Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Manuscript 3 : Valiant 2

"Shimura Tenko, dia memang hilang beberapa hari lalu."

Suara Polisi di depannya terdengar... aneh. Ada sedikit nada takut. Seakan dia berbicara soal hantu. Bukan anak kecil.

"Uh, Smithborn-san, aku benci mengatakan ini, tetapi quirk anak itu sangat berbahaya."

Nikky mengangkat alis. Tangannya bersedekap. "Oh?"

"Ya, quirknya bisa menghancurkan apapun yang dia sentuh. Ada kecelakaan terjadi ke keluarganya—"

Quirk yang menghancurkan apapun yang dia sentuh.

Kecelakaan.

Keluarga.

Kenapa dia takut memegangku.

Petunjuk-petunjuk itu berlarian di kepalanya. Berputar. Merangkai sebuah cerita yang utuh.

Mata Nikky membulat. Tangannya menutupi mulut yang terperangah. "Astaga..."

"Ya," desah polisi itu. "Itu sangat... tragis."

Nikky mengangguk. Lalu melemparkan pandangan. Tenko terlihat bergetar di kursi tunggu tempatnya duduk. Sesekali berjengit ketika mendengar suara yang terlalu keras di dekatnya.

"Apa yang akan terjadi padanya?" bisik Nikky.

Polisi itu membuka lembaran kertas yang ada di atas meja. Kemudian kembali menatap Nikky. "Kemungkinan besar dia akan masuk ke sistem asuh."

Nikky menatap Polisi itu tidak percaya.

Dia melihat merah.

Foster system?

Apa kau tidak tahu bagaimana anak dengan quirk seperti itu diperlakukan?

Mereka tidak akan peduli!

Sekali lagi, wanita itu memandang Tenko. Sepasang manik merah tampak tidak fokus. Menatap ke segala arah. Seakan menunggu siapapun—apapun—untuk menerjang.

Tidak. Nikky tidak bisa membiarkannya.

"Apa yang harus kulakukan untuk mengadopsinya?"

Si Polisi terperanjat. "Uh, Ma'am, kau yakin? Quirk anak itu—"

BRAKK

Suara gebrakan meja itu cukup untuk membungkam mulut polisi.

Orang-orang disekitar mereka berhenti. Memandang dan berbisik. Nikky tidak peduli. Tangannya yang di meja menggenggam. Buku-buku jari memutih.

Mata hijau-biru tampak mengancam.

"Jangan buat aku mengulang kata-kataku."

"B-baik, biar aku lakukan s-sesuatu..."

***

"Tenko-kun?"

Suara itu menganggetkan Tenko dari renungannya. Dia menoleh. Mata hijau biru yang hangat menatap balik.

"Kau baik-baik saja?"

Pertanyaan itu sering keluar dari mulut Nikky. Dia tahu bahwa perempuan di depannya hanya khawatir akan keadaannya. Akan tetapi, dia sendiri tidak tahu jawaban untuk pertanyaan itu.

Apa aku baik-baik saja?

"A-apa yang terjadi sekarang?" bisiknya lirih. Bibirnya terasa kering.

"Uhm, soal itu—"

Nikky menunduk. Tangannya mulai memainkan rambut hitam yang tergerai.

"Kau bisa tinggal denganku."

Mata merah melebar. Tenko menengok ke arah Nikky dengan terkejut.

"Ah—tentu kalau kau tidak mau—"

"Kau serius?" bisiknya. Sangat lirih. Mungkin hanya Nikky yang cukup dekat untuk mendengarnya.

"A-aku boleh—tinggal—?"

Nikky tersenyum kecil. Dia mengelus rambut putih dengan lembut.

"Tentu saja, little one."

Tenko terkesiap. Dia mengeluarkan senggukan dari tenggorokan. Pipinya basah.

Dia menangis.

"T-terima kasih. Sumi—Smit—"

Nikky tertawa kecil. Dia memeluk Tenko dengan hati-hati. Memikirkan posisi tangan anak itu.

"Kau bisa panggil aku Nikky."

***

Di semesta yang lain, Nikky Smithborn tidak menikah. Akan tetapi, dia mengulurkan tangan ke seorang anak bermata rubi yang dia tabrak di jalan.

Di semesta itu, Shigaraki Tomura tidak pernah terlahir.

Dan Tenko Smithborn mendapatkan rumah baru.

***

Sudah beberapa hari Tenko tinggal bersama Nikky di The Hourglass.

Dia mendapat kamar kecil sendiri di lantai dua. Bersebelahan dengan kamar Nikky. Kadang lorong dan bagian toko penuh sesak dengan barang-barang antik. Akan tetapi—

Entah kenapa, dia merasa aman.

Saat Nikky bilang bahwa dia akan merawatnya, Tenko awalnya merasa agak bingung.

Apa dia tidak takut? Begitu yang ada dipikirannya.

Namun, sepertinya itu memang benar. Nikky tidak takut. Dia dengan sabar berbicara dan membantunya.

Dia tidak pernah marah ataupun membentaknya. Selalu bicara dengan lembut dan tidak membuat gerakan tiba-tiba. Bahkan ketika dia tanpa sengaja menghancurkan sebuah patung yang kelihatan kuno, Nikky tidak marah.

"Oh, well, aku yakin benda itu dikutuk, anyway," ucapnya waktu itu. Kemudian mengajak Tenko menyapu abunya.

Setelah itu, Nikky menjahitkan sepasang sarung tangan dengan bagian jari kelingking dan manis dipotong. Dengan begitu, Tenko tidak perlu khawatir menghancurkan barang tanpa sengaja.

Lagi-lagi, Nikky memberikan sarung tangan itu dengan tersenyum. Bahkan dengan santai memakaikan benda itu pada tangan Tenko.

Nikky itu aneh. Begitulah kesimpulan Tenko.

Apa dia tidak takut?

Tenko masih berpikir demikian sampai mobil Nikky terparkir di depan rumah sakit.

Ah, benar. Hari ini, mereka hendak mengecek quirknya.

Dokter dan perawat di rumah sakit itu ramah. Yang lucu, sepertinya semua orang di sana kenal dengan Nikky. Tenko melihat mereka semua saling sapa dan bahkan memberi senyum pada anak itu. Tenko hanya bersembunyi di belakang kaki Nikky dan tersipu.

Nikky menemaninya selagi berkonsultasi. Dokter yang memeriksanya bernama Yamanaka Ren. Tenko sudah siap untuk dihujat dan dikecam. Dia tahu quirknya adalah quirk penjahat.

Namun, Dokter Yamanaka tersenyum.

"Quirkmu membutuhkan five-touch activation, jadi menggunakan sarung tangan itu adalah langkah bagus!" pujinya.

Mereka melakukan beberapa percobaan. Seperti mengecek berapa massa benda yang bisa dia hancurkan dan berapa cepat. Dokter Yamanaka mencatat semuanya. Memberikannya semangat.

Sementara itu, tangan Nikky yang setia di pundaknya serasa seperti jangkar. Gestur mungil itu cukup untuk menenangkan Tenko.

"Yap! Semuanya selesai!" ucap si dokter ceria. "Kau anak yang pintar, Tenko-kun!"

Tenko menunduk malu. Mendekatkan diri pada Nikky yang tertawa.

"Oke, yang kita butuhkan tinggal nama!"

"N-nama?"

"Yep!" ucap Dokter itu dengan semangat. "Nama untuk quirkmu, tentu saja!"

Tenko terdiam. Dia berpaling dan menatap ke Nikky. Meminta saran dalam diam. Wanita itu menepuk kepalanya.

"Bagaimana kalau... Disintregation?"

Kepala Tenko menegak. Nama itu tidak terdengar buruk.

Dia kembali menengok kepada Dokter Yamanaka. Lalu memberikan persetujuan lewat anggukan kecil. Sang dokter terkekeh, kemudian menuliskan nama itu di formulir yang terjepit di clipboard-nya.

"Disintregation it is!"

"Terima kasih, Yamanaka."

"Heh! Tidak masalah. Rasanya senang kau kemari bukan karena luka tusuk atau patah tulang!"

"Hei! Ada anak kecil di sini!"

Tenko hanya mengerjapkan mata dengan heran.

Hal yang disebut Dokter Yamanaka tidak terdengar menyenangkan.

Apa Nikky sering terluka?

Akan tetapi, pikiran itu hilang ketika Dokter Yamanaka mengalihkan perhatiannya dengan lollipop.

***

Ketukan keras yang diulang-ulang membangunkan Nikky pagi itu.

Tentu bukan hal yang menyenangkan. Mengingat dia baru selesai berkejaran dengan casterkite. Demon bersayap memang bukan main susahnya untuk ditangkap.

Dia bangkit dari tempat tidur dan meregangkan tubuh. Mengucek mata lalu melirik ke jam dengan pelupuk masih separuh tertutup.

Jam lima pagi.

"Who the fuck coming to antique store at 5 o'clock in the morning?!"

Ketukan terdengar lagi.

Lebih keras dan memaksa, kali ini.

Nikky mendengus. Mengumpulkan tenaga untuk turun dari kasur.

"Ya, ya, aku datang!"

Dia turun dengan langkah terseok. Tidak peduli benda tua apa yang dia senggol. Masalah untuk Nikky di pagi hari.

Ketukan itu terdengar lagi.

"Bersabarlah," desis Nikky sembari berkutat dengan kunci.

Dan ketika pintu terbuka—

Wajah Monika Ashling dengan ekspresi kesal tersuguhkan di sana.

"Monika? Apa-apaan—"

"Apa-apaan? Apa-apaan?! Seharusnya aku yang bilang begitu!"

Nikky mengangkat alis. Rasanya hal ini familiar.

Hanya terbalik.

"Kau tidak bisa memberikanku pesan yang hanya bertuliskan 'aku punya anak' dan tidak menjelaskan apapun! Aku hampir jantungan di tengah misi, Nikky!"

Wanita yang diteriaki hanya terdiam dan menggaruk leher. Oke, dia mengakui itu salahnya. Namun, sebagai pembelaan, dia juga agak syok saat itu.

"Lagipula, aku tidak tahu kau hamil! Bagaimana bisa? Apa itu sihir—?!"

"Wait, wait. Calm your tits, women!" sela Nikky. Dia mengurut kening. "Apa menurutmu aku tidur dengan fae atau semacamnya?"

Monika hanya berdehum. Seakan sungguh mempertimbangkan ide itu. Nikky menjitaknya.

"No, you dummy. Aku mengadopsi."

Akhirnya, kesadaran seakan menyelinap ke otak Monika. Mulutnya jatuh terbuka. Wanita pirang itu melongo.

"Ah," dia menggaruk leher. "Itu masuk akal."

Nikky menggelengkan kepalanya. Terbiasa sekali dengan hal ini.

"I swear, you're not dumb. Just a dumbass..."

Monika membalas dengan cengiran. Akhirnya mood menjadi lebih baik.

"Jadi...," gumam Monika. "Kapan aku bisa bertemu lil' prince? Princess?"

"Prince," ucap Nikky dengan nada lelah. "Untuk itu, kau bisa kembali besok pagi—"

"Ah iya, soal itu..."

Tangan Monika menggaruk rambut pirang di kepalanya.

"Sofamu kosong?"

Nikky mendenguskan tawa kecil. Lalu mengangguk. Dia membuka pintu lebih lebar.

"Masuklah. Kau tahu dimana selimut cadangannya, kan?"

***

Pagi itu, Tenko turun untuk sarapan. Dan dia mendengar dua suara dari dapur.

Anak itu melangkah dengan ragu-ragu. Berjingkat diatas lantai kayu toko yang mengkilat. Dia berhenti di dekat pintu. Lalu menjulurkan kepalanya. Mengintip siapa yang ada di dalam.

Mata merah bersirobok dengan mata biru.

Tenko terkesiap. Hampir terjengkal mundur. Namun, dia menyadari bahwa Nikky bersama wanita asing itu. Dia mengerjap. Dengan ragu, mulai mengambil langkah untuk masuk.

Perempuan asing itu tersenyum. Senyumannya manis. Mirip dengan senyuman Nikky.

"Heya there, lil' prince!"

Tenko terlonjak. Kemudian berlari kecil. Bersembunyi di belakang Nikky. Tangan kecilnya yang bersarung terkepal di baju Ibu angkatnya itu.

Nikky terkekeh. "Tenang little one, ini temanku, Monika Ashling."

"M-Moni—Monika?"

Yang memiliki nama terkekeh. "Benar sekali lil' prince. Oh, kau bisa memanggilku Auntie Monika!"

Tenko masih menatapnya dengan ragu. Mata merah awas mengawasi gerak-gerik wanita itu. Monika terkekeh. Dia merogoh ke kantongnya. Mengambil sesuatu.

Dia mengulurkan permen.

"Ini manisan yang aku dapat dari Mesir! Cobalah!"

Anak itu menggigit bibirnya yang kering. Dengan ragu mendongak ke Nikky. Wanita itu tersenyum dan mengelus surai putihnya. Memberikan anggukan.

Tenko mengambil beberapa langkah maju. Mengulurkan tangan dan mengambil bungkusan kecil itu.

"Terima k-kasih."

Monika tersenyum. Kemudian mengelus rambutnya.

"Anytime, lil' prince."

***

Nikky berjalan dengan langkah tegap dan kepala terangkat. Bunyi 'klak-klak' dari high heels-nya menggema di seluruh lorong Marakoru Kindergaten. Guru dan staff tanpa sadar menyingkir. Memberikan jalan pada Nikky.

Dia membawa aura mencekam dan otoriter bersamanya. Mata hijau-biru yang tenang sekarang dingin seperti tombak es yang siap menusuk kapan saja.

Nikky tidak terlihat seperti berjalan menuju kantor kepala sekolah.

Dia seperti berjalan menuju perang.

Dan jika dia membanting pintu ruang kepala sekolah dengan keras, tidak ada yang protes.

"Little one!"

"Nikky!"

Tenko menghambur ke pelukannya. Nikky mendekap anak itu dan menghela napas lega. Setidaknya dia terlihat baik. Nikky berpaling. Menatap sinis ke Kepala sekolah yang tampak gugup.

"Apa yang terjadi?"

"Uh, eh, beberapa anak sedikit bermain kasar—"

"Seberapa kasar?"

Pertanyaan itu bukan untuk si Kepala Sekolah—yang sangat tidak penting hingga Nikky melupakan namanya.

Itu untuk Tenko.

Anak itu tampak ragu. Akan tetapi, akhirnya dia melemas. Tenko menggulung lengan bajunya. Menampilkan banyak lebam di tangannya. Mulai dari biru sampai kekuningan.

Nikky terkesiap. Dia melempar tatapan membunuh ke Kepala Sekolah itu.

"Ini sedikit?"

"Oh—uh—"

"Kau membiarkan murid lain melukainya?!"

"Quirknya berbahaya! Dan kami—"

"Kau menyalahkan putraku karena sesuatu yang tidak bisa dia pilih?!!"

Pria itu meringkuk. Jatuh dalam ketakutan yang dibawa oleh mata Nikky.

"Kita pergi, little one."

Wanita itu baru akan menuntun anaknya pergi ketika dia mendengar Kepala Sekolah sialan itu berbisik.

"Syukurlah penjahat kecil itu pergi—"

Nikky menoleh.

Tatapan matanya setajam pisau.

Si Kepala Sekolah mengeluarkan rintihan yang menyedihkan. Seperti suara anjing yang ditendang.

Nikky membawa Tenko keluar dari ruangan itu. Giginya masih bergemeretak.

"Kau tidak akan kembali kesini, little one."

***

Perjalanan mereka ke rumah diisi dengan diam. Tenko sibuk melihat keluar jendela mobil. Nikky sendiri berusaha fokus ke jalan. Tidak ingin kemarahan membuatnya menyetir ugal-ugalan.

Untung mereka sampai rumah dengan selamat. Nikky membuka pintu depan dan menyuruh Tenko segera masuk dan duduk di sofa tua di ruang tengah.

"Sebentar, aku akan ambilkan salep untuk itu. Kau disini dulu—"

"Nikky," suara lirih Tenko menyelanya. Anak itu menunduk. Melirik ke sarung tangan khusus yang membalut tangannya.

"Apa aku p-penjahat?"

Nikky terlonjak.

"Tentu saja tidak!"

Wanita itu jatuh berlutut. Menyetarakan posisi matanya dengan mata Tenko yang duduk di sofa. Tangan dingin mengelus pelan pipi anak itu.

"Tenko, apapun yang mereka katakan, itu tidak benar. Kau bukan penjahat."

"T-tapi quirk-ku—"

"Quirk tidak menjamin moral seseorang, little one."

Mata merah mengerling bingung. Nikky mendesah. Dia melirik ke tangan Tenko.

"Siapa yang melakukan ini?"

Anak itu tampak ragu. Bergerak-gerak dengan tidak nyaman. "Uhm, uh, Matsumoto Bunko."

"Dan quirknya?"

"D-dia bisa mengendalikan tanah."

"Apa menurutmu quirk itu cocok untuk menjadi Pahlawan."

Tenko terdiam sejenak. "I-iya."

"Dan apa yang dia lakukan?" tanya Nikky sembari memberi gestur ke lebamnya.

"D-dia melukaiku."

"Benar," ucap Nikky. "Memiliki quirk yang bagus tidak semerta-merta membuat mereka Pahlawan, little one."

"Pada akhirnya, quirk hanya alat. Seperti pisau. Bagaimana cara kita memakainya adalah yang penting."

Tenko mengangguk-angguk. Nikky tersenyum. Kemudian dia berdiri.

"Baiklah! Setelah aku mengobatimu, bagaimana kalau kita membuat kue—"

Tenko memeluknya.

Tepat di perut. Dia membenamkan kepalanya ke baju Nikky.

"Terima kasih, Kaa-san."

Nikky terlonjak. Menunduk. Menatap rambut putih Tenko. Kemudian ekspresinya melembut. Berubah menjadi haru. Dia balas mendekap Tenko.

"Sama-sama, little one."

***

"Halo? Hey! Hawthorne—eh? Oh, benar! Kau Higuchi sekarang!"

"Yep! Ini Nikky Smithborn. Apa kabar?"

"Aku mau bertanya, apa sekolah khusus anak-anak The Children di Jepang menerima murid baru?"

"Ya, ini untuk putraku."

"Suami? Hahaha, tidak! Aku mengadopsinya."

"Apa yang salah dengan sekolah lamanya? Well..."

"Ah, aku punya perasaan kalau... sekolah itu akan segera tutup."

***

Dua minggu kemudian, Marakoru Kindergarten ditutup.

Setelah penyelidikan, ternyata Tenko bukanlah satu-satunya kasus bullying yang terjadi di sekolah itu.

Tidak banyak yang harus dilakukan. Nikky hanya perlu meminta tolong kepada hunter dari Order of Fabulist yang berhutang padanya.

Orang ordo itu selalu bekerja dengan efisien.

Misi selesai.

Nikky hanya menikmati semuanya dari televisi. Sembari ditemani kue kering dan teh.

Tersenyum di balik cangkirnya.

Lagipula—

Hell hath no fury like a mother in rage.

***

Mandaroa Kindergarten berbeda sekali dengan Marakoru.

Terutama murid-muridnya.

Saat pertama kali masuk, semua baik-baik saja. Dia mengikuti pelajaran dengan baik. Mendengarkan apa yang guru terangkan.

Lalu, bel istirahat berbunyi.

Tenko tidak yakin apa yang harus dia lakukan.

Dia berdiam canggung di tempat duduknya. Sementara anak-anak lain mulai keluar kelas. Sampai—

"Halo!"

Tenko terlonjak dari bangku. Dia menoleh. Tampak seorang anak laki-laki tersenyum lebar di depannya. Memamerkan satu gigi depannya yang hilang.

"Namaku Daniel Kishi!" ucapnya. "Kau Tenko Smithborn, kan?"

Tenko mengangguk dengan ragu. Senyuman di wajah lawan bicaranya melebar.

"Kami mau makan siang di taman," ucapnya. Tangannya menunjuk ke anak-anak lain yang tampak menunggu. "Kau ikut?"

***

Semua teman sekelasnya duduk disekitar pohon rindang yang ada di taman. Tenko turut duduk dan membuka bento yang dibuatkan oleh Nikky. Kemudian mulai memakan nasi dengan sumpitnya. Dia masih diam. Matanya mengamati teman lain yang mengobrol.

"Tenko-kun?"

Lagi-lagi, sebuah suara mengagetkannya. Anak perempuan yang memiliki rambut berupa air melayang—Higuchi Aoi, namun dia lebih memilih dipanggil Aoi—menatapnya heran.

"Kau tidak apa-apa? Tenko-kun?"

"A-ah, i-iya," gumam Tenko. "Rasanya agak, uh, a-aneh saja."

"Aneh kenapa?"

Tenko menelan ludah. "Di sekolah lamaku, err, aku—aku selalu makan sendiri?"

"Eh? Kenapa?" kali ini Daniel yang duduk disampingnya menyahut.

"Eh, ya—um, q-quirk-ku, eh. A-aku menghancurkan apapun yang aku sentuh."

Napasnya tercekat.

Nah, dia sudah mengatakannya.

Dia tidak tahu apa yang akan dikatakan yang lain.

"Ooooh," gumam Aoi. "Itu sebabnya kau pakai sarung tangan begitu?"

Tanpa diduga, gadis itu menarik lengannya. Tenko tersentak. Aoi mengamati tangan Tenko sembari tersenyum.

"Keren!"

Mata merah membelalak terkejut. Dia menarik tangannya. "Uh, kau—uhm—tidak takut?"

"Kenapa harus takut?" tanya Daniel balik. Dia mengangkat bahu dengan santai. "Sejauh ini kamu tidak memakainya untuk hal buruk!"

Yang lain mengangguk-angguk. Kemudian kembali sibuk dengan percakapan mereka masing-masing.

"Kata Okaa-san, quirk bukan satu-satunya hal yang penting dari seseorang!" ucap Aoi. "Quirk Okaa-san sering disebut lemah. Namun, Okaa-san penemu jenius!"

Daniel mengangguk setuju. Dia menelan telur gulung di mulutnya sebelum bicara.

"Iya! Mamaku juga ilmuan hebat! Dan dia bahkan tidak punya quirk!"

Tenko terpana.

Ya, mereka benar.

Seseorang tidak hanya didefinisikan oleh quirk mereka.

Siang itu, Tenko menghabiskan bekal sembari mendengar cerita kawan-kawan barunya. Dia masih lebih banyak diam. Hanya menimpali satu atau dua kata.

Namun, kali ini dengan tersenyum.

***
.
.
.
.
.
.
.

A.N. :
Aku mengganti nama quirk Tenko menjadi Disintregation dari Decay. Di AU ini, aku hanya tidak bisa membayangkan Tenko ataupun Nikky mau memilih nama Decay untuk quirk itu.

Oh! Dan seperti biasa, untuk setting dua sekolah itu, aku mengambil nama dari Star Wars :
Marakoru = Malachor
Mandaroa = Mandalor

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro