Manuscript 4 : Scavenger 3
"Sudah jelas," ucap Hawks sembari menjentikkan dari.
Dorothea dan Todoroki serentak menoleh ke arahnya.
Si manusia bersayap mengangkat bahu dengan santai.
"Perpustakaan."
Otak Pro Hero nomor dua bukan main.
"Where wisdom lies and knowledge stand tall..." gumam Todoroki. Tangan mengelus dagu.
Dorothea mengangguk. "Benar, itu sebabnya yang kali ini scholar, bukan traveler."
Hawks ikut berdehum. "Tapi aku tidak yakin dengan bagian keduanya—A one-legged man who fight a whale at sea?"
"Aku punya teori untuk itu," ungkap Dorothea.
"Tapi, pertama-tama, ayo pergi." Dia memasukkan kunci emas yang ditemukan ke tas. Lalu melangkah ke pintu keluar.
"Tempat ini mulai memberiku claustrophobia."
***
Mereka langsung berderap ke perpustakaan. Terletak di lantai dua Manor. Anak tangganya sama banyak dengan basement. Akan tetapi, langkah Dorothea cepat. Dia yang pertama kali sampai. Gadis itu memang selalu bersemangat soal buku.
Pintu ruangan itu besar dan mewah. Dorothea sendiri sampai terperangah melihatnya. Berwarna emas dan diukir dengan adegan-adegan kisah dongeng. Dorothea bisa melihat Putri Tidur dan Si Tudung Merah. Tampak juga Cinderella dan Rumplestilskin. Lengkap dengan kastil, hutan, bahkan kereta labu.
"Tutup mulutmu Dorothea," kata Eins geli. "Jangan sampai lalat masuk."
Dorothea tersadar. Kemudian terkikik kecil. Dia meletakkan telapak ke pintu itu. Hendak mendorongnya terbuka. Namun, tidak ada yang bergerak.
Terkunci.
Dengan cepat, gadis berambut merah itu membuka tasnya. Mengeluarkan kunci ukir yang bermodel sesuai dengan pintu itu.
"The moment of truth."
Dia memasukkan kunci ke lubangnya. Lalu memutar.
Click
Dan pintu besar itu bergeser terbuka. Seakan terdorong secara otomatis. Mulut Dorothea kembali melongo.
Jika pintu itu sudah impresif, isi perpustakaannya lebih menakjubkan lagi.
Tempat itu luas. Hampir setiap ujung dindingnya terlapis oleh rak penuh buku. Ada jendela stained glass dengan gambar wanita yang Dorothea tebak adalah Athena. Dewi kebijaksanaan. Di tengah ruangan, ada globe besar yang berwarna kekuningan. Seperti kertas perkamen kuno.
"Woah," gumam Dorothea. Kehabisan kata-kata.
Dia berputar. Melihat ke sekitar seperti anak kecil dalam toko permen. Matanya berkilat terpana.
"Lihat judul-judul ini," bisik Dorothea. Jemari mengelus punggung buku yang tertata rapi. "Beberapa bahkan lebih tua dari milik Tanaka dan Nikky!"
"Oh, coba saja Tanaka ada di sini," canda Eins.
Dorothea terkekeh. "Otak Tanaka akan meledak, Eins."
"Siapa Eins?"
Gadis itu terlonjak. Dia berbalik. Lupa kalau Todoroki dan Hawks mengikutinya. Hawks—yang tadi bicara—hanya menggeleng-geleng. Tangannya bersedekap.
"Walaupun aku senang melihat wajah antusiasmu, kita harus fokus."
Todoroki mengangguk. "Tapi serius, wajahmu cerah sekali tadi. Kau suka buku, ya?"
Air muka Dorothea memerah. "Yeah, kalian benar."
Kemudian Dorothea kembali berbalik menatap ruangan. Dia melihat ke rak-rak yang berjajar. Ada plakat tembaga dengan huruf alphabet ditulis di atasnya.
Di koordinasi sesuai alphabet, eh?
Ini membuatnya lebih mudah.
Dorothea mengamati plakat-plakat itu. Melangkah melewati rak satu persatu.
"H.., I.., J.., K.., L..., M, ini dia."
Dia berhenti. Tepat di rak dengan label huruf 'M' di atasnya. Dorothea mulai memperhatikan buku-buku yang memenuhi raknya. Melirik ke judul yang tertera di rusuk buku itu.
"Aha!"
Tangannya menunjuk.
Moby Dick.
"Aku membaca ini dulu sekali. Tetapi, kalau ingatanku benar, Kapten Ahab punya satu kaki."
Dia hendak menarik buku itu dari rak. Akan tetapi, Dorothea merasakan ada hal lain. Semacam... pegas.
Dari belakang, terdengar bunyi berderak.
Tiga orang itu menoleh.
Ada satu bagian lantai yang terbuka.
"Ooh, kompartemen rahasia?" ucap Hawks. "Ini semakin menarik."
Mereka bertiga duduk di sekitar lubang itu. Dorothea merogoh ke dalam. Dia menarik keluar sebuah gulungan perkamen tua. Dan sebuah amplop.
Todoroki meraih dan membuka gulungan itu. Sementara Dorothea membuka amplopnya.
"Ini sebuah peta," bisik Todoroki. Dia mencondongkan perkamen itu agar Dorothea dan Hawks bisa melihatnya.
Benar, itu hanya peta Manor Caldwell. Hanya digambar di kertas yang lebih tua. Dan dengan area hutan yang juga tertera di sana.
Kening Todoroki mengerut. "Uh, ada apa dengan nama-namanya?"
Mata emas Dorothea memicing. Berusaha membaca tulisan kursif kecil yang tertera di tiap gambar ruangan. Benar saja.
Bukannya 'kolam renang' atau 'perpustakaan'.
Yang tertulis adalah 'kelpie' dan 'mimir'.
"Makhluk mitos?" gumam Dorothea.
Gadis itu mengeluarkan kertas yang terlipat dalam amplop. Bukan hanya satu, kali ini dua. Berisi teka-teki lain.
***
Hark, hunter, find my hut
With chicken leg it won't stay put
Beware children who wander alone
I may come at thee with my cauldron
***
The key to the key is my name
I bring good luck and bad luck the same
I am a horse, goat, dog, or cat
I bring mischief wherever I'm at
***
"Oke, bagian 'hark' jelas menunjuk tempat," ucap Hawks.
Dia mengeluarkan perkamen yang mereka temukan di wine cellar. Dorothea turut mengeluarkan kain yang dia dapat pertama kali. Mereka membandingkannya.
"Kenapa yang dua ini memakai hall—aula—sementara yang ini memakai hut—gubuk?" komentar Eins.
Dorothea berdehum. "Apa ini gubuk secara literal atau—"
Dia membaca baris berikutnya.
With chicken leg it wont stay put.
Chicken leg?
Kaki ayam?
Netra emas gadis itu melebar.
Dia merogoh tas. Mengeluarkan buku Legenda dan Mitos lalu membuka lembarnya dengan frantik.
"Baba Yaga."
Hawks dan Todoroki meliriknya.
Dorothea masih tidak mengangkat kepala dari buku.
"Baba Yaga berasal dari legenda Slavia, dia tinggal di gubuk yang memiliki kaki ayam."
Dia membuka lembar berikutnya.
"Di sini tertulis Baba Yaga suka menculik anak kecil dan memasaknya dalam kuali."
"Beware children who wander alone," bisik Todoroki.
"I may come at thee with my cauldron," imbuh Hawks.
Di melongok ke peta yang masih dipegang Todoroki. Senyumnya melebar.
"Bingo."
Hawks menunjuk satu titik di tengah hutan. Ada tanda X di sana. Dengan tulisan kursif tipis.
Baba Yaga.
"Area ini tidak ada di peta yang dibagikan," gumam Todoroki.
Hawks berdehum. "Kalau begitu, ayo—"
"Oh-ho?"
Ketiga orang itu menoleh.
Iota berdiri di ambang pintu. Ada senyuman lebar di wajah pucatnya.
"Kau mengajak satu orang lagi ke party-mu, Miss Dorothea?"
"Err, yeah," ucap gadis itu. Melirik ke Hawks. "Tidak masalah, kan?"
"The more the merrier," balas Iota.
"Sayangnya, kalian harus menunda perburuan harta karun ini sejenak," ucap butler itu tersenyum.
"Saatnya makan siang!"
***
Mereka diantar ke dining hall yang sudah penuh dengan tamu-tamu lain. Meja-meja bertaplak putih menghiasi ruang. Begitu juga dengan prasmanan yang sudah disiapkan.
"Dorothea!"
Suara sang ayah memanggil dari kerumunan. Desainer itu menghampiri putrinya dengan senyum lebar.
"Thomasin bilang kau melakukan scavenger hunt yang dia siapkan, dia baik sekali—oh, hai Iota."
Iota menunduk ke Akira. Tangan masih di punggung. "Selamat menikmati makan siang, saya permisi dulu."
"Geez, kadang aku lupa dia lebih tua dariku," bisik Akira melihat pelayan itu menjauh. Dorothea terkikik.
"Apa dia punya quirk awet muda, Dad?"
"Mungkin, anyway, sepertinya kau mendapat teman baru—"
Mata Akira memicing memandang dua laki-laki yang berdiri di belakang Dorothea.
"Ah! Kau Hawks!" ucap pria itu. Kemudian melirik Todoroki. "Dan kau Todoroki Shouto! Putra Endeavor benar?"
Keduanya mengangguk. Eins tertawa keras di telinga Dorothea. Selagi 'merangkul' gadis itu.
"Serius? Ayahmu bahkan lebih tau banyak soal Pahlawan daripada kau!"
"Berisik, Eins."
"Eh, yah, senang melihat kau tidak bosan, kiddo," ucap Akira. Tangannya mengacak-acak rambut merah sang putri.
"Sekarang aku harus pergi, Katsuro punya ide gila menjadikanmu model untuk lolita dress-nya."
"Eh, apa—?"
"Tenang, aku sudah menolaknya," Akira mengedipkan satu mata. "Sampai nanti dear!"
Dorothea menggeleng-geleng. Akira memang senang sekali berinteraksi dengan sesama orang seni. Dia masih terkikik ketika berbalik memandang Hawks dan Todoroki yang menatapnya aneh.
"Uh, apa?"
"Aku harap ayahku seramah itu," gumam Todoroki.
"Eh?"
"Dan menurutku kau cocok dengan baju lolita."
"Uh, itu agak random, Todoroki..."
"Tidak, dia ada benarnya Dorothea-chan," timpal Hawks.
Dorothea menggaruk leher. "Eh, terima kasih...?"
Pada akhirnya, mereka bertiga berpisah. Todoroki mendengar sang ayah memanggil. Hawks juga pergi ketika melihat Pro Hero lain yang dia kenali.
Dorothea sendiri—dengan tidak ada orang lain yang dia kenal—memutuskan untuk mengambil sesuatu dari meja prasmanan. Berakhir dengan sepiring daging panggang, kentang, dan satu cinnamon roll.
Dia duduk di meja dekat salah satu jendela besar. Menghadap ke hutan luar yang tampak sangat misterius.
"Menurutmu berapa umur Iota?"
"Hmph?"
Dorothea memainkan kentang tumbuk di piringnya dengan garpu. Dia melirik ke ujung lain ruangan. Tempat si butler sedang memberi instruksi pada pelayan lain.
"Entahlah? Dia pasti tua, tho. Ada implikasi dia kenal Mom sejak kecil. Mungkin itu memang quirknya."
"Yeah, quirk yang menarik," ucap Eins. Dia melayang. Lalu 'duduk' di kursi di depan Dorothea.
"Apa menurutmu kita akan melihat gubuk Baba Yaga sungguhan?" goda Eins.
Dorothea mendengus. Menyuapkan kentang tumbuk ke mulut.
"Kalau itu kasusnya, aku akan jadi yang lari paling cepat."
"Aww Dorothea, bukannya kau sudah banyak berlatih?"
"Uh, kau benar. Tapi bukan berarti aku akan senang hati melakukannya. Aku belum terbiasa."
"Belum terbiasa apa?"
Dorothea terlonjak di tempat duduknya. Mata beda warna Todoroki menatap heran.
"Ah, bukan apa-apa," ucap gadis itu.
"Kupikir kau akan makan dengan ayahmu, Todoroki. Uh, tidak masalah aku memanggilmu tanpa suffiks begitu?"
"Aku lebih memilih di sini denganmu," jawabnya. "Dan, ya, aku tidak keberatan. Lagipula—"
Kali ini ada secercah ragu di ekspresi anak itu.
"Kita, uh, teman, kan?"
Dorothea mengerjap. Todoroki duduk di depannya. Hampir menembus Eins yang segera menghindar dan melayang kembali ke sisi Dorothea. Wajah Todoroki adalah campuran ragu dan berharap.
Gadis itu tersenyum kecil. "Hehehe, tentu saja."
"Maaf, aku masih belajar soal 'berteman' ini. Aku tidak banyak punya teman selain di kelas 1-A."
Gadis di depannya menunduk. "Yeah, aku juga. Tumbuh besar, anak lain banyak menjauhiku..."
Giliran Todoroki yang bingung. "Sungguh?"
"Yep," gumam Dorothea. Garpu menusuk-nusuk daging panggang.
"Apa karena kau... ditutor di rumah juga? Homeschooling?"
"Ah tidak," kata Dorothea. "Aku hanya... agak aneh dari yang lain."
Todoroki mengangkat alis. Tangannya mengaduk kuah soba dingin. Dorothea tidak tahu kalau prasmanan juga menyiapkan masakan Jepang.
"Aneh bagaimana?"
"Kau tidak akan percaya jika aku ceritakan."
Todoroki berdehum. Menyeruput sobanya. "Yah, kau terlihat normal untukku."
Dorothea nyaris menertawakan ironi pernyataan Todoroki itu.
"Aku sendiri dulu banyak... belajar di rumah. Ada tutor. Dan ayahku, ehm, melatihku."
"Ah, jadi kau jarang berinteraksi dengan yang lain?" tanya Dorothea.
"Ya."
Mereka diam. Selama beberapa detik. Hanya menatap mata satu sama lain dengan intens.
"Wow," akhirnya Dorothea terkekeh. "Kita payah dalam hal ini."
"Yeah," gumam Todoroki tersenyum lembut.
"Wah, wah, aku ketinggalan apa?"
Dorothea terlonjak. Lagi. Merutuk kenapa para Pahlawan ini suka sekali mengendap-endap dan mengageti orang.
Hawks duduk sembari menyeringai. Tangannya menaruh piring penuh dengan ayam goreng. Sementara itu, kumpulan bulu dari sayapnya menerbangkan sepiring yakitori ke meja.
"Kau benar-benar hawks ya? Bukan kenari," canda Dorothea. "Sungguh burung predator. Lihat banyaknya ayam itu!"
"Hah! Akhirnya seseorang tidak mengataiku kanibal!" ucapnya. "Eh, tapi aku tidak bisa mengatakan hal yang sama denganmu, Dorothea-chan."
"Ha? Aku bukan kanibal—"
Hawks menunjuk cinnamon roll. Dorothea mendengus kesal.
"You little bugger," desisnya. Hawks tertawa. Todoroki terlihat bingung.
"Tapi Dorothea bukan cinnamon roll? Dia manusia?"
Sekarang, Dorothea ikut tertawa bersama Hawks.
"Oke, cukup," ucap Hawks ketika tawa mereda. "Kalian membicarakan apa sebelum aku datang?"
"Kesulitan kami dalam mencari teman."
Hawks mengangkat alis. "Wow, topik berat. Jujur, aku juga tidak punya banyak. Terlalu sibuk berlatih."
"Dia Pro Hero paling muda yang pernah masuk ke sepuluh besar," bisik Eins di telinga Dorothea. Hawa dingin berdenyar. "Wajar kalau berlatih sejak kecil."
"Mungkin kita harus membuat klub," canda si Pahlawan berusaha meringankan suasana.
"Ha, menurutku memecahkan misteri bersama sudah cukup untuk menjadi teman," komentar Eins ditelinga Dorothea. "Dorothea, adopsi dia."
Gadis itu hanya menggelengkan kepala mendengar perkataan si hantu.
"Well," ucap Dorothea. Eins ada benarnya. Lagipula, tidak ada salahnya. Hawks sepertinya orang baik.
"Kau punya satu sekarang," ucap Dorothea menunjuk dirinya. "Kalau kau tidak keberatan, that's it."
Hawks tampak terpaku. Namun kemudian tersenyum. "Kau tidak keberatan berteman dengan orang tua begini?"
"Kau hanya enam tahun lebih tua dari kami," bantah Todoroki. "Kami tidak keberatan."
Dorothea tertawa kecil. "Oke, oke, kita semua teman. Ganti topik."
"Menurutmu kita akan menemukan pondok Baba Yaga sungguhan nanti?" tanya Todoroki.
"Good lord, semoga tidak."
"Kau ditemani seorang calon Pahlawan terkuat dari U.A. dan Pahlawan nomor dua, Dorothea-chan. Kau akan baik-baik saja."
"Kami akan melindungimu, Dorothea."
"Aku punya kaki untuk berlari, guys. Tapi terima kasih."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro