Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Manuscript 3 : Valiant 4

Dabi hampir tersedak sup miso ketika ada orang asing memasuki dapur saat sarapan.

"Yo, Nikky, aku kembali—!!"

Wanita itu melompat mundur melihat Dabi, Tenko, dan Himiko yang duduk mengelilingi meja.

Dia menjerit.

"OH GOD! THERE'S THREE??!!!"

Tenko terkikik kecil dibalik tangannya. Dabi dan Himiko saling berpandangan. Setidaknya lega karena Tenko terlihat mengenali perempuan ini.

"Halo, Auntie Monika!" sapa Tenko. Tangan melambaikan sumpit yang dia pegang. "Kaa-san ada di gudang."

Perempuan pirang bernama Monika itu tersentak. Sepertinya masih syok.

"Uh, terimakasih lil' prince," ucapnya. Dia berpaling ke Dabi dan Himiko. "Dan kalian...?"

"Himiko Smithborn!" jawab si gadis cilik dengan ceria. Dia benar-benar menyukai nama barunya.

"Uh, em, Dabi Smithborn," ucap Dabi mengikuti.

"Cool, cool. Smithborn, huh..." mata wanita itu menyipit.

"Eh, Nikky tidak menculik kalian, kan?"

Dabi tersedak lagi. Betulan, kali ini.

Sementara dia terbatuk dan Tenko menepuk punggungnya, Himiko angkat bicara.

"Tidak, Miss! Kaa-san menyelamatkan kami! Lalu, sekarang aku dan Dabi-nii menjadi Smithborn juga!"

Dabi-nii.

Tubuh pemilik nama baru itu seperti membeku.

Aku harus membiasakan diri dengan panggilan itu.

"Ugh, Nikky, you goddamn softy..." desis Monika sembari mengurut kening.

"Oke, oke, aku akan ke Ibu kalian dulu. Maaf mengganggu sarapan kalian!"

Wanita itu segera pergi dari ambang pintu.

"Uh, jadi..." Dabi menoleh pada Tenko yang duduk disampingnya. "Itu siapa?"

"Itu Auntie Monika! Dia sebenarnya sering datang. Tapi beberapa hari ini dia pergi karena pekerjaan."

"Oh? Apa dia teman Kaa-san?" tanya Himiko.

"Ya!" ucap Tenko sembari terkikik.

"Mereka teman baik!"

***

"Nikky you bitch!!"

"OI! JAGA MULUTMU!"

"Apa kau berniat mengadopsi setiap kali aku pergi untuk misi?!"

"Menurutmu aku harus apa dumbass? Meninggalkan mereka di keluarga seperti itu?!"

"You and your fucking bleeding heart, Smithborn..."

"Shut it, Ashling. Kau pasti melakukan hal yang sama jika jadi aku."

"Jadi, tempat ini menjadi Nikky's Home for Wayward Children?"

"Diam, Monika."

***

"Dabi, Himiko, ini Monika Ashling. Kalian bisa memanggilnya Auntie Monika. Dia temanku."

"Teman baik!" ucap Monika menyeringai. Dia dengan santai merangkul Nikky yang hanya mengurut pangkal hidungnya.

"Oh yeah, dan Dabi—"

Anak yang dipanggil mengangkat kepala.

"Kau bilang kau ingin mengecat rambutmu?"

Mata biru Dabi mengerling. Dia menatap Nikky yang tersenyum kecil dengan tidak percaya. Kemudian, dia mengangguk.

"Aww! Akhirnya!"

Pekikan dari Monika membuat Dabi terlonjak. Dengan sekejap, anak itu sudah berada dalam pelukan si wanita yang hampir membuat udara teremas keluar dari paru-parunya.

"Aku senang ada orang lain yang menghargai seni mewarnai rambut! Tidak seperti, yah..."

Monika memberikan tatapan kotor ke Nikky. Dibalas dengan hembusan napas panjang.

"Eh, jangan dengarkan orang tua itu," celetuk Monika. Kembali beralih ke Dabi. "Warna apa yang kau mau? Hijau? Biru? Dulu biru muda adalah kesukaanku. Putih? Pelangi?"

Dabi menjengit. Dia ingin mewarnai rambut merahnya agar tidak mencolok dan bisa membaur. Pelangi sepertinya hanya akan membuat hal itu sulit.

"Uh," Dabi berpikir-pikir. Matanya melirik ke rambut lurus panjang Nikky.

"Boleh aku mengecatnya jadi hitam?"

"Aww! Kau mau menyamai Nikky? Imut sekali!!"

Pipi Dabi memerah. Dia menunduk. Hal itu membuat Monika tergelak keras. Tawa yang baru berhenti ketika Nikky menjitak kepalanya.

***

Rutinitas mereka kembali seperti semula setelah pagi itu. Di akhir pekan, Monika membawa Dabi ke salon langganannya. Dan dia keluar dengan rambut hitam baru.

Dan tidak, Nikky sama sekali tidak menangis saat ada orang yang berkata dia mirip sekali dengan putranya.

Perempuan pirang itu kini juga menjadi tokoh konstan dalam kehidupan keluarga Smithborn. Monika secara sepihak mengklaim sebutan 'Cool Auntie' untuk dirinya. Dia dengan sayang memberikan panggilan 'lil' princess' untuk Himiko dan 'lil' knight' untuk Dabi. Yang terakhir itu membuat si paling tua heran.

"Menurutku cocok, kalau Himiko dan Tenko putri dan pangeran, mereka butuh kesatria untuk menjaga mereka, kan?" terang Nikky kala itu. Mata biru tua yang hangat menatap netranya yang lebih muda.

"Kau bisa melindungi mereka, kan, Dabi?"

Remaja itu terhenyak.

Ingatan Dabi berputar. Pada masa lalu yang terus menghantuinya. Tentang suara kecil dari dua anak berambut putih yang mengajaknya bermain. Candaan lembut dan tawa dari mereka. Adik-adiknya.

Kadang kala, dia merasa dirinya hanya seorang egois yang pengecut. Akan tetapi, dia paham. Dia tidak bisa melawan keparat sialan yang disebut 'Ayah' itu. Dia tidak bisa menang.

Kehidupan itu tidak adil.

Dia tidak tahu apa dia bisa bertemu keluarga kandungnya di masa depan. Jujur, saat api menyambar dan menjilat tubuhnya, dia yakin dia tidak akan bisa melihat mereka kembali.

Dia yakin dia tidak akan hidup.

Akan tetapi, di sinilah dia.

Sekarang dia punya Himiko dan Tenko.

Adik perempuan dan laki-laki.

Dia kembali menjadi seorang kakak.

Suatu hari nanti, dia berharap bisa bertemu dengan adik kandungnya lagi. Dia berharap semua adiknya bisa saling bertemu.

Untuk sekarang—

"Ya," bisiknya pada Monika saat itu.

"Kali ini, aku pasti menjaga mereka."

***

Tenko nyaman dengan hidupnya sekarang.

Dia memiliki rumah dan keluarga baru yang dia sayangi. Sekolah dimana teman-teman tidak menjauhi atau merundungnya. Dia bahkan punya rutinitas yang dengan senang hati dia jalani.

Namun, diantara rutinitas itu, dia mulai menyadari hal baru.

Awalnya itu bisa disebut ketidak sengajaan. Tenko terbangun tengah malam karena ingin ke kamar mandi. Akan tetapi, ketika kembali ke kamar. Telinganya menangkap sesuatu.

Dering ponsel.

Beberapa detik kemudian, bunyi itu berhenti. Lalu terdengar suara Nikky berbicara. Tenko sudah kembali di atas kasurnya. Dia tidak bisa mendengar suara Ibunya itu dengan jelas.

Setelah itu, pintu berderit terbuka. Langkah kaki Nikky menggema saat dia menuruni tangga. Terdengar lebih banyak suara lagi. Seperti kumpulan barang yang berbenturan. Kening Tenko mengerut mendengarnya.

Apa yang Kaa-san, lakukan?

Bunyi itu berhenti. Diikuti bunyi 'klik' dari kunci yang diputar. Tenko semakin bingung.

Kaa-san keluar semalam ini? Apa ada sesuatu terjadi?

Tenko berusaha tetap terjaga. Setidaknya, sampai dia mendengar pintu terbuka lagi. Akan tetapi, pelupuk matanya semakin berat. Udara malam yang sejuk juga tidak membantu.

Akhirnya, kantuk menang.

***

Keesokan harinya, Tenko turun untuk sarapan.

Nikky sudah di dapur.

Dia tampak biasa. Hanya bergumam pelan sembari mengaduk panci berisi bubur. Dia tersenyum melihat Tenko yang berjalan terhuyung. Sebelum duduk di salah satu kursi dan mengucek mata.

"Pagi, little one," sapanya. "Kau mau bubur? Atau sereal?"

Tenko memiringkan kepala. Nikky tampak tidak berbeda. Tidak ada kantung mata atau muka yang pucat. Sepertinya dia baik-baik saja.

"Sereal, tolong."

Nikky tersenyum. Dia membuka lemari dan memberikan kardus sereal gandum ke Tenko. Bertepatan dengan Dabi yang masuk ke dapur sembari menggandeng Himiko yang menguap.

"Pagi!" ucap Nikky ceria.

Tenko berdehum.

Nikky bersikap seperti biasa juga. Tidak ada yang aneh.

Mungkin memang tidak ada yang terjadi malam itu. Mungkin dia hanya terlalu banyak.

Jadi, Tenko mengurungkan niatnya bertanya.

***

Malam itu.

Ponsel berdering lagi.

***

Tenko mengintip ke kamar kakaknya dengan ragu-ragu. Tempat itu dulunya salah satu gudang. Dan walaupun sudah diubah menjadi kamar, tempat itu masih terlihat berantakan.

"Dabi-nii!"

"Oh, hei, Ten. Ada apa?"

"Apa kau-uh, kau sedang apa?"

Tenko mendekati Dabi yang tampak sibuk di meja belajarnya. Dabi mendengus kecil.

"Ini tugas penentuan karir," ucap Dabi. "Hanya sedikit bingung."

Alis Tenko menukik. Ekspresi berpikirnya itu membuat Dabi terkekeh.

"Temanku Daniel pernah bilang dia ingin menjadi seperti Ibunya, seorang penemu," gumam Tenko. "Dan Aoi bilang dia ingin membuka kafe atau restoran."

"Hmmm, bahkan seumur kalian sudah memikirkan soal ini, ya?" celetuk Dabi. Mengetukkan pensil di mejanya.

"Bagaimana denganmu, Ten?"

Tenko berdehum kecil. Dia menggaruk kepala.

"Dulu... aku pernah ingin menjadi Pahlawan."

"Dulu?"

"Yep!" ucap Tenko. "Tapi, sekarang aku tidak tahu..."

Dabi mengangkat alis. "Kenapa?"

"Aku rasa aku tidak cocok. Juga, Kaa-san bilang, menjadi Pahlawan bukan satu-satunya cara membantu orang." ucapnya bersemangat. "Banyak pekerjaan lain yang bisa berguna."

"Yah, kau tidak salah soal itu," ucap Dabi. "Setelah dipikir, banyak temanku yang juga tidak ingin menjadi Pahlawan."

Dulu, di sekolah lama Tenko, hampir semua anak ingin menjadi Pahlawan. Mereka sering bermain Pahlawan dan Penjahat dan mengobrol soal debut Pahlawan baru. Beberapa bahkan sampai sudah mempersiapkan nama Pahlawan dan desain kostum mereka.

Dan itu masuk akal. Kau bisa mendapat bayaran bagus dan ketenaran jika menjadi Pahlawan. Sayang sekali, jika hanya itu motif yang para anak miliki, tanpa ada rasa ingin menolong orang lain sama sekali, pasti mereka tidak akan menjadi Pahlawan yang baik.

"Siswa Mandaroa itu aneh," ucap Tenko mengangguk setuju. Dabi tertawa.

"They sure are, Ten. They sure are. Ngomong-ngomong, kenapa kau ke sini?"

"Uh, itu—" gumamnya. Menggigit bibir kering. "Apa kau sering mendengar telpon saat malam?"

Dabi berdehum. "Ya. Dari kamar Nikky. Mungkin Nikky-san sedang menelpon Monika? Atau klien?"

Anak di depannya terdiam. Wajahnya cemberut. "Mungkin..."

"Hei, memang kenapa?"

"Entahlah," gumam Tenko mengangkat bahu. "Cuma perasaan buruk."

***

Suara ribut membangunkan Dabi pada tengah malam. Remaja itu mengintip keluar dari kamarnya untuk memastikan.

Mata biru bertatapan dengan mata merah Tenko.

"Hei," ucapnya sembari keluar. Dia mengacak rambut putih adiknya itu. "Belum tidur?"

Tenko menggeleng. "Dengar suara aneh," gumamnya sembari mengucek mata. "Baru ingin memanggilmu."

"Kau sudah bangunkan Nikky-san?"

Anak yang lebih pendek kembali menggeleng. Berbicara separuh berbisik. "Kaa-san tidak ada di kamar."

Alis Dabi mengerut.

Itu aneh.

Suara terdengar lagi.

Dabi perlahan melangkah menuju tangga. Tenko tidak jauh di belakangnya. Mengekor dengan hati-hati. Mereka turun dan menunggu. Suara terdengar lagi dari area toko.

Mereka menemukan Nikky.

Terbaring memegangi perutnya.

"Kaa-san!!"

Tenko yang pertama bergerak. Dia berlutut di samping Ibunya. Dabi mengikuti. Matanya melebar.

"Apa yang—itu luka tusuk?!"

Nikky terkekeh. Walau yang keluar hanya terdengar seperti hembusan napas tersendat.

"Aku baik-baik saja, Dabi—"

"Nikky-san!" protes Dabi. "Itu luka tusuk!"

"Ei, ei, tenang, oke? Ambilkan aku buku bersampul merah dari lemari dekat kaca. Tertulis Sacred Link."

"Huh? Aku tidak mengerti—"

"Sekarang, Dabi!"

Anak itu terlonjak. Meninggalkan Tenko dengan Nikky yang masih meringis dan menahan lukanya. Dabi segera menemukan buku satu-satunya merah di lemari itu. Otaknya berpacu.

Apa yang terjadi?

Kenapa Nikky-san terluka?

Kenapa dia tidak memakai quirknya?

Itulah yang paling aneh. Nikky bisa menyembuhkan lukanya sendiri. Akan tetapi, kenapa kali ini tidak?

Dabi memberikan buku itu. Nikky membukanya dengan tangan yang berlumur merah.

Itu bukan buku.

Kertas di dalamnya sudah dipotong membentuk kotak. Membuat dalamnya menjadi kosong. Terdapat sebuah vial berisi cairan hijau kental di sana. Seperti lendir.

Nikky mengambilnya. Membuka tutupnya dengan jempol. Tenko dan Dabi berjengit ketika Ibu angkat mereka menghabiskan cairan itu sekali teguk.

Dan menunggu.

Beberapa menit kemudian, Nikky mengangkat tangannya. Terlihat luka berdarah di sana. Dabi dan Tenko terkesiap.

Lukanya bersinar biru.

Menutup.

Dabi menghembuskan napas lega. Tenko langsung menghambur ke pelukan Ibunya. Tidak peduli dengan noda merah lengket yang menghiasi baju Nikky.

"Apa kau akan butuh tranfusi?" tanya Dabi. Matanya memicing melihat darah yang ada di pakaian Nikky. Terlihat cukup banyak. Wanita itu menggeleng.

"Sebagian besar bukan darahku."

Dabi terlonjak. Begitu juga Tenko yang melepaskan pelukannya.

"Nikky-san," bisik Dabi. "Apa yang terjadi? Apa ada perampok? Apa kau diserang—"

CRAAASH!!

"Sial!"

Sesuatu memecahkan jendela. Tubuhnya hitam berlendir. Bersayap layaknya kelelawar. Memiliki kepala reptilia.

Makhluk itu meraung—

Nikky melepaskan dua tembakan.

—dan makhluk itu ambruk.

Jatuh secepat dia datang.

"Ugh, oke itu sangat antiklimatis," dengus Nikky.

Dia berbalik. Menatap dua anak yang tadi dia tarik mundur. Mata mereka lebar. Tubuh mereka jelas bergetar. Nikky menggigit bibir. Dia sadar gambaran apa yang dilihat anak-anaknya. Tubuh demon yang masih menggeliat juga tidak membantu.

Oh, seakan malam ini tidak bisa jadi lebih buruk, pikir Nikky.

"Kaa-san? Tenko-nii? Dabi-nii?"

Yep, ternyata bisa.

Himiko tampak malu-malu mengintip dari balik pintu. Dari ekspresinya, sepertinya dia cukup lama berdiri di sana.

Nikky menghela napas. Dia benar-benar tidak ingin menakuti anak-anaknya.

Agak terlambat untuk itu.

Setidaknya mereka tidak terluka.

"Aku berhutang penjelasan, ya?"

***

Nikky mengumpulkan mereka di ruang tengah. Lalu menelpon Monika untuk membawa tim pembersih dan mengurus bangkai monster yang masih ada di area toko. Dia bisa memikirkan kerusakannya nanti. Sekarang ada hal yang lebih penting yang harus dia urus.

"Jadi," Nikky mengurut kening. Dia duduk di bangku. Berhadapan dengan Tenko, Dabi, dan Himiko yang duduk di sofa.

"Good lord, aku tidak tahu harus mulai darimana..." gumamnya. Dia mengelus mukanya.

Perlahan, mata hijau-biru terangkat. Memandangi satu persatu wajah bingung anak-anaknya.

"Kalian... pernah dengar soal Children of Earth?"

Mereka bertiga berpandangan sebentar. Lalu menggeleng.

Nikky menarik napas. "Baiklah. Ini akan jadi cerita yang sangat panjang."

Jadi, itulah yang Nikky lakukan.

Bercerita.

Mengenai abnormalitas dan demon. Artefak dan sihir. Mengenai The Children, The Silent Hands, dan organisasi lain diantaranya.

Dia bercerita tentang monster dan 'dewa' yang tinggal di batas luar angkasa. Menceritakan tentang demon yang hampir menyerang mereka. Dia menceritakan versi sederhana horor apa yang mereka hadapi.

Nikky bersyukur karena besok hari libur. Karena cerita ini akan makan waktu lama.

Benar saja, saat matahari mengintip dari horizon, ceritanya selesai.

Ketiga anak memprosesnya dengan terpana.

"I-itu—" Dabi berusaha berkata. Namun, lidahnya kelu. Dia tidak tahu apa yang harus dia ucapkan.

Semuanya terdengar sangat aneh dan di luar batas manusia.

Sangat menakjubkan.

"Apa itu berarti Kaa-san seorang Pahlawan?" tanya Himiko. Mengangkat tangannya seperti di kelas.

Nikky tampak terhenyak. Kemudian tersenyum kecil.

"Bukan, dear, kami tidak pernah menjadi Pahlawan."

"Tapi," giliran Tenko angkat bicara. "Kaa-san melindungi orang, kan?"

"Ya," gumam Nikky. "Memang tidak secara langsung, tetapi kau bisa bilang begitu."

Tenko mengangguk kecil. Keningnya mengkerut. Benar-benar menelan semua informasi itu perlahan.

"Tidak seperti Pahlawan," ucap Nikky. "Kami bekerja dari bayang-bayang. Lebih condong seperti underground Pro Hero."

"Dan ancaman yang kami hadapi bukan penjahat. Melainkan sesuatu yang lebih... tua."

Berbahaya.

"Itu sebabnya kami harus sangat sekretif dan hati-hati," terang Nikky.

Tenko dan Himiko ber-oh pelan. Sementara itu Dabi terdiam. Larut dalam pikirannya sendiri.

***

Nikky sedang membaca di ruang tengah ketika Dabi menghampirinya.

"Uh, Nikky-san?"

"Ya, Dabi?"

"Aku—aku ingin bertanya," ucap remaja itu. Gestur tubuhnya tampak ragu. Memindahkan tumpuan di kaki dengan canggung. Dia menarik napas. Seakan mempersiapkan diri untuk-sesuatu.

"Bagaimana cara menjadi Children of Earth?"

Diam.

Dia bersumpah dia bisa mendengar suara pin jatuh.

Nikky tampak terperangah. Menatap anak di depannya dengan mata mendelik.

"Dabi, apa kau yakin—"

"Ya."

Jawaban itu cepat. Terlalu cepat dari yang Nikky suka.

Wanita bermata heterokrom itu memberi gestur agar Dabi duduk. Si remaja duduk di samping Ibu angkatnya itu dengan gugup.

"Dabi, ini adalah hal yang harus kau pikirkan matang-matang. Makhluk yang ada di luar sana—tidak semuanya cantik. Sebagian besar bahkan keluar langsung dari mimpi burukmu."

"Dan kalian yang bertugas melindungi kami dari mereka," ucap Dabi. "Aku ingin melakukan itu juga."

"Dabi—"

"Nikky-san," selanya. "Aku ingin bisa membantu orang. Dengan semua kekuranganku, aku tetap ingin bisa berguna."

Dabi menunduk. Memainkan ujung bajunya.

"Ayahku—dia memaksaku menjadi Pahlawan. Pada suatu titik, aku tidak masalah dengan itu. Aku ingin menjadi Pahlawan, tapi—" Dabi menggigit bibir.

"Jika menjadi Pahlawan membuatku menjadi seperti dia. Aku tidak mau lagi."

"Kau punya pilihan lain."

Dabi memberikan senyuman kecil sembari menunduk. Mata biru layaknya es memandang Ibunya dengan kilatan lembut.

"Kau benar-benar berbeda dari dia, Nikky-san," bisiknya. "Aku senang kau memberiku pilihan, tapi—"

"Ini pilihanku."

Nikky mendesah. Tangan memainkan rambut hitam panjangnya sendiri.

"Aku tidak akan bisa merubah pikiranmu, ya?"

Dabi menggeleng. Wajahnya tersenyum puas.

"Yep, oke. Berarti aku harus menghubungi Monika untuk menjadwal latihan—"

Tepat saat itu, Tenko dan Himiko menghambur masuk.

"Aku juga mau menjadi sepertimu, Kaa-san!" ucap Himiko. Riang seperti biasa.

Tenko sendiri lebih diam. Namun turut mengangguk. Ada determinasi di iris merahnya.

"Aku dulu ingin menjadi Pahlawan," koarnya. "Namun, pada akhirnya bukan Pahlawan yang menolongku."

"Kaa-san yang menolongku. Aku ingin menjadi seperti Kaa-san!"

Nikky tertawa. "Oke, oke, kalian semua mau menjadi anggota The Children. Tapi, tidak ada latihan sampai kalian berumur 14, hmm?"

Tenko dan Himiko mendengus kecewa. Nikky mengelus kepala mereka sembari tersenyum. Dabi paham soal itu. Nikky tetap tidak mau membebani mereka. Netra hijau-biru kembali melirik ke Dabi.

"Apa kau ingin bertarung dengan quirkmu, Dabi?"

Anak berambut hitam itu tercekat. Lagi-lagi, Nikky membuatnya terkejut dengan memberikan pilihan. Dia ingin Dabi merasa nyaman dan aman.

Aku boleh tidak menggunakan apiku.

Tetapi

"Ya, aku ingin menggunakan quirkku," katanya memutuskan. "Jika demon ini sangat kuat, sebaiknya aku mengerahkan semua yang aku punya juga."

Nikky mengangguk setuju. Tenko dan Himiko bersorak menyemangati.

"Kalau begitu, tujuan pertama adalah memikirkan cara mengatasi quirkmu agar tidak membakar dirimu sendiri."

Dabi membuang napas lega.

Latihan kali ini tidak akan sama dengan latihan lamanya.

***

Timeskip : 10 years later

***

The Hourglass selalu menjadi rumah untuk Tenko. Dan sekarang, bahkan setelah dia memiliki apartemen sendiri, dia masih lebih kerasan nongkrong di toko barang tua itu. The Hourglass sudah menjadi semacam markas tidak resmi The Children pada poin ini. Mengingat satu augur bahkan melakukan briefing misi di toko.

Untuk organisasi yang seharusnya sudah bubar—

Children of Earth punya banyak urusan.

Tenko senang bersantai di ruang tengah yang familiar. Memindah saluran televisi dengan bosan. Dia menguap. Sejauh ini tidak ada acara yang menarik. Himiko sendiri duduk bersandar di pundaknya, tangannya sibuk menggambar di buku sketsa.

"Menurutmu aku butuh lebih banyak pisau?" tanya gadis remaja itu.

Tenko melirik. "Oh, please, koleksimu tidak cukup?"

"Entahlah, aku agak gugup saja," bisiknya. "Inisiasiku tinggal bulan depan, aku hanya ingin memastikan aku siap."

"Ey, jangan khawatir little sis!" ucap Tenko. Tangan bersarung mengacak-acak rambut pirang adiknya. Membuat Himiko mendesis protes.

"Serius, dengan kemampuanmu menggunakan pisau dan pisau lempar, kau akan diterima di Order of Paladin dengan sekejap," ucapnya sembari tersenyum.

"Siapa tahu, kita bisa ditugaskan bersama dalam misi!"

Himiko terkikik. Tangan melanjutkan sketsa monster humanoid yang menurut Tenko mirip seperti troll.

"Ngomong-ngomong soal misi. Dabi lama sekali, biasanya dia sudah kembali," celetuk Himiko.

Tenko hanya mengangkat bahu. Tangannya berhenti memenekan remote di saluran berita. Suara penyiar terasa jauh di telinganya.

"—Sekolah Kepahlawanan paling bergengsi di Jepang, U.A."

"—Serangan yang terjadi di USJ dilakukan oleh organisasi teroris—"

"—Mereka menyebut diri mereka Athent's Shield"

"—All Might sendiri turun tangan"

Pintu dibanting terbuka.

Tenko tersentak dan Himiko hampir terjatuh dari tempat duduknya. Tampak Dabi berdiri dengan wajah kesal.

Himiko mengangkat alis. "Kau baik-baik saja, bro?"

"Yeah, apa informasinya salah? Ada demon selain canineas?" timpal Tenko.

Dabi hanya mendengus. Menjatuhkan dirinya di loveseat. "Lebih parah lagi, aku bertemu Pro Hero."

Sementara Himiko tergelak. Tenko menahan senyum.

"Ayolah Dabi-nii, itu tidak terlalu buruk—"

"Oh, kalian tidak mengerti!" tandas Dabi. "Ingat peristiwa grup teroris di USJ kemarin?"

"Yep!" ucap Himiko. Tangannya menunjuk televisi. "Ini ada berita lanjutannya."

"Yeah, saat aku baru mau bilang aku dari sebuah organisasi, dia malah menuduhku anggota organisasi itu, like, bitch what the fuck?"

Sekarang Tenko dan Himiko tertawa. Dabi masih merutuk.

"Dan saat aku akan bilang aku bukan penjahat, dia malah menuduhku bagian dari semacam League of Villain! Organisasi itu bahkan tidak ada! Goddamn birdbrain..."

Tawa kedua adiknya malah semakin keras. Bahkan Himiko menghapus air matanya.

"Tapi jujur, League of Villain terdengar badass," ucap Himiko menyeringai. Menampilkan taring runcingnya.

Tenko menggeleng. "Kita bukan Penjahat, sis."

"Uhh, League of Vigilante?"

"Kita juga bukan vigilante, kita punya lisensi," celetuk Dabi.

"League of Victory!"

"Nope, terlalu berlebihan."

"League of Valor?"

"Terdengar seperti tim di suatu game collectable monster."

"League of... Vegetarian?"

"Oke, kau kehabisan kata berawalan huruf V," kata Dabi dengan kekehan.

Himiko cemberut. "Bagaimana denganmu, Tenko-nii? Ada ide?"

Tenko berdehum. Tangannya mengelus dagu. Dia mengingat hal-hal apa saja yang harus mereka hadapi sampai sejauh ini. Mulai dari broken home, orang tua abusif, dan segalanya.

"Bagaimana kalau... Valiant?"

"Valiant?" Himiko menelengkan kepala.

"Yeah, memilki keberanian dan determinasi, menurutku cocok."

Dabi dan Himiko saling berpandangan. Lalu, ketiganya bertukar senyum.

"League of Valiant it is."

***

.

.

.

Manuscript 3 :
VALIANT

The End

***

.

.

.

.

Extra :

Tenko sedang membuat katalog buku-buku yang ada di area toko hari itu. Dabi dan Monika pergi untuk melatih Himiko. Jadi, Tenko dan Nikky tinggal untuk menjaga toko.

Dia benostalgia melihat buku cerita lama yang dulu sering dia baca—

Ketika pintu berderit terbuka.

Di ambang pintu, tampak seorang perempuan muda. Mungkin seumuran dengan Himiko. Dia tampak canggung dan bingung. Bergerak dengan ragu memasuki toko.

"Selamat datang di The Hourglass. Ada yang bisa saya bantu?" ucap Tenko lembut.

"Uh, emm, aku mencari... Nikky Smithborn?"

Kaa-san?

"Tunggu sebentar," ucap Tenko sembari menaruh katalog di meja kopi antik. Baru hendak pergi memanggil Ibunya.

Namun, Nikky masuk duluan ke area toko.

"Tenko, apa kau sudah—"

Kalimatnya terputus.

Nikky dan gadis di pintu saling bertatapan. Manik beda warna Nikky menyiratkan kaget. Tenko menatap dua perempuan itu bolak-balik. Bibir Nikky bergetar ketika mengucapkan satu nama.

"Avery?"

Kali ini, giliran netra emas yang membulat kaget.

Sementara itu, pandangan Nikky melembut.

"Ah, bukan. Bukan Avery."

Tenko melirik gadis asing itu. Masih terpaku. Separuh wajah terbenam dalam syal panjang.

Tampak sama bingungnya dengan Tenko sendiri.

Nikky hanya tersenyum sedih.

"Halo, Dorothea."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro