini seram..." bisik Uraraka.

Dorothea seratus persen setuju dengan pernyataan itu.

Untung saja si penyihir sudah punya cukup tenaga untuk melanjutkan misi mereka. Uraraka menggunakan mantra pelindung yang sama yang dia pakai untuk pergi ke rumah Dorothea.

Gelembung energi yang mengelilingi mereka berempat meretih dan bercahaya biru elektrik. Sesekali, sesuatu membuat gelembung itu bergetar. Dorothea tidak yakin dia mau tahu itu apa.

Empat orang itu berjalan sedekat mungkin dengan Uraraka. Pandangan mereka awas. Iida, Todoroki, dan Midoriya memegang gagang pedang dalam posisi siaga. Siap menariknya kapan saja.

"Ini ide buruk, Dorothea. Ide buruk."

"Ayolah, Eins. Kau baik—"

"Dorothea, kau tahu hantu biasanya menjauhi satu sama lain!"

"Huh? Biasanya kau tidak keberatan. Bukankah kebanyakan mereka menjauhimu?"

"Tidak yang ini. Dia jauh lebih tua dariku!"

Dorothea terhenyak.

Oh. Itu buruk.

Hantu biasanya semakin kuat karena dua hal.

Umur. Dalam tanda kutip.

Dan emosi.

Semua itu dipelajari Dorothea secepatnya setelah mata ketiganya terbuka. Ayahnya langsung mendaftarkannya ke sekolah sihir di dekat Vatleria. Untung saja, ada studi untuk medium di sekolah itu.

Dia selalu ingat apa yang dikatakan gurunya. Satu-satunya medium lain yang Dorothea kenal selain dirinya sendiri. Seorang sorcerer-psych tua dengan suara serak seperti katak.

Semakin lama hantu itu mati, semakin baik kontrolnya.

Itu sebabnya hantu 'tua' yang menjadi Poltergeist atau Apparisi. Kontrol mereka semakin baik untuk bisa membuat tubuh mereka korporeal.

Namun, hantu yang marah juga bisa melakukan semua itu.

Dan itu jauh lebih buruk.

"Kita hampir sampai!"

Bisikan Eins membuat Dorothea sadar dari lamunannya.

Begitu juga tangan dingin Eins yang melingkar 'memeluk' lehernya.

Aneh sekali, Eins jarang bersifat seperti ini. Biasanya dia lebih tenang-

Dan langkah Dorothea berhenti.

"Dorothea-san?"

Gadis itu terpaku. Melihat jalan berkabut tebal di depannya dengan mata terbelalak.

Apa-apaan?

Biasanya, medium sedikit sensitif terhadap supernatural. Itu wajar. Namun, tidak banyak. Itu sebabnya mereka biasa meminta hantu untuk melacak hantu lainnya.

Tetapi kali ini—

Dorothea bisa merasakan kekuatan hantu ini di bawah kulitnya.

Kekuatan yang besar. Emosi yang besar.

Dia marah.

Dan kata-kata guru bersuara kataknya terngiang.

Kau tidak mau bertemu hantu yang 'tua' dan 'marah'. Kedua hal itu adalah tanda buruk.

Dorothea menelan ludah.

Sialan.

Ini sepertinya yang disebut 'keduanya'.

***
.
.
.
.
.
.
.
.

A.N. :
BNHA chapter 290 mess me up doe. Aku akan menulis Smithborn Family AU untuk konsumsi pribadi dan menenangkan hati :"v

Bonus :

A little bit sketch I do for fun. I seriously can't draw. Sorry if it's suck.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro