34. Meeting Point
Buku Kumpulan Kisah H.P. Lovecraft yang dia pinjam dari The Hourglass terbuka di pangkuan Dorothea.
Setelah membacakannya untuk Shinsou, sang gadis memutuskan untuk membawanya pulang. Entah apa yang merasukinya untuk turut membawa buku itu dalam perjalanan kali ini. Setidaknya, sekarang dia punya kegiatan di dalam bus.
Sementara itu, Eins melayang menembusi tubuh anak-anak Prodi Pahlawan. Izuku sendiri memilih mendengkur di sampingnya.
Dorothea tidak menyalahkan si rekan. Dia dengar dari Inko, Izuku sibuk memodifikasi Jadestaff tepat semalam sebelum mereka berangkat. Dia pasti kelelahan.
Sang gadis berambut merah tersenyum melihat sahabatnya yang tidak terusik oleh kegaduhan di dalam bus. Mereka memang mendapat kursi di deret belakang.
Dari sudut mata emas, Dorothea menangkap Todoroki yang duduk di baris tengah. Dia sempat berbalik, lalu melambaikan tangan kepadanya. Membuat gadis itu tersenyum sedikit, sebelum kembali menunduk dan fokus pada bacaan.
Sayang sekali, membaca dalam suasana ramai begitu bukan ide yang bagus. Sulit untuk mencerna cerita dan tertarik masuk pada latarnya. Pada akhirnya, Dorothea memutuskan melamun. Memandangi huruf-huruf tanpa perhatian.
Sampai ponselnya berbunyi.
Ada pesan masuk dari dua grup. Dorothea secara refleks membuka yang paling atas.
***
Group Chat
1-C is Superior (but Todoroki is alright)
Shinsou Hitoshi
Sudah berangkat?
Dorothea Tuning
Ya, sedang di perjalanan
Todoroki Shoto
Midoriya tertidur
Dorothea Tuning
Biarkan saja. Dia kelelahan sesudah bereksperimen
Todoroki Shoto
Dia sama sekali tidak terlihat feral kalau sedang tidur
Dorothea Tuning
Yeah... Izuku itu gremlin yang suka cari masalah
Shinsou Hitoshi
Kau mengatakan itu seakan kau tidak termasuk salah satunya
Dorothea Tuning
Ngomong-ngomong
Dorothea Tuning
Username kita biasa sekali
Dorothea Tuning changed their name to Strawberry
Strawberry changed Todoroki Shoto name to Candy Cane
Strawberry changed Shinsou Hitoshi name to Sour Grape
Strawberry changed Midoriya Izuku name to Peppermint
Strawberry
Lebih baik
Sour Grape
Kenapa namanya seperti ini? Apa kau lapar Dorothea??
Candy Cane
Aku puas dengan username kita
***
Dorothea terkikik kecil. Izuku bergerak disampingnya. Mencari posisi tidur yang lebih nyaman. Sang gadis menggeleng. Kemudian lanjut membuka grup yang lain.
***
Group Chat The Tunings
Dad
Sudah sampai?
Kid
Belum, masih di perjalanan
Dad
Jika sudah sampai jangan lupa mengabari
Kid
Tentu Dad
Kid
Dimana Mom?
Dad
Dia sedang ada di telepon dengan Nikky
Dad
[image.attached]
***
Tampak sang ibu di dalam foto. Ponsel tertempel di telinga sementara tubuh bersender pada kitchen island dapur mereka.
Ekspresinya tampak serius. Mata cokelat menatap tajam. Sementara lampu mengiluminasikan batu rubi di tusuk rambutnya yang berbentuk burung gagak. Ada kantung di bawah matanya. Belum tebal. Namun ada.
Dorothea mendesah. Akhir-akhir ini, Avery memang menjadi sulit tidur. Khawatir tentang anak semata wayangnya.
Jari sang gadis mengetik balasan singkat dan janji akan menghubungi lagi nanti. Sang ayah mengirim emoticon jempol. Setelah itu, Dorothea memasukkan ponsel kembali ke saku. Memutuskan kembali membaca buku.
Dia baru separuh di cerita Colour Out of Space ketika bus berhenti. Kepalanya terangkat.
Apa kita sudah sampai?
Aizawa memberi arahan untuk keluar. Jadi satu persatu murid mulai bangkit dari bangku mereka. Dorothea mengguncangkan pundak Izuku yang masih terlelap.
"Izuku-kun, bangun. Kita sudah sampai!"
"Lima menit lagi... Okaa-san..."
"Aku bukan ibumu," ucap Dorothea menahan senyum. "Dan kita tidak punya lima menit. Ayo bangun!"
Terdengar gerutuan kecil. Izuku mengolet sebelum mengucek mata. Kemudian mengerjap dan melihat ke sekeliling dengan nanar.
"Ugh, aku lupa kita sedang diasingkan ke antah berantah."
Kali ini, Dorothea tidak bisa menahan tawanya. Dia terkekeh sebelum menggamit tangan Izuku. Lalu menarik anak itu keluar bus.
Begitu kakinya menapak keluar, dia melihat tebing. Dan ada mobil hitam terparkir.
Kening Dorothea mengernyit. Ada yang janggal.
Ini bukan tempat pemberhentian?
"Tunggu, mestinya ini tempat pemberhentian, kan?"
"Hah, dimana siswa kelas B?"
Benar seperti yang dia tebak. Sepertinya anak yang lain sadar juga. Dia memperhatikan anak kelas 1-A mulai berkumpul.
Dia dan Izuku sendiri masih berdiri di dekat bus. Sang kawan masih agak terhuyung. Kesadaran belum terkumpul sepenuhnya.
"Memang tidak mungkin kalau tidak ada maksud tertentu, kan?" kata Aizawa.
Aku punya perasaan buruk soal ini.
Pintu mobil hitam menjeblak terbuka.
"Yo, Eraser!"
Suara bernada tinggi itu terdengar. Aizawa membungkukkan badan.
"Lama tidak bertemu."
Tampak dua wanita keluar. Pirang dan brunette. Mereka menggunakan baju yang mengingatkan Dorothea pada serial magical girl yang sering dia tonton waktu kecil.
"Dengan tatapan mata yang berkilau, Lock On!"
"Kucing yang imut dan menggemaskan!"
"Wild, wild—"
"Pussycats!!"
Dorothea menahan diri untuk tidak memutar mata dan tertawa geli. Sementara Eins disampingnya sudah terkekeh.
Posturing macam apa itu? Benar-benar seperti magical girl.
"Mereka adalah Pro Heroes yang akan melatih kalian selama pelatihan kali ini, Pussycats," terang Aizawa.
"Mereka salah satu dari empat pahlawan yang telah mendirikan kantor agen!"
Bisikan trivia itu membut Dorothea terlonjak. Dia menengok. Melihat mata hijau Izuku kini terbuka lebar dan berkilat-kilat.
Pergi kemana kantukmu?
"Mereka tim berpengalaman yang khusus melakukan penyelamatan di pegunungan!" tambahnya.
"Oh dia tahu banyak," komentar Eins.
"Kau ini..." Dorothea menggeleng. Kemudian fokusnya kembali ke dua orang berpakaian mencolok tadi. Mengamatinya dari jauh.
"Jadi, kau tahu siapa mereka?"
"Mandalay dan Pixie-Bob," terang Izuku. "Sebelum kau bertanya, iya, nama mereka sama seperti ras kucing."
Dorothea terkikik. Izuku ikut terkekeh juga.
Si pirang, Pussycats yang berpakaian biru—Pixie-Bob—bergerak secepat kilat. Telapak yang bersarung tangan cakar kucing putih beristirahat di dadanya.
"Selamat datang di Kamp Pelatihan!"
"Anak-anak, sapalah mereka," perintah Aizawa.
"Mohon bantuannya!" semuanya menjawab serentak.
Pussycats brunette yang berbaju merah—Mandalay—tersenyum. Tangannya terentang. Memberi gestur pada hutan di bawah tebing.
"Seluruh wilayah ini adalah wilayah kekuasaan kami." Dia menunjuk ke satu titik. "Kalian akan berkemah di kaki gunung itu."
"Jauh sekali!"
"Hah?" telinga Dorothea menangkap suara Uraraka. "Lalu kenapa kami berhenti di sini?"
Gadis itu menengok ke Tsuyu. Yang terlihat menempelkan telunjuk ke bibirnya.
"Jangan-jangan..."
"Tidak mungkin."
"Ayo kita kembali ke bus saja," usul Sero. "Cepat."
"Benar juga," timpal Kaminari. "Ayo lakukan."
Aizawa melirik ke Dorothea dengan wajah datar. Mata mereka bersirobok. Tangan guru itu menunjuk ke tanah di sampingnya.
Memberi isyarat agar dia dan Izuku mendekat.
Mandalay tampak tersenyum.
"Sekarang pukul 9.30 pagi—"
"Ada apa Aizawa-sensei?" tanya Dorothea. Dia dan Izuku patuh berdiri manis di samping Pro Hero itu.
Si guru mengangkat bahu. "Hanya memastikan kalian tidak ikut terlempar."
"Terlempar?"
"—Asal kalian cepat, mungkin sampainya sekitar tengah hari—"
Aizawa mendengus.
"Kau akan tahu," ucapnya singkat. "Jangan jauh-jauh dariku."
Dua anak itu menurut.
"Gila ini..."
"Ayo kembali!"
"Kembali ke dalam bus!"
"Cepat!"
"—Kucing yang tidak sampai menjelang pukul 12.30, tidak dapat jatah makan siang!" kata Mandalay
Netra emas Dorothea memperhatikan ketika murid kelas A mulai berlari ke bus.
"Maaf murid-murid," ucap Aizawa.
Pixie-Bob lebih gesit.
"Pelatihannya sudah dimulai."
Pussycats itu melompat. Berhenti di depan para murid. Seringaian menghiasi mulut.
Kedua tangan menyentuh tanah.
Dan tebing itu bergetar.
Pijakan mereka melunak. Seperti lumpur. Bergolak. Memerangkap kelas 1-A. Melemparkan mereka ke bawah tebing.
Dorothea bisa mendengar jeritan murid-murid Prodi Pahlawan itu.
Dia bergidik.
Sekali lagi merasa beruntung memilih Prodi Umum.
"Oi!" jerit Mandalay di balik pagar tebing. "Berhubung ini tanah pribadi, kalian bebas menggunakan quirk! Tiga jam dari sekarang, tibalah di lokasi dengan kaki sendiri! Lewatilah—"
"—Hutan Makhluk Buas ini!"
Dorothea tidak tahu apa yang akan mereka temukan di sana.
Dan jujur, dia tidak mau tahu.
Dia merasa kasihan pada kelas 1-A.
"Oh apa ini?"
Suara Mandalay membuat Dorothea tersentak.
"Pixie-Bob, ada yang terlewat!"
"Eh!? Bukan—kami—"
"Mandalay, mereka bukan Prodi Pahlawan," celetuk Aizawa.
Anggota Pussycats itu memandang Dorothea dan Izuku bergantian. Matanya tampak penasaran. Kemudian dia terlonjak.
"Oh ya! Kalian dari Klub Jurnalistik itu! Nezu menceritakannya padaku!"
Dorothea dan Izuku saling bertukar pandang lega.
"Salam kenal!" ucap mereka bersamaan.
"Tapi, jadwalnya benar-benar gila, ya, Eraser," ucap Mandalay.
"Ya, kami berniat memberikan pengalaman yang seharusnya di dapat pada awal tahun kedua lebih dini, jadi wajar gila-gilaan."
Muka Aizawa tidak berubah selagi menjelaskan.
"Izin penggunaan quirk di saat darurat—" lanjutnya. "Izin sementara tersebut memperbolehkan mereka bekerja sebagai Pahlawan."
"Di saat para penjahat sangat aktif ini, mereka juga perlu belajar cara melindungi diri."
"Masuk akal. Dengan USJ dan semua insiden lain, lisensi penggunaan quirk sementara akan berguna."
Dorothea dalam hati mengiyakan celetukan Eins itu.
Terdengar suara berdetum. Semua yang di tebing lansung menengok.
Asap tampak membubung dari jauh.
"Kalau begitu, aku mengandalkanmu, Pixie-Bob," ucap Aizawa.
Yang dipanggil mengangkat tangannya ke udara.
"Serahkan padaku!" ucapnya bersemangat. "Bulu-buluku berdiri!"
Jadi, apapun yang ada di hutan itu berhubungan dengan Pixie-Bob, pikir Dorothea. Apa mungkin quirknya?
"Dorothea, Midoriya," panggil Aizawa. Gadis itu terlonjak. Secara refleks menoleh ke gurunya tersebut.
"Masuklah ke bus, kalian akan langsung ke kamp."
"Ah! Baik!"
"Oh, kalau begitu!" Mandalay menoleh ke ujung tebing. "Kota!"
Di dekat Pixie-Bob—yang sibuk menggerakkan tangannya, mengontrol apapun itu yang ada di hutan—seorang anak kecil menoleh. Dia berambut hitam. Menggunakan topi merah dengan dua tanduk. Tatapan matanya tajam.
Ekspresi anak itu sangat... pahit.
Dorothea yakin muka anak kecil seharusnya tidak menampilkan emosi seperti itu.
"Kota, bagaimana kalau kau ikut dengannya mereka?" tanya Mandalay. "Aku mau mengamati anak-anak ini sebentar. Eraser, kita bertemu lagi di sana."
Aizawa mengangguk. Dia lalu melangkah ke bus. Dorothea segera mengikuti pria berambut hitam itu. Dan anak yang disebut Kota tadi mengikutinya. Walaupun dengan langkah ragu.
***
Izuku kembali duduk di kursinya tadi. Begitu juga dengan Dorothea. Dia bahkan kembali memangku buku cerita horornya.
Bus itu sepi. Tidak seperti tadi saat berangkat. Aizawa duduk di depan. Sama seperti saat berangkat. Dorothea memutuskan mencari kursi lain di tengah. Dia tidak mau terlihat menjauhi guru itu. Walau dia mengakui, Aizawa terlihat agak seram.
Dan yang mengejutkan adalah—
—Kota memutuskan duduk di samping Izuku.
Diam yang menyelimuti bus itu sangat canggung. Hanya suara dengung mesin yang mengisinya. Bahkan Eins memutuskan diam.
Sampai suara kecil mengagetkannya.
"Kalian," desis Kota. "Kenapa tidak ikut dengan calon-calon pahlawan payah itu?"
Payah?
"Huh?" Izuku menoleh ke anak itu dengan bingung. Kota menatapnya tajam.
Ada apa dengan anak ini?
"Mungkin... karena kami tidak mau menjadi Pahlawan?"
Mata hitamnya membulat. Sepertinya dia tidak menyangka jawaban itu.
"Kenapa?"
Izuku menoleh ke Dorothea. Mata memohon meminta bantuan. Sang gadis meringis.
"Err, itu hanya bukan keinginanku. Lagipula—aku punya tugas lain."
Anak bertopi itu masih menatapnya dengan wajah menelisik. Kedua netra lalu berpaling ke Izuku.
"Baik... itu alasanmu. Kalau kau?"
Anak berambut hijau itu tersentak. Mulut terbuka. Lalu tertutup. Masih tidak ada kata-kata yang keluar. Dia menggaruk kepala.
"Aku tidak punya quirk."
Izuku berjengit. Dia tidak tahu kenapa alasan itu yang pertama terlintas di kepalanya pada saat ini.
Kota terkesiap. Kemudian memalingkan muka. Wajahnya kini meluluh.
Dia tidak terlihat seperti anak kecil kasar yang tadi.
"Maaf—"
"Kenapa meminta maaf?"
Kota terlonjak. Kepalanya tengadah menatap Izuku. Terperangah.
"Aku memang tidak bisa menjadi Pahlawan. Tetapi, tidak punya quirk bukan berarti aku kekurangan," ucap Izuku.
Diam lagi.
Kota menunduk. Dia tampak berpikir keras.
Pada akhirnya, keheningan dipecah oleh Dorothea yang berdehum. Dia melihat buku yang masih terbuka di pangkuannya.
"Kau suka cerita horor?" tanya Dorothea. Kepala anak itu terangkat.
Dorothea menunjuk bukunya. "Ini cerita horor klasik. Beberapa tidak terlalu seram. Tapi ini dalam bahasa Inggris."
Kota tampak ragu-ragu. Namun dia sedikit memiringkan tubuhnya ke arah Dorothea. Berusaha mengintip isi buku itu.
Dorothea tersenyum. "Mau kuterjemahkan?"
Kota terlihat berpikir. Ekspresi keras dan marahnya benar-benar mencair.
Dia terlihat seperti anak kecil biasa.
Dan dia memberi satu anggukan cepat.
Setelah itu, perjalanan diisi suara Dorothea menceritakan Shadow Over Innsmouth.
***
Mereka sampai tepat pada tengah hari. Namun, anak-anak kelas 1-A masih belum terlihat. Aizawa, Dorothea, dan Kota turun dari bus. Beberapa menit kemudian, Mandalay dan Pixie-Bob datang.
"Hehehe," Pixie-Bob menutupi mulutnya sembari terkikik. "Mereka sepertinya akan agak lama."
"Midoriya, Dorothea, kalian boleh mengeluarkan barang duluan," ucap Aizawa.
Mandalay mengangguk. "Oh! Dan kita punya pemandian di sini. Kalian boleh menggunakannya untuk membersihkan diri selagi menunggu yang lain."
Kedua anak mengangguk. Izuku melempar pandangan ke hutan.
Kira-kira apa yang mereka lakukan?
***
Mandi benar-benar membuat otak Dorothea terasa lebih segar. Sejenak, dia merasa seperti berlibur di onsen. Bukan dalam pelarian dari The Silent Hands.
"Ugh, untung saja aku mengepak banyak seragam," gumam Dorothea.
"Kau sudah selesai?"
Wajah pucat Eins muncul dari tembok.
Dorothea mengangguk. Dia memakai jas abu-abunya dan melilitkan syal ke leher. Persiapan untuk sore atau malam yang dingin. Juga menutupi mulut jika harus berbisik dengan si hantu.
"Apa ada yang sudah sampai?" tanya gadis itu. Eins menggeleng.
"Belum satupun, padahal ini sudah lewat tengah hari."
Dorothea mendesah. Pelatihan Pahlawan sepertinya benar-benar keras dan menguras waktu.
"Sepertinya aku mau mencari mereka ke hutan. Siapa tahu ada tontonan menarik. Kau tidak masalah aku tinggal?"
Dorothea menggeleng. "Tidak apa Eins, aku juga ingin mencari Izuku-kun."
Kemudian, ide terlintas di kepalanya.
"Ceritakan apa yang kau lihat padaku nanti, hmm?"
Eins mengangguk. Lalu pergi menembus tembok.
***
Setelah berkutat untuk menata rambutnya selama beberapa menit, Izuku menyerah. Dia memutuskan meninggalkan sisir dan berjalan berkeliling gedung. Mengakrabkan diri dengan lingkungan sedikit.
Tidak lama, dia sampai di sebuah lorong lebar. Pintu di depannya terbuka. Mandalay keluar sembari membawa setumpuk sayuran. Kostumnya masih sama. Hanya tanpa sarung tangan.
"Oh, Midoriya!" sapanya. "Kau sudah selesai bersih-bersih?"
Izuku mengangguk. "Apa ada yang bisa kubantu?"
"Oh! Bisa tolong bawakan keranjang sayur yang lain di dalam?"
Anak itu mengangguk lagi. Dia masuk dan mengambil keranjang yang dimaksud. Lalu berjalan di samping Mandalay.
"Uhm, Mandalay-san?" ucap Izuku ragu. "Kalau aku boleh bertanya, Kota itu siapanya anda?"
"Huh? Oh, dia keponakanku."
Izuku melirik ke wanita berkostum itu. Mandalay tersenyum sedih.
"Orang tuanya—kau tahu Water Hose?"
Oh.
Oh.
Anak berambut hijau itu menelan ludah. Ya, dia tahu Water Hose. Mereka adalah Pahlawan dengan quirk air yang—
Yang mengorbankan diri mereka saat melawan Penjahat kelas A.
Dan itulah potongan teka-teki terakhir kenapa sifat Kota sangat pahit.
"Begitu..." gumam Izuku. "Itu sebabnya dia tadi mengatai Pahlawan dengan 'payah'."
"Dia apa—?" Mandalay berjengit. Kemudian menghembuskan napas berat.
"Ya... mau bagaimanapun, Kota itu masih kecil," kata Mandalay.
"Dia tidak mau tahu bahwa orang tuanya meninggal secara terhormat. Yang dia yakini hanya mereka meninggal karena mereka Pahlawan."
Pandangan Pro Hero itu menjadi sayu. Dia menunduk. Tangan menggenggam keranjang dengan erat.
"Itu sebabnya, Kota membenci Pahlawan."
Izuku diam. Dia tidak yakin harus mengatakan apa. Untung saja, terdengar langkah kaki baru. Dorothea muncul dari belokan di depan mereka.
"Izuku-kun! Di sini kau rupanya!"
"Dorothea!" celetuk Mandalay. "Kota tadi berbicara tentangmu."
Dorothea menoleh. Wanita di sampingnya tertawa.
"Dia bilang kau pendongeng yang lumayan. Tetapi, 'lumayan' dalam standar Kota itu sudah tinggi."
Pipi Dorothea memerah. Mandalay tertawa kecil. Izuku juga tertawa. Atmosfir kini terasa lebih ringan.
"Ah, kalian sedang apa?" tanya si gadis ketika menyadari keduanya membawa sayur. "Apa aku bisa bantu?"
"Yah, karena calon-calon Pahlawan itu sepertinya masih akan lama," Mandalay tersenyum kecil.
"Bagaimana kalau kau bantu kami memasak? Mereka pasti lapar ketika sampai."
"Tapi ini sudah lebih dari tiga jam? Bukannya anda bilang yang terlambat tidak dapat jatah makan siang?"
"Menurutmu kami sekejam itu?"
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
Uyeye chapter baru! Btw nulis Interweave itu lumayan enak, karena aku tinggal reuse scene yang ada di Normal dengan perubahan :"v
Oh! Dan Interweave udah sampai 5k reads! Aaaa terima kasih banyak kalian! Aku terharu...( ToT)
Btw, semoga kalian suka chapter ini!
Thank u for reading! :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro