Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Manuscript 5 : Disparity

This is a mistake.

Itulah hal yang menggema dalam kepala Dorothea berulang-ulang.

This is a horrible mistake.

Prodi Pahlawan.

Dia sungguh-sungguh diterima di Prodi Pahlawan.

Dorothea serasa ingin menjerit.

Dan itu bukan karena senang.

Dia merutuk setan apa yang merasukinya hari itu. Yang berbisik kepada otaknya 'Hei! Setidaknya kau coba dulu. Anggap saja penghormatan terakhir untuk status Mom. Toh, kau tidak pasti diterima!"

Oh you sweet summer child.

Pada akhirnya, dia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri. Dia berpikir ujian praktikal akan cukup untuk menendangnya keluar dan masuk ke Prodi Umum. Nyatanya tidak.

Mengalahkan robot di ujian masuk sangat mudah dengan quirknya.

Ketika robot-robot itu mendekatinya, dia panik dan langsung mengikat mereka dengan benang. Lalu berlari. Dia tidak tahu kalau melumpuhkan robot-robot itu dihitung poin.

Dan... yah.

Sialan, pokoknya.

Dorothea hanya bisa membungkam jeritan frustasi di bantalnya.

***

Hari pertama masuk. Dan hantu di kereta sudah membuat mood-nya jauh lebih buruk.

Gedung U.A. tampak besar, dingin, dan mengintimidasi. Rasanya dia ingin pindah sekolah saja. Tetapi, dia tidak ingin merepotkan sang Ayah. Pindah kemari sudah membuat mereka sibuk.

Dia tidak mau menjadi beban.

Dorothea menarik napas dalam-dalam. Mungkin ini tidak terlalu buruk. Walaupun dia sekarang merasa super duper hipokrit.

There is no turning back now.

Dan dia melangkah ke kelas 1-A.

***

Wali Kelasnya adalah kepompong warna kuning.

Dan si kepompong—Aizawa Shouta—memutuskan bahwa orientasi terbaik adalah dengan pengecekan quirk.

Plus, siapapun yang skornya paling rendah akan dikeluarkan.

Mata emas berbinar bahagia mendengar itu.

Yang pertama kali mereka lakukan adalah melempar bola. Mereka diperbolehkan menggunakan quirk. Anak yang pertama meledakkan bola itu ke ujung lapangan, mendapat 705,2. Bahkan ada anak yang mendapat tak terhingga.

Dorothea tadinya enggan menggunakan quirk. Akan tetapi, dia tidak mau membuat gurunya curiga. Jadi, dia mengikatkan benangnya ke bola itu. Lalu melempar. Mengendalikannya agar tidak jatuh ke tanah.

Dia menjatuhkannya di 705,1.

Kemudian beringsut mundur. Sebenarnya, dia bisa mengedalikan bola itu lebih jauh. Namun, dia tidak peduli.

Setidaknya, tes yang lain lebih mudah dimanipulasi.

***

Dorothea jatuh di peringkat terakhir.

Mukanya datar.

Namun, dalam hati dia bersorak.

"Ngomong-ngomong, soal pengeluaran itu hanya bohongan."

Murid-murid terkesiap. Dan muka Dorothea jatuh. Mungkin yang lainnya merasa dia sangat beruntung.

Tidak dengan Dorothea sendiri.

Aizawa membubarkan mereka. Namun, Dorothea baru akan melangkah pergi ketika—

"Dorothea, kau tetap tinggal."

Gadis itu menghembuskan napas berat. Apalagi sekarang?

"Dorothea Tuning," ucap Aizawa. Suaranya berat dan serak. Cukup untuk membuat bulu kuduk meremang. Seperti diinterogasi.

"Kau bukan gadis yang lemah," katanya. Mata hitam menatap tajam.

"Kau menahan diri. Kenapa?"

Dorothea membisu. Kata-kata berkecamuk dalam otak. Akan tetapi, dia tidak bisa bicara. Tenggorokannya seperti tersumbat.

"Jika kau tidak mengatakan apapun. Kau akan dikeluarkan sungguhan—"

"Mungkin itu yang aku mau."

Aizawa mengangkat alis. Dorothea tetap menunduk. Menolak menatap sang guru. Dia seharusnya menggigit lidahnya.

"Mungkin aku tidak mau menjadi Pahlawan."

Kali ini, sang guru kelihatan sedikit marah. Matanya sekejap berkilat merah.

"Lalu kenapa mengambil tes Prodi Pah—"

"Aku tidak tahu!"

Kepala Dorothea terangkat. Matanya berkaca-kaca. "Aku tidak tahu, Sensei. Itu mungkin kebodohan—tidak, itu jelas kebodohan."

Dia membenamkan wajah di tangannya.

"Aku seharusnya tidak di sini..."

Wajah sang guru melembut. Mungkin iba melihat muridnya hampir menangis.

"Apa masalahmu dengan Pahlawan, nak?" tanya Aizawa. Kali ini lebih pelan.

Dorothea menjawabnya dengan tawa sumbang.

"Tidak, tidak ada," bisiknya. Tersenyum kecut. "Aku munafik kalau aku berkata aku benci Pahlawan."

Aizawa terdiam. Menunggunya melanjutkan. Dorothea mendengus.

"Ibuku Pahlawan, meninggal dalam tugas."

Pro Hero itu terlonjak.

"Nak, maafkan aku—"

"Dan kau tahu apa, Sensei?" sela-nya. "Pro Hero lain ada di sana. Mereka kabur seperti pengecut."

Dorothea kembali menunduk. "Pahlawan juga manusia, sensei. Begitu juga dengan Penjahat. Punya baik dan buruk.  Bagaimana kalau—"

"Bagaimana kalau aku menjadi yang buruk? Bagaimana kalau aku tidak bisa memutuskan? Bagaimana kalau aku merasa seorang Penjahat pantas diselamatkan?"

Gadis itu menggigit bibir. Menahan suaranya yang bergetar. "Pola pikirku ini kelemahan, Sensei. Bagaimana jika—"

Tangan mencengkeram bahunya. Membuat Dorothea berhenti di tengah kalimat. Mengangkat kepala. Mata emas bersirobok dengan hitam.

"Itu bukan kelemahan, nak," ucap Aizawa. "Jangan bilang dirimu lemah karena kau punya empati."

Pro Hero itu melepaskan cengkeramannya. Lalu berjalan menjauh.

"Dengan pola pikir abu-abumu, kau bisa menjadi Pahlawan yang hebat."

Dorothea tidak tahu.

Pujian Aizawa Shouta itu sesuatu yang langka.

***

Di perjalanan pulang, orang gila mengejarnya dengan belati.

Dia berhasil mengikatnya ke tiang lampu terdekat.

Benar-benar hari buruk.

Akira tahu. Dia mengijinkan putrinya tidak masuk untuk satu hari. Dia melewatkan latihan Kepahlawanan.

Dorothea tidak tahu apa dia harus peduli.

***

Banyak sekali reporter di depan sekolah. Mereka bertanya soal All Might. Dorothea berpura-pura tidak fasih bahasa Jepang dan segera berlalu.

Hari itu mereka memilih ketua kelas. Dorothea tidak yakin siapa yang harus dia pilih. Yang jelas, dia tidak mau memilih dirinya sendiri.

Siapa anak berambut hijau itu—Midoriya Izuku?

Saat tes quirk, dia menunjukkan determinasi.

Dorothea memberikan suara padanya.

***

Makan siang bergulir. Dia kesulitan mencari tempat duduk. Tampak anak berambut ungu di sana. Dorothea mengingatnya.

Dia juga ada di ujian masuk.

"Boleh aku duduk di sini?" tanya Dorothea.

Mata ungu menyipit. "Aku tidak di sini untuk berteman."

Well too bad Mr. Grumpy Pants. Aku tidak melihat tempat lain kosong.

Dorothea duduk di depannya dengan keras kepala. "Jadi... aku melihatmu di ujian masuk—"

"Quirk-ku tidak berguna ke robot."

Alis merah naik. "Oh?"

Anak di depannya diam. Kemudian mendesah.

"Brainwashing."

"Huh, cool."

"Ya, silahkan ejek—tunggu? Apa?"

"Itu quirk yang keren," puji Dorothea. "Kau bisa membuat kriminal berjalan langsung ke penjara, dude. Kau bisa menyelesaikan masalah tanpa korban!"

Bocah ungu terperangah. "Kau tidak takut?"

"Takut apa?"

"Aku bisa mencuci otakmu...?"

"Apa kau mau melakukan itu?"

"Hah? Tentu tidak!"

"Jadi kenapa aku harus takut?"

Netra emas dan violet bertatapan. Terkunci selama beberapa saat. Muka keduanya datar.

Akhirnya, bocah ungu mengulurkan tangan.

"Shinsou Hitoshi."

Si gadis menjabatnya.

"Dorothea Tuning."

***

Iida menggantikan Midoriya menjadi ketua kelas.

Melihat aksinya tadi saat makan siang, Dorothea pikir itu ide yang bagus.

***

Trip ke USJ gagal.

Gagal dalam artian mereka diserang oleh organisasi teroris.

Dorothea terlempar ke Zona Kebakaran. Kepalanya pening saat terjatuh.

"Di belakangmu!"

Gadis itu menghindar. Sebuah puing terlempar di udara. Tepat disamping kepalanya. Tangan gadis itu terulur. Benang menjuntai. Mengikat Penjahat yang melempar.

Dia mendengus lega. Hendak berpaling kepada penolongnya.

"Terima ka—"

Penolongnya transparan.

Dan melayang.

"Kau bisa melihatku?"

Dorothea mengangguk. Hantu berambut putih tampak heran.

Terdengar langkah kaki. Dorothea menggigit bibir ragu. Mata emas melirik si hantu.

"Bisa kau membantuku keluar dari sini?"

Untungnya, hantu itu setuju.

***

Diperjalanan, mereka bertemu dengan Ojiro Mashirao. Mereka berdua memukul mundur Penjahat bersama.

Lebih tepatnya, Ojiro memukul mereka. Dorothea lebih condong ke mengikat dan melempar.

Si Rambut Putih turut membantu. Memberi Dorothea peringatan dan mencarikan jalan.

Mereka bekerja cukup baik.

***

Mereka diberikan hari libur.

Syukurlah. Karena jika tidak, Dorothea akan menggambari karton dan protes di depan ruang guru.

Gadis itu memutuskan pergi ke kafe kucing yang baru dibuka.

Espurresso.

Cheesy name. But cute.

Dia membuka pintu masuk. Si Rambut Putih dari USJ masih mengikutinya.

Manik emas menangkap rambut ungu yang familiar.

"Shinsou!"

Dan dia tidak sendirian. Tampak laki-laki berambut hitam dan gadis berkacamata berambut biru.

Dorothea menghampiri meja mereka.

"Kau bilang kau tidak mau berteman?"

Shinsou merutuk. Kedua temannya tertawa. Mereka berkenalan.

Tanaka Kogoro dan Hikaru Hana.

Mereka sepertinya anak-anak yang keren.

***

Dorothea meninggalkan ponselnya di kafe.

Dan itu menyelamatkannya dari orang gila berbelati.

***

"Kau bisa menggantikanku di Prodi Pahlawan, Shinsou."

"Huh, kenapa?"

"Kau lebih cocok daripada aku. Kau membuktikannya hari ini. Kau menyelamatkanku."

"Bagaimana kalau aku menyusulmu, tidak menggantikanmu?"

"Eh? Maksudmu?"

"Ayo jadi Pahlawan bersama-sama, Dorothea."

***

Aizawa terluka cukup parah setelah Insiden USJ.

Akan tetapi, wali kelas mereka itu tetap datang ke sekolah. Terbalut perban layaknya mumi.

"Keras kepala."

Dan, yah, Rambut Putih kini menjadi temannya. Siapa yang tahu, hantu itu ternyata bisa ramah sepertinya.

Eins, itu nama yang diberikan Dorothea untuknya.

Mungkin suatu saat nanti dia akan tahu nama aslinya.

Aizawa mengatakan sesuatu soal Festival Olahraga. Yang lainnya bersorak.

Dorothea menahan diri untuk tidak mengerang dan membanting kepalanya ke meja.

***

Kelas 1-A dikerubungi banyak murid sepulang sekolah.

Dan Shinsou mendeklarasikan perang.

Sesudah semua keributan itu selesai. Dorothea menyeretnya pergi.

Mereka sudah berjanji akan bertemu Tanaka. Dia menemukan sesuatu soal penyerang Dorothea.

"Apa yang kau pikirkan?" desis Dorothea.

Shinsou membuang muka. "Aku berjanji akan menyusulmu, kan? Festival Olahraga akan jadi kesempatan besar."

"Tapi haruskah kau mendeklarasikannya seperti itu? Dasar ratu drama!" balas Dorothea.

Shinsou hanya tertawa.

***

Yang Tanaka temukan di buku antiknya ternyata lebih serius.

Dorothea memutuskan untuk mengesampingkan Festival Olahraga. Ini lebih penting.

Dia pergi ke Hosu.

Akhirnya mengetahui rahasia kelam dunia.

Rahasia matanya.

Dia kabur keluar dari toko Nikky—kawan lama Ibunya yang bercerita.

Dan dia menemukan Ingenium.

***

Iida berterima kasih padanya. Berkali-kali. Menunduk dalam-dalam. Dorothea berusaha menenangkan ketua kelasnya itu.

"Kau Pahlawan sejati, Dorothea-kun!"

Dan kata-kata itu terngiang.

Kau Pahlawan sejati.

"Hei Eins," bisik Dorothea suatu malam.

"Apa menurutmu aku Pahlawan?"

Hantu itu berdehum. "Kalau boleh jujur, ya."

"Apa yang membuatmu berpikiran begitu?"

"Moralmu."

"Huh?"

"Kau tidak menilai dunia dengan hitam-putih, Dorothea. Kau berusaha melihat semuanya apa adanya."

"Kau tidak menghiraukan label. Kau melihat manusia sebagai... manusia. Itu yang membuatmu Pahlawan. Setidaknya, menurutku."

Dorothea mengangguk.

Ada batas tipis diantara baik dan buruk. Benar dan salah. Semuanya mengabur dalam sudut pandang yang berbeda-beda.

Dia tahu ada Pahlawan yang buruk.

Itu berarti dia tahu cara agar tidak menjadi mereka.

***

Pemilihan nama Pahlawan. Tinggal Dorothea, Midoriya, dan Iida yang tersisa.

Sejauh ini, nama yang teman-temannya pikirkan sangat kreatif dan tematis. Sesuai dengan karakter mereka masing-masing.

Kecuali Todoroki, yang memutuskan menggunakan nama pemberiannya.

Dia bisa memilih Freezerburn, Ice Phoenix, Arctic Fire—hell, bahkan IcyHot masih terdengar lebih baik daripada Shouto.

Itu sebabnya dia agak kecewa ketika papan Iida bertuliskan 'Tenya'.

"Aku berani sumpah dia hampir menulis Ingenium," bisik Eins.

Dorothea menghela napas.

Untung saja Midoriya memilih nama dengan latar belakang dan filosofi yang bagus. Deku yang tidak berarti useless melainkan dekiru. Yang berarti dia bisa.

"Yak, yang terakhir! Dorothea!" ucap Midnight. Cambuknya terayun.

Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Dia maju ke mimbar. Mata emas menerawang kelas. Sebelum membalik papannya.

"Kalian mungkin tidak tahu, tetapi—"

"Ibuku seorang Pahlawan."

Beberapa anak tampak terlonjak. Ada yang terperangah.

"Dia dipanggil Morrigan. Dia underground, wajar kalau kalian tidak kenal."

Dorothea menggigit bibir. Lalu melanjutkan.

"Morrigan adalah Dewi Gagak dari mitologi Irlandia. Karena itu, aku juga ingin nama Pahlawanku diambil dari mitologi."

Benar.

Nama yang setema dengan Ibunya.

Sama-sama diambil dari mitologi. Walaupun mitologi yang berbeda.

Nama mana lagi yang lebih cocok untuknya—

Selain tiga Dewi takdir yang memintal benang?

"The Thread Hero."

"Moirae."

***

.

.

.

Manuscript 5 :
DISPARITY

The End

***
.
.
.
.
.
.
.

A.N. :
Aku nulis ini jam 12 malam. Tidak tahu kesambet apa. Ini gaje. Maaf.

Yee... pokonya ini what-if scenario. Walaupun ngga banyak yang berubah deh. Ini one-shot vignette satu part. Maaf gaje, sekali lagi.

Komentar?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro