Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35. Quiet Night

Izuku dan Dorothea berbagi tugas untuk membantu memasak. Sang gadis memotong sayur dan Izuku mulai menggoreng potongan katsu dan karaage yang sudah ditepungi. Di tengah sibuk, mereka berkenalan dengan dua anggota Pussycats yang lain, Tiger dan Ragdoll.

"Yup! Ini yang terakhir!" kata Mandalay sembari menaruh pot besar berisi sup di kafetaria. Dia berbalik ke Dorothea dan Izuku.

"Terima kasih bantuannya, kalian!"

"Tidak masalah, Mandalay-san," balas Izuku sopan. "Lagipula, kami juga akan ikut makan."

"Tepat waktu!" seru sebuah suara. Kepala Pixie-Bob menyembul dari pintu. "Ayo! Mereka sudah datang."

Mereka berduyun-duyun keluar. Aizawa sudah menunggu di sana. Sementara itu, Pixie-Bob berdiri beberapa langkah di depan sang guru dengan senyum lebar.

Dorothea mengambil tempatnya disamping Izuku. Mata menyorot hutan lebat dengan penasaran.

"Oh, akhirnya kalian datang juga!" ucap Pixie-Bob.

Mandalay tersenyum. "Butuh waktu lumayan lama juga..."

Dari balik bayang-bayang pepohonan, Dorothea melihat satu persatu anak kelas 1-A bermunculan. Mereka tampak babak belur. Seragam berantakan dan tercoreng tanah. Beberapa dari mereka memegangi bagian tubuh yang sakit. Berjalan dengan terseok-seok. Napas mereka memburu. Dan semua muka mereka tampak lelah.

Semuanya berhenti. Beberapa jatuh ke tanah. Kemudian bersamaan mendenguskan napas berat.

"Apanya yang tiga jam!?!?"

"Kalau kami butuh waktu sebanyak itu, sih," ucap Mandalay tanpa nada bersalah. "Maaf ya!"

Beberapa anak mulai mengeluh. Sementara fokus Dorothea beralih ke sosok putih yang melayang cepat ke arahnya.

Eins kembali ke sisi Dorothea. 'Meletakkan' tangan dingin ke pundak gadis itu. Lalu berbisik di telinganya.

"Mereka benar-benar berjuang keras di sana!"

Dorothea menyembunyikan tawa di balik syal. "Ceritakan nanti."

Pixie-Bob tampak terkikik lagi. "Tapi jujur, kukira kalian akan butuh waktu lebih lama," ucapnya. "Ternyata kalian bisa mengalahkan monster tanahku lebih mudah dibanding perkiraan!"

"Kalian boleh juga," pujinya. "Terlebih—"

Cakar kucing putih mununjuk Iida, Todoroki, dan Bakugo.

"—Kalian!"

"Apa itu semua karena pengalaman kalian?" tanya Pixie-Bob. Dia membasahi bibir.

Dan dia menerjang.

"Tidak sabar menunggu tiga tahun lagi! Jadi ingin cium!"

Pussycats biru itu mulai memutari ketiga calon Pahlawan malang. Yang memprotes sembari melindungi muka dengan tangan.

"Mandalay, dia memang selalu seperti itu?" tanya Aizawa sembari menunjuk.

"Dia itu agak putus asa, soalnya umurnya sudah hampir, itu lho..."

"Desperate," bisik Dorothea.

"Sangat," timpal Eins.

"Hush! Tidak boleh begitu!" ucap Izuku sembari menyikut sang gadis. Seperti biasa memiliki moral yang lebih lurus.

Tiba-tiba, Uraraka mengambil langkah maju. Walaupun masih terengah-engah, dia berusaha memasang sebuah senyum.

"Ngomong-ngomong, apa itu anak anda?"

Dorothea menoleh. Melihat Kota berdiri di samping Mandalay. Dia tidak ingat kapan anak itu datang.

"Oh, bukan. Dia itu anaknya sepupuku," jelas Mandalay. "Kota, ayo beri salam pada mereka. Seminggu kedepan kau akan bersama mereka, lho!"

Namun, ekspresi keras Kota tidak berubah. Ekspresinya sama dengan yang dia pakai sebelum tahu Izuku dan Dorothea bukan Prodi Pahlawan.

Kemana anak yang duduk manis ketika kudongengi di bus tadi?

Uraraka memutuskan untuk menghampiri Kota. Dia berjongkok di depan anak itu agar kepala mereka bisa saling berhadapan. Kemudian, si gadis mengulurkan tangan.

"Salam kenal, namaku Uraraka Ochako dari Prodi Pahlawan U.A.—"

SLAP!

Dorothea berjengit ketika sang anak menampar tangan gadis gravitasi itu.

"Kota!"

Pekikan Mandalay mulai terdengar. Mulai melemparkan nasihat selagi anak itu berjalan menjauh.

"Aku tidak berniat akrab dengan mereka yang ingin menjadi Pahlawan!"

Dorothea terkesiap.

Gadis itu memiringkan kepala ke Izuku.

"Ada apa dengannya?" desis sang gadis. "Aku sendiri tidak suka Pahlawan, tetapi..."

Anak berambut hijau disampingnya menghela napas berat.

"Kuceritakan nanti."

***

"Lezat! Nasinya sangat lezat!"

"Hatiku dipenuhi rasa bahagia!"

"Ini sebanding dengan masakan Lunch Rush!"

"Mau sampai kapanpun aku akan sanggup memakannya!"

"Tungku tanah liat!?"

"Dimasak dengan tungku tanah liat?!"

Kira-kira seperti itulah suara anak-anak kelas 1-A yang memenuhi udara. Kafetaria penuh oleh bunyi denting mangkok dan suara mengunyah murid yang makan seakan itu makanan terakhir mereka sebelum hukuman mati.

Sementara itu, Dorothea, Izuku, dan Todoroki duduk agak di pinggir. Makan dengan kecepatan normal. Izuku dan Dorothea memang tidak terlibat dengan apapun-itu yang terjadi di hutan. Sedangkan Todoroki sepertinya terlalu keren untuk makan layaknya serigala lapar.

Di tengah semua, Izuku memutuskan untuk bercerita soal keadaan Kota.

"Anak yang malang...," bisik sang gadis. "Apa kau berencana melakukan sesuatu?"

"Entahlah..." Izuku meraup wajahnya dengan tangan.

"Aku—bagaimana, ya. Aku ini mantan hero nerds. Dan walaupun tidak separah dulu, aku masih merasa Pahlawan memberikan banyak jasa ke masyarakat." Anak itu berjengit.

"Walau tidak semua, sih. Ah, tapi kalian paham maksudku."

Todoroki berdehum. Dia melirik ke nasi di mangkuknya, sebelum mengalihkan pandangan ke Dorothea.

"Bagaimana denganmu? Bukankah kau tidak suka Pahlawan?"

"'Tidak suka' itu bukan kata yang tepat, Candy Cane," desah Dorothea. "Kalau aku tidak suka Pahlawan, aku pasti tidak akan mau dekat denganmu atau Shinsou."

Anak berambut merah itu meregangkan tubuh. Mata emas mengedar ke seleruh ruangan. Sempat melihat Eins melayang menembusi kursi, meja, dan orang-orang.

"Aku tidak membenci dan tidak menyukai Pahlawan. Walau tentu menjaga keamanan itu bukan hal yang buruk, aku tidak terlalu peduli tentang mereka."

"Hmm, begitu..." gumam Todoroki. "Jadi, kau netral?"

"Bisa dibilang." Sang gadis mengangkat bahu.

"Aku masih menganggap mencampur jasa penegak hukum dan dunia entertainment adalah ide buruk."

"Kau sedang dalam mood untuk jujur malam ini, huh, Dorothea-chan?"

"Heh, tentu, Izuku-kun."

***

Langkah Dorothea bergema ketika dia berjalan melewati lorong sepi dengan Eins melayang setia di sampingnya. Dia memutuskan meninggalkan Izuku dan Todoroki yang belum selesai makan. Sang gadis mendesah pelan.

"Maaf tadi kita malah membahas hal lain, Eins. Aku yakin apa yang kau lihat di hutan sangat seru."

"Ah, itu tidak masalah—"

"Ah! Itu dia! Dorothea-chan!"

Gadis pink melambaikan tangannya. Dorothea mendekat.

"Halo! Kita belum berkenalan kan? Aku Ashido Mina!"

"Jiro Kyouka, salam kenal."

"Yaoyorozu Momo, kau bisa panggil aku Yaomomo!"

"Kita akan ke pemandian! Mau ikut?" tawar Ashido.

"Ah," Dorothea menggeleng. "Maaf, aku sudah mandi duluan tadi."

"Wah, sayang!" ucapnya lagi. "Kalau begitu kami pergi dulu Dorothea-chan!"

Mereka bertiga melambaikan tangan dan berlalu. Dorothea membalasnya dengan tersenyum. Kemudian mendesah.

"Eins, kau mau menceritakannya di luar saja? Sekalian mencari udara segar."

"Aku hantu, Dorothea, aku tidak bernapas—"

"Kau paham maksudku Eins."

***

Dorothea berjalan keluar gedung selagi Eins mulai mengoceh. Mata emas langsung menerawang langit. Malam itu cerah. Bintang-bintang berkedip di angkasa.

Sang gadis berdehum, sebelum menyandarkan punggung ke dinding betoh fasilitas yang dingin.

"Jadi bocah berambut kuning itu Kaminari? Dan dia itu pikachu?"

"Astaga Dorothea! Maksudku—kau ada benarnya—"

Suara tawa mereka berdua hanyut terbawa angin malam. Sebelum mereda. Dorothea mengatur napasnya. Sebelum fokus kembali terarah ke langit.

Kerlip bintang menatap balik. Bagai ratusan mata yang berkedip.

"Menurutmu, Serathephim ada di atas sana?"

Suara Eins tidak lebih dari sebuah bisikan. Hutan di depan mereka menguarkan aura mistik. Mungkin ada hantu lain di sana. Akan tetapi, untuk sekarang, mereka tidak peduli.

"Ya. Walau aku tidak tahu dimana."

Jawaban Dorothea jelas di heningnya malam.

"Kadang aku merasa semua ini tidak nyata."

"Eins, kau sudah melihat sendiri bahwa demon ada. Kau ikut perburuanku dan Izuku for heaven's sake," kata Dorothea.

"Dan kau itu hantu. Kupikir semua bukti itu sangat nyata."

Roh rambut putih tergelak. Dorothea bisa melihat senyum kecil tertinggal di atas kulit sepucat kertas.

Keduanya sibuk menatap langit. Melihat bentangan hitam yang tak ada habisnya itu tampak dipenuhi kerlipan permata kecil.

Keheningan itu nyaman. Tidak canggung seperti diam yang lain yang Dorothea rasakan.

"Hei, Eins," bisik Dorothea. "Sebenarnya aku berpikir—"

Gadis itu bisa merasakan pandangan si hantu mengarah padanya.

"Kenapa kau ada di sini?"

Eins menoleh ke arahnya dengan cepat. Membuat helai putih tersibak.

"Maaf?"

"Ah—!" Si gadis menggaruk tengkuknya.

"Jika kau mau bertanya soal urusanku yang belum selesai—"

"Bukan! Bukan soal itu!" Dia menggigit bibir.

Jika Dorothea menebak. Eins itu termasuk hantu yang tua. Artinya, dia mati sudah cukup lama. Ditunjukkan dengan dia memiliki kemampuan poltergeist sederhana.

Namun, setua apapun Eins, dia masih enggan bercerita tentang situasi kematiannya. Dan Dorothea akan menghormati keputusan itu.

"Bukan soal kenapa kau menjadi hantu, tapi—" Anak itu menggigit bibir.

"Kenapa kau ada di sini bersamaku?"

Hening.

Satu detik.

Dua detik.

Tidak ada suara.

Kemudian Dorothea merasakan tangan dingin 'membelai' rambutnya.

"Entahlah."

Suara Eins sangat lembut.

"Semesta bekerja secara misterius. Ada titik dimana kau menyadari dan berkata, 'Hei, ini terasa benar'."

Dorothea tertawa kecil.

"Sesederhana itu?"

"Kadang sesuatu bisa jadi sederhana, jika kau memilihnya menjadi sederhana."

Dorothea tertawa. Lagi. Tangan mengusap hidung yang mulai memerah karena dingin. Eins tersenyum. 'Menepuk' kepala sang gadis dengan sayang.

"Dorothea? Dan—uh—Eins?"

Keduanya tersentak. Mereka menoleh bersamaan. Tampak Todoroki berdiri di sana. Karena asyik mengobrol, keduanya tidak menyadari anak itu berjalan mendekat.

"Kau... bicara sendiri," gumam si merah-putih. "Jadi, kutebak Eins ada bersamamu."

"Ah, iya. Dia ada di sini. Ada yang bisa kubantu, Candy Cane?"

"Aizawa menyuruh semua anak masuk," ucapnya. "Tapi kau kelihatan sibuk sekali. Apa yang kalian bicarakan?"

"Macam-macam." Mulut sang gadis membentuk senyum simpul. "Dia memberitahuku kau kelihatan keren sekali mengalahkan monster tanah di hutan."

Mata Todoroki melebar. Sebelum dia memalingkan muka kesamping.

"Aku tidak tahu dia menonton."

"Tentu saja tidak, kau tidak bisa melihatnya."

Si gadis terkikik. Kemudian dia berjalan menghampirinya. Lalu menggamit lengan kiri anak itu.

Bagian apinya.

Dia membelai tangan Todoroki yang hangat. Kontras dengan milik Dorothea yang beberapa menit berdiam di dalam dinginnya malam. Namun, jemari mereka sama-sama kasar. Bentuk dari berbagai jenis latihan.

"Aku turut senang," gumam si gadis. "Sekarang, ini bukan sebuah beban untukmu."

Tangan Todoroki menggenggam jemari Dorothea. Menghangatkannya. Sebelum menarik sedikit ke arah pintu masuk.

"Ayo," ucapnya. "Besok kau memang tidak ikut berlatih, tapi kau masih harus bangun pagi."

Kaki Dorothea terpaku. Sang gadis berambut merah terdiam sejenak. Kemudian memalingkan muka.

"Boleh aku di sini sebentar?"

Todoroki tampak ragu. Namun, mata emas di depannya tampak memohon. Akhirnya, dia menyerah.

Anak itu melepaskan tangan sang gadis. Lalu melangkah maju. Memperkecil jarak keduanya. Tangan bergerak melepas syal Dorothea. Lalu melilitkannya lagi sehingga leher si gadis lebih hangat.

"Tidak mau kau sakit," dia bergumam. Lalu mundur dan berjalan ke pintu. Akan tetapi, dia menoleh sekali lagi.

"Sepuluh menit," ucapnya. "Jika kau tidak kembali, aku akan menggeretmu masuk."

Dorothea langsung mengangguk. Namun, sebelum sempat Todoroki mengambil langkah pergi, si gadis kembali berseru.

"Canuh, Todoroki-kun!" ucapnya.

Sebuah senyum lebar terpatri.

"Terima kasih!"

Anak yang disebut terlonjak. Lalu mengangguk dan berpaling. Berharap merah dipipinya tersamar oleh gelap malam.

Sementara itu, Dorothea kembali menoleh ke Eins yang tersenyum geli.

"Kupikir kau melupakanku."

"Pfft, as if," dengusnya. Mata emas kembali menerawang langit. "Apa kau mau mendengar cerita soal rasi bintang, Eins?"

Sementara langkah Todoroki semakin memudar di belakang kepala mereka.

Meninggalkan seorang gadis, hantu, dan konstelasi yang terpeta di angkasa.

***
.
.
.
.
.
.
.

A.N.:
Aaaaa berapa lama aku pergiii???

Maaf author menghilang. Irl lagi sibuk soalnya. Semoga chapter hari ini enjoyable ya! (  ;-;)

Jaga kesehatan, banyak minum air dan terima kasih atas semua dukungannya.

Thank uu for reading! :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro