Manuscript 12 : Mettle
"Aku tidak menyangka kita bisa bertemu," gumam Dorothea.
"Dunia ini sempit, ya?"
Dia dan Midoriya Izuku berjalan ke kelas mereka. Dalam hati, Dorothea bersorak ketika tahu mereka di kelas yang sama. Setidaknya dia sudah mengenal satu orang.
"Y-yeah," balas Izuku. Ada senyuman kecil di bibirnya.
"Kau tidak tahu betapa terkejutnya aku melihatmu di gedung The Chil-"
Dorothea sontak membekap mulut Izuku dengan tangannya.
"Oke.. ini bukan pembicaraan yang cocok untuk lorong sekolah," ucap gadis itu dengan kekehan canggung.
Dia melihat ke sekitar sebelum melepaskan tangan dari wajah Izuku. Untung tempat itu sepi.
Mereka bertukar pandangan sejenak. Kemudian terkikik bersamaan.
"Lebih baik kita bergegas ke kelas."
***
Mereka termasuk yang datang awal. Baru beberapa anak yang ada di dalam kelas. Beberapa tampak mengobrol. Atau hanya duduk dan melamun.
Kelas 1-C ada di bagian gedung yang berjendela. Bangku Dorothea tepat di sampingnya. Ada di depan seorang anak berambut ungu dengan muka mengantuk. Bangku Midoriya berada di sebelahnya. Mereka segera duduk dan menunggu guru.
Dorothea bisa melihat Izuku yang bergetar di kursinya. Entah karena cemas atau bersemangat.
"Aku tidak pernah menyangka benar-benar ada di sini," kata si anak hijau dengan mata berbinar.
Lawan bicaranya hanya bisa tersenyum. Dorothea masuk ke sini karena saran Ibunya, dia tidak benar-benar punya ikatan emosional apapun.
Tapi jika teman barunya senang, itu bagus.
Beberapa menit berlalu, semakin banyak anak masuk ke kelas. Sampai akhirnya satu anak berlari dan berkata guru akan segera datang. Yang lain segera berlari ke kursi mereka masing-masing.
Hening sejenak. Kemudian pintu menjeblak terbuka.
"Can I get a YEEEEEEEAAAAAAH?"
Hening.
Dorothea bisa membayangkan suara jangkrik di kejauhan.
Ha?
Si rambut merah hanya bisa terperangah melihat pria di depan kelas. Dia memiliki rambut kuning panjang yang ditata menjuat layaknya jambul kakatua. Menggunakan tinted glasses berwarna jingga dan jaket kulit. Lebih mirip rockstar daripada pengajar.
Orang ini... guru kita?
"Oh astaga! Itu Present Mic!"
Pekikan Izuku di sebelahnya membuat Dorothea menoleh. Dia melihat anak berambut hijau itu mulai bergumam dengan sangat cepat. Terlalu cepat sehingga Dorothea tidak bisa menangkap satu katapun.
"Halo little listeners!" Present Mic tersenyum lebar.
"Kalian pasti sudah mengenal siapa aku! Present Mic! Pro Hero dan guru yang akan menjadi wali kelas kalian!"
Ah, dia Pro Hero. Menjelaskan kenapa fashionnya seperti itu.
"Baiklah, agenda pertama! Aku akan memanggil kalian maju! Perkenalkan diri dan quirk kalian, yeah?"
Dorothea melirik ke Izuku. Tubuh anak itu tampak menegang.
Present Mic menyebutkan nama anak secara acak. Satu persatu maju secara bergiliran dari bangku mereka. Dorothea mulai melamun. Suara anak yang maju mulai teredam di pojok pikirannya.
Sementara itu, dari sebelah, suara goresan pensil terdengar keras. Diselingi gumaman cepat Izuku yang melahap penjelasan quirk teman sekelas mereka dengan antusias.
Mata emas memperhatikannya dengan geli.
Wow, dia mencatat semua quirk itu?
"Dorothea Tuning!"
Gadis yang dipanggil sontak berdiri. Dorothea maju ke depan dan memberikan perkenalan standar. Kemudian menjelaskan tentang quirknya-Thread-sebelum diperbolehkan duduk.
Selang beberapa waktu, giliran Izuku.
"Ah—uhm, namaku Midoriya Izuku—" gumamnya. "Dan, uh—quirkku—uhm—"
Perkataan Izuku berubah menjadi rentetan gumaman dan dehuman yang tidak jelas. Setelah beberapa detik, akhirnya Present Mic mempersilahkannya mundur.
Anak yang disebut hanya menurut sembari menghela napas panjang.
"Selanjutnya..." Si Pro Hero melihat lagi daftar siswa.
"Shinsou Hitoshi!"
Dorothea mendengar bunyi kursi di belakangnya digeser. Anak berambut violet maju dengan langkah terseret.
Mata ungu yang lelah memandang menelusur kelas. Tatapannya tajam.
"Namaku Shinsou Hitoshi."
Lalu hening.
Hanya itu yang dia katakan.
Setelah beberapa detik-setelah yakin anak itu tidak akan mengatakan apapun-Present Mic mempersilahkannya duduk.
Dorothea dan Izuku bertukar pandangan. Hal yang sama terlintas di benak.
Shinsou Hitoshi.
Quirk juga topik sensitif untuknya.
***
Setelah para murid maju, Present Mic menggiring semua anak untuk pergi ke tempat orientasi. Akan tetapi, sebelum mereka jauh, Dorothea meminta ijin untuk ke kamar kecil.
Jadi, Izuku memutuskan menjaga tempat disampingnya tetap kosong untul si redhead.
Mereka dikumpulkan di aula besar dengan banyak kursi. Semua siswa bergerombol sesuai dengan kelasnya mereka masing-masing. Duduk di kursi yang tersedia.
Suara obrolan terdengar menguar memenuhi ruangan. Terdengar banyak campuran tawa dan perkenalan.
Mata Izuku sendiri berbinar. Banyak sekali quirk menarik berkumpul di satu tempat!
Tetapi, kening bocah hijau itu mengernyit.
Kursi untuk kelas 1-A kosong.
Prodi Pahlawan, huh?
Tidak lama kemudian, terdengar suara pengeras suara dicoba dari panggung. Izuku secara refleks menoleh.
Dan siapa lagi yang berdiri di mimbar kalau bukan kepala sekolah mereka.
Nezu! Si pemilik High Specs itu sendiri! Aww, aku benar-benar ingin bertanya soal quirknya!
Selama hati anak itu ber-fanboy ria. Tangannya gatal untuk menulis. Sayang sekali, buku analisisnya ditinggal di kelas.
Kepala Sekolah Nezu memulai pidatonya. Dan Izuku melirik ke samping. Kursi di sebelahnya masih kosong. Dorothea belum muncul. Akan tetapi, Izuku hanya menepis itu Perempuan biasanya memang lama di kamar mandi. Lagipula, dia pasti muncul sebentar lagi.
Benar saja, tidak lama sesudah pidato Nezu dimulai, Dorothea datang dan duduk di sampingnya.
Wajahnya pucat pasi.
Alis Izuku mengernyit.
"Kau tidak apa-apa?"
"Oh! Uhm—" Dorothea tersentak. Mata emas melirik sekitar dengan tidak nyaman.
"Nanti saja," bisiknya.
Ada perasaan khawatir melilik perut Izuku. Namun, dia mengangguk.
Kemudian pandangannya kembali teralih ke depan. Mendengarkan Nezu yang bicara tentang keselamatan dasar sekolah.
***
"Hantu?"
Kata itulah yang didesiskan Izuku saat mereka di kafetaria. Keributan dari murid-murid kelaparan cukup meredam diskusi dua anak itu.
"Ya," balas Dorothea. "Aku tidak yakin apa yang dia mau, namun dia hanya... mengawasi."
"Apa tidak masalah?"
"Tenang, aku akan cari waktu yang tepat untuk bicara dengannya."
Jujur saja, berbicara dengan anak seumurannya yang juga tahu membuat hati Dorothea lebih ringan.
Setelah mereka mendapat makan siang dari Lunch Rush, mereka berbalik ke susunan meja kafetaria. Hendak mencari kursi.
Semuanya sudah penuh.
"Ini jauh lebih ramai dibanding Mandaroa," gumam Dorothea. Mengamati kumpulan murid yang bercakap di sela-sela mengunyah makan siang mereka. Tidak ada meja dengan dua kursi kosong.
"Ah, di sana!"
Telunjuk Izuku mengarah ke salah satu meja. Benar saja, ada dua kursi yang belum terisi.
Namun, satu kursi sudah.
Diduduki oleh laki-laki purplenette dengan kantung mata.
Dorothea mengangkat bahu. "Aku tidak melihat pilihan lain."
Akhirnya dua anak itu mendekat. Membawa nampan berisi makanan mereka dengan hati-hati Sampai di dekat meja itu, Dorothea mengeluarkan batuk untuk menarik perhatian Shinsou.
"Apa kami boleh duduk di sini?"
Anak ungu itu tampak tidak peduli hanya memainkan makanan di mangkuknya.
Izuku dan Dorothea bertukar pandang. Mereka melirik ke bagian lain di kafetaria. Sayangnya, tidak ada lagi tempat yang tersisa.
Akhirnya, yang perempuan mendesah. Dia duduk di depan Shinsou. Izuku turut duduk di sebelahnya. Ketiganya diliputi diam yang canggung. Walaupun kafetaria itu secara teknis sangat ramai.
Mata violet anak di depan mereka tampak menelisik. Sebelum kembali menatap mangkuk yang masih penuh.
Dorothea menggaruk lehernya. Dengan ragu, mencoba membuka pembicaraan.
"Uh... halo?"
Tidak dihiraukan. Gadis di depannya merutuk dalam hati. Andai hantu-hantu yang dia temui memiliki sifat seperti ini.
Hening sebentar. Dorothea membuka mulut lagi untuk melanjutkan.
"Uhm, aku Dorothea. Dan ini Midoriya, kami—uh—"
"Kalian mau bercakap denganku?"
Pertanyaan itu membuat Dorothea dan Izuku tersentak.
"Uh, kenapa tidak?"
"Eh, quirkku—"
Izuku tahu kemana ini mengarah.
"Quirkku—quirk penja—"
"Hey! Listen here, mister!"
Dua anak laki-laki di meja itu tersentak. Mata emas Dorothea menatap netra ungu dengan tajam.
"Di dunia ini tidak ada yang namanya quirk 'penjahat'," desis gadis itu.
"Quirk hanya sebuah alat, bagaimana cara memakainya yang menentukan pribadimu!"
Izuku memandang perempuan itu. Hatinya berbisik.
Dia tidak peduli soal status quirklessmu. Berarti dia tidak pernah memandang orang dari quirk.
"Ya!" Izuku mengangguk setuju. Kembali menatap ke bocah ungu di depan mereka.
"Apapun quirknya, yang membuat orang 'jahat' atau 'baik' adalah perbuatan mereka!"
Senyuman anak hijau itu melebar. Sementara Shinsou hanya mengerjapkan mata dan terpaku.
"Uh, quirku Brainwashing—cuci otak," gumamnya.
"Aku bisa mengendalikan seseorang jika mereka menjawab perkataanku."
"Woah, keren," celetuk Dorothea. Lagi-lagi membuat Shinsou terpaku.
"Kau bisa membuat penjahat menyerah di tempat! Menyelesaikan kriminalitas tanpa korban!"
Senyuman gadis itu melebar. Tangan menyenggol Izuku. "Benar, kan, Midoriya?"
Izuku mengangguk dengan cepat. Dia benar-benar menyesal meninggalkan catatannya di kelas. Seribu pertanyaan soal quirk Shinsou sudah membombardir otaknya.
"Benar! Bayangkan quirkmu saat hostage situation! Atau interogasi! Apa kau harus bertanya agar itu aktif? Apa orang yang lain harus menjawab verbal? Atau bisa juga non-verbal? Apaquirkmubekerja—"
Dorothea terkikik kecil. Sementara Shinsou dari tadi masih diam. Mata ungunya mengerling.
"Kau antusias soal quirk, huh?" goda Dorothea.
"Ah, benar." Shinsou akhirnya angkat bicara.
"Tadi kau juga tidak mengatakan soal quirkmu. Apa... aku boleh tahu?"
Gumaman Izuku langsung terputus.
Anak itu menggigit bibir. Melihat ke Shinsou, sebelum menunduk ke mangkuknya yang berisi nasi katsu.
Hati nuraninya meronta.
Ya, bilang saja. Bilang.
Bilang kalau kau quirkless.
Lihat jijik di matanya. Menyedihkan.
Kau akan sendirian lagi.
"Aku—" Izuku menelan ludah. Suara dari tenggorokannya terdengar seperti cicitan.
"Aku tidak punya quirk."
Hal itu membuat Shinsou tersentak mundur. Izuku meringis. Dia tahu pasti reaksinya akan begitu. Tetap saja rasanya sedih.
"Ah, maaf—"
"Jangan meminta maaf."
Izuku menoleh. Kalimat yang barusan keluar dari bibir Dorothea tegas. Wajah sang gadis mengeras.
"Kau meminta maaf seakan Midoriya punya penyakit terminal."
Shinsou menunduk. Ada merah di pipinya. Izuku terperangah. Kemudian tersadar dan berusaha mencairkan suasana.
"Dorothea-san—"
"Kubilang, quirk hanya alat. Apa bedanya dengan pisau dan pistol? Ilmu pengetahuan dan skill bertarung?" lanjut gadis itu.
Mata emas melirik ke hijau. Senyum mengembang di bibir Dorothea.
"Dan aku yakin, dia bisa melakukan hal besar di masa depan. Tanpa quirk."
"Kau benar," timpal Shinsou. "Itu malah membuatnya lebih impresif."
Kali ini, Izuku harus mengucek mata. Menjaga agar air tidak menetes dari netra hijaunya.
Mungkin aku tidak akan sendirian lagi.
"Jadi..." Dorothea menepukkan kedua tangannya. Ada secercah seringaian di wajah.
"Teman?"
Shinsou dan Izuku berpandangan. Bertukar senyum sekilas.
"Teman."
***
Akhirnya bel tanda pulang berbunyi.
Dorothea dan Izuku berjalan keluar bersama-sama. Setelah Shinsou menyuruh mereka pergi lebih dulu. Mereka baru akan berpisah di pintu gerbang ketika Izuku memanggilnya lagi.
"Dorothea-san," ucapnya. "Yang kau bilang saat makan siang tadi—"
"Kau calon Paladin, kan?"
Pertanyaan itu langsung membuat Izuku menegak. Kemudian di balas dengan anggukan penuh determinasi.
"Aku percaya seorang Paladin pasti memiliki kemampuan yang hebat," kata Dorothea. "Dengan ataupun tanpa quirk."
Kalimat itu membuat hati dan motivasi Izuku melambung.
***
.
.
.
Manuscript 12 :
METTLE
The End
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
Minggu depan author ujian. Jadi akan ada jeda update.
Dan author masih belum tau AU ini bakal dibawa kemana. Terima kasih sudah baca :"v
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro