Manuscript 6 : Crosspath 1
Anak bermata emas itu duduk di dapur mereka. Berbicara dengan suara kecil dan lembut. Tenko bisa mendengarnya mengobrol dengan Nikky selagi dia menyeduh teh.
Dia menaruh tiga cangkir ke atas meja, lalu duduk di samping Ibunya. Nikky tersentak.
"Oh, benar," gumamnya. "Tenko, kau ingat temanku yang dulu di London?"
"Avery Tuning?"
"Ya, ini putrinya, Dorothea Tuning."
Gadis berambut merah itu menunduk sedikit. Tampak ragu. Sepertinya bukan orang yang terlalu sosial. "Eh, salam kenal."
Tenko tersenyum kecil. Gadis ini mengingatkannya pada diri sendiri sewaktu kecil.
"Tenko Smithborn. Salam kenal, Dorothea."
"Jadi, apa yang membawamu ke sini, kit?" tanya Nikky.
"Oh, aku hanya ingin mengobrol dengan teman dari Mom! Dan—"
Dorothea menelan ludah. Dia dengan hati-hati mengeluarkan foto sebuah. Tenko bisa melihat wajah Nikky yang masih muda di sana.
Yang disebut menyambar foto itu. Tampak terkejut. Matanya melebar.
"Darimana kau mendapat foto ini?"
Dorothea mengerjapkan mata. "Eh—uh, dari sebuah buku? Buku yang sangat aneh, sebenarnya. Buku itu berisikan sesuatu yang disebut—"
"The Silent Hands?"
Kini Tenko ikut terlonjak. Mata merah mengerling kaget.
Organisasi yang membelot dari The Children? Bukannya mereka sudah habis? Itu salah satu alasan The Children bubar, kan?
Dorothea tampak sama terkejutnya.
"Smithborn-san, apa kau tahu sesuatu soal ini?"
Nikky tampak menimbang-nimbang sesuatu. Dia melirik antara Dorothea dan foto itu. Lalu menghembuskan napas berat.
"Pertama, tolong panggil aku Nikky," katanya. "Yang kedua, aku harus membalik pertanyaanmu."
"Apa kau tahu sesuatu soal ini?"
Suara ibunya tegas. Meminta jawaban yang jelas. Tenko menatap dua perempuan bolak-balik.
"Tidak banyak," jawab Dorothea. "Separuh dari buku itu rusak, jadi—"
"Oke, dimana kau menemukan buku itu?" sela Nikky.
"Uh, di toko barang antik di Musutafu—"
"Huh, dan bagaimana kau bisa membaca kodenya?"
Woah, ini seperti interogasi.
"Eh, uh, quirk temanku—"
"Oh! Tentu saja itu quirk!" geram Nikky. Dia berdiri. Kursinya terdorong ke belakang. Mengagetkan Dorothea.
Wanita itu bergerak mondar-mandir di dapur. Ekspresinya bingung. Tangan Nikky memainkan ujung rambutnya yang hitam panjang. Mulut bergumam dengan sangat cepat. Tenko mendesah. Tahu benar sifat Ibunya itu.
"—Aku tahu aku seharusnya memperhatikan kemana buku-buku itu pergi—"
"Uh? Nikky-san?" Dorothea mencoba menyela.
"—dan astaga bagaimana bisa aku tidak berpikir bahwa ada quirk yang dapat membaca kode itu oh Tuhan—"
"Nikky-san?"
"—betapa cerobohnya aku! Mungkin semua ini sudah terbocor kemana-mana dan—"
"NIKKY-SAN!"
Nikky dan Tenko tersentak. Keduanya memandang Dorothea dengan mata membulat. Gadis berambut merah itu berjengit.
"Eh, soal itu, uhm—" Dorothea meneguk ludah. "Yang tahu soal The Silent Hands ini hanya aku dan tiga orang teman. Aku yakin tidak ada dari kami yang membocorkannya..."
Ekspresi Nikky melembut. Di kembali duduk dan menghela napas pelan.
"Oh, kit, aku percaya padamu soal itu," ucapnya. Kemudian matanya menyipit menatap Dorothea.
"Tetapi, apa yang membuatmu mencari buku itu dari awal?"
"Ya, apa kau mencarinya secara spesifik?" tanya Tenko. Yang akhirnya angkat bicara.
Dorothea mengerjapkan matanya. Menggaruk lehernya dengan canggung. Lebih tertarik pada bayangan di cangkir teh daripada wajah dua Smithborn di depannya.
"Uh, sebenarnya bukan aku yang mencari. Temanku menemukan buku itu setelah—um—"
Tenko memandang gadis itu menggeliat tidak nyaman. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Sesuatu yang cukup buruk untuk membuatnya tidak mau bicara.
"Uh—setelah—um, seseorang mencoba menculikku...?"
"Tunggu," sela Tenko. "Kau hampir diculik??"
Dorothea mengangguk. Lalu melanjutkan. "Dan dia punya belati yang mirip dengan yang ada di buku. Dan tato yang sama juga."
"Coba kutebak," bisik Nikky. Bunyi dentingan terdengar ketika dia menaruh cangkir di atas piring alas. "Tato itu ada di pergelangan tangan?"
Gadis yang duduk di depan mereka mengangguk kecil. Nikky menghela napas. Tangannya mengurut kening.
"Dorothea," bisiknya pelan.
"Pernahkah kau berpikir bahwa ada hal lain di dunia ini yang sangat... aneh? Lebih aneh daripada quirk dan semua hal yang dibawanya?"
Tenko melirik ke Nikky. Matanya membulat tidak percaya.
Tunggu, kita akan memberitahu—
"Sesuatu yang gelap, sesuatu yang bukan dari dunia ini. Mereka yang diam di balik ruang hampa di antara dimensi. Menunggu untuk dibangunkan?"
Tenko menoleh ke Dorothea. Gadis malang itu tampak bingung. Dia menggigit bibir.
"Uh, maksudmu seperti... alien? Atau semacamnya?"
Dia mendengar Ibunya menghela napas lagi. Nikky menggeleng. "Bukan, bukan alien."
Mata hijau biru menatap tajam.
"Demon."
***
Nikky menjelaskan semuanya. Dan Tenko duduk diam di samping wanita itu. Tidak menyela sama sekali.
Cerita ini sama seperti yang diketahui semua anggota The Children. Pemberontakan The Silent Hands tersebar seperti legenda. Dan terus diulang sampai sekarang.
Semacam cautionary tale.
Netra merah mengamati ekspresi Dorothea yang berubah-ubah. Kebanyakan antara bingung dan terkejut. Atau sesuatu diantaranya.
Dorothea menerima semua ini cukup baik. Yang agak mengherankan, mengingat tanpa bukti, biasanya orang tidak akan percaya pada kisah aneh seperti ini. Dan itu membuat Tenko heran.
Apa gadis ini sudah melihat hal yang lebih aneh?
Pembicaraan terus berjalan. Sesekali Dorothea menyela dengan pertanyaan dari suara yang bergetar. Nikky menjawabnya dengan tenang dan runtut. Sejauh ini, damai.
Sampai Nikky menceritakan soal Serathephim.
Sampai dia tahu soal Sang Mata.
Gadis itu tampak terguncang.
Nikky menarik napas. Tenko melirik bingung.
"Dorothea, dengarkan dulu—"
"Oh, astaga," napas gadis itu memburu. "Kau tahu...?"
Tahu? Tahu apa?
Diam sebentar.
Tenko menoleh ke Nikky. Ibunya terlihat... ragu.
"Ya, Ibumu memberitahuku. Tapi kau harus dengar—"
Terlambat.
Dorothea terlanjur berlari keluar.
Tenko mengerjap. Nikky melemas di kursinya. Mengusap dua mata yang lelah.
"That could've been better."
"Kaa-san," bisik Tenko. "Apa yang terjadi? Siapa dia sebenarnya?"
Nikky memandang putranya. Lalu menghembuskan napas. "Apa tebakanmu, little one?"
Tenko berdehum. Telunjuk menyentuh bibirnya.
The Silent Hands ingin menculiknya. Dan dia tampak kaget ketika membahas—
"Sang Mata."
Tenko terbelalak. Dia menatap Ibunya. "Dia adalah Sang Mata."
Nikky mendesah. Mengangguk mengiyakan. "Itu sebabnya aku dan Avery putus kontak. Avery ingin melindungi Dorothea." Ibunya mengurut kening.
"Dan sekarang dia sudah tiada."
Suara Nikky terdengar lemah dan sedih. Sangat tidak seperti biasa.
"The Silent Hands—yang tersisa dari mereka—kembali bergerak."
Tenko terkesiap. Kemudian bangkit dari kursinya. Nikky memandangnya heran.
"Aku akan kejar Dorothea," ucapnya pelan. "Dia hampir diculik, sebaiknya ada yang mengawasi."
Nikky hanya mengangguk lemah. Tersenyum kecil ke Tenko yang berlari keluar. Dia menunduk. Menatap dua cangkir teh yang sama sekali tidak tersentuh.
Wanita itu mendesah. Menghabiskan tehnya sendiri di dapur yang sepi. Tangan memilin surai hitam.
"Godspeed, little one."
***
Tenko melihat Dorothea dibalik kaca kafe Yukimura's. Tampak memegangi mug cokelat panas dan—
Berbicara dengan dirinya sendiri.
Bukan, ralat Tenko dalam hati. Berbicara pada—hantu.
Rasanya masih aneh mengatakan itu. Bahkan secara non-verbal.
Pria itu masuk ke Yukimura's. Bel berdenting ketika dia membuka pintu. Dia menghampiri Dorothea yang duduk di sudut kafe sepi. Setelah diperhatikan, anak itu menggunakan syalnya untuk menutupi mulut saat berbisik.
Huh, itu ide yang bagus.
"Halo, Dorothea?"
Gadis itu terlonjak. Tidak menyadari Tenko ada di depannya. Itu membuat Tenko merasa agak bersalah.
"Ah, Smithborn-san! Uh, apa kau mau duduk...?"
Tenko tertawa kecil. Dia duduk di depan gadis itu.
"Terima kasih. Oh, dan tolong panggil aku Tenko. Ada empat Smithborn di Hosu. Pasti akan membingungkan."
Alis Dorothea menukik. "Empat?"
"Aku punya seorang kakak laki-laki. Dan adik perempuan," ucapnya sembari tersenyum. "Mereka diadopsi oleh Nikky juga."
"Oh," gumam Dorothea. Dia menunduk. Memainkan jarinya.
"Apa kalian semua tahu soal—ini, semuanya?"
"Ya," ucap Tenko. Menggaruk rambut putih yang tidak gatal.
"Nikky yang memberitahumu?"
"Ini akan terdengar gila, tapi—" Tenko tertawa kecil. "Ada demon masuk ke rumah kami."
"Huh?"
Kepala Dorothea mendongak. Akhirnya menatap mata merah Tenko. Ada air muka penasaran. Tenko tersenyum. Bibirnya yang kering mulai terbuka.
"Umurku 10 tahun waktu itu—"
Dan dia mulai bercerita.
Dia pikir, dengan semua cerita Nikky tadi, Dorothea sudah bosan.
Ternyata dia masih mau mendengar dengan seksama. Melahap kata-kata Tenko dengan pandangan ingin tahu.
"Woah," bisik Dorothea di akhir cerita. "Jadi kau juga—anggota The Children ini?"
"Yep, begitu juga kakakku. Dan adikku akan ikut inisiasinya tahun ini," ucap Tenko. Tidak bisa menahan rasa bangga di hati.
"Bukankah The Children harusnya... bubar?"
"Hanya di kertas, Dorothea," ucapnya. "Selagi ancaman masih ada. Kami akan masih ada."
Dorothea mengangguk. Iris emas bergulir. Berpaling dari Tenko.
"Maaf aku tiba-tiba pergi tadi, aku hanya—"
Gadis itu tercekat. Tidak tahu kata apa yang harus dia pilih. Tenko menggeleng. Tangannya yang bersarung artist glove terulur melintas di meja. Menepuk pundak Dorothea.
"Kau tidak harus meminta maaf. Aku mengerti."
Mata emas melembut. Pundak gadis itu melemas lega. Tenko melepaskan tangannya. Tersenyum lagi.
"Tidak seperti aku dan saudara-saudaraku, kau tidak memilih berada di posisi ini. Wajar jika kau bertindak begitu."
Dorothea menggigit bibir. Kemudian tertawa kecil.
"Kau dan Eins ternyata mirip ya?"
"Eins?" tanya Tenko sembari mengangkat alis.
Dorothea tersentak. "Err, dia—eh—teman hantuku."
"Oh?" gumam Tenko. "Dia di sini?"
"Yeah, dia selalu melayang di dekatku sebenarnya," ucapnya. Kemudian tertawa kecil. "Dia sangat pengertian sepertimu, Tenko-san. Dia bahkan punya rambut putih juga!"
Tenko ikut terkikik. Dia memainkan ujung surai putih sebahunya. "Eins tidak terdengar seperti nama Jepang."
"Err, dia tidak mau memberitahuku nama aslinya. Jadi aku memanggilnya Eins."
Tenko tersenyum. Sepertinya gadis ini sudah mulai lebih rileks dan terbuka.
"Well, itu nama yang bagus."
***
"Jadi Ayahmu masih kerja?"
"Uh-huh, aku berniat untuk berkeliling dulu."
"Oh? Tidak keberatan aku ikut?"
"Well, kau bisa jadi tour guide gratis."
Tenko tertawa. Mereka berdua berjalan di area Hosu yang lumayan padat. Mungkin tidak seramai area lain. Namun mereka tetap harus berzig-zag melewati kerumunan.
"Aku masih tidak percaya Ayahmu Takeshita Akira, dia seperti—kalau Da Vinci memutuskan membuat baju," canda Tenko.
Tidak ada jawaban.
Tenko berbalik. "Dorothea—?"
Dia tidak ada di sana.
"Shit," rutuk Tenko. Dia melihat ke sekitar. Mencari rambut merah dengan gagak hitam.
"Dorothea?!"
Dia mulai berjalan kembali ke arah Yukimura's. Mungkin gadis itu tanpa sengaja kehilangan jejaknya dan terpisah di kerumunan.
Kemana anak itu??
Tenko terus berjalan. Mata menerawang ke sekeliling. Kemudian menyerukan nama yang sama kembali.
"Dorothea?!"
Dan dia mendengar seseorang menjerit balik.
Dari sebuah gang.
Tenko langsung berlari ke sana dengan tergopoh-gopoh.
"Dorothea, apa yang—?!"
Dorothea tampak berlutut. Ada tubuh tergeletak di sana. Tampak memakai baju zirah.
Tenko tercekat.
Itu Ingenium.
Dan dia dikelilingi darahnya sendiri.
Dorothea menoleh. Mata emas melebar. Ketakutan.
"Tenko—! Aku sudah memanggil ambulan—tapi—"
Tenko berlari. Ikut berlutut di samping gadis itu. Mengecek nadi si Pahlawan.
Berdetak.
Untunglah.
"Oke, dia hidup. Kita harus tahan lukanya—"
Dia berdoa ambulan segera datang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro