9. White-Haired Nuissance
Izuku sampai di aula dengan teman sekelasnya yang lain. Sejauh ini, sikap mereka santai saja. Tidak ada yang memandang jijik atau menggosok lengan mereka jika tanpa sengaja menyenggol Izuku.
Mungkin U.A. memang berbeda.
Aula berisi kursi-kursi yang ditata rapi. Setiap Prodi mendapat tempat mereka masing-masing. Izuku memastikan kursi disampingnya kosong untuk Dorothea.
Kebisingan memenuhi ruangan. Masih banyak anak bercakap dan berkenalan. Izuku sendiri memilih untuk melamun. Sesekali melirik ke pintu masuk. Aneh, Dorothea lama juga. Mungkin letak toilet jauh dari aula.
Dia mendengar suara pengeras suara diketuk dari panggung. Mengeluarkan dengungan yang cukup untuk menarik perhatian para murid agar diam.
Seseorang—atau tikus—atau beruang—tampak berdiri di mimbar. Dia yang mengetuk mic di depan.
"Nah, karena kalian sudah tenang, ayo langsung saja!" Si tikus-beruang berbulu putih di panggung itu menepukkan tangan.
"Nah, apakah aku tikus? Anjing? Beruang? Yang jelas, aku Kepala Sekolah kalian! Nezu!"
Jiwa hero nerd Izuku serasa meraung.
Itu Nezu! Pemilik High Specs itu sendiri!
Ternyata, walaupun sudah lebih sibuk dengan berburu, sisi Izuku yang tertarik dengan Pahlawan dan quirk tidak mati-mati amat.
Tangannya bahkan sudah gatal ingin membuat catatan. Sayang sekali, dia meninggalkan semua alat tulisnya di kelas.
Ngomong-ngomong soal Pahlawan—
Izuku menengok ke sebelah kiri aula. Banyak kursi yang masih kosong disana. Jika dilihat dari urutan tempat duduk, harusnya itu untuk kelas 1-A dan 1-B. Prodi Pahlawan.
Bruk.
Izuku tersentak dari lamunannya. Saking fokusnya, dia tidak sadar Dorothea sudah datang dan menjatuhkan diri di kursi sebelahnya.
Wajahnya pucat.
"Kau baik-baik saja, Dorothea-chan?"
Gadis itu membuka mulut. Kemudian menutupnya lagi. Melihat ke kanan kiri dengan ragu. Lalu menelan ludah.
"Nanti saja."
Izuku hanya mengangguk bingung. Akan tetapi, akhirnya tetap mengalihkan pandangan ke depan. Kembali menyimak pidato Nezu. Yang mulai membahas soal sejarah berdirinya U.A. dan darimana mereka mendapat mottonya.
Menit berlalu dengan lambat, Nezu masih belum selesai. Terus menerus berbicara soal sejarah dan ekualitas. Dia berjanji bahwa semua Prodi itu penting dan semacamnya.
Memasuki dua puluh menit pertama, akhirnya sang Kepala Sekolah menyelesaikan pembukaan pidatonya.
Ah, jadi dia guru yang seperti itu.
Izuku menyamankan posisi duduknya. Sementara Dorothea agak merosot di kursi.
Ini akan lama.
***
Pidato Nezu selesai tepat saat bel makan siang berbunyi. Anak-anak yang kelaparan langsung berduyun keluar dari aula. Termasuk Izuku dan Dorothea.
Gadis tersebut masih menatap awas sekelilingnya. Dia tidak melihat hantu berambut putih di kamar mandi tadi. Namun, tetap saja, dia masih merasa diawasi.
"Hantu?" bisik Izuku. Sesudah Dorothea menceritakan apa yang terjadi. Mereka berdua sedang mengantru untuk memesan makan siang.
"Apa dia mau sesuatu?"
"Aku—eh, entahlah."
Tadi, Dorothea langsung kabur sebelum si hantu sempat mengatakan apapun.
Syukurlah si Rambut Putih tidak mengikutinya ke kafetaria.
Belum.
Setelah mereka mendapat makanan, Izuku dan Dorothea membawa nampan dan mencari tempat duduk. Kafetaria itu sangat ramai. Hampir semua tempat sudah duduk dipenuhi siswa kelaparan.
Tampak beberapa hantu berseliweran juga. Kalau bisa, Dorothea tidak mau duduk di dekat makhluk-makhluk itu.
"Ah, di sana!"
Izuku menunjuk. Benar saja, ada dua kursi kosong dimana jarinya terarah. Tepat di depan—
Shinsou Hitoshi.
Anak itu tampak tidak peduli dengan sekitarnya. Hanya duduk dan memainkan sayuran tumis di mangkuk. Ada rengutan di wajah. Mungkin itu yang membuat kursi di depannya masih kosong. Wajah anak itu agak seram sekarang.
"Well..." Dorothea menengok ke kanan dan ke kiri. Dia sama sekali tidak melihat ada kursi lain. "Kita tidak punya pilihan lain, kan?"
Sahabatnya mengangguk. Akhirnya, duo itu berjalan menuju ke meja. Berdiri canggung ketika sadar bahwa Shinsou sedang melamun. Tidak menyadari mereka ada di depannya.
Jadi, Dorothea membuka mulut untuk menyapa.
"Uh, halo? Kami boleh duduk di sini?"
Si purplenette tersentak. Mengangkat kepala. Netra violet bertubrukan dengan netra emas Dorothea. Selama sedetik, mereka hanya saling pandang.
Sampai Shinsou mengangkat bahu. Kembali membuang pandangan ke kejauhan. Dorothea dan Izuku bertukar pandang. Si gadis mendengus.
Itu bukan jawaban, bloody hell.
Akan tetapi, karena tidak ada kursi lain, akhirnya Dorothea tetap duduk. Izuku mengikuti. Mereka menaruh nampan dan mulai memakan makan siang masing-masing.
Selama beberapa menit, hanya ada suara alat makan yang saling beradu. Di tengah keriuhan kafetaria yang lain, tentu saja.
Namun, walaupun Dorothea fokus ke unagi yang ada di mangkuknya, dia masih bisa merasakan pandangan intens dari Shinsou. Bolak-balik antara dia dan Izuku.
Dan sayangnya, bukan hanya Shinsou yang memandangi gadis itu.
Sudut mata Dorothea menangkap sekilas Rambut Putih. Berdiri di kerumunan.
Sial.
"Uhm," gumam Dorothea. Berbicara untuk menghilangkan gugup. Kepala masih menatap potongan belut dan nasi di mangkuknya.
"Kalau tidak segera dimakan, nanti makananmu dingin."
Kalimat itu ditujukan pada Shinsou. Si purplenette terlonjak. Kemudian berdehum pelan.
"Kalian mau berbicara denganku?"
Pertanyaan itu membuat Dorothea dan Izuku mengangkat kepala. Menatap Shinsou dengan heran.
Kali ini Izuku yang buka mulut.
"Eh? K-kenapa tidak?"
Shinsou bergumam. "Yah, quirkku..."
Oh.
Oh.
Quirk anak ini pasti aktif dengan percakapan verbal, pikir Dorothea.
Wajah Shinsou tampak tidak nyaman. Dia menggaruk leher dengan canggung. Kening Dorothea mengernyit.
Dia tidak suka kemana ini mengarah.
"Quirkku, quirk penja—"
"Okay, I'll stop you right here, mister."
Dorothea menyela. Tanpa sadar menggunakan bahasa ibunya. Namun, dia tidak peduli. Lalu melanjutkan.
"Aku bukan orang yang peduli soal quirk," ucap si gadis. Nadanya agak kesal. "Lagipula, apa-apaan sebenarnya masyarakat sekarang? Quirk lemah, quirk penjahat, quirkless, memangnya itu penting?"
Shinsou melongo. Memandang Dorothea dengan tidak percaya. Begitu juga dengan Izuku yang mengerjapkan mata. Sementara, perempuan itu mendengus.
"Tidak ada yang namanya 'quirk penjahat'. Quirk apapun bisa digunakan untuk kejahatan. Atau kebaikan. Itu semua tergantung orangnya. Quirk bukan hal yang bisa kau gunakan untuk menaksir moral seseorang," celoteh Dorothea panjang lebar.
"Di dunia ini, ada banyak hal yang lebih penting daripada quirk," dengus sang gadis. Mata emas berkilat tajam.
"Lagipula, baik dan jahat, semesta tidak pernah sehitam putih itu."
Shinsou masih terperangah. Sampai harus menggelengkan kepala agar tersadar.
"Wow, seandainya lebih banyak orang berpikir sepertimu..."
Izuku tertawa kecil. Itu yang dulu dia pikirkan ketika tahu Dorothea tidak menilai orang dari quirk.
"Tenang Shinsou-kun, Dorothea-chan tulus soal itu semua," ucapnya. "Dan aku yakin, apapun quirkmu, pasti itu keren!"
Mata violet memandang ke hijau dengan ragu-ragu. Shinsou menunduk. Kemudian berbisik di balik napasnya.
"Quirkku disebut Brainwashing," gumamnya. "Aku bisa mengontrol orang jika mereka membalas ucapanku."
Mendengar itu—
Wajah Izuku menjadi cerah.
"Itu sangat... KEREN!"
"Huh?"
"Oh! Apakah quirkmu hanya bekerja secara verbal? Apakah bekerja pada hewan juga? Coba bayangkan quirk seperti itu di lapangan! Jika kau menjadi Pahlawan kau akan bisa menyelamatkanorangtanpakorban—"
"Izuku-kun, bernapas!" Dorothea mengingatkan sembari tertawa. Anak hijau itu berhenti dan tersenyum malu.
"Maaf, aku selalu bersemangat soal quirk," gumam Izuku. "Mengingat aku tidak punya satupun..."
"Oh, aku minta maaf—"
"Jangan meminta maaf," sela Dorothea. Menggelengkan kepala. Kemudian merangkul Izuku yang duduk di sampingnya.
"Asal kau tahu, bahkan tanpa quirk, Izuku-kun sudah melakukan banyak hal yang hebat!"
Izuku meringis. Pipi memerah karena pujian itu. Dorothea terkekeh dan melepaskan temannya. Shinsou memandang bolak-balik dua orang di depannya dengan heran.
Kemudian, dia tersenyum.
"Kalian berdua aneh."
Duo itu saling tatap sebentar. Sebelum memberikan anak ungu di depan mereka seringaian lebar.
"Senang berkenalan denganmu juga, Shinsou-kun!"
***
Hari-hari berlalu dengan cukup tenang setelah itu. Belajar di Prodi Umum tidak jauh berbeda dari saat SMP. Mereka tidak punya kelas tambahan seperti Prodi lain, jadi kegiatan mereka lebih santai.
Sejauh ini, semua berjalan dengan normal.
Senormal yang bisa dialami Dorothea Tuning, setidaknya.
Dia dan Izuku masih keluar untuk berburu. Walaupun jam mereka harus dikurangi untuk lebih fokus ke tugas sekolah.
Dan Rambut Putih masih mengawasinya dengan intens.
Sayang sekali, Dorothea belum menemukan waktu dan tempat yang pas untuk menyapa hantu itu. Sejauh ini, dia hanya muncul di U.A. dan tidak banyak tempat yang sepi di sana.
Akan tetapi, Dorothea tidak akan membiarkan satu hantu merusak harinya.
Hari ini, dia dan Izuku berjalan ke U.A. bersama seperti biasa. Mengobrolkan soal tugas sekolah dan perburuan demon tier satu mereka kemarin malam.
As you do.
Sampai mereka tiba di gerbang.
"PERMISI, APA BENAR ALL MIGHT MENGAJAR DI SINI?"
Huh? Wartawan? Apa yang mereka lakukan di U.A.? pikir Dorothea.
Dan All Might? Dia mengajar di sini?
"Apakah benar All Might menjadi guru?"
"Apa anda bisa jelaskan bagaimana All Might mengajar?"
"Apa anda diajar oleh All Might?"
Semakin banyak wartawan dan reporter mengerumuni mereka. Menodong dengan kamera dan mikrofon. Seperti serigala mengitari domba.
Cepat, pikirkan sesuatu!
"Sorry, I can't speak Japanese!"
Para wartawan tersentak. Tanpa ambil pikir, Dorothea menarik lengan Izuku dan menyeretnya keluar dari kerumunan reporter haus info tersebut.
Setelah dirasa aman, barulah mereka berhenti.
"Apa-apaan itu?!" tanya Izuku sembari tergelak. Dorothea merengut.
"Well! Memang kau ada ide lain??"
Izuku masih tertawa. Dorothea harus mencubit pelan pundaknya agar dia berhenti.
"Ngomong-ngomong, mereka tadi bilang soal All Might menjadi guru?" tanya gadis itu.
Anak di depannya berdehum. "Mungkin untuk Prodi Pahlawan?"
Keduanya saling tatap. Mata hijau dan emas beradu. Izuku mendesah.
"Dorothea-chan, no."
"Apa? Aku tidak mengatakan apapun!"
"Aku tahu wajah itu. Tidak, kau tidak boleh mencoba membunuh Pahlawan No. 1 Jepang."
"Pfft, dia harus membayar atas yang dia katakan—"
"Dorothea-chan! Itu sudah berlalu! Lupakan saja!"
"Ada apa ini?"
Suara pendatang itu membuat Dorothea dan Izuku menoleh. Rambut ungu Shinsou masuk ke visi mereka.
"Oh, Shinsou-kun!" Izuku melambaikan tangan. "Bukan apa-apa. Kau berhasil melewati para wartawan tadi huh?"
"Yeah." Anak yang disebut mengelus belakang lehernya. "Tetapi aku harus menggunakan quirkku, sih."
"Kau terlalu OP, Shinsou." Dorothea tersenyum. "Dengan quirk begitu, kau bisa membuat Penjahat berjalan langsung ke penjara."
Mata violet membulat. Anak itu terkekeh. Ada semburat merah di pipinya.
"Menurutmu begitu, huh?"
"Oke, oke, ayo masuk!" ucap Izuku. "Bel akan segera berbunyi."
Mereka bertiga berjalan beriringan. Membahas soal aplikasi quirk Shinsou di setiap langkahnya.
***
Salah satu hal yang dibenci Dorothea soal hantu, mungkin fakta bahwa mereka kadang tidak paham konsep waktu dan sosialisasi.
Selalu muncul di saat yang tidak tepat.
Seperti sekarang.
Di tengah pelajaran Bahasa Inggris, Dorothea bisa merasakan tatapan dingin nan tajam Rambut Putih dari sudut ruang kelas.
Tatapan yang tidak lagi hidup.
Gadis itu berusaha keras untuk fokus pada papan tulis. Dan suara Present Mic yang masih terdengar seperti penyiar pada saat mengajar. Sayang sekali, kadang itu tidak mudah.
"Hei?"
Deg.
Jantung Dorothea seakan berhenti.
Wajah sang hantu hanya beberapa senti dari wajahnya. Mata mati yang dingin menatap dari balik surai putih.
Jangan menoleh. Apapun yang kau lakukan, jangan menoleh.
"Kau bisa melihatku, kan?"
Sial.
Sialsialsial.
Belum sempat Dorothea membisikkan sesuatu atau menuliskan kalimat di kertas untuk Rambut Putih baca, hantu itu sudah menarik diri.
Kembali ke pojokan kelas dan menatap.
Tubuh Dorothea terasa lemas. Dia berharap bel istirahat segera berbunyi.
***
Rambut Putih menghilang setelah bel istirahat berbunyi.
Dorothea tidak tahu apa dia harus lega atau merutuk.
Dia, Izuku, dan Shinsou duduk bertiga di salah satu meja kafetaria. Fokus dengan makan siang masing-masing. Kecuali Izuku, yang tampak sibuk mencorat-coret buku catatannya.
"Izuku-kun, tolong jangan mengerjakan PR sambil makan," goda Dorothea.
Sahabatnya itu memegangi dada dan menarik napas dramatis. "Ini bukan PR. Berani-beraninya kau menuduhku!"
Dorothea tertawa. Sementara Shinsou dengan penasaran melirik ke buku itu. Tampak desain sebuah benda mekanis di halamannya. Ditambah dengan catatan kecil dan perhitungan disana-sini.
"Memang, itu apa?"
Izuku langsung berseri. "Ini pet project-ku, Shinsou-kun! Semacam alat support untuk beladiri!"
Si purplenette tampak tertarik. "Aku tidak tahu kau seorang mekanik."
"Hanya hobi," gumam Izuku. Menutup bukunya dan kembali melirik katsudon yang terlupakan. "Tetapi aku berencana punya lisensi agar bisa—"
Kalimat Izuku terputus.
Alarm terdengar nyaring.
"Ada apa ini?!"
"Alarm kemanan!" kata seorang kakak kelas di dekat mereka. "Sebaiknya semua keluar!"
Semua anak langsung berbondong keluar dari pintu. Berdesakan dan saling dorong. Alhasil menimbulkan kekacauan besar.
Untung saja, tiba-tiba sebuah suara terdengar. Berasal dari seorang anak berkacamata yang melayang. Mengatakan ke semua orang bahwa itu hanya wartawan. Tidak perlu panik.
Setelah itu, kebisingan mereda. Akhirnya semua orang bisa berjalan keluar dengan rapi dan tertib. Dorothea melempar pandangan ke kafetaria sekali lagi.
Rambut Putih masih tidak terlihat.
***
Pulang dari sekolah, Dorothea langsung merebahkan dirinya di kasur. Melirik ke tas berisi PR dengan wajah suram.
Dia bisa mengerjakannya besok.
Sekarang, dia tidak mau berpikir yang berat-berat dulu. Siapa yang tahu, dilirik dengan tajam Rambut Putih bisa membuat semangat mentalmu menurun. Tatapan hantu itu membuat Dorothea berkeringat lebih banyak daripada lari marathon.
Jadi, Dorothea meraih salah satu buku favorit pemberian Ibunya—Kumpulan Kisah Horor Klasik—dan mulai membaca.
Mungkin bukan coping mechanism terbaik setelah bermain menghiraukan hantu.
Eh, whatever.
Di pertengahan The Fall of the House Usher, pikiran Dorothea mulai melamun ke hal lain. Tadi, Rambut Putih tidak muncul saat makan siang. Saat alarm berbunyi? Apa berhubungan? Atau kebetulan? Apa hantu itu hanya bosan menatapnya dengan mata dingin yang mati?
Yah, gadis itu terlalu cepat bicara.
Karena ketika membalik halaman, wajah transparan menembus bukunya.
Dorothea refleks menjerit. Melempar buku tebal itu ke tembok. Menimbulkan bunyi gedebuk keras.
"Ha! Ternyata kau benar bisa melihatku!"
Hantu di depannya tersenyum puas. Bibir Dorothea melengkung ke bawah.
"Siapa yang bilang aku tidak bisa?"
Untuk pertama kalinya, Dorothea bisa memperhatikan sang hantu dari dekat. Tubuhnya tinggi dan kurus. Dibalut pakaian dan celana polos. Kulitnya pucat transparan khas hantu. Sebagian poni menutupi wajah. Dari sela-sela surai putih itu, sepasang mata dingin mengintip.
Yep, ini si Rambut Putih yang mengikutinya.
"Maaf aku mengabaikanmu di sekolah," bisik Dorothea. Si hantu tersentak dan melayang mundur. Sepertinya tidak menyangka akan mendapat permintaan maaf.
"Tapi itu salahmu juga, kau muncul di situasi yang tidak tepat. Aku jadi tidak bisa menjawabmu!" Dorothea membela diri.
Setidaknya, hantu itu punya rasa hormat dan tampak agak malu.
"Heh, aku tidak berpikir sejauh itu..."
Dorothea mendesah.
"Jadi, ada yang bisa kubantu? Apa kau punya urusan yang belum selesai?"
Rambut Putih tampak ragu. Dia melayang agak mendekati gadis itu.
"Kupikir kau tidak bisa membantu urusanku yang belum selesai," gumamnya. "Tetapi, ada hal lain yang memerlukan bantuanmu."
"Aku mendengarkan," ucap Dorothea. Menyamankan posisi duduknya. "Tetapi aku tidak janji."
Si hantu mendesah kecil.
"Salah satu kelas akan diserang oleh Penjahat di tempat bernama USJ."
Mata Dorothea mendelik.
Eh?
Eeh?!
Penyerangan?!
"Tunggu dulu—"
"Mereka mempunyai rencana untuk membunuh All Might."
"Hei—"
"Kau harus memperingatkan mereka!"
"APA-APAAN!?"
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
Me : *finally watching Jujutsu Kaisen and read the manga*
My Brain : *start making OC concept and fanfict idea*
Me : nO WAIT-
Maaf kalian harus menunggu. Aku harus memuntahkan ide fanfict lain dulu. Tapi akhirnya ini selesai juga. As always, thank you for reading!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro