Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Manuscript 7 : Smalltalk 3

Dorothea selalu melakukan gestur kecil dari waktu ke waktu.

Jika tidak diamati dengan lekat, bahasa tubuh gadis itu tidak terlalu mencolok. Hanya sebuah senyuman kecil. Atau sesekali berbisik pelan tanpa ada orang lain di sekitarnya.

Bagi murid atau guru yang lain, itu mungkin tidak signifikan. Mungkin si gadis hanya tersenyum karena mengingat peristiwa lucu. Atau berbisik kepada dirinya sendiri agar mengingat tentang sesuatu.

Di sisi lain, bagi mereka yang tahu

Gadis itu berbicara dengan seseorang. Atau yang dulunya orang, lebih tepatnya.

Hantu.

Terkadang itu membuat Aizawa bertanya-tanya, memang berapa hantu di U.A.?

Ada satu hantu yang pasti. Eins. Dan itu karena dia mengikuti Dorothea secara spesifik. Gadis itu tidak keberatan. Jadi, Aizawa menebak dialah yang paling sering membuat Dorothea berbisik atau tertawa sendirian di lorong.

Akan tetapi, dia tidak tahu apakah ada yang lain di U.A.

Aizawa tidak akan bertanya soal itu dalam waktu dekat. Lagipula, dia dan Dorothea jarang berpapasan. Aizawa tidak mengajar Prodi Umum. Interaksi yang paling sering mereka lakukan hanya sekedar bertukar anggukan ketika bertemu di lorong.

Ditambah lagi, itu topik yang terlalu aneh untuk diangkat tiba-tiba.

Sampai Present Mic mengatakan sesuatu hari ini.

Aizawa dan Yamada sudah kenal sejak lama. Mereka berdua alumni U.A. dan Nemuri selalu menggodanya dengan memberi julukan dua serangkai untuk mereka.

Karena kenal lama itulah, Aizawa tahu Yamada punya banyak hal yang dia takuti. Serangga, salah satunya. Dan mungkin tidak berhasil menjalankan tugas Pahlawan. Yang satu itu ketakutan wajar untuk Pro Heroes. Jadi kesimpulannya, Yamada punya beberapa ketakutan.

Akan tetapi, sejauh yang Aizawa tau, Yamada itu skeptis. Tidak percaya hantu. Secara langsung membuatnya tidak takut pada mereka juga.

Itu yang membuat pertanyaannya aneh sekali.

"Hei, Shouta," panggilnya. Mereka sedang duduk di depan komputer masing-masing. Menginput soal-soal latihan.

"Apa menurutmu U.A. berhantu?"

Kalimat itu sontak membuat Aizawa mengangkat kepala. Menatap koleganya dengan satu alis terangkat.

"Oke, oke, itu terdengar gila. Tapi—" Yamada kelihatan gusar. Benar-benar tidak seperti biasa.

"Aku tidak percaya aku mengatakan ini. Tapi kurasa asrama 1-C berhantu."

Aizawa mendengus.

Dia tidak tahu harus merutuk atau tertawa.

***

Aizawa menemukan Dorothea di lorong sekolah yang nyaris sepi setelah jam pelajaran selesai. Dia mengobrol dengan quartetnya seperti biasa. Shinsou, Hikaru, Tanaka, dan—

Todoroki?

Baiklah, yang satu itu agak berbeda.

Namun, Aizawa bisa menanyainya soal itu nanti. Ada hal yang lebih penting untuk diurus.

"Dorothea."

Mendengar namanya dipanggil, gadis itu langsung menoleh. Tampak sedikit terlonjak.

"Ah, ada yang bisa kubantu, Sensei?"

Aizawa memberi anggukan kecil. "Ya, aku ingin bicara. Ini soal Klub Jurnalistik Internasional."

Mendengar kata itu, mata emas Dorothea membelalak.

Klub Jurnalistik Internasional.

Kalimat itu berubah menjadi kode yang dipakai untuk membahas soal sihir dan yang lainnya tanpa membuat orang lain curiga.

Solusi Nezu kadang sederhana. Akan tetapi sangat efektif.

"Ah! Tentu saja, Aizawa-sensei!"

Dorothea mengalihkan pandangan ke teman-temannya. "Kalian duluan, kita bertemu di asrama."

Setelah yang lain melambaikan tangan dan berlalu, Dorothea kembali berbalik dan menatap gurunya. Dia melirik ke kanan dan ke kiri. Memastikan lorong benar-benar kosong sebelum membuka mulut.

"Jadi, uh—apa ada yang terjadi?"

"Aku langsung ke intinya saja," dengus Aizawa. "Apa Eins melakukan hal yang aneh di asrama?"

Dorothea mengerjap. Memiringkan kepalanya. Cahaya lampu ruangan membuat tusuk rambut burung gagaknya berkilat.

"Tidak. Eins hanya memindahkan benda di kamarku. Di luar kamar, dia selalu dekat denganku."

Aizawa berdehum. Mata hitam mengamati gerak-gerik si gadis. Hanya ada bingung. Dia tidak berbohong. Sang Pro Hero mendesah.

"Lalu, apa kau tahu kenapa Present Mic bilang asrama kalian berhantu?"

Kening Dorothea mengernyit. Lehernya menunduk. Wajah berputar dan menampilkan kerutan dalam. Berpikir keras.

Kemudian dia mengangkat kepalanya dengan cepat. Mata membulat terkejut. Belum sempat Aizawa bertanya kenapa, gadis itu membuang pandangan ke tempat kosong di sampingnya.

"Kenapa kau tidak bilang?"

Aizawa menjaga ekspresi di wajahnya agar tetap datar.

Ah, hantu itu memang selalu mengikutinya, ya?

"Apa yang Eins katakan, Dorothea?" tanya Aizawa.

"Ah, Eins bilang, dia merasakan hantu lain di sekitar asrama."

Si guru mengangkat alisnya. Sementara Dorothea menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Emm, kau tahu... sepertinya aku bisa mengurus ini."

Dorothea memberikan sebuah senyum. Mungkin bermaksud meyakinkan. Namun, senyuman itu lebih terlihat rapuh dan ragu.

Melihat skeptisisme di wajah Aizawa, Dorothea mendesah.

"Yah, mungkin memang sudah agak lama aku tidak melakukan ini. Tetapi, serahkan saja padaku, Sensei!"

***

Matahari baru separuh tenggelam di ufuk barat ketika Aizawa berjalan kembali ke gedung sekolah. Dalam hati merutuki diri sendiri karena lupa membawa tumpukan tugas murid yang harus dinilai.

Ketika melewati belakang gedung, dia melihat rambut merah yang tidak asing.

Aizawa melihat Dorothea yang tampak sibuk berbicara sendirian. Tangannya memegang buku dan pensil. Sesekali mengangguk sembari menuliskan sesuatu.

Setelah beberapa menit, gadis itu tersenyum kecil. Menutup bukunya dan menundukkan kepala kepada makhluk apapun yang ada di depannya. Setelah beberapa detik menahan senyumnya, Dorothea membuang napas. Kemudian membuka kembali buku dengan wajah berkerut.

Aizawa yakin, apapun yang sedang diajaknya bicara sudah pergi.

Didorong oleh rasa penasaran, Aizawa mendekati Dorothea yang masih fokus pada isi catatannya. Sebelum dia batuk untuk mengambil perhatian murid itu.

Dorothea tersentak sebelum menoleh. "Ah, Aizawa-sensei! Err, maaf aku tidak melihatmu!"

"Selamat sore Dorothea, dan—" Aizawa melirik sekitar. "Apa Eins di sini?"

"Oh, tidak! Jika ada Eins, hantu lain biasanya menjauh," kata Dorothea.

"Jadi itu tadi bukan Eins?"

"Ah! Eh, itu—" Dorothea tergagap. "Itu... hantu lain yang ada di asrama 1-C."

Gadis itu mengamati lekat-lekat catatan yang ada di buku tulisnya. Kemudian mendesah.

"Aku tahu cara membantunya, tetapi aku mungkin butuh waktu."

Membantunya?

***

Shinsou Hitoshi adalah anak yang cerdas dan cepat dalam menerima informasi dalam belajar. Aizawa tidak keberatan menjadi mentornya. Dia yakin Shinsou bisa menjadi Pahlawan seperti yang dia mimpikan.

Bukan berarti Aizawa akan mengatakan itu keras-keras. Dia punya reputasi yang harus dijaga.

Akan tetapi, dia jujur jika berkata dia bangga terhadap kemajuan yang Shinsou alami. Semakin lama, anak itu semakin piawai dalam menggunakan capture weapon. Kadang membuat Aizawa teringat pada dirinya sendiri waktu masih muda.

"Cukup untuk hari ini, istirahat."

Perintah singkat itu langsung ditaati oleh Shinsou. Yang segera jatuh terduduk di tanah dan menarik napas lega. Keringat mengucur di dahinya. Aizawa memberikan waktu agar anak itu menarik napas, sebelum Shinsou bangkit dan duduk di bangku di sampingnya.

Sang guru kemudian memberikan komentar terhadap latihannya hari itu. Apa saja yang perlu diperbaiki maupun dikembangkan. Seperti biasa, si purplenette mendengarkan dengan seksama dan tidak menyela. Hanya sesekali meminum air dari botol.

"Terima kasih untuk hari ini, Sensei," ucap Shinsou sopan setelah Aizawa selesai berkomentar.

Si guru mengangguk. Matanya memperhatikan ketika Shinsou membuka kotak bekal. Itu agak tidak biasa. Shinsou biasanya hanya membawa minum.

"Ah, apa anda mau, Sensei?"

Di dalam kotak itu ada kue kering. Kue chocolate chips, tepatnya. Bentuknya tidak rapi. Tampak seperti gumpalan.

Aizawa mengangkat alis. Matanya bisa menangkap bibir Shinsou yang agak bersemu merah.

"Dorothea memberikan ini padaku. Dia bilang ini kue yang berhasil. Walau belum sempurna. Tapi dia senang sekali."

Oh, dari Dorothea rupanya.

"Dia biasa membuat kue?"

"Tidak," ucap Shinsou. "Pertama kali, hasilnya seperti arang. Sayangnya, tidak ada yang bisa membuat kue di kelas kami. Jadi, dia berusaha keras."

Kali ini, wajah anak itu agak sedikit mengeras. Tampak memikirkan sesuatu.

"Katanya, kue ini akan membantu dengan—uh, hantu yang lain."

Aizawa terdiam. Tidak yakin apa hubungannya kue kering dan mengusir hantu. Apa Dorothea akan memberikannya seperti persembahan?

Dari ekspresi Shinsou, sepertinya murid itu tidak yakin juga.

***

Aizawa kadang ingin memukul Yamada keras-keras sampai dia pingsan.

"Coba katakan lagi kenapa kau menguntit dua murid perempuan?"

"Shota! Kalau kalimatmu seperti itu, aku terdengar seperti pria tua kotor!"

"Memangnya kau bukan?"

Yamada mendengus. Hanya menggeleng ketika Aizawa memberikan seringaian yang membuatnya ngeri.

"Yah, pokoknya—tadi, aku dengan Dorothea mengajak Konno dengan 'Hei, kita harus bicara'. Kau tahu kalimat seperti itu biasanya mengarah ke perkelahian!"

Aizawa giliran menggeleng. Memandang koleganya itu sebelum mendengus.

"Yang benar saja, Mic..."

"Shush! Diam, Sho. Aku harus mendengarkan ini!"

Kau menyuruhku diam? Kau yang punya quirk suara, idiot.

Akan tetapi, Aizawa menurut. Dia juga agak penasaran. Dorothea bukan anak yang suka mencari masalah. Jadi, ketika si gadis sekarang terkesan memojokkan temannya, dia merasa ada yang salah.

Mereka berdua berdiri di belakang sekolah yang sepi. Keduanya tampak tidak nyaman dan canggung dengan situasi mereka.

"Uh, Konno-san, aku tahu kita tidak dekat, tetapi—"

Dorothea tampak bimbang. "Aku—aku turut berduka."

Konno Maiko, Ibunya meninggal karena kecelakaan sekitar seminggu lalu. Anak itu pendiam. Setelah ibunya tiada, Yamada bilang, sifat pendiamnya menjadi semakin akut.

"A-aku—" kalimat Konno tersendat. "Kenapa—kenapa kau mengungkit ini, Dorothea-san?"

Dorothea menarik napas dalam-dalam. Mempersiapkan dirinya untuk mengatakan kalimat berikutnya.

"Aku kehilangan Ibuku juga."

"O-oh." Kini Konno tampak agak terkejut. "Ah, aku—maaf, aku tidak—"

"Tidak masalah," sela Dorothea. "Tapi aku tahu bagaimana rasanya."

Dorothea menunduk sebentar. Dari jauh, Aizawa bisa melihat dia membawa buntalan kecil di tangannya.

"Jadi, uhm, Konno, jika kau butuh teman bicara—err, aku bisa mendengarkan."

Kalimat itu canggung. Tentu saja karena mereka tidak dekat. Akan tetapi, ada tulus terikat di nada suara Dorothea.

"Dan, yah! Aku membuatkanmu ini!"

Dorothea mengulurkan buntalan yang dia pegang. Dengan ragu, Konno menerimanya.

"Ini pertama kalinya aku memasak sesuatu yang kompleks, jadi—uh—"

Buntalan itu berisi kue kering.

"Yah, suara berisik pada jam 3 pagi di asrama itu aku. Maaf. Tapi—semoga kau suka!"

Konno mengambil sekeping kue dengan cokelat itu. Lalu menggigitnya. Matanya seketika melebar.

Dan dia menangis.

"Eh—Konno-san, kenapa—?!"

"Hiks, ini—hiks—kue ini—" suara Konno sesegukan. Air mata mengalir di pipinya.

"R-rasanya persis seperti—hiks—persis s-seperti resep Okaa-san."

Tangisnya semakin deras. Dorothea langsung panik. Dia maju dan mengelus pundak teman sekelasnya itu.

"Emm—aku punya resepnya di buku—kita bisa kembali ke asrama dan—"

Sisa percakapan itu sudah tidak didengar Aizawa. Karena dia sibuk menyeret pergi Yamada dengan menarik kerahnya. Sebelum guru ribut itu ikut menangis.

***

"Apapun yang kau lakukan, itu berhasil."

Dorothea terlonjak. Berbalik. Mendapati guru berambut gondrong itu berdiri di belakangnya sembari bersedekap. Harusnya dia bisa menduganya.

"Sensei, maaf, tapi apa kau bisa berhenti mengagetkan muridmu?"

Aizawa hanya mengangkat bahu.

Mereka berdua ada di belakang gedung 1-C lagi. Setelah jam sekolah berakhir. Banyak anak sudah kembali ke asrama. Cukup sepi untuk membicarakan soal ini.

"Jadi, apapun itu. Itu berhasil. Present Mic sudah berhenti melapor soal hantu, tapi—" Aizawa bergumam.

"Apa yang sebenarnya kau lakukan?"

"Oh, um—" Dorothea menggaruk lehernya. "Uh, aku hanya membantu hantu itu menyebrang. Itu saja."

"Menyebrang?"

"Ya, biasanya hantu punya alasan kenapa masih terikat di dunia ini. Urusan yang belum selesai," jelas Dorothea.

"Aku membantunya menyelesaikan urusan itu."

Alis Aizawa terangkat. Meminta penjelasan lebih. Dorothea menggigit bibir.

"Hantu itu—Konno Kazumi."

Kini, mata Aizawa membulat.

"Ibu dari—"

"Ya. Dia berjanji akan membuatkan kue untuk anaknya. Sebelum—sebelum kecelakaan itu."

Dorothea tampak agak murung. Kemudian tertawa serak.

"Dia memberiku resepnya. Dan mengajariku memasak. Eins sepertinya agak kesal ada hantu lain yang menempeliku."

Gadis itu mendengus. Kemudian tersenyum. Ada sedikit melankoli di suaranya.

"Sekarang, dia sudah pulang. Aku harap dia bahagia di alam sana."

Aizawa mengangguk. "Terima kasih Dorothea."

"Itu bukan masalah," balasnya terkikik kecil. "Setelah dipikir, ini hantu pertama yang kubantu di Jepang."

Ini agak membuat Aizawa tertarik. "Kau pernah membantu yang lain?"

"Ya, tapi kadang... permintaan mereka di luar kemampuanku. Jadi, tumbuh besar aku lebih sering menghiraukan mereka. Aku masih membantu, sedikit. Tidak sering," jelas Dorothea.

Aizawa mengangguk lagi. Dorothea tersenyum.

"Kalau hanya itu, aku permisi. Kami harus kembali ke asrama."

"Kami?"

Gadis itu terkekeh. Senyumannya melebar.

"Ya! Aku dan Eins! Sampai jumpa besok, Sensei!"

Dorothea segera berlalu. Masih menahan tawa geli. Aizawa hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Dia masih tidak paham banyak soal The Children, sihir, dan hantu. Rasanya seperti dunia mereka terpisah dari dunia yang dia kenal. Walaupun mereka ada di bumi yang sama.

Gadis itu aneh. Dan dia tinggal di dunia yang aneh juga. Bukan limelight ataupun underground. Sebuah masyarakat lain dimana sihir ada dan demon berkeliaran bebas.

Mau tidak mau, Aizawa sedikit setuju.

Dunia yang aneh itu cocok untuk Dorothea Tuning. Gadis yang sama anehnya.

***
.

.

.

Manuscript 7 :
SMALLTALK

The End

***
.
.
.
.
.
.
.

A.N. :
Maaf agak lama! Life is... being life, I guess.

Ngomong-ngomong, bagaimana cover barunya? Author membuatnya sendiri, hehehe.

As always, Thank u for reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro