40. Of Villains and Monsters
"Apa-apaan itu tadi hah?!" bentak Bakugou setelah mereka cukup jauh dari anak 1-B. Dia segera menarik tangannya dari genggaman Dorothea. Wajah agak bersemu. Sang gadis turut tersentak. Saking malunya setelah meginjak wajah Yui, dia sampai tidak sadar memutuskan menggandeng Bakugo pergi.
Payah. Kenapa hari ini buruk sekali?!
"Bukan apa-apa," kilah sang gadis. Diikuti rutukan kecil. "Sekarang sebaiknya kita segera lanjut. Pos Ragdoll seharusnya sudah dekat. Jika kita berjalan agak cepat, tidak akan memakan banyak waktu."
"Hah! Terserah! Yang penting kau jangan memperlambatku!" Bakugou mendengus. Dia berjalan melewati Dorothea. Tangan sang gadis tergenggam kuat.
"God give me patience..."
"Bukankah seharusnya 'God give me strength'?" bisikan Eins terdengar disampingnya.
Dorothea mendengus. Balas berbisik. "Jika Tuhan memberiku lebih banyak kekuatan, Bakugou sudah mati dari dulu."
Eins terkikik. Lalu 'melingkarkan' tangan di leher sang gadis sementara dia berjalan menyusul Bakugou. Sejenak, dua anak itu tidak mengatakan apapun. Menganggap satu sama lain tidak ada. Hanya ini jerit malam super canggung ini segera berakhir.
Sampai—
"Hei, kau dengar itu?"
Pertanyaan Dorothea membuat langkah anak laki-laki di depannya berhenti. Si rambut pirang berbalik. Ekspresi kesal jelas di wajahnya.
"Sekarang kau mau menakut-nakutiku—?!"
"Diam, Bakugou! Aku serius!"
Ini pertama kalinya dalam perjalanan penuh senyap itu Dorothea meninggikan suara. Bakugou terkesiap. Wajah anak perempuan di depannya serius. Jauh lebih serius daripada biasanya. Hal itu membuat Bakugou menjadi—ah! Tidak mungkin dia khawatir pada teman Izuku yang sok satu ini!
Akan tetapi sekarang anak itu juga mendengarnya.
Derap langkah.
Terlalu banyak untuk manusia.
Awalnya kecil, namun semakin lama semakin mengeras.
Bukan—
Semakin mendekat.
"AWAS!"
Benang melesat melilit tubuh sang anak laki-laki. Menariknya kedepan. Menubruk Dorothea. Membuat dia jatuh di atas sang gadis. Bersamaan dengan suara hantaman maha keras menggema dari tempat dia tadi berdiri. Apapun itu yang berlari ke arah mereka gagal menyeruduk sang anak.
"Kau baik-baik saja?!" Dorothea menyentak Bakugou kembali ke kenyataan. Barulah dia sadar pada posisinya.
"MENJAUH DARIKU MESIN JAHIT SIALAN!" Dia bergegas bangkit. Mendorong diri dari Dorothea dengan muka memerah.
"Hei! Aku baru menyelamatkanmu! Berterimakasihlah sedikit!"
Belum sempat Bakugou mengeluarkan cercaan, terdengar suara raungan keras. Fokus kedua anak teralih. Mereka terbelalak.
Seekor monster berbentuk badak besar menggeram selagi culanya terjebak di pohon. Cula yang hampir mengoyak tubuh Bakugou jika Dorothea tidak sigap. Melainkan kulit keras, tubuhnya terbentuk dari bebatuan dan lava yang nampak mengalir. Panas dan meletup menerangi udara di sekitar sang monster. Mulut dengan deret gigi tajam terbuka. Menggeram keras.
"Oh sialan," desis Dorothea. "Itu pyrecheros."
"Apa?"
"LARI!"
Tanpa menunggu Bakugou, sang gadis berbalik dan mengambil langkah seribu. Anak yang satunya mengikuti. Sedikit bingung dan panik.
"Kau tahu apa makhluk itu?!"
"Tahan pertanyaanmu Baka-gou! Yang penting kita selamat dulu!"
***
Dasarnya, Izuku adalah seorang strategis.
Dia memang tipe yang akan melesat menuju masalah kepala terlebih dahulu. Namun, kecerobohannya berhenti di sana. Dalam pertarungan, si rambut hijau selalu mengkalkulasi. Mempertimbangkan kesempatan apa yang dia punya dalam tiap situasi.
Seperti sekarang.
Muscular bukan lawan yang bisa dia remehkan. Dari berita yang dia ingat, Penjahat satu ini sangat berbahaya. Tidak lebih berbahaya dari demon tapi tetap saja.
"Apa yang kalian lakukan disini?" desis Izuku. Jadestaff ditodongkan ke arah lawannya itu. "Tidak mungkin hanya untuk membuat kekacauan, huh?"
"HAHAHAHA! Memang begitu kasusnya buatku!"
Maniak di depan menyeringai. Membuat wajah dengan luka besar menjadi semakin mengerikan.
"Tapi kami juga disini untuk—ah, siapa namanya? Bakugou Katsuki?"
Katsuki?
Gigi Izuku menggertak.
Apa yang mereka inginkan dari anak itu?
"Ah! Tapi itu untuk nanti!" ucap Muscular. Tangan ditarik kebelakang. Quirknya aktif. Jejaring otot merambat keluar dan menutup lengannya. Dia mengambil ancang-ancang.
"Sekarang, TUNJUKKAN DARAHMU!"
Penjahat itu menerjang.
Dia datang!
Izuku menjerit.
"TODOROKI-KUN!"
CRASH!!
Es menyeruak dari tanah. Bagai geyser beku. Kristal dingin membekukan Muscular di udara. Sang Penjahat terkejut. Sementara, dari belakang Kota, anak berambut dwi warna muncul. Tangan kanannya diselimuti bunga es.
"Gerakmu cepat sekali, Midoriya," gerutu sang anak. "Aku hampir kehilangan jejak."
"Maaf, maaf!"
"SIALAN!"
Muscular berteriak. Tubuhnya bergejolak. Lebih banyak otot tumbuh. Menyelimuti tubuhnya bagai armor. Dan—
CRACK!
Es Todoroki pecah. Muscular bebas. Melompat ke arah mereka. Namun Izuku tidak tinggal diam. Jadestaff mendengung. Cincin pengatur energi berputar.
"Seratus persen," bisik Izuku.
Senyum kejam terpatri di bibir.
"Tembakkan."
Cahaya biru menyeruak. Menerangi malam.
Todoroki langsung berlutut. Dia meraih dan mendekap Kota agar tidak terpental oleh sentakan angin yang dibuat oleh senjata kawannya. Menutupi mata anak itu dan memejamkan miliknya sendiri. Dia tahu efek ledakan energi 100% Jadestaff. Dia pernah di ujung alat itu waktu festival olahraga. Dulu, dinding es berhasil melindunginya.
Sayang untuk Muscular, dia tidak punya perlindungan semacam itu.
Setelah semua reda, dan jeritan si Penjahat tidak terdengar lagi, barulah Todoroki membuka matanya. Fokus langsung di arahkan pada Kota. Anak malang itu masih bergetar.
"Hei, sudah selesai sekarang..." bisik Todoroki lembut. Dia membenarkan topi yang miring di kepala anak itu. Mata hitam menatapnya dengan berkaca-kaca. "Kau tak apa?"
Kota mengangguk. Kemudian menengok dengan cepat ke Izuku.
"Rambut Brokoli!" jeritnya. Sang anak melepaskan diri dari Todoroki. Menghampiri si kepala hijau dan meremas celana anak itu. Dia tak mengatakan apapun. Namun, mata menyiratkan khawatir. Tidak terganggu, Izuku menaruh tangannya di atas topi bertanduk Kota.
"Aku baik-baik saja, Kota-kun." Izuku tersenyum. "Tapi maaf, aku merusak tempat rahasiamu."
Benar saja. Sekarang ada ceruk retak di tebing itu. Teronggok di dalamnya, Muscular pingsan. Sang Penjahat tak sadarkan diri. Dengan seluruh otot di luar tubuhnya terkoyak. Efek es serta tembakan energi dari Izuku dan quirk Todoroki adalah kombinasi yang mengerikan.
"Sepertinya jika denganmu, aku harus mulai terbiasa menyelesaikan pertarungan dengan cepat," kata sang anak panas-dingin.
Izuku menoleh padanya, lalu tertawa. "Kau tahu sendiri pemburu seperti kami tak suka bertele-tele. Pilihannya, kerja efektif atau mati."
Terdengar suara dentum keras dari kejauhan. Membuat fokus dua murid U.A. itu kembali pada situasi. Kota semakin mendekatkan diri pada Izuku. Mengeratkan genggaman pada celana anak itu. "Sekarang apa?" tanyanya pelan.
"Ini jauh dari selesai," ucap si rambut hijau. Dia menoleh pada Kota. Menepuk kepalanya pelan. "Tapi sebelum itu, kita harus membawamu ke tempat aman."
Izuku memisahkan senjatanya menjadi dua bagian. Kembali menyarungkan benda itu di pinggang. Lalu, dia berjongkok, memberi isyarat agar Kota naik ke punggungnya.
"Pegangan yang erat, ya?"
Sang anak menurut. Tangan dilingkarkan dengan lebih kuat ke leher yang lebih tua. Izuku lalu menoleh pada Todoroki. "Apa kau—"
"Aku akan meluncur turun dengan esku."
"Baik, ketemu di bawah."
Setelah Todoroki memberi anggukan, Midoriya berlari. Melompat dari sisi tebing. Kota menjerit. Namun, sepatu Izuku mengeluarkan percik hijau. Dan mereka melayang di angkasa.
***
Aizawa berlari menembus hutan. Otaknya berpacu. Berusaha berpikir jernih. Setidaknya, Iida, Mineta, Ojiro, dan Kota sudah kembali. Namun, masih banyak murid yang tersebar di luar sana.
Ditambah lagi, suara bajingan berapi biru tadi masih terngiang di kepalanya.
Hei Pahlawan, apa murid-muridmu itu penting?
Gigi Aizawa menggertak. Jelas sekali. Mereka mengincar muridnya. Dan selagi dia masih hidup, tidak akan ada satupun dari mereka yang akan celaka. Aizawa bersumpah dalam hati untuk selalu melindungi—
"Sensei!"
"Aizawa-sensei!"
Tunggu, suara itu...
"Todoroki?! Midoriya?!"
Dua murid itu keluar dari balik pohon. Yang berambut hijau tampak menggendong anak bertopi merah. Itu anak Mandalay, Kota.
"Kalian—"
"Ada banyak hal yang ingin kami beritahu padamu!" Izuku menyela. "Tapi pertama, ada hal yang harus kusampaikan pada Mandalay. Tolong jaga Kota. Kami harus—"
"Tunggu Midoriya!"
Sentakan Aizawa membuatnya terdiam. Sang guru mendengus.
"Tidak seperti kau atau Dorothea, pada situasi genting seperti ini yang lain tidak dapat menggunakan quirk mereka. Kau ingat Hosu?"
"Hah?! Tapi itu tidak—!"
"Itu sebabnya, kau akan menyampaikan ini pada Mandalay." Aizawa mengepalkan tangan.
"Untuk semua Kelas A dan B, atas nama Pahlawan professional Eraserhead, kalian diizinkan untuk bertarung."
Mata Izuku dan Todoroki melebar mendengar itu. Aizawa menghela napas.
"Dan walaupun aku tidak menyukai ini... Todoroki, kau temani dia. Dua kepala memiliki kemungkinan selamat lebih dari satu."
"Baik, Aizawa-sensei."
Bip.
Empat orang itu tersentak. Suara yang muncul datang dari salah satu saku celana Izuku. Dia mengeluarkan alat kecil berlayar. Ada titik merah di sana. Sementara bunyi 'bip' terdengar beruntun. Mata hijau langsung melotot.
"Sialan! Di saat seperti ini?!"
"Midoriya, apa itu?"
"Ini meteran anomali, Sensei."
Wajah sang calon pemburu memucat. Ekspresi panik menghias penuh.
"Alat ini digunakan untuk mendeteksi demon."
***
Dorothea berlari beriringan dengan Bakugou. Bahkan ditengah lari untuk keselamatan hidup mereka, si pirang masih menggerutu.
"Makhluk apa itu tadi?! Apa itu dari quirk?!" jerit Bakugou untuk kesekian kalinya. Lagi-lagi, Dorothea membalas dengan diam. Tidak sabar, anak laki-laki itu menarik tangan Dorothea. Memaksanya berhenti.
"JAWAB AKU DASAR KAU—"
Slap.
Tamparan sang gadis membuat anak itu melepaskan pegangan tangannya. Kini digunakan untuk memegangi pipi dengan cap yang membekas. Si rambut merah merasakan hawa dingin dari Eins yang tersenyum dan 'memeluk' lehernya. Sementara wajah Bakugou memerah.
"HEI—"
"BISAKAH KAU DIAM?!"
Teriakan itu membungkam Bakugou. Mata emas menatap tajam. Seakan menusuk langsung ke jiwa sang pirang.
"Tidak penting apa itu," desis sang gadis. Berusaha menjaga komposur agar tidak meledak lagi. "Yang penting, monster itu ada untuk membunuh kita. Dan walaupun aku sangat membencimu, aku tidak mau kau mati."
"Heh, aku tidak butuh—!"
"Kepada semua kelas A dan kelas B!"
Suara yang menggema di kepala memotong adu mulut kedua anak. Telepati Mandalay.
"Atas nama Pahlawan professional Eraserhead. Kalian diijinkan untuk bertarung!"
"Ha! Dengar itu?!" sorak Bakugou. "Sekarang aku bisa mencincang makhluk tadi sampai habis!"
"Dengan apa?" balas Dorothea. Suaranya tajam seperti benang yang bisa dia buat. "Dengan quirkmu? Ledakan? Itu pyrecheros! Dia kebal api dan semua hal panas!"
"Oh! Jadi sekarang makhluk itu punya nama?! Dan kau tahu karakteristiknya?!"
"Listen here you bloody son of a bi—"
"Kami sudah mengetahui salah satu tujuan para Penjahat!"
Telepati Mandalay terdengar lagi.
"Yang mereka incar adalah murid bernama Katsuki! Katsuki harus menghindari pertarungan dan tidak bertindak gegabah!"
"APA-APAAN!?"
Mau tidak mau, kekehan lepas dari mulut Dorothea melihat anak di depannya mengeluarkan rangkaian sumpah serapah. Katsuki tampak semakin murka.
"Tadi dia bilang boleh bertarung?! Lalu tidak boleh?! Dasar plin-plan—!"
"Dorothea-chan?!"
Awalnya sang gadis mengira panggilan akrab itu hanya halusinasi dari keinginannya untuk berpisah dengan si rambut jabrik di depannya ini. Namun, ketika sekelebat surai hijau dan merah-putih terlihat diantara pepohonan, hati sang gadis langsung melompat gembira.
"Izuku-kun! Todoroki-kun!"
Tanpa sadar dia melangkah, menerjang kedua laki-laki itu dan menarik mereka dalam pelukan. "Syukurlah kalian baik-baik saja!"
Wajah Todoroki bersemu. Sementara Izuku tertawa dan menepuk punggung rekannya itu. "Iya, kami baik! Bagaimana denganmu?"
"Fisik? Baik. Mental? Hampir gila karena pomerian rabies satu ini."
"HEI!"
"Syukurlah kami menemukan kalian." Suara baru menyahut. Muncul anak berbadan tinggi dengan enam tangan berselaput. Wajahnya tertutup kain dengan satu mata dibalik rambut kelabu.
"Maaf kita harus bertemu dalam kondisi seperti ini, Dorothea-san. Namaku Mezo Shoji." Dia mengulurkan tangan. Dorothea menjabatnya tanpa ragu.
"Senang berkenalan juga Shoji-san. Kau benar, ini bukan situasi paling baik, ya?"
"Oke! Cukup ramah tamahnya!" bentak Bakugou. "Apa yang kalian lakukan di sini huh?! Aku tidak perlu diselamatkan!"
"Kami tidak hanya datang untuk itu, Katsuki."
Si Dinamit Berjalan menoleh pada Izuku. Sampai sekarang, mendengar nama aslinya di bibir anak itu masih membuat bulu kuduk berdiri. Namun, atensi sang rambut hijau sama sekali tidak ditaruh padanya. Mata hijau bertatapan dengan emas milik Dorothea.
"Aku kemari untuk partner-ku." Izuku menyeringai. Dia mengangkat meteran anomali. Bunyi 'bip' dari alat itu semakin cepat dan mengeras.
Dorothea tertawa. Langsung paham. Dia meregangkan jemari tangannya. Seringaian senada milik Izuku turut muncul di wajah.
"Saatnya berburu, kalau begitu."
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N.:
I'm back babyy! Akhirnya bisa up cerita ini lagi lmao. Hope u enjoy!
Thank u for reading! ;D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro