Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Manuscript 4 : Scavenger 2

Dorothea memandang Todoroki yang memainkan cufflink di lengan jas abu-abunya sembari berpikir. Alisnya menukik serius.

Untung gadis itu tidak perlu menerjemahkan tebakan di kain. Todoroki fasih membaca bahasa inggris. Seperti kebanyakan anak orang berada yang dia temui.

Kening Todoroki mengernyit membaca teka-teki di kain. "Mengarah ke suatu tempat ya?"

"Apa yang membuatmu berpikir begitu?"

"Hark, traveler, find my hall—berarti kita harus mencari aula ini."

"Ah, masuk akal..." gumam Dorothea. "Under, below, it may call—bisa berarti di bawah tanah."

Gadis itu merasakan aura dingin Eins yang membaca dari balik bahunya.

"Coba cek petanya," usul si hantu.

Dorothea menurut. Dia membuka lipatan peta. Mencari penjelasan soal ruang bawah tanah.

"Aha!" pekiknya. "Ada gudang bawah tanah, tempat penyimpanan alat, dan... wine cellar? Geez, Caldwell benar-benar stereotip bangsawan kuno kaya."

Todoroki tersenyum kecil. "Jadi, tinggal memilih salah satu dari tempat itu?"

"Atau kita bisa mengeceknya satu persatu?"

"Akan makan banyak waktu," tolak Todoroki.

Dorothea mendesah. Melirik lagi ke tebakan.

"Stacked within the aged grapes, uh—ada bersama dengan anggur tua?"

Mata gadis itu melebar.

"Pasti wine cellar! Anggur tua itu sama dengan wine, kan?"

"Ah, benar," ucap Todoroki. Dia menunjuk ke baris berikutnya. "Throne of madness, wines, and vines, lihat. Tertulis wine juga di sana."

"Bisa juga alusi ke Dionysus."

Celetukan Eins itu membuat Dorothea melirik ke udara kosong di sampingnya. Mengangkat alis.

"Apa?" Eins mengangkat bahu. "Aku ikut membaca buku mitologimu juga, Dorothea."

"Dorothea-san?"

Gadis itu tersentak. Todoroki memiringkan kepalanya. "Ada apa? Kau tiba-tiba diam?"

"Ehehe, tidak," ucapnya. Dia menggaruk kepala. "Aku ingat temanku pernah bilang soal Dionysus. Dewa perayaan, wine, dan kegilaan dari mitologi Yunani."

"Alasan tambahan untuk pergi ke wine cellar."

"Benar," ucap Dorothea setuju. Dia memasukkan potongan kain ke tas Lalu menatap Todoroki yang kembali menelisik peta.

"Ayo, lewat sini."

***

Mereka berjalan di lorong, akhirnya berhenti di satu pintu yang tampak sedikit lebih sederhana daripada pintu ukir yang dipakai di semua ruang. Todoroki membukanya.

Tampak lorong gelap dengan tangga menurun di sana.

Todoroki melangkah masuk lebih dulu. Dia dengan hati-hati menuruni anak tangga pertama. Dorothea menatap ragu dari ambang pintu.

"Kita akan butuh senter—"

Tangan kiri Todoroki mengeluarkan api.

"—atau kau bisa memakai quirkmu."

Dorothea masih menatap ragu ke lorong. Tempat itu gelap dan tampak lembab. Cukup membuat keraguan membuat skenario buruk di otak.

Sejenak, hawa dingin Eins melingkupinya.

"Aku yakin kau akan baik-baik saja, Dorothea. Tidak ada hantu di sini."

"Selain kau?" bisiknya lirih.

Eins terkekeh. "Selain aku."

"Dorothea," panggilan Todoroki mengambil fokusnya. Gadis itu tersentak. Sedetik mengira anak berambut merah-putih itu mendengarnya.

"Hati-hati, tangganya licin," ucap anak itu. Dia mengulurkan tangan. Dengan ragu, Dorothea menerimanya.

Mereka berdua menuruni tangga dengan pelan. Memperhatikan tiap langkah. Todoroki menuntun di depan. Membawa penerangan. Dorothea mengekor dan menyeimbangkan dirinya pada dinding dengan satu tangan.

"Apa kau takut dengan ruang sempit?" tanya Todoroki.

"Tidak juga. Tapi aku punya beberapa kenangan buruk tentang gang."

"Huh?"

"Eh, tidak penting."

Keduanya diam lagi. Yang terdengar hanya suara langkah kaki yang menggema di dinding batu dingin. Eins benar, tidak ada hantu lain. Yang malah aneh karena tempat ini sangat cocok untuk para makhluk transparan itu.

"Umm, Dorothea?" suara Todoroki terdengar keras. Mungkin lorong itu yang terlalu sepi. "Aku boleh berkata sesuatu?"

"Shoot."

"Saat di kamp pelatihan—" Ada jeda. "Kau—maaf aku sebagai calon Pahlawan tidak bisa—"

"Hei," ucap Dorothea. "Aku terpisah bukan salah kalian. Lagipula aku baik-baik saja akhirnya."

"Ya," bisik Todoroki. "Aku—aku sempat berpikir kau juga diculik. Untung kau baik-baik saja."

Oh, you sweet summer child.

Dorothea berjengit. Intuisi calon Pahlawan memang beda.

"Yep. Benar. Aku baik," ucapnya.

Hening lagi.

Dorothea menggigit bibir. Memutuskan untuk mencairkan suasana. "Apa kau tidak masalah ikut melakukan ini?"

"Ya," jawab Todoroki singkat. "Aku ingin menjauh dari—Ayahku."

Alis Dorothea terangkat. Sunyi kembali menyelubung. Mereka turun semakin dalam. Eins sesekali menembus dan muncul lagi dari tembok. Tidak pernah jauh-jauh.

Dorothea bergumam. Tangan mengelus dagu. Berusaha mengingat orang dewasa mana yang bersama Todoroki. Di pesta tadi, anak itu tampak hanya berdiri sendiri.

"Ngomong-ngomong, siapa Ayahmu?"

Todoroki berhenti mendadak. Membuat Dorothea menubruk punggungnya.

"Ah, maaf—"

Anak laki-laki itu menoleh ke balik pundaknya. Manik turquois tampak terbelalak.

"Kau tidak tahu ayahku?"

"Give me some slack," desah Dorothea. "Aku baru di negara ini beberapa bulan..."

"Oh, benar," bisik Todoroki. Mereka berdua kembali lanjut turun. "Uh, ayahku Endeavor."

"Endeavor?" ulang Dorothea. Keningnya mengerut. Nama itu familiar. Dia memandang langit-langit lorong dan mengingat-ngingat. Kemudian menjentikkan jari.

"Oh! Benar, Pahlawan nomor dua, kan? Dia ada di Insiden Kamino," ucapnya. "Begitu berita yang kubaca."

Gadis itu bisa mendengar Eins mendengus. Dia menyeringai. Dia memang jarang sekali membaca berita.

"Pahlawan nomor satu, sekarang."

Dorothea tersentak. Baru ingin meminta maaf karena kesalahan informasinya. Namun, nada suara Todoroki aneh.

Itu bukan nada suara anak yang bangga. Nadanya agak... pahit.

"Uh, maaf. Aku tidak tahu banyak soal Pahlawan."

"Tidak apa," balas lawan bicaranya itu.

Keheningan kembali menyusup. Diisi dengan bunyi langkah kaki. Sesekali terdengar tetesan air dari jauh. Ditambah bunyi percik bunga api Todoroki sebagai variasi.

Kecanggungan mereka memuakkan.

Gadis berambut merah kembali memutar otak untuk mencari topik pembicaraan. Sembari terus melangkah turun.

Seberapa panjang tangga ini?!

"Kau tahu, apimu sangat berguna," puji Dorothea. "Plus sangat cantik."

Dorothea bisa mendengar Todoroku tercekat. "Uh, terima kasih."

Oh, no, aku tidak akan biarkan kita berdiam lagi.

"Agak mengingatkanku dengan Phoenix," ucapnya.

"Huh? Burung dari mitologi?"

"Yeah," ucapnya. "Banyak yang bilang kalau api lambang kehancuran. Akan tetapi, untuk Phoenix, api punya makna lain."

"Seperti apa."

"Kelahiran kembali. Kehidupan," ucap Dorothea lembut. "Setelah dipikir, begitu juga dengan matahari. Apinya menjaga kita hidup."

Todoroki terdiam. Seperti memproses kata-kata itu.

"Itu—komparasi yang berlebihan."

"Hei, kau menggunakan apimu untuk menjadi Pahlawan, kan?" tanya Dorothea. Dia bisa melihat Todoroki mengangguk dari belakang.

"Kalau begitu, sama seperti matahari, apimu juga menjaga."

"Ah—" Todoroki tercekat. "Err—terima kasih."

Dan mereka berhenti.

Akhirnya mereka sampai.

Todoroki membuka pintu kayu bobrok di ujung lorong. Dibaliknya, terdapat ruang berdinding batu bata. Dengan rak-rak berisi botol kaca dan lampu kuning redup sebagai penerangan.

"Ooh, fancy," komentar Eins setelah lama diam.

"Menurutmu mereka menyimpan a cask of Amontillado di sini?" canda Dorothea. Terkikik melihat Todoroki yang hanya menatap bingung.

Mereka mengamati sekitar. Di dinding ujung ruangan itu, ada lukisan tergantung. Tampak gambar sebuah festival renaissans di kanvas itu. Orang-orang berpakaian kuno saling bergandengan tangan dan menari di bawah kumpulan pohon musim gugur.

Dorothea dan Todoroki bertukar pandang.

"O' merry human that sing with glee," bisik Dorothea.

"The next secret is beneath the tree," sambung Todoroki.

Mereka baru saja akan mengangkat lukisan itu—

Sebelum tepuk tangan terdengar.

"Ternyata memang ada yang kemari, ya?"

Dua anak itu berbalik. Netra emas membulat melihat kumpulan bulu merah yang tak asing.

Hawks.

***

Pro Hero nomor dua itu tersenyum lebar. Pakaian kasual yang dulu dia pakai saat bertemu Dorothea kini diganti dengan jas warna hitam. Sementara Dorothea dan Todoroki hanya berdiri canggung.

"Dari semua tamu, aku tidak sangka kalian yang akan kutemukan di sini, Todoroki-kun, Dorothea-chan!"

Dorothea bingung dengan panggilan untuknya itu. Dia tidak keberatan kalau itu dari Hikaru. Rasanya agak aneh orang yang tidak dia kenal dekat menyebutnya begitu. Sedangkan Todoroki hanya menatap datar seperti biasa.

"Memang apa yang kalian lakukan?" tanya si Pahlawan. Kemudian dia menutup mulut dengan satu tangan. Terbelalak.

"Jangan-jangan—"

"Tolong jangan pikirkan hal macam-macam, Hawks-san," bantah Dorothea.

Pro Hero bersayap itu tertawa. "Ah, aku hanya bercanda! Oh, dan tolong tidak usah formal," ucapnya. Ujung salah satu bibirnya naik. Mata emas memandang Dorothea.

"Jadi kau sudah tahu namaku, eh?"

Dorothea mendengus. "Ya. Aku—uhm—maaf soal yang di Kyushu."

"Eyy! Tidak masalah! Rasanya senang berbicara dengan orang yang memiliki pandangan sepertimu!"

Todoroki melirik Dorothea. "Jadi, Endeavor bukan satu-satunya Pahlawan yang tidak kau kenal?"

Kekehan keras Eins sampai ke telinga Dorothea. Menertawakan ironi pertanyaan itu. Dorothea cemberut.

"Aww, kau bahkan tidak kenal Endeavor?" tanya Hawks. Dia tersenyum. Lalu berpaling pada Todoroki lagi.

"Apa dia menyamakanmu dengan kenari juga?"

Pipi Dorothea memerah. Eins masih tergelak.

"Tidak," jawab Todoroki. "Dia menyamakanku dengan Phoenix. Dan matahari."

Hawks kembali terkesiap. Tangannya memegangi dada untuk efek dramatis.

"Dorothea-chan, kau pilih kasih! Kenapa Todoroki-kun mendapat metafora yang bagus? Sedangkan aku?"

"Oi!" Sekarang merah di wajah Dorothea sampai ke telinga. Tangan mengepal di rok gaunnya.

"Itu bukan niatku tahu! Dan apa-apaan dengan panggilan itu? Terlalu imut!"

"Ah, tapi itu cocok buatmu—!"

"Permisi, Hawks," sela Todoroki. "Aku dan Dorothea sedang melakukan permainan teka-teki. Jadi, kalau boleh—"

"Oh, teka-teki?" alis pirang naik denga penasaran. "Sepertinya menyenangkan, boleh aku ikut?"

Dua siswa U.A. itu berpandangan. Mereka punya perasaan, walaupun mereka menolak, Hawks akan tetap mengekor pergerakan mereka. Akhirnya, Dorothea mendesah.

"Tiga kepala lebih baik daripada dua, I guess."

Todoroki mengangguk. "Ayo angkat lukisannya."

Akhirnya, Hawks dan Todoroki menurunkan gambar itu dari tembok. Benar saja, ada satu batu-bata yang hilang di baliknya. Hawks bersiul. Sementara, Dorothea merogoh lubang itu.

Dia menemukan kunci.

"Hmm," gumamnya. "Kira-kira untuk apa?"

"Haruskah kita coba ke pintu lain satu persatu?" timpal Todoroki.

"Kau sudah lihat seberapa besarnya Manor ini?"

"Hei, lihat! Ada masih ada sesuatu di sini!"

Hawks menarik keluar sebuah kertas tua. Seperti potongan dari perkamen. Todoroki dan Dorothea langsung mengerubunginya.

Petunjuk lain.

***

Hark, scholar, find my hall
Where wisdom lies and knowledge stand tall

The next secret is hold by thee
A one-legged man who fight a whale at sea

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro