Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Manuscript 6 : Crosspath 2

Dorothea dan Tenko duduk bersebelahan di lorong rumah sakit. Tubuh mereka melemas setelah semua adrenalin dari peristiwa tadi memudar.

Sesekali, Tenko melirik Dorothea yang menunduk. Tatapan gadis itu kosong. Seakan tidak sepenuhnya berada di sana. Jujur agak membuat Tenko khawatir. Akan tetapi itu wajar. Dia pasti terguncang.

Beberapa detik berlalu. Dorothea tampak tersentak kecil. Kemudian dia menghembuskan napas. Tenko bisa mendengar bisikan kecil dari mulutnya.

"Terima kasih, Eins..."

Alis Tenko terangkat. "Teman hantumu mengatakan sesuatu?"

"Yeah, dia masuk tadi," gumam Dorothea lirih. "Um—Pro Hero itu selamat."

"Syukurlah...," ucap Tenko menghela napas.

"Permisi?"

Dua orang itu menoleh. Tampak seorang wanita berambut hitam dan berkacamata berdiri. Dorothea dan Tenko turut bangkit dari kursi secara refleks.

"I-itu," perempuan itu memulai. Suaranya bergetar. Dia menarik napas dalam-dalam.

"Terima kasih sudah menyelamatkan anak saya..."

Oh, pikir Tenko.

Oh.

***

Mrs. Iida berterima kasih berulang-ulang. Baru berhenti ketika ponsel Dorothea berdering. Itu pesan dari Ayahnya. Mrs. Iida memberikan ucapan terima kasih terakhir, sebelum dua orang itu berjalan keluar.

Dorothea tampak sedikit melamun. Tenko berjalan tidak jauh di sampingnya. Ketika hampir sampai pintu keluar—

Seseorang menabrak gadis itu.

Dorothea oleng. Untung saja Tenko dengan cepat menangkap dan menyeimbangkannya. Sehingga tidak jatuh.

"Ah! Maaf!"

Pria yang menabraknya berkacamata. Berambut hitam gelap dan menggunakan seragam... U.A.?

Alis Tenko menukik. Anak ini mirip seperti—

Ah. Keluarga Ingenium?

"Kau... Tenya?" tanya Dorothea. Nadanya ragu.

Anak di depannya tampak terkejut. "Maaf, siapa—?"

"Namaku Dorothea, murid U.A. juga. Dan ini Tenko, kami yang, uh—menemukan kakakmu—"

Mata anak berkacamata itu berkilat panik.

"Dia baik-baik saja," ucap Dorothea cepat. "Dia harus dioperasi, tetapi dia selamat."

Tenko melihat anak itu menjadi lebih tenang. Napas yang memburu menjadi teratur.

"Ibumu sudah di sana, sebaiknya kau juga segera," saran Tenko.

Tenya mengangguk. Tanpa sepatah kata apapun, dia segera berlari. Meninggalkan Dorothea dan Tenko di lorong.

Dorothea menghela napas berat. "Terima kasih," ucapnya sembari melirik ke anak yang lebih tua.

Tenko mengangguk dan melepas pegangannya dari bahu Dorothea. Tepat saat itu, dia melihat wajah familiar di balik pintu kaca. Akira Takeshita-Tuning baru keluar dari taksi.

Dorothea langsung menghambur ke pelukan Ayahnya.

Tenko mengikuti dari belakang. Berjalan mendekati duo ayah-anak itu dengan langkah pelan.

"Anda Akira Tuning?" tanya Tenko.

Mata emas yang kembar dengan mata Dorothea menatapnya. Pria itu mengangguk. "Dan kau...?"

"Tenko Smithborn," ucapnya sembari mengulurkan tangan. Akira menjabatnya.

"Smithborn?" gumamnya. "Aku tidak tahu Nikky—"

"Oh, aku diadopsi," sela Tenko sembari tersenyum. Akira ber-'oh' paham.

"Terima kasih sudah menemani, Dorothea, Tenko-kun."

"Bukan masalah," katanya sembari mengibaskan tangan. "Akan tetapi, ada baiknya kalian kembali. Peristiwa tadi—"

Kepala Dorothea terangkat dari dada Akira. Menatap dengan terbelalak ke Tenko. Lalu ke Ayahnya.

"T-tapi fashion show-nya—"

"Tidak, Tenko-kun benar," gumam Akira. Dia mengelus rambut Dorothea dengan sayang.

"Sebaiknya kita pulang sekarang, dear. Itu yang terbaik."

Dorothea menggigit bibir. Tampak ragu ketika lepas dari pelukan Akira. Namun, pada akhirnya, dia mengangguk.

"Oh, satu hal lagi!" seru Tenko. Dia melirik ke anak berambut merah itu. "Boleh aku pinjam ponselmu, Dorothea?"

Gadis itu tampak bingung. Namun tetap mengulurkan ponselnya. Tenko mengambilnya. Lalu mengetikkan nomor di kontak Dorothea.

"Here," ucapnya setelah Dorothea menerima benda itu kembali.

"Jangan ragu untuk menghubungiku, Dorothea."

***

"Uhh... bagaimana kalau Countess?"

"Kau benar-benar senang dengan vampire aesthetic itu, huh?"

Suara Himiko dan Dabi yang berdiskusi terdengar jauh di telinga Tenko. Tubuhnya lemas di atas loveseat. Masih memikirkan kejadian tadi. Dan juga soal Dorothea.

Akira berbaik hati memesankannya taksi. Sampai di The Hourglass, dia langsung diterjang oleh dua saudaranya. Mereka memeluknya dan memastikan dia baik-baik saja. Kemudian menyeretnya ke ruang tengah.

Pada awalnya, mereka menanyai soal insiden Ingenium tadi. Kemudian, pembicaraan beralih ke Dorothea, soal Mata dan Serathephim. Himiko dan Dabi tampak sangat terkejut. Wajar. Bagi mereka, Serathephim mungkin setara dengan legenda.

"—ko! Tenko!"

Anak itu terlonjak dari lamunan. Tidak sadar sedari tadi sang kakak memanggilnya. Dabi yang tidur terlentang di sofa memandangnya aneh.

"Huh?"

"Astaga, Ten, kamu kenapa?" tanya Dabi sembari menggeleng. "Tubuhmu di sini, tapi jiwamu sepertinya tidak."

"Uh-huh!" Toga mengangguk setuju. Gadis itu duduk di lantai. Tangan di atas coffee table. Mencorat-coret bukunya yang penuh tulisan kecil.

"Aku masih butuh saranmu!"

"Saran? Untuk apa?"

"Codename! Sebentar lagi inisiasiku ingat? Aku ingin punya codename yang bagus, seperti milikmu dan Dabi-nii!"

"Uh, entahlah," gumam Tenko menggaruk leher. "Dulu 'Ashmaker' saran dari Kaa-san."

"Tapi kau yang memberiku ide untuk 'Pyre'," imbuh Dabi. Tangannya terkibas. Gelang pengendali quirk berkilau di bawah lampu.

"Kalau tidak aku mungkin akan memakai nama yang generik. Seperti 'Bluefire' atau 'Blueflame'."

"Hmm," Tenko berdehum. Menggaruk kepala sembari berpikir.

"Bagaimana kalau 'Painter'? Kau pandai melukis."

Mulut Himiko mengerucut. Kepala dijatuhkan ke coffe table.

"Tidak buruk, sih," gumamnya.

"Tapi aku mau nama yang sesuai dengan quirk-ku. Seperti kalian!"

"Bloody Painter," saran Dabi. Hidung Himiko terangkat.

"Itu seperti judul creepypasta. Atau nama pembunuh berantai, tidak mau."

Dabi tertawa. Himiko menjulurkan lidah ke anak yang paling tua itu. Tenko masih berpikir.

Berhubungan dengan quirk ya?

Bagaimana kalau kita tidak fokus ke bagian 'darah'-nya.

"Masquerade."

Himiko dan Dabi menoleh. Tenko tersenyum.

"Kau berubah seperti memakai 'topeng' orang lain, pura-pura menjadi mereka, kan?"

Mata Himiko berbinar. Dia sontak berdiri. Lalu memeluk Tenko dengan bersemangat.

"Yes! Masquerade! Itu sempurna, Tenko-nii! Terima kasih!"

Tenko tertawa. Himiko melepaskan pelukannya. Kembali duduk di lantai dan menuliskan nama itu ke bukunya. Dabi tersenyum kecil.

"Nah, sekarang, giliranmu."

Tenko melirik ke Dabi dengan bingung. Kakaknya mendengus. Lalu bangkit dari posisi tidurannya ke posisi duduk.

"Kau kelihatan linglung sedari tadi Ten, dan aku yakin itu bukan soal si Pahlawan," ucap Dabi.

"Kau biasa melihat jauh lebih buruk daripada darah atau luka tusuk."

Tenko meringis. Pernyataan Dabi ada benarnya.

"Jadi, ada apa? Spill."

"A penny for your thoughts, Tenko-nii!" tambah Toga. Kemudian berdehum. "Atau yen, karena kita di Jepang."

Tenko terkikik kecil. Kemudian menggaruk rambut yang tidak gatal.

"Yah... ini soal Dorothea."

"Eh, kenapa?" tanya Dabi. "Kau tadi bilang dia baik-baik saja."

"Ya, hanya saja—" suara Tenko tercekat.

"Rasanya kasihan. Di antara seluruh orang di dunia, kenapa harus dia?"

Ya kenapa harus dia.

Kenapa tidak salah satu The Children?

Kenapa tidak orang-orang yang sudah tahu soal ancaman itu?

"Dia anak yang baik," bisik Tenko. "Rasanya kasihan melihat dia terlibat dengan hal buruk semacam ini."

Diam sebentar. Tenko menunduk. Menarik-narik sarung tangan yang melapisi jari manis dan kelingkingnya. Pada akhirnya, Dabi bicara.

"Yah, begitulah," desahnya.

"Bahkan jika kau orang paling baik sedunia, tidak ada garansi hidup tidak akan memberikanmu hal buruk besok."

Mata biru melirik ke Tenko. Lembut dan nostalgik.

"Kita sepertinya tahu pasti soal itu."

Benar.

Saat itu mereka hanya anak-anak. Kesalahan apapun yang mereka lakukan merupakan ketidaksengajaan.

Mulai dari quirk yang tidak bisa dikontrol dan lahir dari keluarga yang abusif. Itu semua bukan salah mereka. Mereka tidak bisa mengatur itu. Akan tetapi, itu yang mereka dapatkan.

Hidup itu tidak adil.

"Bad things happen, Tenko."

Komentar Dabi itu agak menyakitkan. Memang tidak kejam. Tidak dingin juga. Dan Dabi tidak membentak atau mengejek. Dia hanya mengatakan hal itu secara datar. Sebuah pernyataan.

Sebuah fakta.

Hal buruk terjadi.

Pada siapapun dan dimanapun. Tidak pandang bulu.

Dan mereka tidak bisa menghentikan semuanya.

Tenko menghembuskan napas berat. "Kau benar..."

Diam lagi. Tenko menunduk. Dabi kelihatan agak sedih juga. Himiko memandang kakak-kakaknya dengan heran.

"Oh ayolah! Kalian murung sekali!"

Perempuan dengan quirk darah itu menggebrak meja. Membuat dua saudaranya terlonjak kaget.

"Well, aku tahu kita semua punya backstory yang menyedihkan. Tapi tanpa itu? Kita tidak akan ada di sini sama-sama, kan?"

Himiko menunduk. Tangannya terkepal di meja. "Aku tahu hidup itu kejam dan tidak adil, tetapi—"

"Kalau ada satu hal yang bisa aku syukuri, itu bertemu dengan kalian dan Kaa-san."

Tenko mengeluarkan 'aww' kecil dari mulutnya. Sementara itu, Dabi terkekeh.

"Itu manis sekali aku merasa gigiku akan keropos."

"Dabi-nii! Kau merusak momen!"

Mereka bertiga tertawa bersama setelah itu. Rasanya senang menjadi sedikit lebih optimis.

Ya, sekejam apapun takdir.

Mereka tidak akan ada di sini tanpa masa lalu mereka.

Setidaknya mereka punya satu sama lain.

"Oh, ngomong-ngomong, Kaa-san mengijinkan kita pergi ke Musutafu besok," celetuk Himiko.

"Musutafu?" Tenko mengangkat alis. "Untuk apa?"

"Ada mantan hunter di sana, dari Order of Artificer!" seru Himiko bersemangat. "Kaa-san bilang, dia bisa membuatkanku pisau custom!"

"Bukankah kau sudah punya banyak?"

"Tidak ada yang namanya terlalu banyak pisau, Dabi-nii."

"Lagipula kenapa kami harus ikut?"

"Aww, kau tidak mau menemani adikmu yang manis ini??"

"Heh, siapa bilang kau manis?"

"Eeh?! Dabi-nii kejam!"

Himiko menerjang dan menggelitiki sang kakak yang menggeliat di sofa. Dabi tertawa keras. Sepertinya sama sekali tidak menyesal menggodai adik perempuannya itu.

Tenko menggeleng-geleng melihat pertengkaran kecil mereka. Kemudian dia teringat.

Musutafu, ya?

"Sepertinya pergi ke sana ide bagus," gumam Tenko.

"Aku juga sudah lama tidak bertemu Aoi. Kudengar dia membuka kafe."

***
.
.
.
.
.
.
.

A. N. :
Maaf akhir-akhir ini aku bakal jarang update cepat. Minggu depan aku ujian. Terima kasih atas pengertiannya. Kritik dan saran diterima.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro