Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Manuscript 8 : Questing 2

Keempat pengelana itu memandang Hikaru dengan mulut melongo. Kecuali Todoroki yang hanya memasang muka datar.

"Hikaru-san, maaf, apa maksud dengan 'mati'?" tanya Midoriya.

"Mati dalam artian mati mati. Tidak bernapas lagi. Meninggal," dengus Hikaru. "Apa kalian serius menanyakan itu?"

Keempat pengembara di depannya menarik napas pendek. Bertukar pandang bingung dan khawatir.

"Uh, aku masih tidak paham..." Uraraka angkat bicara. "Sebenarnya apa yang terjadi di desa ini??"

Perempuan di depan mereka berdehum. Memandang anggota party itu satu persatu. Tangannya menggaruk rambut. Setelah adrenalinnya terkuras, Midoriya baru bisa memperhatikan perempuan pemilik inn dengan jelas.

Gadis itu lumayan pendek. Matanya cokelat cerah. Dia memakai baju putih, korset kulit, dan rok hijau tua panjang yang kotor di bagian ujungnya. Celemeknya sudah tidak putih lagi. Kacamata yang bertengger di hidungnya mirip seperti milik Iida. Dan tentu saja, yang paling mencolok adalah rambut biru panjang yang terurai.

Hikaru mendesah. Lalu duduk di kursi yang belum di duduki di meja itu. Tangan terlipat dengan rapi. Dia mencondongkan kepala ke depan. Matanya jelalatan. Seperti akan mengungkapkan suatu rahasia.

"Singkatnya... desa ini dikutuk."

Lagi-lagi, keempat orang itu terdiam.

"D-dikutuk?"

"Ya. Aku bisa bilang kalian beruntung Eyesnatcher tidak berhasil menangkap kalian."

"Eye—apa?"

Hikaru menghembuskan napas berat.  Ada ekspresi pahit di mukanya. Dari wajah itu, apapun yang terjadi di sini pasti buruk. Akan tetapi Hikaru tetap menarik sudut bibirnya ke atas.

"Sebaiknya kalian tinggal sampai kabutnya hilang. Kalian sudah lihat sendiri bahayanya."

Si gadis melirik ke tangan Midoriya dan Uraraka yang terbalut kain. Keempat orang itu berpandangan. Ya, selama sekejap, mereka kehilangan kontrol dan tidak bisa mengatasi situasi.

Makhluk apapun yang ada di kabut itu, dia cukup cepat untuk melukai Midoriya dan Uraraka. Dan cukup kuat untuk memotong baju besi Iida seakan itu kain.

Ditambah lagi, mereka tidak kasat mata.

Iida berdehem. "Terima kasih, Hikaru-san, tetapi bisakah anda jelaskan lebih banyak soal keadaan desa ini?"

Lagi-lagi, Hikaru memasang muka berpikir. Mata cokelat memandang orang-orang asing yang sekarang duduk di depannya.

Bahu si kesatria tampak melorot. Dan laki-laki berambut merah-putih sedari tadi hanya memandang datar ke kejauhan. Ditambah lagi, anak berambut hijau dan si penyihir terluka.

Bagi Hikaru, mereka tidak siap dengan eksposisi yang dia punya.

"Yah...," Hikaru meletakkan telunjuk di bibir. "Ayo kita bahas besok. Setelah kalian makan dan istirahat."

Gadis itu bangkit. Menepuk celemeknya beberapa kali. Kemudian memberikan senyuman di bibir tipisnya.

"Tunggu sebentar. Aku akan ambilkan sesuatu dari dapur."

"Ah! Terima kasih banyak Hikaru-san!" Iida membungkuk dalam. Sebelum bangkit dan menggerakkan tangannya naik turun. "Berapa harga yang—"

"Uang tidak masalah," ucap Hikaru. "Keluargaku sudah melakukan ini dari tahun ke tahun, membantu orang yang cukup sial untuk datang pada Periode Kabut."

Sudut bibir gadis itu tertarik ke atas. Membentuk senyuman simpul yang dilemparkan kepada mereka. Sebelum melangkah menjauh dengan mendesah pelan.

"Sayang sekali, tahun ini, 'orang' itu kalian."

***

Hikaru kembali dengan empat piring penuh makanan dan empat gelas air.

"Aku ingin memberi kalian ale, tapi itu terdengar seperti ide buruk," candanya.

Dia menaruh piring-piring berisi kentang tumbuk, sosis, dan kacang polong di meja mereka. Semuanya disiram kuah daging kental.

"Maaf, hanya banger and mash sederhana." Hikaru menunduk kecil. Memeluk nampan di dadanya. "Di situasi seperti ini, tidak banyak pilihan."

"Tidak masalah, Hikaru-san!" balas Uraraka. Mulutnya sudah berair. Yang lain tahu dia tidak pilih-pilih.

"Syukurlah..." Hikaru menutupi kekehan kecil yang keluar dari mulutnya dengan tangan. Kemudian dia melirik ke Todoroki. "Aku akan kebelakang dan mengurus kudamu. Dan Ibuku akan menyiapkan kamar untuk kalian!"

Setelah gadis itu berlalu. Midoriya, Uraraka, Iida, dan Todoroki segera meraih garpu dan piring mereka masing-masing.

"Aku penasaran ada apa dengan desa ini..."

Todoroki yang sedari tadi berdiam akhirnya angkat bicara. Ujung garpunya memainkan kacang polong yang ada di tumpukan kentang.

Midoriya yang duduk di sampingnya berdehum. Mata hijau beralih ke jendela. Mengamati kabut putih yang tampak semakin menebal. Dia sampai tidak tahu seberapa jauh bangunan lain dari inn itu. Hanya ada putih.

"Apapun itu, aku yakin itu tidak menyenangkan."

"Apa mungkin sihir terlibat?" tanya Iida. Kesatria itu melirik ke robekan di baju zirah yang sudah dia lepas agar lebih mudah bergerak. "Aku tidak bisa bayangkan hewan buas bisa mencakar besi sampai begitu."

Todoroki mengangkat pandangannya dari piring dan melirik ke Uraraka. "Bagaimana menurutmu, Uraraka-san?"

Si penyihir menelan kunyahan daging dan kentang di mulutnya, sebelum berdehum. Dia mengetuk-ngetuk dagu dan berpikir. Lehernya agak terangkat.

"Yah..., Hikaru-san sudah jelas bicara soal kutukan," gumamnya. "Tapi, aku tidak yakin kutukan seperti apa."

Midoriya mendesah. Menunduk melihat piringnya yang masih penuh. Perasaannya tidak enak.

"Jadi hanya bisa menunggu, huh?"

Mereka segera menghabiskan makanan. Setelah itu, beranjak ke kamar untuk beristirahat.

***

Keesokan harinya, kabut masih tebal.

Midoriya bahkan tidak yakin apa matahari sudah terbit. Yang terlihat di jendela hanya putih. Dan Hikaru mewanti-wanti mereka untuk tidak membuka apapun.

Akhirnya, anak berambut hijau keluar dari kamar. Kembali berkumpul dengan teman-temannya yang sudah duduk di area makan. Tempat kemarin Hikaru mendorong—menyelamatkan, otaknya meralat—mereka.

Dan, panjang umur, gadis yang disebut baru keluar dari pintu yang Midoriya tebak mengatah ke dapur. Tangannya menyeimbangkan dua nampan.

"Ah! Midoriya-san! Pagi!"

Sapaan ceria itu membuat ketegangan di pundak mereka mencair sedikit setelah kemarin.

Midoriya membalas sapaan Hikaru dengan senyum sopan. Kemudian duduk di meja. Todoroki, Uraraka, dan Iida sudah di sana.

"Apa tidur kalian nyenyak?" tanya Hikaru sembari meletakkan mangkuk-mangkuk berisi beef stew dan roti di depan mereka.

"Ya," bisik Midoriya. "Maaf sudah merepotkan keluargamu, Hikaru-san."

"Hey! Bukan masalah!" Gadis itu menepis dengan mengibaskan tangan.

Setelah dia menaruh semua makanan yang dia bawa, Hikaru menegakkan punggungnya dan menarik napas.

"Jadi, kalian masih ingin tahu apa yang terjadi di sini?"

"Ya, tolong," ucap Uraraka cepat. "Aku yakin ini bukan hal yang remeh."

Hikaru berdehum dan mengangguk. Tangannya mengelus leher.

"Yah, seperti yang kubilang kemarin—" Dia memulai ceritanya. "Desa ini dikutuk."

Hikaru menunduk. Memainkan ujung celemeknya.

"Setiap setahun sekali, kabut tebal akan turun. Periode Kabut, begitu kami menyebutnya. Para tetua bilang, dulunya, mereka mengira ini kabut biasa. Sampai—"

"Mayat pertama muncul."

Keempat pengembara di depannya tercekat. Mendengarkan cerita itu dengan seksama. Hikaru mengambil jeda bernapas. Kemudian meneruskan.

"Mereka pikir itu hanya binatang buas. Akan tetapi, lama-lama semakin banyak warga yang menghilang di kabut. Semakin banyak yang muncul tanpa nyawa. Dan—"

Suara Hikaru bergetar. "Mayat mereka... punya kesamaan."

Gadis itu kembali diam. Menarik napas lagi. Dia memindahkan tumpuan kakinya dengan canggung.

"Mata mereka dicongkel keluar."

"Eyesnatcher."

Komentar datar Todoroki membuat semua pandangan tertuju padanya. Si pangeran menatap lurus ke Hikaru.

"Kemarin kau menyebut kata itu. Apa mereka makhluk yang juga menyerang kami?"

Gadis pemilik inn itu menggigit bibir. Kemudian memberi anggukan kecil.

"Makhluk itu tidak kasat mata, usaha apapun untuk menangkap mereka malah menjatuhkan banyak korban," terang Hikaru.

"Akan tetapi, mereka sepertinya hanya muncul di dalam kabut. Jadi, selagi kami di dalam, tidak akan ada masalah."

"B-begitu rupanya..." bisik Midoriya.

Dia ingat betapa paniknya Hikaru ketika memanggil mereka kemarin. Dia pasti sangat takut. Dia ada di luar. Dia bisa jadi sasaran empuk.

Namun, dia tetap membantu mereka.

"Kami berutang banyak padamu, Hikaru-san."

"Sudah kubilang tidak masalah," ucap gadis itu.

"Ada baiknya kalian tinggal di sini sampai kabutnya hilang."

Iida angkat bicara. "Uh, dan berapa lama itu?"

"Hmmm, sekitar beberapa bulan—"

"Bulan?"

Midoriya sontak berdiri. "Kita tidak punya beberapa bulan! Kita harus segera pergi ke Tual!"

"Tual?"

Hikaru memiringkan kepalanya dengan bingung. Midoriya memberi pandangan ke ketiga temannya. Yang lain memberi anggukan kecil.

"Hikaru-san, jadi begini—"

Giliran Midoriya yang bercerita.

Dia mengulang kembali kisahnya. Apa saja yang mereka alami sebelum sampai ke Vatleria. Dia juga menceritakan tentang Pahlawan yang menghilang. Dan rumor apa yang mengelilingi Tual.

"Huh, begitu." Hikaru menggaruk rambutnya.

"Kalian ada di situasi yang... sulit."

"Midoriya benar," tambah Todoroki. "Kami harus segera sampai ke sana. Apa tidak ada cara melewati kabut ini?"

"Dengan selamat? Sejauh ini tidak—"

Hikaru terdiam seketika.

Iris cokelat bergulir untuk menatap langit-langit. Mempertimbangkan sesuatu.

"Kecuali... kalian mengangkat kutukannya."

Empat pasang mata terbelalak mendengar itu.

Uraraka menelengkan kepala. "Kau tahu caranya?"

"Tidak, tapi kalian mungkin bisa—"

Kali ini suara Hikaru tercekat. Dia menunduk.

"Oke, uh, mungkin ini ide buruk."

"Kami mendengarkan," ucap Midoriya mendorongnya.

"Kalian bisa—bertanya ke orang yang menancapkan kutukan itu."

Lagi-lagi, keempat pengembara di depannya tersentak.

"Apa penyihir kejam begitu ada disekitar sini?!" pekik Iida. "Oh, kalian sungguh malang—"

"Tidak!" ralat Hikaru diiringi gelengan.

"Dia, uh, sudah mati."

"Hah? Tapi kau bilang—"

"Bukan berarti kalian tidak bisa berbicara padanya!" tandas Hikaru. Gadis itu berjengit. Kemudian mengoreksi dirinya sendiri.

"Uh, maksudku, kalian tidak bisa, tetapi—"

Hikaru menghembuskan napas berat.

"Aku tahu siapa yang bisa."

***

"Hush, child. I'll take thee away.
From the mist. From the distant storm.

Hush, child. I won't let thee stray.
From the path. From where light is born."

Suara nyanyian Dorothea merambat di ruangan rumahnya yang sepi. Gadis itu duduk di samping jendela. Jarinya mengetuk bingkai kayu. Setelah selesai membersihkan rumah, tidak banyak hal lain yang bisa dia lakukan di Periode Kabut.

Gadis itu mulai melamun. Dalam hati memikirkan Ayahnya yang masih ada di Ibukota. Jauh dari kabut Vatleria. Dia harap hari Ayahnya lebih baik. Menjahit baju-baju untuk bangsawan. Tidak seperti harinya yang membosankan.

Dan gadis itu berharap sang Ayah tidak nekat pulang.

Walaupun dia merindukannya, dan kadang kesepian. Dia merasa lebih baik mengingat Ayahnya ada di tempat yang aman.

"Psst, Dorothea!"

Yah, setidaknya sekarang dia tidak pernah benar-benar kesepian.

Sebagai seorang medium, Dorothea sudah banyak bertemu dengan hantu.

Akan tetapi, hantu berambut putih yang dia panggil Eins adalah satu-satunya yang memutuskan menempel padanya.

"Apa yang kau lihat? Kabut atau kabut?" Canda si hantu. 'Menaruh' dagu dinginnya di kepala si medium muda.

"Kalau kau bosan, kau bisa keluar, Eins," ucap Dorothea sembari terkekeh. Hantu itu merengut.

"Kau tahu 'dia' selalu mengeluarkan aura buruk selama Periode Kabut."

Dorothea mengangguk. Tahu pasti apa maksud kawan tak kasat matanya itu. Namun, belum sempat dia menjawab—

Pintu depan diketuk.

Alis gadis itu mengerut.

Seseorang? Di Periode Kabut?

"Eins?"

Hantu itu paham. Dia memberikan anggukan sebelum melayang ke pintu depan rumah. Menembus dinding yang dia lewati.

Dorothea menunggu dengan sabar. Tangan terlipat di pangkuannya. Beberapa detik kemudian, kepala Eins muncul di tembok.

"Kau sepertinya harus membuka pintu!"

Gadis itu menaikkan alis. Akan tetapi, dia menurut dan segera beranjak. Ketukan terdengar lagi.

Orang gila mana yang keluar saat ini?

Dorothea mendorong pintu kayunya terbuka. Matanya terbelalak.

Tampak empat orang berdiri di depan rumahnya. Ada gelembung energi mengelilingi mereka. Dorothea bisa menebak itu sihir dari tongkat yang dibawa oleh satu-satunya perempuan di party itu.

"Kau Dorothea Tuning?" tanya anak yang berambut hijau.

"Kami butuh bantuanmu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro