Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Manuscript 7 : Smalltalk 1

"Eeh?? Kau? Secara sukarela mau berbicara dengan murid yang bukan kelasmu???"

"Itu tidak seaneh yang kau kira, Hizashi."

"Ini kamu yang kita bicarakan Shouta."

"Kau berlebihan."

"Yah, yang penting, jangan coba-coba mencuri Dorothea ke kelas 1A, oke? Dia—"

"Tidak mau menjadi Pahlawan. Aku tahu, Mic."

"Oh? Lalu kenapa—"

"Aku akan tutup teleponnya."

"Tunggu dulu Eraser—!"

Click.

Aizawa mendesah. Present Mic terlalu banyak bicara. Ditambah lagi volume suaranya yang kelewat keras. Telinganya bisa rusak parah.

Guru itu membuang muka ke luar jendela mobil. Melihat rumah-rumah yang bergerak semu. Dia kadang masih merasa tidak percaya.

Takeshita Akira, dia yang tidak tahu soal dunia fashion saja pernah mendengar namanya. Dan pria itu tinggal di perumahan sesederhana ini. Sungguh sebuah kejutan.

Mobil berhenti di rumah berlantai dua. Arsitektur dan ornamennya bergaya Eropa. Rumah itu tidak besar. Namun tetap memiliki kesan estetika yang berbeda dari rumah lain di kanan dan kirinya.

Aizawa turun dan segera menuju ke pintu. Dia mengetuk tiga kali.

"Tunggu sebentar!"

Terdengar suara langkah kaki. Lalu pintu berderit terbuka. Dorothea Tuning berdiri di sana.

"Ah, Aizawa-sensei! Silahkan masuk!"

Nada gadis itu ceria. Berbeda dengan paras malu dan ragu yang dia pakai saat mereka bertemu di ruang kepala sekolah. Mungkin karena dia berada di tempat yang familiar.

Aizawa mengikuti Dorothea menuju ke ruang tamu. Tampak sang ayah sudah duduk menunggu. Gadis itu mempersilahkan gurunya untuk duduk.

"Sebentar, aku buatkan teh."

Dan Dorothea berlari pergi menuju dapur. Berbelok dan menghilang di lorong. Meninggalkan Aizawa menghadapi Akira.

Samar-samar, dia mendengar gadis itu mengobrol dengan seseorang.

"Apakah ada tamu lain hari ini, Tuning-san?"

"Ah, tolong panggil aku Akira," ralat si desainer. Kemudian dia menengok ke arah Dorothea pergi. Senyuman kecil di bibir.

"Dan itu hanya Dorothea mengobrol dengan Eins," ucapnya.

"Sejak Hosu, dia merasa lebih nyaman mengobrol dengan hantu di rumah. Dan Eins mengikutinya kemanapun."

"Ah, benar. Dan kau tidak keberatan?"

"Tidak. Eins tidak mengganggu. Rasanya malah seperti mempunyai anggota keluarga baru."

Aizawa mengangguk mengerti. Dia membersihkan tenggorokannya dengan batuk.

"Baiklah, kalau begitu langsung saja. Ini soal U.A. yang akan menjadi asrama-"

"Ah, ya. Aku tidak keberatan."

Aizawa terkesiap. Dia tidak menduga akan semudah ini. Dia baru saja akan membuka mulut ketika Akira menyela.

"Dulu, Dorothea tidak punya banyak teman, dia lebih... penyendiri."

Akira menunduk. Menyembunyikan senyuman suram. "Aku harap dulu aku tahu kenapa..."

Ada jeda yang diisi keheningan di sana. Akira menarik napas dalam-dalam.

"Akan tetapi, karena U.A, dia sekarang mempunyai teman-teman yang baik yang bisa diandalkan. Rasanya kejam kalau aku mengambil hal itu dari Dorothea."

"Terima kasih, Akira-san," ucap Aizawa. "Kami berjanji kami akan selalu menjaga anak anda—"

"Oh, kau harus."

Aizawa bisa berkata bahwa dia bukan pria yang mudah diintimidasi.

Namun, suara Akira cukup membuat bulu kuduknya berdiri. Suhu ruangan seperti jatuh karena nada dingin itu.

Senyuman di bibirnya juga tidak mencapai mata. Tampak polos. Namun menyimpan suatu ancaman yang besar.

Hell hath no fury like a father in rage.

"Lagipula kita tidak mau peristiwa kemarin terjadi lagi, kan?"

Ah.

"Tentu saja. Keselamatan murid adalah prioritas utama." Aizawa menelan ludah.

"Bagus, bagus," ucap Akira sembari menepuk tangannya. "Dan pada hari libur, aku bisa membawa pergi Dorothea, kan?"

"Oh, tentu," ucap Aizawa. "Boleh aku tahu untuk apa?"

"Nikky dan Monika berjanji akan mengajarinya beberapa hal," jawab Akira. "Dan kami butuh family time."

Aizawa mengangguk. Lega karena tidak perlu bersusah payah meyakinkan Akira. Ini bisa cepat selesai. Akan tetapi, dia masih memiliki beberapa hal untuk dikatakan.

"Aku minta maaf karena tidak berhasil melindunginya waktu itu, Akira-san."

Wali Dorothea itu mendesah. Dia tersenyum ke Aizawa.

"Ya. Aku tidak akan bilang bahwa aku senang dengan kondisi waktu itu." Akira bergumam. Mata emas menatap ke hitam.

"Tapi sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Aku juga minta maaf karena sudah panik."

"Itu bukan salahmu. Dan dengan semua hal yang terjadi, apa kau tidak khawatir—"

"Apa kau punya anak, Aizawa-sensei?"

Pertanyaan itu datang dengan sangat tiba-tiba. Berhasil membuat Aizawa membeku karena terkejut.

"Ah, tidak. Aku belum menikah."

"Well." Akira mengelus dagunya. "Orang tua itu selalu khawatir soal anaknya."

Dia tertawa. Tawa yang kering dan tanpa humor. Tawa yang menampilkan kelelahan. Tawa yang tegar.

"Kalau aku bisa, aku hanya ingin hal-hal baik yang menimpa anakku. Sayangnya, dunia tidak bekerja seperti itu."

Mata emas mengerling. Sebuah senyuman terpatri. Walau agak dipaksakan kali ini.

"Aku hanya bisa mempersiapkan Dorothea untuk kemungkinan terburuk."

Kalimat itu terdengar... final. Pasrah. Namun dililit oleh sebuah harapan dan kesungguhan. Sebuah semangat untuk tidak berdiam.

Aizawa terdiam. Berusaha memikirkan apa yang harus dia katakan. Tepat saat itu, ponsel Akira yang ada di meja bergetar.

"Ah, permisi. Aku harus mengangkat ini."

"Silahkan."

Akira keluar dari ruangan. Meninggalkan Aizawa duduk di sofa ruang tamu sendirian. Dia mengusap wajahnya. Sungguh, menjadi guru itu sulit.

"Maaf menunggu lama!"

Dorothea kembali. Tangannya membawa nampan berisi cangkir porselen cina. Dia menaruh ketiga cangkir di meja. Sebelum duduk bersebrangan dengan gurunya itu.

"Jadi... Dad setuju?"

"Ya."

"Oh... em, syukurlah..."

Aizawa mengangkat alis. "Kau tampak tidak bersemangat."

"Ah! Bukan begitu—" Dorothea mengibaskan tangannya. Dia berjengit.

"Hanya—aku—sesudah Mom meninggal, aku dan Dad jarang terpisah, jadi..."

Kalimat itu menggantung. Akan tetapi, Dorothea dengan cepat menambahkan.

"Tapi aku akan baik-baik saja, Sensei! Lagipula ada Eins. Dan yang lainnya juga."

"Eins akan ikut?"

"Ya..." Dorothea meringis. "Dia mengekorku kemana-mana. Dia bahkan ada di sini."

Dorothea menunjuk ke udara kosong di sampingnya. Aizawa memandang tempat itu sejenak. Sebelum memberi anggukan sopan.

"Eins itu... seperti malaikat penjaga untukku. Aku sangat berterima kasih padanya," ucap Dorothea. Tangan menutupi mulut yang tersenyum geli.

"Ah, berbicara soal menjaga.'"

Ekspresi Aizawa mengeras. Sedari tadi, dia berusaha mencari kalimat yang tepat untuk ini. Akan tetapi, prosa manis bukan keahliannya. Dia memutuskan untuk menjabarkannya langsung.

Seperti biasa.

Aizawa menunduk dalam-dalam.

Cukup membuat Dorothea terlonjak.

"Eh? Aizawa-sensei—?"

"Untuk yang di kamp pelatihan. Maafkan aku. Aku tidak cukup berusaha keras untuk menjagamu."

"Ah! Itu tidak masalah!" Dorothea memekik. Dia menggaruk leher.

"Uh, yeah, tolong tidak usah sampai menunduk begitu, Sensei. Yang berlalu biarlah berlalu, kan?"

"Tetap saja." Aizawa menegakkan posturnya kembali. "Apa yang terjadi adalah sebuah kelalaian besar. Kau dan Bakugo seharusnya tidak—"

"Aku—aku tidak bisa berbicara untuk Bakugo, Sensei."

Suara lembut Dorothea menyelanya. Gadis itu menunduk. Tangannya memainkan ujung baju. Kepalanya menunduk. Surai merah menutupi mata emas.

"Tapi untukku, kau tidak harus meminta maaf."

"Tetapi—"

"Kau ingat setelah USJ?"

Mulut Aizawa bungkam. Kembali terkunci. Tentu dia ingat menyeret tubuh penuh perbannya ke sekolah. Dia ingat merasa bersyukur ketika kembali ke pintu kelasnya. Terluka dan cidera. Namun hidup.

Dan dia ingat mata emas penuh penyesalan Dorothea di lorong.

Ekspresi yang tidak pernah ingin dia lihat lagi di salah satu muridnya. Ekspresi yang membuat dia berpikir apa yang akan terjadi jika dia memutuskan percaya pada peringatan gadis itu.

Kali ini, Dorothea mengangkat kepalanya. Mata emas berkilat.

Dia tersenyum.

"Pada waktu itu, kau mengatakan bahwa insiden USJ bukan salahku..."

Senyuman Dorothea lembut. Tampak lebih percaya diri.

"Bukankah situasinya sama? Insiden di kamp pelatihan bukan salahmu juga."

Kemudian Dorothea terkikik. "Kau bukan orang yang mengirim penjahat untuk menculik kami kan?"

Aizawa mendenguskan tawa. Yang dengan cepat dia tutupi dengan batuk. Dia punya reputasi yang harus dijaga. Namun, rasanya sulit untuk menjaga muka datar di hadapan senyum Dorothea yang cerah.

"Lagipula, Dad bilang kau ingin turun langsung untuk mencariku," ucapnya. "Kalau Aizawa-sensei tidak harus mengikuti konferensi pers, pasti kau sudah ada di Kamino atau Dasomiru, kan?"

Guru itu diam. Secara tidak langsung membenarkan pernyataan Dorothea itu.

"Kau bahkan tidak pernah melawan demon sebelumnya. Dan kau tidak berpikir dua kali..."

Dorothea menggeleng kecil. Dan dia tersenyum lebar.

"Kau guru yang baik, Sensei. Aku senang bisa menjadi muridmu!"

Kali ini, Aizawa tidak bisa menahan tawa kecil yang keluar dari bibirnya.

"Ya. Aku senang kau baik-baik saja Dorothea. Tapi jangan jadikan kebiasaan, kau mengerti?"

Gadis itu meringis. Tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Aku... tidak janji."

"Problem child," dengus Aizawa.

"Tapi aku biarkan kau lepas kali ini. Lagipula, kau menyelamatkan dunia."

Muka Dorothea memerah mendengar itu.

"E-eh?? Tidak! Yang aku lakukan tidak seberapa!"

"Tetap saja, kami yang tahu berterima kasih," ucap si guru. "Kau harus melihat Nezu. Aku tidak tahu dia bisa memasang wajah lega seperti itu."

"Ah, all's well that ends well."

Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangan. Akira kembali dengan senyum kecil.

"Maaf membuatmu menunggu. Jadi, apa ada yang harus aku tanda tangani atau semacamnya?"

Aizawa mengangguk. Kemudian mengeluarkan dokumen dari tasnya. Dia menunggu Akira membaca surat itu dengan cermat.

Sudut matanya menangkap Dorothea yang mengobrol pada tempat kosong di sampingnya. Tersenyum lebar dan bersemangat.

Sekejap, itu mengingatkan Aizawa kenapa dia menjadi Pahlawan.

Untuk melindungi.

Aizawa berjanji dalam hati, dia akan menjaga murid-muridnya sampai akhir.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro