Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Manuscript 15 : Noctifer 1

"Ingatkan lagi kenapa kita ada di sini?"

"Gala amal. Harusnya ayahmu yang datang, namun karena dia mendadak sakit, kau yang menggantikan?"

"Terima kasih, Eins. Tapi tadi itu pertanyaan retorik—lupakan saja."

Dorothea mendengus kecil. Gelas berisi limun dingin dekat dengan bibirnya. Menyembunyikan gerakan mulutnya yang berbisik dengan si kawan hantu.

Seperti yang tadi Eins bilang, gadis itu sedang berada di Pesta Dansa amal yang diselenggarakan di Musutafu. Kalau ingatan Dorothea benar, itu ada hubungannya dengan pembangunan rumah sakit baru.

Seperti biasa, ayahnya itu tidak pernah bisa menolak undangan ke acara seperti itu. Terlebih jika itu berhubungan dengan membantu masyarakat.

Sayangnya, Akira tiba-tiba sakit.

Karena hampir semua orang di perusahaannya sibuk dengan fashion show yang akan datang. Dan yang disebut sendiri masih terus terbatuk dan menyeka hidung merah—

Mau tidak mau, Dorothea harus mewakilkannya.

Jadi di sinilah dia.

Berdiri di samping meja kudapan dan merutuk pelan. Menyaksikan malam minggu yang bisa dia gunakan untuk bersantai lenyap karena harus mendatangi acara formal ini.

Jujur, Dorothea tidak benci gala. Dia suka atmosfir dan makanan yang dihidangkan. Dia juga suka mengamati interaksi orang-orang yang datang. Kadang bermain tebak-menebak soal latar belakang dan tujuan mereka.

Tidak, gadis itu tidak benci gala.

Tapi dia benci jika harus datang ke gala sendirian.

Yang artinya sangat menjelaskan kecanggungan anak perempuan itu di acara kali ini.

Dia hampir tidak mengenal siapapun. Setidaknya secara personal.

Sang gadis mendesah. Kembali mencomot satu truffle cokelat putih dan mengunyahnya dengan sengsara.

Setidaknya, ada Eins yang menemaninya.

Dan tidak ada hantu lain di tempat itu. Sejauh ini. Hanya manusia hidup yang bercengkerama di ruangan itu.

Mata emas menyisir kerumunan orang bergaun dan berjas. Berbicara satu sama lain dengan gelas-gelas tinggi di tangan mereka. Beberapa wajah familiar. Konglomerat yang sering muncul di televisi atau politisi. Dan tentu saja—

Pahlawan.

Dari semua pesta yang Dorothea hadiri, pasti mereka ada.

Ngomong-ngomong soal itu—

"Permisi?"

Suara berat yang lembut membuat si gadis tersentak. Gelas beris punch hampir terlepas di tangannya. Anak berambut merah itu berbalik. Agak terkejut melihat siapa yang berdiri di sana.

Gang Orca.

"Ah, ternyata benar! Kau anak yang di Akuarium waktu itu!"

Si Pahlawan terkekeh. Sementara itu, pipi Dorothea bersemu. Berubah menjadi sewarna rambutnya.

"Ah—benar, uh—" gumam si gadis gelagapan. "Aku—uh, minta maaf soal waktu itu. Aku tidak tahu—"

"Hei, tidak masalah," ucap Gang Orca. Tangannya terkibas. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman. Menampilkan sebaris gigi tajam.

"Jujur saja, yang kau katakan waktu itu adalah hal paling manis yang pernah aku dengar."

Pipi Dorothea sukses menjadi semakin merah. Kini wajahnya menjadi seperti tomat yang marun.

"Eh, itu—itu bukan—"

"Jangan merendah!" Si Pro-Hero tertawa kecil. Dia merogoh sakunya. Menarik ponsel dari saku jas hitamnya. Tampak sesuatu yang familiar tergantung di sana.

Gantungan kunci lumba-lumba.

"Ini juga hadiah paling imut yang pernah kudapat. Padahal—jika melihat dari sikapmu waktu itu—kau bukan penggemarku."

Dorothea ingin mati di tempat.

Dia berdoa semoga bumi terbelah dan memakannya hidup-hidup sekarang.

Sementara Eins—si pengkhianat—hanya tertawa nyaring. Walaupun tidak ada yang mendengarnya selain Dorothea, tentu saja.

"Kau—kau hanya kelihatan sedih, oke?" gumam Dorothea. "Lagipula itu bukan apa-apa, aku hanya ingin menghibur sedikit."

Gang Orca tertawa lagi. "Pahlawan lain iri dengan gantungan kunci ini lho!"

Dorothea hanya mendesah. Merasa bersalah pada dirinya di masa lalu—dan masa sekarang—karena tidak banyak mengamati Pahlawan.

"Yeah, uhm, aku senang kau menyukainya," ucap si gadis lagi. Berhasil kembali mendapat komposisi tubuh yang tenang. Sebelum melempar senyum.

"Tapi itu hanya gantungan buatan sendiri. Hanya sesuatu yang sederhana."

"Tapi bukankah itu membuat ini jadi lebih tulus?" goda Gang Orca. Melihat gadis itu mulai kembali menunduk malu, si Pahlawan langsunh terkekeh. Sebelum mengalihkan topik.

"Oh, dan aku tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi di tempat seperti ini, uh—"

"Ah, Dorothea. Dorothea Tuning. Senang berkenalan denganmu secara formal, Gang Orca-san."

"Ohoho, panggil aku Sakamata Kugo, nak."

Pembicaraan mereka menjadi lebih ringan setelah itu. Si Pahlawan tampak agak terkejut mengetahui siapa Ayah Dorothea. Kemudian mengucapkan harapan agar dia cepat sembuh ketika tahu kenapa dia berhalangan datang.

Tepat saat itu, pembicaraan mereka di sela oleh suara baru—

"Halo, Gang Orca! Oh!"

Kedua orang itu menolah. Tampak pria tinghi berambut pirang dengan model side bang. Kerah putih tuksedonya tinggi. Menutupi mulut dan leher yang sama tingginya.

"Ah, anda—!"

"Kita bertemu lagi!" ucap Best Jeanist. Nada suaranya senang.

"Temanku sangat menyukai bukunya! Terima kasih atas saranmu!"

Dorothea hanya bisa mengangguk. Mulut mengulum senyum kecil.

Setelah itu, kedua Pahlawan mulai mengobrol. Dorothea langsung mengundurkan diri dengan sopan. Dia merasa canggung terlibat dalam pembicaraan orang dewasa. Lagipula, dia juga tidak tertarik soal dunia Kepahlawanan yang menjadi bahan obrolan.

"Untuk seseorang yang tidak pernah mengingat Pahlawan—mereka jelas mengingatmu," celetuk Eins. Melayang dengan posisi duduk di samping sang gadis. Kaki tersilang.

Dorothea hanya terkikik kecil. Menggunakan punggung tangan untuk menutupi mulut.

Gadis itu beringsut ke sudut ruangan pesta yang luas. Gedung itu memang sangat megah dengan skala besar. Banyak ornamen berwarna emas, perak dan tembaga. Area untuk berdansanya juga lebar. Dengan area disampingnya penuh meja kudapan untuk para tamu beristirahat.

Anak berambut merah itu bersandar pada dinding. Merapikan tusuk rambutnya yang miring dan kembali mengamati riuh rendah keramaian yang ada di sekitarnya. Suara musik klasik mengalun di udara. Namun, sebelum gadis itu sempat kembali berwisata batin—

"Dorothea-chan~!"

Mata emas mengerjap. Menoleh hanya untuk bertatapan dengan manik yang sewarna dengan miliknya sendiri.

Hawks berjalan mendekatinya. Dengan senyum lebar dan sayap merah yang sedikit bergerak. Seakan mengucapkan 'halo'.

"Senang bertemu denganmu lagi!" sapa Pahlawan nomor dua itu ceria.

Dia menggamit tangan Dorothea. Menjatuhkan satu kecupan singkat di punggung tangannya. Sebelum mendongak dan tersenyum kecil.

"Ngomong-ngomong, gaun yang cantik."

Dorothea menarik tangannya dan terkekeh singkat. Sebelum menunduk melihat pakaian yang dipilihkan sang ayah. Walaupun setengah sadar dan delirius karena demam, Akira ternyata masih bisa memilih baju yang sempurna.

Strapless dress dengan bagian bawah model empire. Ditambah aksen emas di pinggang. Warna gaun itu percampuran antara hitam, biru, dan violet. Dengan kerlap-kerlip kecil tersebar. Seakan langit malam sendiri ditumpahkam ke kainnya.

Yang jadi masalah, tidak ada asesori yang bisa dipakai untuk menutupi mulut.

Dorothea jadi tidak mudah mengobrol dengan Eins.

"Sendirian?" tanya Hawks. Ikut bersandar di samping Dorothea. Sayap merah melemas. Menjadi lebih rileks.

"Tidak jika kau menghitung Eins," jawab si gadis. Menelengkan kepala ke ruang kosong di sampingnya.

Hawks terkekeh. "Agak sedikit lekat denganmu, ya, hantu itu?"

"Well, hantu memang bisa 'menempeli' seseorang. Itu wajar."

Keduanya terdiam sejenak. Terlarut dalam suara hiruk pikuk pesta dan musik. Pandangan tertuju ke lantai dansa. Tempat satu atau dua pasangan berayun mengikuti irama. Beberapa tamu lain hanya mengobrol disamping. Mungkin soal bisnis atau berita apa yang sedang marak.

"Jujur, ini agak membosankan," gumam Dorothea.

"Yep." Hawks mengangguk setuju. Dia meregangkan tubuhnya sembari menguap.

"Tetapi, sepertinya tidak ada yang bisa mengalahkan scavenger hunt di gala Adrich Caldwell."

"Kalian berdua benar sekali soal itu."

Mendengar suara baru yang memasuki pembicaraan mereka, Dorothea dan Hawks menoleh serentak. Tampak Todoroki Shoto berdiri dengan sebuah senyum mikro.

"Sayang kali ini tidak ada ruang bawah tanah untuk kita jelajahi."

Dorothea mau tidak mau tersenyum kecil mengingat itu.

"Yeah, is pretty fun, ain't it?" ucapnya diikuti kikikan kecil. Dia menatap langit-langit. Dimana lampu hias raksasa yang terbuat dari kristal menerangi ruangan.

"Maksudku dibanding Pesta Dansa, aku sepertinya lebih memilih melawan arti-alucinor."

Mereka tertawa kecil. Kecuali Todoroki yang hanya tersenyum lembut.

"Lagipula, aku tidak menyangka gala ini juga pesta dansa. Maaf tapi—ini sangat kebaratan." Dorothea melipat tangannya. Sebelum melempar tatapan ke Todoroki.

"Datang bersama ayahmu?"

"Ah, tidak. Aku mewakilkannya kali ini."

"Heh, sama kalau begitu."

Pembicaraan mereka mengalir ke berbagai topik setelah itu. Mulai dari tentang U.A. dan berita-berita terkini—yang Dorothea simak dengan senang hati karena dia jarang sekali mengangkat koran—sampai hal-hal sederhana seperti saling merekomendasikan tempat nongkrong langganan.

"Kalian harus mencoba ke Espurresso," ucap si gadis. "Kucing di sana imut dan mereka punya cokeat panas yang—"

Kalimatnya terhenti.

Sudut mata sang gadis melihat tubuh transparan Eins bergerak menjauh.

Alis Dorothea terangkat.

"Uh, permisi. Sepertinya aku harus pergi."

Tanpa mendengar pertanyaan yang dilontarkan Todoroki dan Hawks, gadis itu berjalan mengejar si hantu. Dengan lincah melewati dan berkelit diantara orang-orang. Sampai akhirnya mereka ada di luar ruang pesta.

"Eins! Ada apa?" tanya Dorothea setelah cukup dekat. Untung saja—selain untuk pesta dansa amal—gedung itu sepi. Tidak ada siapapun di lorong tempat mereka berada.

"Eins?" Dorothea bertanya lagi ketika si hantu tidak menjawab.

Makhluk transparan itu baru memalingkan wajah ke Dorothea. Mata matinya tampak sendu.

"Aku—barusan melihat hantu lain."

Kening Dorothea mengernyit. Biasanya hantu sangat teritorial. Mereka menghindari keberadaan satu sama lain sebisa mungkin.

"Hantu itu... aku mengenalnya."

Kali ini, mata emas terbelalak.

Dorothea tidak menyangka itu.

"Sungguh? Kau tahu siapa dia?"

"Ya." Eins mengangguk.
Pandangannya terlempar ke lorong kosong di depan mereka.

"Namanya Shimura Nana."

Mata dingin kembali menatap Dorothea.

"Dia seharusnya sudah menyebrang."

***
.
.
.
.
.
.
.

A.N. :
Ahahaha lagi mood buat up buku yg ini. Maafkan saya :"v

Anyway, tadinya aku cuma pengen buat one-shot fluff tentang pesta dansa. But boooi aku ingin menulis sedikit hal lain.

Btw, next installment untuk Smithborn Family AU juga mulai muncul di otak.

Astag aku punya banyak banget project god help me-

Thank u for reading! :D

Bonus :

Dorothea's Dress! :3
(As always, author bukan artist, maafkan skill pas-pasan :v)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro