Manuscript 4 : Scavenger 1
"Ya, Nikky-san, aku sudah menerima paketmu."
Perkataan Dorothea mencapai Nikky di ujung telepon.
Pagi itu, Dorothea menerima paket dari bibi kesayangannya. Dia dan Eins langsung membawa paket besar itu ke kamar. Sama-sama penasaran dengan apa isinya.
Sekarang, gadis itu mengempit ponsel diantara telinga dan bahunya. Sementara tangan sibuk merobek kertas dari kotak kardus yang baru sampai.
"Aku tidak tahu kenapa kau harus mengirim bukunya. Kau tahu aku bisa mengambil minggu depan, kan?"
"Ingat apa agendamu minggu depan, kit," suara Nikky mengalir dari ponsel.
Ah, benar.
***
Flashback
Eins dan Dorothea sibuk berdebat mengenai warna kain flanel ketika Akira memasuki ruang tengah.
Dia dan sang hantu—walaupun Akira tidak bisa melihat Eins—langsung menoleh begitu si Ayah menghembuskan napas.
"Kita harus pergi ke Gala Amal minggu ini."
Dorothea mengangkat alis. Aneh. Biasanya Akira menggunakan kata 'aku', bukan 'kita'. Diikuti dengan mengajak Dorothea. Jadi, dia bisa menolak kapanpun.
Sepertinya, kali ini berbeda.
"Aku tidak keberatan, sih. Memang ada apa? Tidak biasanya aku harus ikut."
Akira menggaruk leher. Kemudian dia mengulurkan amplop putih. Dorothea mengernyit. Masih ada juga orang yang memakai surat begini. Bahkan dengan lilin surat juga. Seperti zaman kerajaan kuno saja.
Tangan Dorothea meraih amplop itu. Dia mengambil surat di dalamnya lalu membaca. Keningnya mengernyit semakin dalam.
"Mr. Adrich A. Caldwell? Bukannya dia milioner eksentrik yang pindah ke Jepang?"
"Yeah," gumam Akira. "Sayangnya bukan hanya itu saja."
Dorothea mengangkat alis. Ayahnya mendengus.
"Dia teman Ibumu."
Si gadis mengerjap. Dia menunduk, melihat tulisan kursif di atas kertas. Jujur, mengetahui Ibunya berteman dengan seorang milioner adalah fakta paling wajar yang Dorothea terima beberapa bulan ini.
"Kenapa dia ingin bertemu denganku?"
Giliran Akira yang mengerjap. Kemudian ekspresi berubah lega melihat Dorothea yang terkejut.
"Dia itu... semacam sosok Ayah untuk Avery. Dia bahkan ada saat kau lahir."
"Sungguh?" tanya Dorothea.
"Yep, dan aku harus meminta restunya ketika akan menikahi Ibumu," ucap Akira sembari meringis. Sepertinya itu bukan kenangan bagus.
"Aku—kenapa aku belum pernah bertemu dengannya?"
"Kau tahu ceritanya, dear. Pindah ke Jepang, mendirikan manor, orang-orang mengecapnya gila."
Ya. Dorothea ingat itu. Beritanya heboh diceritakan dimana-mana. Sosok Adrich Caldwell, seorang milioner genius terkenal, orang yang bahkan Dorothea Kecil kenali karena seberapa sering dia muncul di televisi, tiba-tiba pensiun dan pindah ke Jepang.
"Mereka masih belum punya landasan untuk argumen itu," protes Dorothea.
Akira tertawa. Mengelus surai merah putrinya dengan jemari ramping.
"Sebaiknya kita bersiap untuk gala-nya."
***
Dorothea mendengus. Dia tidak keberatan pergi ke gala. Banyak makanan enak dan mereka biasanya menyetel musik yang lumayan. Namun, karena acaranya pada akhir pekan, Dorothea harus kehilangan satu hari belajar Abnormalitas 1001 bersama Nikky.
Tangannya membolak-balik buku yang tua yang berada dalam kotak. Eins mengintip di balik bahunya dengan penasaran.
Beberapa tampak tebal dan tua. Disampul ikat dengan kulit. Bahkan ada yang halamannya mulai menguning. Yang lain tampak seperti buku saku dengan kover cerah.
Semuanya membahas legenda dan mitos. Terutama makhluknya.
"Nikky-san, ini sangat keren! Tanaka pasti ingin meminjam semua buku ini!" puji Dorothea. Tangannya mengambil ponsel yang tadinya dia jepit. Mendekatkannya ke telinga dengan lebih baik.
"Yeah, aku tidak hanya mengirimimu buku, kit."
Alis Dorothea menukik ke bawah dengan bingung.
"Hei, masih ada lagi di sini!" ucap Eins bersemangat.
Dengan penasaran, Dorothea memiringkan kepala heran. Lalu ikut melongok ke kardus.
Sepasang sarung tangan.
Pekikan senang meluncur keluar dari mulut Dorothea. Dia mengambilnya dan mencobanya. Sekali lagi mengempit ponsel di bahu.
Sarung tangan itu dari kulit. Tipis, kuat dan berwarna hitam. Ujung-ujung bagian jarinya dipotong terbuka. Cocok untuk penggunaan quirk Dorothea. Dan di bagian punggung tangan ada—
Lambang burung elang sederhana.
Lambang Children of Earth.
"Aaaaa, terima kasih banyak, Nikky-san!" ucap Dorothea.
"Heh, tidak perlu, kit. Ayahmu yang mendesain, aku hanya membuat dan mencari bahan yang pas. Lalu, lambang The Children itu ide Monika."
Dorothea tersenyum. Beberapa hari lalu dia memang melukai tangannya ketika berlatih menggunakan benang tipis untuk memotong. Akira berjanji untuk membuatkannya pelindung tangan.
Dia tidak berpikir hasilnya secepat ini.
"Modelnya juga cocok dengan pakaian apa saja," celetuk Eins. "Ayahmu memang hebat!"
Tangan gadis itu terkepal. Nyaman dibalut sarung tangan. Dia tersenyum.
"Ini bahkan cocok kupakai untuk acara besok..."
Tawa Nikky terdengar dari telepon. "Good luck, kit."
"Kau yakin kau tidak kenal Adrich ini, Nikky-san? Dia teman Mom juga loh!"
"Bukan berarti aku mengenalnya. Avery bahkan tidak pernah bercerita apapun."
Dorothea berdehum. "Well, senang rasanya mengetahui Mom punya kelompok teman selain kau dan Monika."
"Damn, kit. Itu agak menyakitkan."
Mereka berdua tertawa. Rasanya menyenangkan bisa bercanda dengan mentornya itu.
Berhenti. Diam sebentar.
Suara Nikky terdengar lagi.
"Namun, tidak ada salahnya untuk terus berhati-hati."
***
Pada hari-H, Dorothea bangun pagi dan sudah bersiap-siap. Akira memilihkannya empire dress ungu selutut tanpa lengan dan jaket hitam. Setelah itu, Akira melilitkan syal panjang yang sering Dorothea pakai.
"Syal dan jaket, jika ada yang tanya, bilang kau selalu kedinginan," begitu kata Akira.
"Bagus! kita bisa mengobrol jika kau tetap memakai syal," celetuk Eins.
"Oh, dan kau butuh tas untuk buku barumu. Sebentar—"
Dorothea tersenyum lebar sembari menyelipkan sarung tangan kulitnya. Dia sangat berterima kasih kepada sang Ayah yang paham akan fashion yang memenuhi kebutuhannya. Mulai dari kemampuan cenayang sampai hal wajar seperti membawa buku. Dan semua pakaian dan asesori itu tetap cantik.
Akira harus menyetir selama beberapa jam. Akhirnya mobil sampai di ujung area pegunungan yang penuh dengan pepohonan lebat. Akira dan Dorothea turun. Berkumpul bersama tamu-tamu lainnya. Setelah itu, dari sana masih harus menaiki bis untuk sampai ke Manor Caldwell.
Dorothea bisa mengenali beberapa tamu lain. Terlebih teman ayahnya. Termasuk Mr. Katsuro. Untung saja Sir Christophe Albain II tidak terlihat bersamanya. Dia yakin ada beberapa Pahlawan juga di kerumunan itu.
Ketika sampai, Dorothea agak terkejut bangunan bergaya eropa seperti itu ada di Jepang. Selama sedetik, dia berpikir bahwa dia kembali ke situs bersejarah London yang dia kunjungi sewaktu SMP.
Bangunan itu dibangun dengan bata-bata hitam. Terlihat tinggi di atas mereka. Menawan sekaligus mengancam. Jendela-jendela besar ber-stained glass menambah kesan gotik. Begitu juga dengan ornamen dan patung yang mengingatkan Dorothea pada katedral tua.
Tempat itu seakan ditarik keluar dari cerita Edgar Allan Poe.
Sungguh sesuai untuk orang seeksentrik Adrich A. Caldwell.
"Untuk tempat seperti ini, rasanya aneh aku tidak merasakan aura hantu lain..." bisik Eins.
Dorothea tertawa kecil mendengar komentar itu. Dan itu adalah tawa lega.
Para tamu masih menunggu di luar. Beberapa mengeluhkan panas. Beberapa tampak sibuk mengobrol. Termasuk Akira yang berdebat dengan Mr. Katsuro tentang katun.
Manik emas Dorothea menyaring kerumunan. Sayang sekali, dia belum menemukan anak lain. Dia mendengus. Hanya bisa berdiri canggung di samping sang ayah.
"I hope this is worth it," gumam Dorothea membenarkan letak tusuk rambutnya.
Tepat saat itu, pintu maha besar Manor Caldwell terbuka.
Seorang wanita berambut abu-abu panjang keluar. Dia memakai cocktail dress berwarna biru cerah. Ada senyum lebar di wajahnya.
Di belakan wanita itu, seorang pria mengikuti. Menggunakan pakaian butler lengkap. Rambutnya berpotongan bowl cut. Tangan terlipat di belakang dengan posisi tegap.
Wanita tadi merentangkan tangan dengan dramatis.
"Tuan dan Nyonya sekalian! Selamat datang di gubuk kecil kami!"
Dorothea mendenguskan tawa kecil.
Gubuk? Yang benar saja.
"Namaku Thomasin Caldwell, putri dari Adrich A. Caldwell! Dan ini—" dia memberi gestur pada si pria. "Namanya Iota, pelayan kami!"
Si pria menundukkan kepala sopan. Wanita itu—Thomasin—menyeringai.
"Terima kasih bagi kalian yang sudah mau datang ke acara ini! Mari masuk, jamuan sudah ada di ballroom!"
"Woah, mereka punya ballroom?"
"Rumah seperti ini, jika mereka bilang toiletnya berlapis emas, aku akan percaya, Eins."
***
Gala itu—
Sama dengan gala lain yang pernah dia ikuti.
Mereka dikumpulkan di satu ruang besar dan luas. Diberi meja-meja berisi makanan. Dan diharapkan bisa bersosialisasi satu sama lain.
Dan Dorothea payah soal sosialisasi.
Gadis itu sempat bertanya pada Ayahnya soal Adrich Caldwell. Kenapa dia belum terlihat. Akira bilang mungkin dia akan menemui mereka di akhir acara. Mr. Caldwell memang terkenal misterius.
Sekarang, Akira sudah pergi entah kemana. Mungkin terlibat perdebatan dengan salah satu desainer lain soal motif apa yang paling keren musim ini.
Putri desainer itu sendiri tidak mau terlibat dengan pembicaraan soal fashion. Atau politik. Atau pamer kekayaan. Atau berbicara dengan orang dewasa secara general. Sayang sekali, tidak banyak anak ikut acara seperti ini.
Bukan berarti kalau ada, Dorothea bisa langsung akrab.
Pada akhirnya—seperti biasa—gadis itu tidak jauh-jauh dari tembok untuk bersandar. Tangannya membuka buku saku Legenda dan Mitos. Membenamkan kepala dan pikiran kumpulan kertas berisi bestiary itu.
"Kapan kita akan bertemu Caldwell?"
"Entahlah, Eins. Kuharap secepatnya. Aku penasaran dengan pria ini."
"Aku juga—hey."
"Hmm?"
"Arah jam enam."
Dorothea berbalik. Dia melihat rambut yang familiar.
Merah-Putih.
"Anak dari kamp pelatihan. Uh, Todoroki?"
Dorothea mengangguk.
Tunggu, kalau dia di sini, berarti dia anak orang berada juga.
Anak itu tampak tenang. Mata abu-biru memandang intens. Luka di wajahnya masih mengintimidasi. Dia berjalan mendekati Dorothea. Mukanya datar. Sulit membaca ekspresinya.
Saat dia cukup dekat—
"Uh, hi?"
—Gadis itu melakukan gestur salut dengan tangan.
Todoroki terdiam.
Dorothea terdiam.
Shit. That is awkward as he—
"Halo."
Dan Todoroki meniru gesturnya.
Mau tidak mau. Dorothea menahan tawa yang nyaris pecah. Tangan menutupi mulut.
Todoroki tampak bingung.
"Uh, apa aku seharusnya tidak melakukan itu? Apa itu semacam kultur Eropa?"
Akhirnya, Dorothea tidak bisa menahan kekehan geli dari mulutnya.
Nevermind, we both socially inept.
"Tidak, itu—ah! Eh, Todoroki, ya kan?"
Laki-laki itu mengangguk. "Dan kau Dorothea."
Diam lagi.
Mereka berdua saling pandang.
Sial, ini benar-benar canggung.
Untung saja, suara Thomasin Caldwell mengalihkan perhatian mereka semua.
"Para hadirin! Saatnya menuju acara kedua!"
Oh? Apa ini?
"Kalian dipersilahkan mengelilingi Manor kami! Peta akan dibagikan. Manor ini sangat terinspirasi dengan gerakan gotik. Banyak berbagai benda menarik koleksi Ayahku. Silahkan mengeksplorasi sesuka kalian!"
"Aneh, seperti museum saja. Bahkan ada peta segala."
Beberapa pelayan keluar. Mereka membagikan kertas yang terlipat rapi. Peta Manor Caldwell tertera di dalamnya. Dorothea mengamatinya baik-baik. Berusaha menentukan mulai darimana.
"Apa anda mau sedikit tantangan, Miss Tuning?"
"AH!"
Dorothea terlonjak. Mundur satu langkah.
Tampak pria berambut mangkok tersenyum.
"Ah, uh, Mr. Iota, kan?"
"Untukmu? Iota saja, Miss Tuning," jawabnya. Menegakkan posisi berdiri. Tangan masih terlipat di belakang.
"Lagipula, aku sudah mengenal Ibumu sejak dia masih kanak-kanak."
"Uh? Kau—kau tidak terlihat setua itu?"
"Oh-ho?" Iota menutupi mulutnya dengan satu tangan. "Mungkin benar. Aku mungkin lebih kuno daripada itu."
Pria itu tersenyum lagi. Tangan yang tadinya terlipat kini mengulurkan sebuah buntalan.
Dengan ragu, Dorothea meraihnya. Dia membuka tali rami yang terikat. Menyibakkan kain. Tampak kotak kayu berukir di sana. Terkunci dengan kombinasi 4 huruf.
Dan ada tulisan di kain buntalannya. Tertulis dengan tinta biru.
Teka-teki?
"Sedikit perburuan mungkin bisa menghibur gala membosankan ini, no?" Iota mengedipkan mata.
Dorothea menunduk. Pipi memerah. Sepertinga dia menebak Dorothea tidak kerasan. Iota terkekeh.
"Kau bisa mengajak temanmu juga. Aku yakin Nona Thomasin tidak keberatan."
Dorothea tersentak. Lalu menoleh.
Dia lupa ada Todoroki di sini.
Iota menunduk. Mata hitam dingin mengerling. "Semoga berhasil, Miss Tuning, Mr. Todoroki."
Bunyi langkah sepatunya keras ketika meninggalkan mereka. Masih sambil tersenyum. Seakan dia tidak baru saja menjatuhkan teka-teki aneh untuk dua remaja bingung.
Dorothea melirik ke Todoroki. Netra emas dan netra abu-abu-biru saling tatap. Menilai satu sama lain.
"Sepertinya akan menyenangkan," komentar Todoroki.
Bagaimana kau bisa mengatakan itu dengan muka datar??
"Baiklah," desah Dorothea. Dia memasukkan kotak ke tas selempangnya. Lalu melebarkan lembaran kain. Agar Todoroki bisa ikut membaca.
"Perburuan dimulai."
***
Hark, traveler, find my hall
Under, below, it may call
Stacked within the aged grapes
Throne of madness, wines, and vines
O' merry human that sing with glee
The next secret is beneath the tree
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
This one will be crappy. Sorry.
Again, timeline? What timeline?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro