Manuscript 6 : Crosspath 3
"Ohoho... ini pisau yang bagus!"
Suara tawa kecil keluar dari mulut Himiko mendengar pujian itu.
"Terima kasih, Ojii-san. Apa kau bisa membuat yang mirip seperti itu?"
"Ya, ya," dia memutar pisau lempar itu di tangannya. Gerakannya sangat halus. Seakan dia bisa mengendalikan pisau itu.
"Yang ini besi luxeria kan? Pilihan bagus, nak. Besi ini cocok untuk melawan demon dan cukup ringan untuk pisau lempar."
Himiko menelengkan kepalanya. Ya, dia benar. Itu luxeria. Akan tetapi, Himiko tidak yakin bagaimana dia bisa tahu. Besi itu hanya terlihat seperti besi biasa.
Saiki Kazuhiko benar-benar pengrajin sejati.
Tidak heran dulu rankingnya sangat tinggi di Order of Artificer.
"Ini akan mudah, nak. Tapi aku butuh waktu untuk mencari bahannya." Saiki mengembalikan pisau itu. Senyuman tipis tersungging.
"Kau putri Smithborn, kan? Jika sudah selesai, aku akan langsung mengirimnya ke The Hourglass."
Himiko tersenyum lebar. Dia mengangguk setuju.
Gadis itu memberikan uangnya kepada si pandai besi. Kemudian menunduk sopan dan mengucapkan terima kasih sekali lagi. Sebelum keluar dari area bengkel yang pengap.
Di area toko, dia melihat kedua kakaknya yang mengobrol di depan etalase kaca. Tampak mengamati berbagai macam miniatur. Dabi dan Tenko tampak bermain-main dengan patung orang. Himiko hanya menggeleng.
Bagi The Children, tempat itu pemasok senjata. Bagi orang lain, tempat itu menjual hiasan besi.
Himiko menyeringai. Langsung menerjang dan melompat untuk merangkul kedua kakaknya. Dabi dan Tenko hampir terjengkal.
Tawa Tenko terdengar. "Sudah selesai?"
"Uh-huh!" Gadis itu mengangguk. Rambutnya yang ditata model odango ikut bergoyang kecil.
"Nah, tadi Tenko-nii bilang apa soal kafe?"
***
Aoi, Daniel, dan Tenko.
Mereka bertiga sering disebut tiga sekawan oleh Nikky.
Pernyataan itu tentu membawa kebenaran. Sejak dari TK, trio itu tidak terpisahkan. Mereka hampir selalu melakukan berbagai kegiatan sekolah bersama-sama. Tidak pernah melupakan satu sama lain dan saling mengikuti. Selalu bertiga. Tidak terpisahkan.
Kecuali menyangkut Children of Earth.
Daniel tahu soal The Children saat mereka 14 tahun. Saat dia semakin sering mengutak-atik berbagai penemuan dan mesin yang ada di rumahnya. Ibunya—Silvia Kishi—akhirnya mendudukkannya, lalu menjelaskan soal The Children dan Order of Artificer.
Anak itu langsung tertarik. Dan dia hampir bersorak ketika tahu bahwa Tenko juga mengerti soal Children of Earth. Tenko harus membungkam mulutnya waktu itu. Dia tambah bersemangat ketika tahu bahwa Tenko akan mencoba masuk ke Order of Paladin. Dia berjanji akan membuatkan Tenko peralatan yang paling baik kalau dia bisa.
Lain lagi dengan Aoi, dia baru tahu ketika mereka berumur 16. Ibunya yang memberitahu setelah dia menemukan sebuah riset lama di loteng. Fleur Higuchi memang mantan Order of Alchemist.
Yang berbeda, Aoi sama sekali tidak tertarik.
"Eh? Itu hanya bukan bidangku."
Begitu katanya dulu.
Jadi, diantara mereka, Aoi satu-satunya yang memilih menjadi 'normal'. Walau normal di dunia ini memiliki konteks yang berbeda-beda.
Mereka masih berteman baik. Dan Tenko agak sedih ketika Aoi pindah ke Musutafu untuk mengejar mimpinya. Namun, dia turut senang ketika kafe kucing Aoi benar-benar menjadi kenyataan.
Akan tetapi, nama kafenya—
Espurresso.
Tenko mendenguskan napas berat. Tangan mengurut pangkal hidungnya.
"You and your goddamn pun, Aoi."
Dabi hanya tertawa. Sementara Himiko mengucapkan 'aw' panjang membaca nama yang dia anggap imut itu.
Tenko menggeleng-geleng. Mendahului kedua saudaranya untuk membuka pintu. Aroma kopi dan udara hangat langsung menguar. Matanya disambut oleh warna pastel dan hiasan bertema kucing yang ceria.
Dan tentu saja, wanita dibelakang meja kasir terlihat familiar.
"Oh? Apa mataku menipuku?"
Suara lembut menyapanya.
"Tenko-chan! Itu benar-benar kau!"
Sedetik kemudian, seorang gadis berambut air menerjang Tenko. Memeluknya dengan erat.
"Kau masih sekurus dulu! Kupikir menjadi anggota organisasi itu bisa membuatmu lebih berotot."
Tenko mendenguskan tawa. "Halo juga Aoi."
Mereka melepas pelukan. Aoi terkekeh. "Yeah, it's been awhile..."
Mata wanita itu beralih ke Himiko. Yang melambai dan tersenyum lebar. Tentu saja, Aoi langsung melompat dan mencubit pipinya dengan gemas.
"Himiko-chan!! Aaa~, kau makin tinggi~! Apa kabar!"
"A-khu baikh, ouch!"
Aoi melepaskan cubitannya. Himiko mengelus pipi yang agak memerah. "Hehehe, senang bertemu lagi denganmu, Aoi-nee-san."
Aoi mengelus rambut gadis itu dengan geli.
"Tentu! Oh, Dabi-senpai juga disini! Wah, ternya tiga Smithborn lengkap!"
Dabi hanya memberi salut. Berdiri agak jauh selagi menyeringai. Tidak mau mendapat pelukan atau cubitan.
"Ayo duduk! Sebentar, aku ambilkan menunya ya..."
Mereka memilih duduk di pojok ruangan. Masih pagi. Akan tetapi kafe itu sudah lumayan ramai. Banyak anak-anak muda menempati meja sembari mengobrol dan menyesap latte. Hari itu memang hari libur.
Himiko tidak langsung duduk. Malah berusaha mengambil perhatian seekor kucing yang duduk malas di dekat jendela. Dabi sendiri sibuk dengan ponsel. Mungkin memberitahu Nikky bahwa mereka sudah selesai memesan pisau.
Tenko turut terlarut dalam pikirannya.
Musutafu... hmm...
Alisnya berkerut. Teringat kejadian kemarin. Saat Akira dan Dorothea pulang. Mereka bilang mereka pulang ke—
Bukannya Tunings tinggal di sini?
"Yoo? Earth to Tenko-nii?"
Dia tersentak. Himiko berdiri di depannya. Tangan menggendong kucing berbulu hitam. Dia tersenyum lebar. Menunjukkan gigi taring yang lebih panjang dari manusia normal.
Dia menyodorkan si kucing ke wajah Tenko.
Nama 'Licorice' berkilat di kalungnya.
"Bukankah dia imut?!" pekik Himiko.
Tenko tertawa kecil dan mengangguk. Seperti biasa, Himiko sangat bersemangat soal hewan peliharaan berbulu.
"Oh, dia manis sekali!" Himiko duduk di sebelah Dabi. Mengelus kepala si kucing yang didudukkan di pangkuannya.
"Oh! Aku akan menggambarnya!" ucap Himiko. Dia merogoh ke tas selempang berwarna pink yang dia bawa kemana-mana.
Dabi menggeleng-geleng. Tenko tersenyum lembut. Melihat mata Himiko yang ceria, dia jadi merasa agak rileks.
Sudah cukup memikirkan yang kemarin.
Hari ini hari libur. Dia kemari untuk bersantai.
Dan itulah yang akan dia lakukan.
Tepat saat itu, Aoi menghampiri meja mereka. Tangannya membawa tiga buku menu dengan sampul keras.
"Maaf menunggu lama!" ucapnya sembari menyodorkan buku itu.
Tenko menerimanya. Sudut bibir terangkat. "Kau tidak harus melayani kami, kau tahu? Bukannya kau punya pegawai?"
"Hush!" Aoi mengibaskan tangan. "Tidak usah protes. Kau harusnya tersanjung!"
Tenko tertawa. Kemudian ketiga saudara itu menelusur buku menu. Dabi memesan kopi susu. Karena dia membosankan, begitu komentar Himiko. Gadis itu sendiri memesan blueberry ade berwarna biru yang tampak mengandung terlalu banyak gula.
"Aku... cokelat panas saja," ucap Tenko memutuskan.
Aoi mencatat semua pesanan mereka sembari berdehum. Kemudia menoleh ke Tenko.
"Hmm... aku sebenarnya punya ide baru untuk cokelat panas," guma Aoi. Kemudian menyeringai. "Apa kau mau mencobanya Tenko-chan~?"
Mata Tenko menyipit curiga.
"Apa kau akan memberi garam ke minumanku?"
"Astaga! Itu hanya satu kali—"
"Satu kali itu sudah cukup, Aoi."
Tenko tertawa melihat bibir kawannya yang maju beberapa senti. Aoi berkacak pinggang.
"Oh, ye of little faith." Dia mengurut keningnya. "Jadi, mau atau tidak?"
Laki-laki bersurai putih itu mengangkat bahu. "Sure. Buat aku terkejut."
Aoi tersenyum lebar. Kemudian bergegas kembali ke dapur. Beberapa butir rambut airnya terbang tergeret di sekitar kepala.
"Kalian benar-benar teman baik, ya?" komentar Himiko. Kedua tangannya menumpu pipi.
"Kami kenal sejak TK," ucap Tenko. "Sepertinya itu sudah jelas."
Terdengar suara mengeong dari kolong meja. Tenko mengintip ke bawah. Seekor kucing tabby mengelus tubuhnya ke kaki Tenko.
"Oh, halo kucing kecil." Tenko mengangkat bola bulu itu. Memangkunya sebelum menggaruk si kucing di belakang telinga.
"Kenapa kau ada di bawah meja, uh—" Dia membaca nama di kalung. "Mochi?"
Si kucing tentu tidak menjawab. Malah mengeong dan mendengkur. Menggosokkan tubuhnya ke tangan Tenko.
Aku lebih cenderung ke dog person, pikir Tenko. Tapi kucing boleh juga.
Beberapa detik lewat dengan keheningan yang nyaman. Himiko sibuk menggambar. Licorice kini pindah ke pangkuan Dabi. Sementara Tenko sibuk mengelus Mochi. Kafe masih sepi. Sepertinya tempat seperti itu lebih sering ramai pada sore menjelang malam.
Pintu kafe terbuka lagi. Kepala Tenko terangkat. Dua remaja masuk. Yang perempuan berambut biru panjang. Mengingatkan Tenko akan foto Monika yang masih muda di album keluarga. Yang laki-laki berambut hitam. Tidak terlalu mencolok. Kontras dengan si gadis.
"Untung kita datang lebih awal," ucap yang laki-laki. Mereka duduk tidak jauh dari meja tiga bersaudara Smithborn.
"Coba kalau tidak, tempat ini pasti sudah dipakai!"
Huh, pelanggan setia, ya?
"Hehehe, Kogoro-chan, lihat itu!" Yang perempuan berucap. Tenko merasakan pandangan mereka ditujukan padanya.
"Mochi ternyata bisa menempel dengan orang lain! Shinsou-chan tidak absolut!"
"Hush! Hana, jangan menunjuk! Tidak sopan!"
Pembicaraan itu disela oleh Aoi. Menyapa dan melayani mereka. Sepertinya sudah familiar. 'Kogoro' dan 'Hana' bahkan tidak membuka menu untuk memesan.
Setelah Aoi pergi, kedua remaja itu kembali mengobrol. Topik normal. Tenko tidak terlalu mempedulikan mereka. Suara mereka samar-samar di tengah kerumunan.
Sampai—
"Menurutmu dia dapat informasi soal The Silent Hands itu?"
Tubuh Tenko menegang. Begitu juga Dabi dan Himiko. Mereka saling berpandangan. Wajah perlahan memucat.
Mereka bertiga melirik ke meja itu, tepat sampai bel di pintu berdenting lagi. Seseorang memasuki kafe. Berjalan ke meja tempat dua remaja itu duduk.
"Heya guys—"
Rambut merah yang familiar masuk ke jarak pandang Tenko.
Tepat saat mata merah dan emas saling terpaku.
"Tenko-san?"
"Dorothea?"
Dia tidak sangka akan bertemu lagi dengan Sang Mata secepat ini.
Semesta memang punya caranya sendiri untuk menyulam cerita.
***
.
.
.
Manuscript 6 :
CROSSPATH
The End
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
... berapa lama aku pergi?
Maaf sekali bagi pembaca setia yang masih mau membaca cerita recehku ini. Aku sangat sibuk dan punya terlalu banyak ide cerita baru termasuk satu fanfiction Bungou Stray Dogs. Aku sangat impulsif soal membuat book baru. Sekali lagi... aku minta maaf karena aku membuat kalian menunggu ( ToT). You guys are the best.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro