Manuscript 11 : Hereafter
Dia tahu bahwa dirinya sakit-sakitan.
Sejak kecil, dia selalu lebih lemah daripada orang lain. Lebih rapuh daripada orang lain.
Dia bahkan yakin dia akan mati karena kondisi tubuhnya ini.
Dan, yah—
Benar, dia mati.
Namun, prediksinya salah.
Dia tidak pernah menyangka akan mati di tangan keluarganya sendiri.
Setidaknya dia bisa meneruskan obornya ke orang lain. Suatu saat nanti, seseorang pasti bisa menyelesaikan tugasnya.
Dan dengan itu, matanya tertutup.
***
Ketika dia membuka matanya, dia melihat dunia dari sudut pandang burung.
Dari atas. Dengan tubuh pucat—hampir transparan—yang dingin. Dia tidak merasakan detak jantung atau helaan napas.
Dia tidak merasakan apapun.
Dan dia menunduk ke bawah, ke tempat tubuh berambut putih tergolek.
Tubuhnya.
Suara tercekik muncul dari tenggorokannya.
Yah.
Setidaknya ini lebih baik dari neraka.
***
Tidak seperti yang lain, dia memilih untuk mengembara.
Yang lain suka berdiam di tempat mereka menarik napas terakhir. Atau mungkin di tempat yang signifikan. Rumah, bangunan, taman, bahkan makam mereka.
Sisanya menempeli orang-orang yang berkaitan dengan mereka. Keluarga, teman, bahkan pembunuh mereka. Berharap suatu saat nanti karma ada.
Dia tidak melihat sisi positif hal itu. Dia tidak punya orang untuk ditempeli. Dan dia lebih memilih mati dua kali daripada menempeli pembunuhnya.
Toh, yang hidup tidak bisa melihat mereka.
Dan dia tidak ingin berdiam di tempatnya meninggal. Terlalu banyak hal dan kenangan buruk di sana.
Jadi, dia memutuskan pergi.
Dia terus melacak para penerusnya. Mengawasi dengan mata mati yang dingin. Merasa lega ketika obor yang dia beri terus menyala.
Merasa sedih ketika api itu harus berpindah tangan. Yang berarti satu hantu muncul lagi dalam keheningan malam.
Dia pikir mereka bisa berkumpul bersama. Mungkin sedikit bertukar cerita. Mungkin dia harus meminta maaf karena obornya itu menarik para penerusnya dalam masalah.
Namun, kebanyakan hantu tidak suka dekat dengan satu sama lain.
Beberapa penerusnya bahkan ada yang langsung menyebrang.
Mungkin bagi mereka, meninggal melawan dia adalah akhir dari sebuah tugas. Bukan urusan yang belum selesai.
Tetapi mereka masih bertemu. Walaupun jarang.
Hanya sebagai kesadaraan lain dalam mimpi dan pikiran penerusnya yang masih hidup.
Dia tidak terlalu menyukai proses itu. Kepalanya terasa di belah dua. Satu masih dalam sosok hantu, satu lagi di dalam benak penerusnya.
Tidak, rasanya tidak sakit.
Dia hantu. Dia tidak bisa merasakan sakit.
Hanya... aneh.
Tapi dia bisa menahan itu.
Sayang sekali, selain menguntit penerus-penerusnya, tidak banyak hal yang bisa hantu lakukan.
Hanya melayang dalam stasis. Sementara dunia terus berputar dan bergerak. Bagai gir dan roda dalam mesin semesta. Berderak, berdecit, melangkah maju.
Dan dia hanya diam.
Menyaksikan yang hidup berderu bising layaknya lebah.
Dan kadang dia merenung.
Mungkin ini adalah nerakanya.
***
Saat Simbol Perdamaian berhasil mengalahkan sang kakak, dia pikir dia akan menghilang.
Akan tetapi, dia masih di sini. Melayang dan melihat hasil pertempuran dengan mata yang nanar.
Tidak ada cahaya apapun di ujung terowongan.
Dan dia mengamati puing-puing di bawahnya. Tempat dua kekuatan besar saling beradu.
Ada yang salah.
Tirani sang kakak belum berakhir.
***
Penerusnya yang baru adalah anak bermata emerald yang optimis dan memiliki banyak harapan baik tentang dunia dan Pahlawan.
Anak itu terinspirasi dari penerus yang sebelumnya. Si Simbol Perdamaian.
Dan dia yakin anak itu cocok untuk menjadi pembawa obor selanjutnya.
Akan tetapi, anak itu masih hijau. Dalam setiap artian kata.
Jadi, dia memutuskan untuk berkeliaran di sekitar sekolah Pahlawan anak itu. Hanya untuk mengamati.
Dia tidak bisa melakukan hal lain selain mengamati.
Ya, sejak berdekade menjadi hantu, dia belajar banyak hal. Dia sudah cukup 'tua' untuk menjadi poltergeist.
Akan tetapi, dia tidak yakin menggeser dan melempar benda akan banyak membantu.
Jadi, dia mengamati. Dan karena dia suka mengamati, dia mengambil hobi baru.
Mengamati aktivitas kriminal.
Pro, mudah melakukan hal itu jika kau hantu. Tidak ada yang melihatmu. Kau bisa menembus kemana saja dan kapan saja. Dan karena dia bisa berinteraksi dengan benda secara terbatas, membuka halaman bukan hal berat.
Sementara kontra—
Tidak ada yang bisa kau beri tahu.
Kau bisa mengumpulkan semua bukti di dunia dan kau tidak bisa memberitahu siapapun.
Tidak terlihat. Tidak terdengar.
Itu membuatnya frustasi.
***
Sampai sepasang mata layaknya emas cair menatap langsung miliknya yang dingin.
Sampai sepasang telinga mendengarnya.
Dan mulut berteriak padanya.
"Hei, ini kamar mandi perem—!"
Hening.
"Kau bisa melihatku?"
***
Butuh waktu beberapa hari untuknya mengumpulkan bukti serangan Penjahat.
Hatinya bersorak bahwa ternyata instingnya masih tajam.
Dan dengan bantuan gadis itu, akhirnya dia bisa melakukan sesuatu.
Namun, setelah si Mata Emas—Dorothea Tuning—pergi berbicara ke gurunya...
Dia menyaksikan ekspresi canggung dan mata si gadis yang berkaca-kaca. Dia melihat si gadis berlari pergi.
Dia merasa bersalah.
Dia menjerumuskan gadis ini ke situasi yang tidak nyaman. Dan ada bagian dari hatinya menjerit bahwa para guru itu tidak percaya.
Entah karena malu atau apa, dia memutuskan untuk meninggalkan si Mata Emas sendiri. Dia sudah cukup merepotkannya.
Akan tetapi—
Instingnya kembali menjerit. Ada yang tidak beres.
Dan benar saja.
Gadis itu hampir dilukai oleh kultis gila.
Hampir semua tenaganya terkuras untuk melempar satu batu bata.
Tapi itu sepadan.
***
Dia muncul di kamar gadis itu untuk meminta maaf.
Dan dia malah mendapat ucapan terima kasih.
Sepertinya itu tanda mereka impas. Namu, dia tetap mengucapkan maafnya.
Dorothea menanyakan siapa namanya.
Dan dia... tidak ingin memakai namanya.
Nama depan yang sudah tidak lagi relevan dan termakan waktu. Nama keluarga yang sama dengan monster itu.
Jadi... Dorothea memberikannya satu.
Eins.
Satu.
Seperti 'nomor satu'. Yang pertama.
Pengguna Pertama.
"Yah, mungkin aku bisa memanggilmu Ichi, tapi ini Jepang, pasti banyak anak pertama dengan nama Ichi." Begitulah kata si gadis.
"Eins terdengar... unik, kau tahu? Spesial."
Ya, nama itu terdengar tidak biasa.
Spesial.
Dia sangat menyukai nama itu.
***
Eins merasa dia harusnya ada di USJ. Namun, dia tidak bisa melayang di sana dan hanya melihat. Itu akan merobek hatinya yang sudah mati.
Jadi, dia menunggu. Melihat Dorothea menjahit boneka flannel. Dia tahu gadis itu juga menenangkan diri sendiri.
Yang mereka takutkan terbukti benar.
Tidak ada yang mengindahkan peringatan mereka.
Dan parahnya, Dorothea menyalahkan dirinya sendiri. Eins hanya bisa menenangkan.
Ini bukan salahnya. Ini tidak akan pernah menjadi salahnya. Bukan dia yang mengirim para Penjahat itu. Bukan dia yang membuat para guru terluka.
Eins di sana saat Detektif Tsukauchi menginterogasi Dorothea.
Dan Dorothea sangat pandai dalam mengungkapkan setengah kebenaran.
Untung saja, setelah hari yang penuh emosi melelahkan, teman-temannya mengajak untuk pergi ke kafe kucing.
Itu jelas membuat mood si gadis membaik.
Jadi, mereka menikmati minuman hangat, bertukar cerita. Sementara Eins bermain dengan kucing yang dia 100% yakin bisa melihatnya. Hewan memang lebih sensitif.
Sekali-kali, dia melirik Dorothea yang tampak kembali tersenyum. Itu membuatnya agak lega.
Sayangnya, kelegaan itu tidak berlangsung lama.
Dalam perjalanan pulang, Eins merasakan sesuatu menghantam tubuhnya.
Dia tidak tahu apa itu.
Dia mendengar jeritan Dorothea.
Dia merasa... sakit.
Hantu seharusnya tidak merasa sakit.
***
Eins merasakan dirinya melayang dalam kekosongan.
Seperti tenggelam dalam air yang menekan tubuhnya dari segala arah.
Dia tidak bisa melihat dan mendengar apapun. Tidak bisa bergerak.
Eins merasakan tubuhnya terpencar.
Seperti mozaik yang rusak.
Untuk pertama kalinya dalam ke-tidak-hidupannya—
Dia merasa khawatir.
Lucunya, kali ini tidak hanya untuk dirinya sendiri. Kali ini ada bayangan mata emas terlintas di benaknya.
Saat Eins berlahan-lahan menjahit ulang tubuh spektralnya. Mengumpulkan serpih-serpih energi pucat yang tersebar. Pikirannya melayang.
Kenapa dia bisa menempel begitu cepat dengan Dorothea?
Apa hanya karena gadis itu bisa berbicara padanya?
Atau hal lain?
Eins merasa nyaman bercakap dengannya. Sudut pandang Dorothea juga membuat sifatnya menarik.
Dia tidak takut mengucapkan separuh kebenaran.
Dia tidak peduli soal melawan balik jika dia bisa kabur.
Seperti yang dia katakan, dia bukan Pahlawan.
Namun, itu mungkin yang membuat Eins menaruh perhatian pada Dorothea Tuning.
***
Perjalanan mereka ke Hosu lancar. Sampai di The Hourglass.
Ada garam ditabur mengitari dapur. Eins tidak bisa melewatinya. Dia memilih menunggu di ruang lain. Dan, itu pilihan yang tepat.
Penerusnya butuh bantuan.
Quirk pengontrol pikiran. Pasti si anak ungu.
Jadi, dia dan enam orang lainnya membantu Midoriya Izuku melepaskan diri. Dia merasakan separuh kesadarannya berpindah.
Jujur, dia merasa agak bersalah pada Shinsou.
Setelah itu semua selesai, dia memutuskan memutari area toko. Melihat-lihat benda antik yang rasio dikutuknya setengah banding setengah.
Nikky Ito ini menarik juga.
Setelah cukup lama, Dorothea menghambur keluar dari toko. Tidak menghiraukan panggilan Eins atau Nikky.
Si hantu mengikutinya. Penasaran apa yang gadis itu pelajari sampai dia kabur seperti itu.
***
Cerita Dorothea agak sulit dicerna. Fantastis dan sangat aneh. Condong ke gila.
Namun, Dorothea bisa bicara dengan hantu.
Jadi harusnya Eins tidak terkejut.
Setelah percakapan mereka—dan Eins yang tanpa sadar menyinggung All for One—sepertinya Dorothea merasa lebih baik.
Akan tetapi, semesta tidak bekerja seperti itu di kehidupan Dorothea Tuning.
Karena detik berikutnya, mereka menemukan Pro Hero sekarat di gang.
***
Kunjungan kedua ke Hosu sama sekali tidak lancar.
Apalah dengan Nomu, kebakaran, dan kultis gila yang kembali seperti sekuel film jelek.
Eins juga harus berhadapan lagi dengan nemesis para hantu. Duri dalam keberadaan mereka.
Garam.
Hantu itu harus melihat semuanya dengan tidak berdaya. Namun, merasakan sedikit bangga ketika Dorothea berhasil menyelamatkan Hikaru dengan teknik benang-pisau yang dia sarankan.
Dan saat mereka berhasil kabur—
Wanita itu kembali menangkap Dorothea.
Frustasi Eins memuncak.
Dia tidak berdaya. Tidak terdengar. Tidak terlihat.
Hanya bisa mengamati.
Lagi.
Kenapa dengan orang-orang gila ini?
Kenapa mereka ingin menghancurkan dunia?
Kenapa harus Dorothea?
Kenapa aku selalu gagal melindungi orang yang—?
Kenapa?
Kenapa?
Dan saat Eins melihat kilatan belati yang terhunus.
Dia meledak.
. .
J̷͚͔͇̯̊̀́̕͘ą̸͉͕͇̓̌͆̎ṅ̸̖͇g̶̳̰͚̠̀̍͌̓͊̚a̸̦̣̹̫̹̖̎̀n̶̫̰͈͚̐̇̐̋̈͝ ̴̺͉̏̈š̵̢̬̗̥͈̣ë̶̼̥̳́̊̌͂̽͠ǹ̶̦͚̤͍̳̯̋͋̇t̷̫̜͎̊̾̓͘u̸̪͘h̷̨̥͙̺̝̰̹̽͐͆ ̸̡̡̣̖͖̥̅̾́d̶͎̱̼̯͇̝͋̊̄̆̉͆̌ͅi̴̢͍͇̺͒̓̋̏̆ͅa̷̧͚̮͉̠̤̽
.
***
Mereka kembali ke hotel dengan utuh. Sangat mengejutkan.
Dan ketika Dorothea mengenalkan Eins pada teman-temannya—
Hantu itu merasa tenang.
***
Eins bersenang-senang di Kamp Pelatihan. Dia melihat banyak calon Pahlawan berbakat berusaha keras meningkatkan kemampuan mereka.
Dan dia bisa sedikit tertawa melihat tingkah mereka.
Bagaimanapun, mereka masih remaja. Begitu juga dengan Dorothea dan penerusnya.
Tiba-tiba, Eins tersadar.
Mereka berdua akan terlibat dalam hal-hal besar.
Mereka hanya remaja.
***
Dorothea diculik.
Dua kata itu seakan bergema di telinganya.
Dorothea diculik. Dan orang yang menculiknya berasal dari organisasi yang dibangun kakaknya.
Eins ingin menjerit. Namun dia tahu itu tidak akan mengubah apapun.
Dia tahu dimana Dorothea berada. Walaupun dia harus menyeret tubuhnya yang terpecah mengikuti orang bertopeng yang berani menaruh gadis itu di dalam kelereng.
Seandainya saja Eins stabil, dia sudah akan menimpuknya dengan batu.
Dorothea di bawa disebuah gedung tua.
Gedung tua yang dikelilingi garam.
Eins hanya bisa merutuki dewa apapun di atas sana yang membuat hidup mereka sengsara.
***
Kalau Eins masih hidup, dia akan menampar Dorothea dan menariknya keluar dari tempat itu.
Setelah itu meminta maaf dan memeluknya di tempat aman.
Akan tetapi, Eins tidak hidup. Dan Dorothea tidak mau mendengarkan ucapannya.
"Maafkan aku, Eins."
Itu kata-kata yang dia ucapkan.
Maaf.
"Gadis bodoh!"
Dan Eins melesat mengejarnya.
Karena Dorothea adalah anak hipokrit yang berkata bahwa dia tidak mau menjadi Pahlawan, namun lari menuju medan perang tanpa berpikir dua kali.
Dan Eins menolak kehilangan anak hipokrit ini lagi.
***
Pada akhirnya, semua berakhir baik.
Semuanya.
Berita tentang tertangkapnya All for One bermunculan. Dan Eins menarik napas. Inilah akhirnya.
Akan tetapi, dia tidak menyebrang.
Dia enggan menyebrang.
Dan itu sangat mengherankan. Dia pikir inilah akhirnya. Urusannya selesai. Dan dia bisa berpulang.
Namun, dia tidak hilang.
Apa yang terjadi? Apa karena All for One masih punya penerus?
Eins sangat kebingungan. Semuanya tidak berjalan seperti yang dia kira.
Dan entah kenapa, dia tidak keberatan.
Malam itu, di atap, dia berbincang dengan Dorothea Tuning. Gadis aneh dengan kehidupan yang sama anehnya.
Gadis yang mirip dengannya.
Eins dan All for One. Dorothea dan Serathephim.
Mereka berdua berhubungan dengan demon dalam konotasi yang berbeda. Namun sama kejamnya.
Sang Mata dan One for All.
Mereka sama-sama tidak meminta peran yang mereka mainkan. Namun, mereka harus memainkannya.
Untuk Eins, dia sudah selesai. Untuk Dorothea, baru saja dimulai.
Dan Eins berharap dia bisa menemaninya.
Tinggal lebih lama sepertinya bukan ide buruk.
***
.
.
.
Manuscript 11 :
HEREAFTER
The End
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
Maaf ide ini minta dimuntahkan duluan. Thank you for reading.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro