Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31. Ordinary Day Out

Hubungan Dorothea dengan otoritas sekolah tidak bisa dibilang mulus.

Dulu, sewaktu SD, banyak anak yang menjauhinya karena terlanjur tahu soal 'bakat'-nya. Para guru juga tidak melakukan apapun. Mereka malah ikut mengecapnya anak aneh yang punya imajinasi liar.

Lalu, masa SMP datang.

Dia pindah ke Jepang.

Jika dia pikir SD-nya buruk, maka SMP Aldera seratus kali lebih parah.

Diskriminasi quirk terjadi disana-sini. Baik terlihat maupun tidak. Para guru tidak peduli. Mengalihkan pandangan setiap pertikaian terjadi. Pura buta dan pura tuli.

Ya, dia tidak mendapat masalah. Tidak ada yang tahu soal bakat sampingannya. Dan quirknya bisa dianggap 'lumayan' untuk sebagian besar. Jadi, dia tidak banyak dijauhi.

Beberapa murid bahkan tertarik untuk berteman. Sayang, Dorothea melihat murid yang sama menendang anak dengan 'quirk lemah' di koridor. Jadi, gadis itu memilih menjauh.

Baru seminggu berlalu. Dan Dorothea sudah mempertimbangkan pindah.

Namun, semua itu berubah setelah dia bertemu Midoriya Izuku.

Dia tiba-tiba punya alasan untuk tetap di Aldera.

Bersama-sama, mereka melewati banyak hal. Tidak hanya demon, sihir, dan misi tengah malam. Namun juga bully yang ada di sekolah. Dan guru-guru yang tidak adil.

Itu sebabnya, Dorothea tidak suka berurusan dengan badan pengurus sekolah. Dan walaupun SMA U.A. itu berbeda...

Duduk di depan Nezu selalu membuatnya merinding. Entah mengapa.

Mereka duduk di lounge area untuk guru di SMA Kepahlawanan itu sehari setelah mereka pulang dari Hosu. Sesuai yang dikatakan Aizawa, Nezu tertarik untuk tahu lebih dalam soal The Children. Akhirnya, setelah beberapa panggilan telepon dan diskusi, Nikky dan Hisashi setuju untuk datang dan menjelaskan.

Sekarang, si tikus sedang sibuk mendengarkan Hisashi yang duduk di depannya. Soal Children of Earth, The Silent Hands, dan dunia abnormalitas.

"Dan ini—" ucap Hisashi. Memberi gestur ke Dorothea yang duduk diapit oleh Nikky dan pria itu.

"Dorothea Tuning. Sang Mata. Agar makhluk itu bisa masuk kemari, dibutuhkan darah dan kesaksiannya dalam ritual."

Sang gadis berjengit sedikit. Dia tidak pernah suka mengingat hal itu. Untung Eins ada di belakangnya. Dengan sigap 'menaruh' tangan di pundak Dorothea. Hawa dingin itu membuat sang gadis merasa lebih tenang.

"Begitu, huh?" dehum Nezu. Tangan kecil terlipat di meja. "Kalau begitu kenapa kalian tidak—"

"Dorothea tidak meminta menjadi Sang Mata," sela Nikky. Dua manik beda warna di matanya menatap tajam.

"Jadi, kami tidak akan mengurung atau memperlakukannya seperti sebuah ancaman. Children of Earth akan menghormati keputusannya."

Kepala sekolah itu menepukkan tangan. "Ah, benar, benar. Itu pilihan yang bagus." Kemudian dia bergumam kecil.

"Aku selalu tahu kalau organisasi kalian ada. Namun, mengetahui semua ini agak... mengejutkan."

Dua manik hitam Nezu melirik ke Dorothea.

"Terlebih soal anda, Miss Tuning," ucapnya. "Apa kau yakin kita tidak bisa menarik bantuan polisi? Pahlawan?"

"Apa menurutmu mereka cukup bersih, Nezu-san?" sanggah Hisashi. "Memang kau tahu berapa banyak oknum polisi di luar sana? Atau kau sangat naif dan berpikir semua Pahlawan itu orang baik?"

Nezu diam. Dorothea sendiri agak berjengit mendengar kata-kata Ayah Midoriya itu.

Hampir semua anggota The Children—atau orang yang dekat dengan mereka—memiliki pandangan begitu soal Pahlawan. Namun, untuk mengatakannya langsung di depan Kepala Sekolah yang mengurus generasi baru Pro Hero—

Nekat.

Sepertinya, Hisashi dan Izuku cukup sama dalam hal itu.

"Kami menghargai maksudmu, Nezu-san. Tetapi, informasi dari kami itu sangat sensitif." tambah Nikky. Tangan memilin ujung rambut hitamnya. "Untung mereka yang tahu bisa tutup mulut."

"Aku paham. Akan tetapi, bukankah tidak baik membiarkan Miss Tuning tanpa perlindungan?" tanyanya. "Anggota kalian berkurang banyak setelah—ah, kalian menyebutnya apa? Operasi Scrouge Healer?"

Nikky dan Hisashi saling berpandangan. Dengan ragu, Nikky menjawab.

"Kami tahu. Akan tetapi, yang tersisa dari Silent Hands hanya sebagian kecil. Dan kami sudah mengontak augur The Children. Sebisa mungkin, kami akan menyelesaikan tugas kami," ucapnya.

"Kau tidak perlu khawatir. Sejauh ini tidak ada bukti kalau ada The Silent Hands lain di luar sana selain Seren, dan—Kuba Hisao? Yah, dia."

"Seren?" bisik Dorothea.

"Oh, hanya 'teman' lama kami. Wanita yang kau bilang punya quirk pita," ucap Nikky. Nada sarkastik sangat kental. Sebelum suaranya melembut.

"Tetapi kau tidak perlu khawatir, kami akan mengurusnya."

Nikky tersenyum cerah. Hal itu agak menenangkan Dorothea.

"Dan kita akan terus mencari, kit."

***

Mereka saling bertukar pikiran sebelum akhirnya sampai pada keputusan untuk membiarkan semuanya tetap tersembunyi. Setelah itu, Nikky dan Hisashi pamit pergi. Diikuti dengan Dorothea. Mengingat Nezu sudah mengetahui semua yang dia perlukan. Namun, masih ada satu hal yang membuatnya penasaran.

"Maaf, Nezu-san?" panggilnya. Si Kepala Sekolah mengangkat kepala. Menatap Dorothea.

"Uh, maaf, aku—uh, setelah semua yang terjadi, kau pasti punya banyak masalah. Maaf kau juga harus mengurusi masalahku."

"Dorothea," Nezu menggeleng. "Kau muridku. Keselamatanmu juga menjadi prioritas penting."

Mata hitamnya mengerling.

"Dan mengingat keselamatanmu juga mengacu ke keselamatan semesta ini, sepertinya masalahmu juga agak penting," ucapnya.

Ah, iya.

Aku lupa soal itu.

"Ah, baik. Terima kasih. Kalau begitu, saya pamit. Nezu-san," Dorothea membungkuk. Namun, sebelum dia membuka pintu. Suara Nezu terdengar lagi.

"Maaf, kami tidak bisa memberimu lebih banyak perlindungan Dorothea," ucapnya. Senyuman simpulnya masih terpasang.

"Tetapi, tolong, kau adalah kunci yang menjaga Serathephim ini tidak sampai ke dimensi kita. Jadi—"

"Jaga dirimu baik-baik."

***

Di depan ruang guru, ponsel Dorothea berdering. Matanya menyipit melihat notifikasi pembuatan group baru. Dia langsung membukanya.

***

Shinsou Hitoshi made 1-C is Superior (but Todoroki is alright) Group Chat

Shinsou Hitoshi added Midoriya Izuku
Shinsou Hitoshi added Todoroki Shoto
Shinsou Hitoshi added You

Midoriya Izuku
Shinsou... nama groupnya...

Todoroki Shoto
Apa aku harus tersinggung atau terpuji?

Shinsou Hitoshi
Tidak penting sekarang

Shinsou Hitoshi
@Dorothea Tuning kau sudah selesai?

Shinsou Hitoshi
Kami menunggumu di luar. Kita akan ke Espurresso

***

Dorothea tersenyum membaca itu. Eins ikut terkikik disampingnya.

"Teman-temanmu bergerak cepat, huh?"

Mau tidak mau, sang gadis juga terkikik dan mengangguk. Tidak sadar Nikky dan Hisashi menatap ke arahnya dengan pandangan paham.

"Biar kutebak, putraku pergi kesini walaupun aku secara spesifik aku menyuruhnya beristirahat?" tanya Hisashi dengan nada geli. Pertanyaan retorik. Dorothea meringis.

Nikky mendengus dan menggelengkan kepala. Lalu menepuk-nepuk surai merah keponakannya itu.

"Setelah kemarin, sepertinya kau pantas bermain-main dan istirahat," ucapnya. "Aku akan kembali ke Hosu. Memastikan Monika tidak membakar tokoku."

"Dan aku akan pulang," kata Hisashi. Dia melempar seringai lebar ke sahabat anaknya itu.

"Kau dan Izuku jangan terlibat yang aneh-aneh, ya?"

"Aku tidak janji," kata Dorothea dengan cengiran di bibir.

Mereka tertawa, sebelum sang gadis mengucapkan pamit dan mendahului pergi keluar. Benar saja, ketiga temannya sudah menunggu di pintu gerbang. Dengan senyum ceria, Dorothea menghampiri mereka.

"Hey, mates, what's up?"

"The sky."

Jawaban Izuku diiringi dengan senyum jahilnya membuat Dorothea mendengus. Dua yang lain terkekeh. Alhasil menarik fokus gadis itu.

"Magangmu sudah selesai, Todoroki?"

"Anggap saja sudah. Kalaupun belum, aku mengambil 'hari libur'."

Si rambut merah menaikkan satu alis. Todoroki mengangkat bahu.

"Yah, aku tidak memberi tahu Pak Tua itu. Tapi dia sendiri juga sibuk soal konferensi pers."

"Heh, aku suka gayamu," kata Shinsou. Dia mengacungkan kepalan tangannya. Mereka melakukan fistbump.

Dorothea menggelengkan kepala. Namun, hatinya mencelus lega. Setelah semua yang terjadi, sepertinya tidak ada trauma besar yang tersisa.

Atau mereka hanya keseringan terlibat di hal-hal berbahaya. Sehingga mulai tidak ambil pusing.

Oh, well...

***

"Ini pengkhianatan."

"Diam, Midoriya."

"Kupikir kita teman, Shinsou-kun."

"Teman atau musuh tidak penting kalau soal ini."

"Sungguh? Setelah semua yang kita lewati?"

"Hah, semua itu tidak ada apa-apanya dibanding—"

"Bloody hell!" desah Dorothea. Menaruh cangkir cokelat panasnya ke meja.

"Shinsou-kun, berikan Mochi ke Izuku-kun. Kau sudah setengah jam memeluknya. Gantian dulu."

Sembari menggerutu, Shinsou mengulurkan kucing tabby di pangkuannya kepada Izuku yang duduk di seberang meja. Anak berambut hijau itu langsung tersenyum. Menerima si kucing dengan tangan terbuka.

Dorothea menggeleng melihat sifat antik dua temannya itu. Namun, senyum di wajah tidak terhapus. Dari sudut mata, dia melihat Aoi—pemilik kafe—tertawa di belakang mesin kasir.

Yah, meja mereka memang agak ribut.

Namun, Espurresso juga agak sepi sekarang. Jadi, tidak ada yang terganggu.

"Ngomong-ngomong, kita hampir ujian, kan?" tanya Dorothea. Pipi tertumpu ke tangan. Mata melantur ke arah Eins yang bermain dengan kucing di jungle gym.

"Yep, akhir semester!" kata Izuku. "Aku sudah tidak sabar!"

"Mungkin hanya kau yang berpikir begitu, Izuku-kun," gerutu si gadis. "Pelajaran matematika akan menghajarku habis-habisan."

Shinsou terkekeh. Hampir tersedak kopi. "Serius? Kau bisa menghadapi demon dan sebagainya, tetapi tidak dengan aljabar?"

"Aljabar itu monster tersendiri."

Yang lain tertawa. Bibir Dorothea maju beberapa senti. Anak itu mendengus sebelum beralih untuk meminum cokelatnya. Dia berjengit. Isi cangkirnya sudah dingin.

"Ah, aku bisa bantu?"

Todoroki mengulurkan tangan kirinya. Dorothea memiringkan kepala. Akan tetapi, dia patuh dan memberikan minumannya pada anak itu.

Todoroki memegang cangkir sejenak. Tidak lama, cokelat yang ada di dalam mulai meletup dan berasap. Mata emas Dorothea membulat ketika kawannya memberikan kembali cangkir.

Cokelatnya kembali hangat.

"Wow," bisik Dorothea. Lalu melempar seringaian menggoda. "Ingat waktu kau menolak menggunakan sisi kirimu?"

Pipi anak dwiwarna itu memerah. Izuku terkikik.

"Ternyata ada baiknya aku menghajarmu habis-habisan waktu itu."

"Yeah," ucap Shinsou setuju. "Itu sangat menghibur."

Rona dipipi Todoroki semakin dalam. Dia menunduk. Menatap tangan kirinya. Namun, tidak seperti masa-masa yang lalu. Ada sebuah senyum di bibirnya. Kecil, tetapi tetap saja.

"Ini kekuatanku," bisik Todoroki. Melempar pandangan ke Izuku. "Benar, kan?"

Anak berambut semak itu tersenyum lebar. Lalu mengangguk bersemangat.

"Quirk kalian semua keren!" pujinya. "Dan walaupun aku tidak punya satu, subjek soal itu selalu membuatku tertarik!"

"Oh, jangan ingatkan!" desah Shinsou. "Kau sampai menginterogasiku soal Brainwashing, Izuku."

"Begitu juga denganku," celetuk Dorothea. "Waktu SMP, dia yang mengajakku bereksperimen dengan Thread."

Todoroki berdehum. "Begitu, ya? Kenapa kau tertarik sekali, Midoriya?"

"Eh? Selain fakta karena aku selalu menginginkan satu?" tanya Izuku. Sebelum menyedot milk tea-nya. Mata menerawang. "Yah, karena mereka menarik! Semua quirk itu unik! Begitu juga cara kerja dan teorinya!"

Dorothea mendengus. "Aku paling suka teori dari Children of Earth."

Diam sejenak. Manik violet dan biru-abu-abu menatap ke sang gadis heran. Izuku terkikik.

"Ada beberapa orang percaya, quirk itu sihir."

Shinsou dan Todoroki langsung mendelik. Dorothea mengayunkan kakinya di bawah meja.

"Yep, menurut kalian, evolusi macam apa yang bisa membuat orang memanipulasi gravitasi atau membaca pikiran orang? Jadi—sihir cukup masuk akal bagi organisasi kami."

"Itu sebabnya dulu ada perdebatan hebat di The Children. Apakah quirk harus disembunyikan atau tidak!" Sambung Izuku. Mochi mendengkur di tangan si rambut hijau.

"Namun, melihat perkembangannya yang pesat, akhirnya The Children menganggap quirk masuk dalam status quo normal yang baru. Sampai—banyak masalah muncul."

Dua calon Paladin itu saling pandang. Ekspresinya suram.

"Itu yang melahirkan The Silent Hands."

"Mereka menginginkan dunia tanpa quirk," bisik Todoroki. Dia masih ingat cerita Nikky di Hosu. "Dan caranya..."

"Yep, tapi—sebagian besar mereka sudah bubar!" kata Dorothea cepat-cepat. Mulai merasakan atmosfir yang suram.

"Lagipula, ada masalah lebih dekat yang mungkin harus dipikirkan. Ujian matematika, misalnya."

Topik langsung beralih haluan. Ketiga anak menawarkan bantuan untuk mengajari Dorothea. Yang tentu langsung disambut ucapan terima kasih.

Mereka mengobrol sampai cokelat panas Dorothea kembali dingin untuk kedua kalinya. Dan Eins mulai bosan bermain dengan kucing. Memutuskan kembali 'menaruh' dagu di atas rambut merah gadis itu.

Waktu bergulir, dan mereka masih di sana. Bercengkerama menikmati hangat suasana kafe ditemani minuman lezat dan kucing imut. Melepas beban barang sejenak.

Mungkin salah satu hari paling biasa dalam kehidupan mereka.

Namun, 'hari biasa' itulah yang berharga.

***

"Begitu. Kau menemukannya di Hosu?"

"Benar, milady. Tapi dia bersama banyak teman. Aku kalah jumlah.
Jadi, aku melepaskan gigant dan kabur."

"Gigant yang dia kalahkan secepat kilat, hmm? Ternyata mawar kita ini punya duri."

"Iya, milady."

"Kerja bagus, Seren. Kau boleh pergi."

Dengan satu anggukan dalam, orang yang berlutut bangkit. Dia membungkuk sekali lagi. Lalu dengan cepat menyelinap keluar dari area bar nyaris kosong itu.

"Kau punya pengikut yang aneh."

Suara serak membuat wanita yang disebut 'milady' tadi menoleh. Dari bawah tudungnya, dia bisa melirik Shigaraki Tomura duduk di counter.

Dasar kekanak-kanakkan.

"Lagipula, kenapa kalian terobsesi dengan gadis kecil itu? Agak seram, kalau kau tanya aku."

"Hah, kau sendiri penjahat yang sudah membunuh banyak orang," ucap si wanita. "Kau tidak berhak mengguruiku masalah moral."

"Setidaknya, aku melakukan semua ini untuk sesuatu yang lebih besar!"

"Heh, sungguh?" tanya Wanita Tudung. Seulas senyum muncul sejenak. Secepat itu hilang.

"Lalu, kenapa Stain lebih banyak muncul di media?"

BRAK!

Shigaraki memukul counter bar dengan kepalan tangannya. Mata merah terlempar dari sela jari potongan tangan yang menutupi wajah. Dia menggertak.

"Awwee... is big bad Shigaraki angwy?" ejeknya. Si ketua League of Villain itu mendecak.

"Kau masih di sini karena aku menghormati Sensei," gertaknya. "Sebaiknya kau jaga ucapanmu."

"Ugh, terserah," ucap si Wanita Tudung. Dia bangkit dari duduknya. Menghabiskan scocth yang tinggal separuh di gelas dengan sekali tengguk.

"Aku keluar," katanya. Dia bergerak menuju pintu. "Have a goodnight, Shigaraki."

Dia berjalan ke depan. Lalu bersender di salah satu tiang lampu. Kepala tengadah. Terdengar bunyi mendesing pelan. Dari balik napasnya senandung pelan terdengar.

"A spell whomst reaches far
Hast thou sing it for the star?

She will come, oh she will come
Sooner, later she will come

A broken heart of thee
Will set the All-Mother free

She will come, oh she will come
Sooner, later she will come..."

Langit malam Kamino berawan hari itu. Bintang-bintang tertutup. Cahayanya pudar di bawah kelabu. Sang wanita tersenyum.

"Sesuatu yang lebih besar, huh?" gumamnya. Lalu tertawa.

"Ah, Shigaraki Tomura. Seandainya kau tahu."

Dan lagu berlanjut.

"The Eyes that see it all
Will see through everythings fall

She will come, oh she will come
Sooner, later she will come..."

***
.
.
.
.
.
.
.

A.N. :
Demi apa akhirnya chapter ini kelar juga :"v

Maaf ye, author berusaha. Tapi yah, aku nggak berani menjanjikan apappun. Life is being life, y'know?

Semoga kalian suka chapter kali ini! And as always...

Thank u for reading! :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro